Anda di halaman 1dari 4

Nama: Widia Devirista Dewi

NIM: 19230050
Kelas: HTN B

َّ ‫اليَقِيْنُ اَل يُ َزا ُل ِبال‬


Resume Kaidah ‫ش ِّك‬
1. ِّ‫( اليَقِيْنُ اَل يُزَ ا ُل بِالشَّك‬Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan)
Kaidah fiqh yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan. Al-Yaqin (‫)اليقين‬
secara bahasa adalah keyakinan. Secara sederhana ia bisa dimaknai dengan tuma’ninah al-
qalb, ketetapan hati atas suatu kenyataan atau realitas tertentu. 1 Secara etimologi yaitu
kemantapan hati atas sesuatu. Al-Yaqin juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada
keraguan didalamnya. Sebagaimana menurut Ibnu Manzhur dalam kamusnya Lisan al-Arab,
yaitu pengetahuan dan merupakan antonym dari al-Syakk. Secara terminologis, yang
dimaksud dengan al-yaqin adalah sesuatu yang menjadi tetap, baik bedasarkan penganalisaan
maupun dalil. Al-Suyuthi mengatakan al-Yaqin (‫ ) اليقين‬adalah sesuatu yang tetap dan pasti,
dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya.2
La yuzal atau la yazul berarti la yarfa’ hukmu. Al-Yaqin la yuzal atau la yazul berarti la
yarfa’ hukmuhu. Yang dimaksud “tidak hilang” adalah bukan keyakinan, melainkan hukum
yang terbangun berdasar keyakinan tersebut. Hal ini berdasar pada bahwa pada dasarnya
keyakinan mempunyai nilai hukum yang lebih kuat daripada keraguan. Ketika di dalam hati
terbangun suatu keyakinan, maka dia tidak dapat digoyahkan oleh situasi atau kondisi apa
pun. Artinya, dalam sebuah keyakinan terdapat hukum pasti yang pantang goyah oleh hal-hal
yang baru, kecuali oleh keyakinan lain.3 Adapun al-Syakk ( ‫)الش<ك‬ ّ secara etimologi artinya
adalah keraguan. Juga bisa diartikan dengan sesuatu yang membingungkan. Sedangkan
secara terminologi Muhammad al-Zarqa yaitu keraguan antara 2 perkara atau masalah yang
berlawanan tanpa mengunggulkan salah satunya.4
Dasar kaidah Al-Qur’an pada surah Yunus ayat 36:5

َ‫ق ش َۡیئًا اِنَّ ہّٰللا َ َعلِ ۡی ۢ ٌم ِب َما یَ ۡف َعلُ ۡون‬


ِّ ‫َو َما یَتَّبِ ُع اَ ۡکثَ ُرہُمۡ اِاَّل ظَنًّا ؕ اِنَّ الظَّنَّ اَل یُ ۡغنِ ۡی ِمنَ ۡال َح‬
“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit
pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
kerjakan.”
Ayat ini pada mulanya`menyoroti karakter orang-orang musyrik yang seringkali
berpegang pada prasangka-prasangka yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Terhadap
tuhan yang mesti disembah pun mereka masih cenderung berimajinasi pada benda- benda
mati yang dalam persepsi mereka dapat memberi jaminan keselamatan dan kelangsungan
hidup. Dengan ayat ini, Allah swt. memberi penegasan akan hal yang mesti dijadikan pijakan

