Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid
al fiqhiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah
kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan
masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan
Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk
menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat
horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat
nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian
adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Dalam pembahasan ini pemakalah akan mencoba untuk membahas
cabang-cabang kaidah Alyaqin La Yazulu Bisyakki.
Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep
kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang kadang kala menimpa
kepada kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan
menolak keragu-raguan. Dan telah diketahui akibat dari keragu-raguan
adalah adanya beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk
mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan
ringan dalam menjalankan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya,
termasuk didalamnya adalah aqidah dan ibadah.

B. Rumusan Masalah
1. Definisi Kaidah Al-Yaqin La Yuzalu bi Al-syak
2. Macam-macam kaidah cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak
beserta contoh penerapannya
3. Dalil landasan yang mendukung adanya kaidah Al-Yaqin La Yuzalu bi
Al-syak

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi kaidah Al-Yaqin La Yuzalu bi Al-syak


1. Al Yaqin
Menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan
didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya
pengetahuan dan merupakan anonim dari Asy-Syakk.
As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan
pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-
bukti yang mendukungnya.”
2. Asy Syakk
Menurut kebahasaan berarti: anonim dari Al-Yaqin. Juga bisa
diartikan sesuatu yang membingungkan.
Menurut istilah:
1. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang
tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.1
2. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang
tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling
berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Sedangkan yang dimaksud tidak hilang (La yuzhalu) bukan berarti
keyakinan itu sendiri yang sirna, sebab hal itu mustahil terjadi
melainkan hukum yang telah terbangun berdasarkan keyakinan itulah
yang tidak akan hilang.2
Jadi kesimpulannya, definisi al-yaqin la yuzalu bi as-syak adalah
apabila seseorang telah meyakini sesuatu perkara maka yang telah
diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan yang keraguan.3

1
Ailif Pardianzyah, “Makalah Al Yakin La Yuzalu Bi Syak”, Slideshare,
2
Dede Imas Masruroh, “Kaidah Al-Yaqin La Yuzalu bi Al-Syak”, Rusunawa blog pendidikan dan
pendidikan
3
A. Mu’in dkk, Ushul Fiqh II, Jakarta, Departemen Agama, 1986, hlm 195

2
B. Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak
Beserta Contoh Penerapannya
Dari kaidah Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak diatas kemudian
dibagi menjadi kaidah-kaidah cabangnya yakni :
1. َ‫( اأْل ضصْ ُل بَقا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكان‬Asal itu tetap sebagaimana semula
bagaimanapun keberadaannya)
Kaidah ini semakna pula dengan ‫َما ثَبَتَ بِ َز َم ِن يُحْ َك ُم ببَقَا ِء ِه‬
‫ ِه‬WWWِ‫ َّدلِ ْي ُل َعلَى ِخاَل ف‬WWW‫الَم يَقُ ْم ال‬WWW‫( َم‬Apa yang ditetapkan berdasrkan
waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya
waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan
dengannya)
Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang
telah memiliki status hukum yang pasti sebelumnya, harus
tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula,
hukum tersebut tidak bisa diubah, selama belum ada bukti
kuat dan meyakinkan yang bisa mengubahnya.
Misal:
1) Aminah meyakini bahwa ia telah punya wudhu (suci),
tetapi kemudian ia ragu apakah sudah batal atau
belum. Berdasarkan kaidah ini ia tetap dihukumi
punya wudhu. Sebab, sebelumya ia yakin bahwa ia
telah berwudhu. Keyakinannya tersebut tidak bisa
dihilangkan denga keraguannya yang mengatakan
bahwa ia telah mengalami hadas.
2) Fandi memiliki hutang kepada Anton. Fandi
kemudian mengaku bahwa ia telah membayar hutang
tersebut, tetapi anton tidak mengakuinya. Dalam hal
ini, Fandi tetap dihukumi punya hutang, sampai ia
benar-benar mampu membuktikan bahwa dirinya
telah membayar hutangnya kepada Anton.

