Anda di halaman 1dari 20

BAB II

PEMBAHASAN
KAIDAH AL-YAQIN LA YUZALU BI AS-SYAK

A. Definisi

1. Al-Yaqin

1.) Menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya. Ulama
sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan
anonim dari Asy-Syakk.
2.) As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat
dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
2. Asy-Syakk
1) Menurut kebahasaan berarti: anonim dari Al-Yaqin. Juga bisa diartikan sesuatu yang
membingungkan.
2) Menurut istilah:
a. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu
(meragukan) antara ada atau tidak ada”.1

Sedangkan yang dimaksud tidak hilang” (La yuzhalu) bukan berarti keyakinan itu
sendiri yang sirna, sebab hal itu mustahil terjadi melainkan hukum yang telah
terbangun berdasarkan keyakinan itulah yang tidak akan hilang.2

Jadi kesimpulannya, definisi al-yaqin la yuzalu bi as-syak adalah apabila seseorang


telah meyakini sesuatu perkara maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan
dengan yang keraguan. 3

1
Ailif Pardianzyah, “Makalah Al Yakin La Yuzalu Bi Syak”, Slideshare,
http://www.slideshare.net/ailifpardianzyah/makalah-al-yakin-la-yuzalu-bi-syak?related=1, 28 Oktober 2014 pukul
16:15
2
Dede Imas Masruroh, “Kaidah Al-Yaqin La Yuzalu bi Al-Syak”, Rusunawa blog pendidikan dan pendidikan,
http://rusunawablog.wordpress.com/2014/04/23/kaidah-al-yaqin-la-yuzalu-bi-al-syak/, 30 Oktober 2014 pukul
11:04
3
A. Mu’in dkk, Ushul Fiqh II, Jakarta, Departemen Agama, 1986, hlm 195
B. Landasan Hukum

‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى هَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِإَذ ا َو َج َد َأَح ُد ُك ْم ِفي َبْطِن ِه َش ْيًئا‬
‫َفَأْش َك َل َع َلْيِه َأَخ َر َج ِم ْنُه َش ْي ٌء َأْم اَل َفاَل َيْخ ُر َج َّن ِم َن اْلَم ْس ِج ِد َح َّتى َيْس َم َع َص ْو ًتا َأْو َيِج َد ِر يًحا‬
Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian
merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar
sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia
mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).

‫َع ْن َأِبي َسِع يٍد اْلُخ ْد ِر ِّي َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَذ ا َشَّك َأَح ُد ُك ْم ِفي َص اَل ِتِه‬
‫َفَلْم َيْد ِر َك ْم َص َّلى َثاَل ًثا َأْم َأْر َبًعا َفْلَيْطَر ِح الَّش َّك َو ْلَيْبِن َع َلى َم ا اْسَتْيَقَن ُثَّم َيْسُج ُد َس ْج َد َتْيِن َقْبَل‬
‫َأْن ُيَس ِّلَم َفِإْن َك اَن َص َّلى َخ ْم ًسا َش َفْع َن َلُه َص اَل َتُه َو ِإْن َك اَن َص َّلى ِإْتَم اًم ا َأِلْر َبٍع َكاَنَت ا َتْر ِغ يًم ا‬
‫ِللَّش ْيَطاِن‬
“Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang
diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa
rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan
lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia
itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan jikalau
ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.”
(HR. Muslim)4

C. Turunan Kaidah

‫اَأْلْص ُل َبَقاُء َم ا َك اَن َع َلى َم ا َك ا‬


4
Ailif Pardianzyah, “Makalah Al Yakin La Yuzalu Bi Syak”, Slideshare,
http://www.slideshare.net/ailifpardianzyah/makalah-al-yakin-la-yuzalu-bi-syak?related=1, 28 Oktober 2014 pukul
16:15
1.