1
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah, (Surabaya: Revka Prima Media, 2020), h. 11.
2
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah, h. 11.
3
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah, h. 12.
4
Fathurraman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, h. 71-72.
5
Fathurraman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: LPKU Banjarmasin, 2015), h. 69.
berfikir dan bertindak; yakni yang jelas-jelas dapat menunjukkan pada kebenaran, bukan
yang masih diragukan. Karena walau bagaimanapun, hal yang masih dalam keraguan atau
masih menjadi tanda tanya tidak dapat disejajarkan dengan keyakinan. Dari penegasan ini
akan memunculkan keniscayaan bahwa apabila terjadi keragu-raguan yang berpotensi untuk
mempengaruhi hal-hal yang telah diyakini sebelumnya, sudah barang tentu tidak dapat
mempengaruhi keyakinan yang sudah ada, selama belum ada elemen-elemen fundamental
yang dapat menunjukkan bukti valid bahwa keyakinan itu tidak sesuai kenyataan; al-yaqin la
yuzalu bi al-syak.6
Dasar kaidah Hadis Rasulullah SAW. antara lain: Hadis riwayat Muslim dari Abi
Hurairah ra. Rasulullah SAW. bersabda:7
‫ص ْوتًا أَ ْو يَ ِج َد‬
َ ‫س َم َع‬ ْ ‫فَاَل يَ ْخ ُر َجنَّ ِمنْ اَ ْل َم‬ ‫ أَ َخ َر َج ِم ْنهُ ش َْي ٌء أَ ْم اَل ؟‬: ‫ش َك َل َعلَ ْي ِه‬
ْ َ‫س ِج ِد َحتَّى ي‬ ْ َ ‫ش ْيئًا فَأ‬
َ ‫إِ َذا َو َج َد أَ َح ُد ُك ْم فِي بَ ْطنِ ِه‬
‫يحا‬
ً ‫ِر‬
“Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia
kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan
keluar dari Masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkannya bau.”
Menurut al-Nawawi, hadits ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprudensi
Islam yang kemudian dijadikan fundamen terbangunnya kaidah-kaidah fiqh. Dari hadits ini
pula terbangun serta metodologi-analitis mengenai status objek, yakni dengan cara melihat
status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang valid dan
mampu mempengaruhi “keaslian”nya. Secara eksplisit, hadits ini memang berbicara dalam
konteks seseorang yang ragu apakah telah merasakan keluarnya angin (baca: kentut) atau
tidak. Dalam hal ini, Nabi saw. menegaskan, keraguan yang baru timbul itu tidak dapat
mempengaruhi status wudlunya. Kecuali jika dia memang telah benar-benar mendengar
bunyi atau mencium bau angin tersebut. Proses mendengar maupun mencium bau ini, bisa
dijadikan sebuah indikasi kuat (amarah) bahwa wudlunya telah batal. 8 maka dalam hal ini ia
harus dianggap masih keadaan berwudlu’. Sebab, keadaan berwudlu’ inilah yang sejak
semula sudah menjadi keyakinan (al-yaqin) sedangkan keraguan (asy-syakk) baru muncul
kemudian. Keyakinan yang ada itu tidak dapat dihapus dengan keraguan.9
Kaidah ini melandaskan bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak dapat
dipengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu yang merupakan unsur eksternal
dan muncul setelah keyakinan tidak akan menghilangkan hukum yakin yang telah ada
sebelumnya. Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci
dengan berwudlu misalnya hilang hukum kesuciannya disebabkan munculnya keraguan
setelah itu. Karena sebelum keraguan itu timbul, dia telah meyakini keabsahan thaharah yang
telah dilakukan. Yang dimaksud yakin dalan kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati
pada satu objek hukum yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai kadar
pengetahuan yang mantap atau persepsi kuat (zhan). Jadi bukanlah sebuah kemantapan hati
6
Abdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual Buku Kesatu, (Surabaya: Khalista dan
Kaki Lima Lirboyo, 2017), h. 140.
7
Fathurraman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, h. 70.
8
Abdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual Buku Kesatu, h. 141.
9
Duski Ibrahim, Al-Qowa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih), (Palembang: CV. Amanah, 2019), h. 58.
yang disertai dengan keraguan saat melaksanakan pekerjaan, karena hal itu tidak termasuk
kategori yakin.
Dengan kaidah kedua ini, maka seseorang memperbuat sesuatu (beramal) harus
dilakukan berdasarkan dengan keyakinan. Maka apapun keraguan untuk menghilangkan
keyakinan tidak akan diterima. Juga dapat difahami dengan redaksi yang lain yaitu, setiap
perkara yang tetap, tidak akan berubah dengan sebab kedatangan bukti yang terdapat syak
padanya. Keyakinan merupakan suatu perkara yang bersifat tetap dan bersifat berlawanan
terhadap syak.10Contohnya:
1. Kasus orang ragu-ragu tentang apakah ia sudah berhadats ataukah belum, maka yang
dijadikan ukuran adalah kondisi yang telah ada sebelumnya, yaitu: jika kondisi
sebelumnya ia belum wudlu, maka ia dianggap batal tapi jika kondisi sebelumnya ia sudah
pernah berwudlu, maka yang dianggap suci.
2. Jika Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menyatakan bahwa kelompok A yang
menang dan kelompok B yang kalah. Kemudian kelompok B mengajukan gugatan bahwa
seharusnya kelompok A yang kalah dan kelompok B yang menang, alasannya karena
adanya kecurangan. Maka dalam hal ini, yang meyakinkan adalah bahwa telah terjadi
pemilihan umum dan kelompok A yang menang. Kecuali apabila kelompok B
memberikan bukti-bukti yang sah dan meyakinkan pula bahwa kelompoknya yang
menang.
Termasuk dalam lingkup kaidah ini ialah:
1. َ‫ص ُل بَقا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكان‬ ْ َ‫األ‬
“Asal itu tetapnya sesuatu pada keadaan semula”
Contoh: Seseorang yang makan pada akhir siang hari (menjelang maghrib) dan dia
meragukan apakah sudah terbenam matahari atau tidak. Puasanya batal karena yang
menjadi al Ashlu adalah tetapnya siang. Jika ada yang makan pada waktu akhir malam
sedangkan dia meragukan terbitnya fajar, puasanya tetap sah. Sebab al-ashlu adalah
tetapnya malam.
ِّ ُ‫ص ُل بَ َرا َءة‬
2. ‫الذ َّم ِة‬ ْ َ‫األ‬
“Asal pada seseorang adalah bebas dari tanggungan”
Contoh: Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan
sampai ada bukti adanya akad nikah yang sah.
3. ‫ص ُل أَنَّهُ لَ ْم يَ ْف َع ْل‬
ْ َ ‫ش ْيئًا أَ ْم اَل فًاأْل‬
َ ‫ش َّك أَفَ َع َل‬
َ ْ‫َمن‬
“Barangsiapa ragu apakah sudah melakukan sesuatu atau tidak, maka hukum asalnya dia
tidak melakukan sesuatu tersebut”
Contoh: Si A mengadukan bahwa Si B telah berhutang kepadanya Rp:1.000.000 ,.
kemudian Si B mengatakan bahwa hutang itu telah dilunasinya, tetapi Si B tidak
mempunyai bukti pembayarannya, maka yang dimenangkan dalam kasus ini adalah Si A,
yaitu Si B masih berhutang dan belum dilunasi.
4. ‫ش َّك في ا ْلقَلِ ْي ِل أو ا ْل َكثِ ْي ِر ُح ِم َل على ا ْلقليل‬ َ ‫َمنْ تَيَقَّنَ ا ْلفِ ْع َل َو‬