3
2. ‫ َر َءةُ ال ِذ َّم ِة‬Wَ‫( أْل َصْ ُل ب‬Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari
tanggung jawab)
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari
tuntutan, baik hal Allah maupun hak Adami. Setelah dia lahir
muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.
Misal:
1) Anak kecil bebas dari tanggung jawab melakukan
kewajiban sampai ia baligh.
Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang
bersifat pernikahan sampai ada bukti adanya akad nikah yang
sah.

3. ‫( اأْل َصْ ُل ْال َع َد ُم‬Hukum asal adalah ketiadaan)


Kaidah ini dapat lebih jelas dengan kaidah ‫اأْل َصْ ُل فِي‬
‫ض ِة ْال َع َد ُم‬ ِ ‫ت ْال‬
َ ‫عأر‬ ِ ‫صفَا‬
ِّ ‫( ال‬hukum asal pada sifat-sifat yang datang
kemudian adalah tidak ada)
Misal:
1) Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli
tentang aib (cacat) barang yang diperjualbelikan, maka
yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada
asalnya cacat iti tidak ada. Ada pula ulama’ yang
menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli
telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si
pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa
cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih
ditangan penjual.

ْ َ ‫ ِّل فِي أْل‬W‫ث ُك‬


4. ‫اُل‬W‫ص‬ ِ ‫( بِأ َ ْق َربِال َّز َمأ ِن ُرهُ تَقَ ِّد َحا ِد‬Asal setiap kejadian dilihat
dari waktu yang terdekat)

4
Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab
Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab madzhab Hanafi juga
terdapat ‫ب أَوْ قَاتِ ِه‬ ِ ‫ضفَةُ ْالحأ ِد‬
َ ‫ث إِلَى أ ْق َر‬ َ ِ‫( اأْل َصْ ُل إ‬Hukum asal adalah
penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
dengannya) secara substansi sama saja.
Apabila terjadi keraguan karena perbadaan waktu
dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah
menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut,
karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa
itu. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan bahawa
peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu yang lebih jauh.
Misal:
1) Seorang wanita sedang mengandung, ada yang
memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi
dalm keadaan hidup dan sehat. Selang bebarapa
bulan, bayi itu meninggal. Maka, meninggalnya
bayi itu tidak disandarkan keapada pemukulan
yang terjadi pada waktu yang lama, tetapi
disebabkan hal lain yang merupakan waku
paling dekat dengan kematiannya.

5. ‫ ِري ِْم‬WWْ‫ َّدلِ ْي ُل َعلَى التَّح‬WW‫ ُد َّل ال‬WWَ‫ ةُ َحتَّى ي‬WW‫يَا ِء اإْل ِ بَا َح‬WW‫ ُل فِي اأْل َ ْش‬WW‫ص‬
ْ َ ‫( اأْل‬Hukum asal
segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamannya)
Misal:
1) Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang
tegas tentang keharamannya, maka hukumnya
boleh dimakan.
Dikalangan madzhab Hanafi ada pula ‫اأْل َصْ ُل فِي اأْل َ ْشيَا ِء‬
‫( ْال َحظَ ُر‬Hukum asal segala sesuatu adalah larangan[haram]).

5
Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqh
mu’amalah, sedangkan untuk fiqh ibadah digunakan kaidah
ْ ‫( اأْل َصْ ُل فِي ْال ِعبَ َد ِة ْالمب‬Hukum asal ibadah
‫ُطاَل نُ َحتَّى يَقُ َم ال َّدلِ ْي ُل َعلَى اأْل َ ْم ِر‬
mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang
memerintahkannya), kaidah ini semakna dengan ‫اَل ُح ْك ُم لِأْل َ ْف َعا ِل‬

ِ ْ‫( قَبْل ُورُوْ ِد ال َّشر‬Tidak ada hukum terhadap suatu perbuatan


‫ع‬
ُ ْ‫ْال َم ْش ُكو‬
sampai datangnya syari’ah) dan kaidah ‫ ِه اَل‬Wِ‫ك فِي ُوجُوْ ب‬
ُ‫( يَ ِجبُ فِ ْعلُه‬Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka
tidak wajib dilakukan)

6. ‫باليَقِي ِْن ِم ْثلِ ِه‬


ْ ‫( ْاليَقِنُ يُ َزا ُل‬Apa yang yakin bisa hilang karena adanya
bukti yang meyakinkan pula)
Misal:
1) Kita berpraduka tidak bersalah kepada
seseorang, tetapi kemudian ternyata orang
tersebut tertangkap sedang melakukan
kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah
dan harus dihukum.
2) Si A berhutang kepada si B, tetapi kemudian ada
bukti bahwa si A telah membayar utangnya
kepada si B, misalnya ada kuitansi yang
ditandatangani si B yang menyatakan bahwa
hutang A sudah lunas. Maka, si A yang tadinya
berhutang, sekarang sudah bebas dari
hutangnya.