“Menurut dasar yang asli memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang
ada sekarang”
Contoh :
a. Ketika bulan ramadhan seseorang ragu pada saat makan sahur apakah sudah
memasuki waktu fajar atau belum. Puasa orang tersebut pada pagi harinya dihukumi
sah. Karena dasar aslinya keadaan waktunya masih malam, bukan waktu fajar.
b. Pembeli radio menggugat kepada penjual karena radio yang dibeli dari penjual
tersebut pada saat dirumah tidak dapat digunakan. Gugatan pembeli dikalahkan
karena menurut asalnya radio yang dijual ditetapkan dalm keadaan baik.
2.
‫اَأْلْص ُل َبَر اَء ُة الِّذ َّم ة‬

“Menurut dasar yang asli tiada tanggung jawab”


Contoh :
a. Jika ada orang yang memberi hadiah kepada orang lain namun dengan persyaratan,
dan ada perselisihan tentang persyaratan/penggantian tersebut, maka yang
dibenarkan adalah perkataan yang menerima hadiah.
b. Dalam hal kerusakan barang, dan terjadi perbedaan nilai kerusakan barang itu maka
yang dimenangkan adalah orang yang dirugikan. Sebab menurut asalnya ia tidak
dibebani tanggungan tambahan.
3.
‫اَأْلْص ُل اْلَعدم‬

“Menurut dasar yang asli ketiadaan sesuatu”


Contoh :
a. Orang yang berhutang kepada orang lain, telah mengaku membayar hutangnya
dengan pengakuannya sendiri. Sedangkan orang yang menghutangi tidak mengakui
pengakuan tersebut. Maka dalam perselisihan ini dimenangkan oleh orang yang
menghutangi karena belum adanya pembayaran hutang yang meyakinkan dan
pengakuan pembayaran hutang masih diragukan.
b. Dalam kasus mudharabah, orang yang menjalankan modal orang lain melaporkan
belum mendapat keuntungan. Maka laporan itu, dibenarkan karena sejak diadakan
akad mudharabah belum ada keuntungsn. Dalam hal ini, belum memperoleh
keuntungan adalah nyata sedangkan keuntungan yang diharapkan belum pasti.
4.
‫اَأْلْص ُل ِفي اَأْلْش َياِء اِإْل َباَح ُة َح َّتى َيُد ُّل الَّد ِليُل َع َلى الَّتْح ِريم‬

“Asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjuk keharamannya”.
Contoh :
a. Binatang yang susah ditentukan keharamannya karena tidak terdapat sifat dan ciri
keharaman, maka binatang itu halal dimakan. Misalnya binatang jerapah dan gajah.
5.
‫اَأْلْص ُل ِفي ُك ِّل َح اِدِث َتَقِّد ُرُه ِبَأْقَر ِبالَّز َم أِن‬

“Asal setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat dengan


kejadiannya”
Contoh :
a. Seseorang mengambil wudhu di sumur, beberapa hari kemudian diketahui di dalam
sumur ada bangkai tikus, sehingga menjadikan keraguan. Dalam masalah ini, ia tidak
wajib mengganti shalat yang sudah dikerjakannya.
b. Seorang dokter mengoperasi pasien, operasi tersebut berhasil. Tetapi beberapa hari
kemudian, pasien tersebut meninggal. Dalam persoalan ini, dokter tidak dapat
diminta pertanggungjawaban kematien pasien karena ada kemungkinan kematiannya
ada hal lain yang mendekati peristiwa kematian.
6.
‫من شك افعل شيأ ام ال فاالصل انه لم يفعله‬

“Barang siapa ragu-ragu apakah ia mengerjakan sesuatu atau tidak, maka


menurut asalnya ia dianggap tidak melakukannya.”
Contoh :
a. Seseorang yang shalat dan ragu apakah ia sudah mengerjakan I’tidal atau belum.
Maka, shalatnya harus diulang karena dianggap tidak mengerjakan.
7.
‫من تيقن الفعل وشك في القليل اوالكثير حمل على القليل النهالمتيقن‬
“Barang siapa meyakinkan berbuat dan meragukan tentang banyak atau
sedikitnya, maka dibawanya kepada yang sedikit.”
Contoh :
a. Debitur yang berkewajiban mengangsur uang yang telah disetorkan kepada kreditur
apakah sudah 5 atau 6 kali maka dianggap baru mengangsur 5 kali. Karena yang
sedikit itulah yang sudah diyakini kepastiannya.
8.
‫اَأْلْص ُل ِفي اْلَكاَل ِم اْلَح ِقيَقة‬

“Menurut dasar yang asli dalam pembicaraan adalah yang hakiki.”