10
Fathurraman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, h. 72.
“Barang siapa yang yakin melakukan pekerjaan akan tetapi ragu-ragu dengan sedikit-
banyaknya perbuatan, maka yang dianggap adalah sedikit karena hal itu yang
meyakinkan”
Contoh: Orang dalam sholat, apakah ia melakukan melakukan tiga rakaat atau empat
rakaat, maka yang dianggap adalah tiga rakaat karena yang tiga rakaat itu yang yakin,
sedang yang empat rakaat belum tentu dan untuk mencapai empat rakaat melalui tiga
rakaat terlebih dahulu sehingga yang tiga rakaat merupakan yang di yakini.
5. ‫أَنْ َماثَبَتَ يَقِ ْي ٍن اَل يُ ْرتَفَ ُع إِاَّل يَقِ ْي ٍن‬
“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan
lagi”
Contoh: Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran.
Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah thawaf yang dilakukan adalah
putaran keenam atau putaran kelima. Maka yang lebih meyakinkan adalah jumlah yang
kelima.
6. ‫ص ُل ال َع َد ُم‬ ْ َ‫األ‬
“Yang asal adalah tidak ada”
Contoh: Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat)
barang yang diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena
pada asalnya cacat iti tidak ada. Ada pula ulama’ yang menyatakan, karena hukum asalnya
adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli
bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang
tersebut masih ditangan penjual.
7. ‫ب ال َّز َمأ ِن‬ ِ ‫ث تَقَ ِّد ُرهُ بِأ َ ْق َر‬
ِ ‫ص ُل فِي ُك ِّل َحا ِد‬ ْ َ‫األ‬
“Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat”
Contoh: Seorang wanita sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian
keluarlah bayi dalm keadaan hidup dan sehat. Selang bebarapa bulan, bayi itu meninggal.
Maka, meninggalnya bayi itu tidak disandarkan keapada pemukulan yang terjadi pada
waktu yang lama, tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waku paling dekat dengan
keamtiannya.
8.  ‫احةُ َحتَّى يَ ُد َّل ال َّدلِ ْي ُل َعلَى الت َّْح ِر ْي ِم‬ ْ َ ‫ص ُل فِي اأْل‬
َ َ‫شيَا ِء اإْل ِ ب‬ ْ َ ‫اأْل‬
“Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya”
Contoh: Seseorang mleihat burung merpati masuk jaringnya, dan dia ragu apakah burung
itu sudah dimiliki orang atau belum, maka hukumnya adalah ibahah (boleh).
9. ‫اح ِة‬َ َ‫شيَا ِء التحريم َحتَّى يَ ُد َّل ال َّدلِ ْي ُل َعلَى ا ِإلب‬ ْ َ ‫ص ُل فِي اأْل‬ْ َ ‫اأْل‬
“Segala sesuatu pada dasarnya adalah haram, sampai ada dalil yang menunjukkan
kebolehannya”
Contoh:
a. Dalam sebuah desa ada 10 orang perempuan. Satu diantaranya diketahui ada hubungan
mahrom dengan A (laki-laki) tetapi ia belum atau tidak tahu yang mana diantara 10
perempuan itu yang ada hubungan mahram denganya. Maka menurut hukum ke 10
perempuan tersebut tudak boleh dinikahi (oleh A) salah satunya.

Anda mungkin juga menyukai