7. ‫ ُع إِاَّل يَقِ ْي ٍن‬WWَ‫اثَبَتَ يَقِ ْي ٍن اَل يُرْ تَف‬WW‫( أَ ْن َم‬Apa yang ditetapkan atas dasar
keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang
meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam
keadaan thowaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya

6
putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan
adalah jumlah yang kelima.
Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan,
apabila seseorang itu ragu, maka bilangan yang terkecil
itulah yang meyakinkan.

8. ُ‫ة‬Wَ‫ ُل فِي ْالكَاَل ِم ال َحقِ ْيق‬W‫ص‬


ْ َ ‫( اأْل‬Hukum asal dari suatu kalimat adalah
arti yang sebenarnya)
Kaidah teresebut lebih dekat dimasukkan ke dalam
kelompok kaidah ushul daripada kaidah fiqh. Alasannya,
kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan. Sedangkan
kaidah-kaidah bahasa berhubungan erat dengan arti yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Misal:
1) Apabila seseorang berkata:”Saya mau
mewakafkan harta saya kepada anak Kyai
Ahmad”. Maka anak dalam kalimat tersebut
adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak
pungut dan bukan pula cucu. Demikian pula
kata-kata hibah, jual beli, sewa-menyewa, gadai
dan lain-lainnya di dalam akad harus diartikan
dahulu dengan arti kata yang sebenarnya, bukan
arti kiasannya.

9. ‫ ِر ْي ُم‬WWWْ‫اع التَّح‬ َ ‫ ُل فِي اأْل َب‬WWW‫ص‬


ِ WWW‫ْض‬ ْ َ ‫( اأْل‬Hukum asal bersenggama adalah
haram)
Persoalan lain yang menurut fikih (Islam) memiliki
hukum asal haram adalah melakukan persetubuhan
(senggama). Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan
dasar melakukan persetubuhan dengan perempuan adalah

7
haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya bisa
menghalalkannya, yakni pernikahan.
Misal:
1) Arfan ragu mengenai sah tidaknya akad nikahnya
dengan Ani. Karena Arfan meragukan salah satu
dari syarat nikah, maka ia tidak boleh
berhubungan badan dengan Ani. Sebab, hukum
asal melakukan hubungan badan adalah haram.

Qadhi Abd al-Wahhab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi


yang berhubuingan dengan “Al Yaqin la Yuzal bi al-Syak”, yakni
sebagai berikut:

ْ َ‫الظَّنِّ الَّ ِذي ي‬WWWِ‫ َرةُ ب‬WWWْ‫( اَل ِعب‬Tidak dianggap [diakui],
10. ُ‫ا ُءه‬WWWَ‫ ُر خَ ط‬WWWَ‫ظه‬
persangkaan yang jelas salahnya)
Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya
kepada kreditor, kemudian wakil debitor atau
penanggungjawabnya membayar lagi uang debitor atas
sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor, maka
wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta
dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena
pembayarannya dilakukan atas dasar prasangka yang jelas
salahnya.

11. ‫( اَل ِعب َْرةُ لِلتَّ َو ُّه ِم‬Tidak diakui adanya wahan[kira-kira])
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam zhann
yang salah itu persangkaannya. Sedangkan dalam wahann,
yangsalah itu zatnya. Apabila seseorang meningal dengan
meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan
dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli waris yang
dikira-kira.

8
C. Dalil landasan yang mendukung adanya kaidah Al-Yaqin La
Yuzalu bi Al-syak
1. Firman Allah SWT
Artinya: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang
yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. 4
Seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan
Allah dan mengharamkan apa-apa yang telah Dihalalkan Allah,
menyatakan bahwa Allah mempunyai anak.
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali
persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun
berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka kerjakan”.5
Artinya: “Ingatlah, Sesungguhnya kepunyaan Allah semua
yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. dan orang-orang
yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti
(suatu keyakinan). mereka tidak mengikuti kecuali prasangka
belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga”.6
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan
orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang”.7

4
Surat Al-An’am: 116.
5
Surat Yunus: 36.
6
Surat Yunus: 66.
7
Surat Al-Hujurat: 12.

9
Artinya: “Dan mereka tidak mempunyai sesuatu
pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah
sedikitpun terhadap kebenaran”.8

2. Hadits Rasulullah SAW


Artinya: “Hadits Ibad Bin Tamim dari pamannya yang
mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa ada seseorang telah
mendapatkan sesuatu saat melakukan shalat. Kemudian Rasulullah
SAW bersabda: “dia tidak boleh shalat atau juga tidak boleh
membatalkan shalatnya sampai dia mendengar suara atau
mendapatkan bau (kentut)”.9
Artinya: “Hadits Abi Said Al-Khudri berkata, bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda: “jika salah seorang dari kamu ragu
dalam shalatnya maka buanglah keragu-raguan dan condongkan
kepada kepastian, apabila telah yakin shalatnya sempurna maka
segeralah melakukan sujud (sahwi) dua kali, maka jika shalatnya
sempurna rakaat yang diulangnya tadi dan dua kali sujud yang
dilakukaknnya terhitung sebagai sunnah, akan tetapi jika rakaat
shalatnya kurang maka rakaat yang belum dilakukannya terhitung
sempurna shalatnya, dan dua kali sujud yang dilakukannya tadi
untuk menjauhkan dari godaan setan”.10
Artinya: “Hadits Abi Hurairah berkata: bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda: “apabila seorang dari kamu
mendapatkan sesuatu didalam perutnya, kemudian ragu apakah
telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah

8
Surat An-Najm: 28.
9
Hadist riwayat Imam Bukhari, Shahih Bukhari, juz 1 hal. 64. Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1 hal.
276. Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz 1 hal. 45.
10
Hadist riwayat Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1 hal. 400. Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud,
juz 1 hal. 269. Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz 1 hal. 382. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, juz 3
hal. 83.

10
keluar dari masjid (membatalkan shalatnya) sampai dia mendengar
suara atau mendapatkan bau (kentut)”.11

Imam An-Nawawi berkomentar terhadap hadits diatas: “hadits


ini adalah pokok dari syariat Islam, sebuah pondasi kuat dari tegaknya
kaidah-kaidah fiqih. Maksudnya adalah segala sesuatu diberi beban
hukum atas dasar keberlangsungannya dengan menggunakan pokok-
pokok ajaran Islam secara yakin dan pasti serta tidak ada keraguan yang
mengganggu pikirannya. Dari hadits diatas tersurat adanya seseorang
yang yakin dia dalam keadaan suci akan tetapi terdetik dalam hatinya
keraguan dia ber”hadats”, maka yang diunggulkan adalah dia masih
dalam keadaan bersuci sampai datang bukti yang menyebutkan dia
sudah ber”hadats”.12

3. Ijma’
Ulama telah bersepakat tentang adanya pengamalan kaidah
‫ اليقين ال يزول بالشك‬ini. Imam Al-Qarafi menyatakan: “dalam kaidah
ini seluruh ulama sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan
kita harus selalu mempelajarinya”.13
Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan kepada setiap umat
Islam untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti dan membuang
keragu-raguan, sehingga seakan-akan ulama telah sepakat tentang
keberadaan kaidah, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam
prosedur tata laksana kaidah ini”.14
Imam Abu Bakar As-Sarkhasi menyatakan: “berpegang
teguh pada sesuatu yang pasti dan tetap dan meninggalkan keragu-
raguan merupakan pokok ajaran syariat Islam”.15

11
Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1 hal. 276. Imam At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz 1 hal. 109.
Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz 1 hal. 45. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, juz 2 hal. 414.
12
Imam An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, juz 2 hal. 414.
13
Al-Qarafi, Al-Furuq, juz 1 hal. 111.
14
Daqiq Al-‘Id, Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘umdat Al-Ahkam, juz 1 hal. 78.
15
As-Sarkhasi, Usul As-Sarkhasi, juz 2 hal. 116.

11
4. Dalil Aqli
Sudah dipastikan bahwa sesuatu yang pasti itu lebih kuat
kedudukannya daripada sesuatu yang meragukan dan
membingungkan, karena sesuatu yang pasti selalu bersifat tetap
dan dapat dibuktikan dengan menggunakan alat bukti yang sah,
dan sesuatu yang meragukan selali bersifat membingungkan dan
penuh dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan
datang dikemudian hari. Syaikh Musthafa Az-Zarqa menyatakan:
“sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada sesuatu
yang meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti
itu mempunyai kedudukan hukum yang kuat dan bersifat pasti, dan
jika ada keragu-raguan yang tiba-tiba datang maka tidak bisa
menghapus hukum yang bersifat psti tersebut”.16

16
Musthafa Ahmad Az-Zarqa, Al-madkhal Al-Fiqh Al-‘Am, juz 2 hal. 981.

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak (Keyakinan tidak bisa dihapus dengan


keraguan) memiliki dua kata dasar yang utama yakni al-Yaqin yang berarti
pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan al-Syakk bisa
diartikan sesuatu yang membingungkan.
Sedangkan Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi
al-Syak dibagi menjadi sebagai berikut :
1. َ‫ان‬WW‫انَ َعلَى َما َك‬WW‫ا ُء َما َك‬WW‫ ُل بَق‬WW‫ضص‬
ْ ‫( اأْل‬Asal itu tetap sebagaimana semula
bagaimanapun keberadaannya)
ْ َ ‫( أْل‬Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari
2. ‫ َر َءةُ ال ِذ َّم ِة‬WWWَ‫ ُل ب‬WWW‫ص‬
tanggung jawab)
3. ‫( اأْل َصْ ُل ْال َع َد ُم‬Hukum asal adalah ketiadaan)
4. ‫أ ِن‬WW‫ ِّد ُرهُ بِأ َ ْق َربِال َّز َم‬Wَ‫ث تَق‬
ِ ‫( اأْل َصْ ُل فِي ُك ِّل َحا ِد‬Asal setiap kejadian dilihat dari
waktu yang terdekat)
5. ‫ ِري ِْم‬Wْ‫ َّدلِ ْي ُل َعلَى التَّح‬W‫ ُد َّل ال‬Wَ‫ ةُ َحتَّى ي‬W‫يَا ِء اإْل ِ بَا َح‬W‫ ُل فِي اأْل َ ْش‬W‫ص‬
ْ َ ‫( اأْل‬Hukum asal segala
sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya)
6. ‫باليَقِي ِْن ِم ْثلِ ِه‬
ْ ‫( ْاليَقِنُ يُ َزا ُل‬Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti
yang meyakinkan pula)
7. ‫ ُع إِاَّل يَقِ ْي ٍن‬WWWWَ‫اثَبَتَ يَقِ ْي ٍن اَل يُرْ تَف‬WWWW‫( أَ ْن َم‬Apa yang ditetapkan atas dasar
keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
8. ُ‫ة‬W َ‫ ُل فِي ْالكَاَل ِم ال َحقِ ْيق‬W ‫ص‬
ْ َ ‫( اأْل‬Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti
yang sebenarnya)
9. ‫اع التَّحْ ِر ْي ُم‬ َ ‫( اأْل َصْ ُل فِي اأْل َب‬Hukum asal bersenggama adalah haram)
ِ ‫ْض‬
ْ َ‫( اَل ِع ْب َرةُ بِالظَّنِّ الَّ ِذي ي‬Tidak dianggap [diakui], persangkaan
10. ُ‫ا ُءه‬WWَ‫ ُر خَ ط‬Wَ‫ظه‬
yang jelas salahnya)
11. ‫( اَل ِع ْب َرةُ لِلتَّ َوهُّ ِم‬Tidak diakui adanya wahan[kira-kira])

13

Anda mungkin juga menyukai