Contoh :
a. Si A bersumpah tidak akan membeli barang kepada si B, namun si A menyuruh si C
untuk membeli barang kepada si B. kejadian seperti itu tidak dapat dikatakan
melanggar sumpah.
b. Ketika seseorang telah mengatakan memberikan rumah kepada orang lain, arti
hakikat dari kata memberikan ialah memindahkan hak kepemillikan. Jika sang
pemberi rumah tersebut mengelak pemindahan hak milik dan dia menganggap rumah
tersebut hanya untuk ditempati. Maka, perkataan pemberi rumah tersebut tidak
dianggap atau tidak dihiraukan.5

5
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung, Al-Ma’arif, 1986, hlm
497-503
B. Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir

Al-Masyaqqah asal kata dari ‫ ُشَّقة – ُشَق ق‬menurut arti bahasa (etimologi) adalah al-
ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.6 Seperti terdapat dalam an Nahl.
QS. An-Nahl ayat 7:

Artinya : “Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sampai ke
tempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri (kesukaran)”

Maksud dari masyaqqah yang bisa menyebabkan kemudahan disini adalah yang bisa
menghilangkan tuntutan syar’i (takhlifat al-syar’iyah). Sedangkan masyaqqah yang tidak bisa
menghilangkan tuntutan syar’i contohnya merasa berat ketika menerima had, sakitnya razam
bagi pezina, hal seperti ini tidak berpengaruh dalam meringankan hukum syar’i.7
Sedangkan al-taisir asal kata ‫َي َّس َر‬- ‫ ُيَي ِّس ر‬secara bahasa berarti kemudahan atau
kelenturan, seperti di dalam hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan: 8
‫إن الد ين يسر‬
“Agama itu mudah, tidak memberatkan” (yusrun lawan dari kata ‘usyrun)
Dari definisi secara bahasa tersebut sudah bisa dipahami bahwa kesulitan dan kesukaran
bisa menjadi sebab kemudahan.9
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan.
Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan
kesukaran, maka syari’ah meringankannya sehingga mampu dilaksanakannya tanpa kesulitan
dan kesukaran.10

Macam-macam Masyaqqah
Al-Musyaqqah yang bersifat individual tidak menyebabkan keringanan. Contohnya bagi
si A mungkin masyaqqah tetapi bagi si B tidak terasa masyaqqah. Akan tetapi ada standar umum
yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam
pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudhu pada masa musim dingin, atau terasa berat puasa
pada masa musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. 11
Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam ketaatan
kepada Allah SWT. Sebab, apabila dibolehkan keringanan dalam masyaqqah tersebut

6
Tim, Kamus Al-Munir (Kamus Lengkap Arab-Indonesia), Surabaya: Kashiko, 2000. H. 302.
7
Ahmad Sudirman Abbas, h. 84.
8
Muhammad Ma’Shum Zein, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyah), Jawa Jombang: Al-
Syarifah Al-Khadijah, 2004. H. 54.
9
Abd al Aziz Muhammad ‘Azam, h.134.
10
Ibid
11
Ibid
menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan lalainya manusia
dalam melaksanakan ibadah.12
Masyaqqah menimbulkan hukum rukhsah pada kondisi darurat dan kebutuhan (hajat). 13
Dengan kaidah tersebut diharapkan dalam melaksanakan ibadah itu tidak ifrath (melampaui
batas) dan tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqqah ini
menjadi tiga tingkatan, yaitu:14
1. Al- Masyaqqah Al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat) atau bisa juga disebut
sebagai “kemudaratan”, seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/ atau rusaknya anggota
badan.
2. Al- Masyaqqah Al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga
tidak sangat ringan).
3. Al- Masyaqqah Al-Khafifah (kesulitan yang ringan).

Pengecualian dari kaidah tersebut adalah: pertama, kesulitan-kesulitan yang


diklasifikasikan kepada masyaqqah yang ringan. Kedua, kesulitan-kesulitan yang muncul,
memang satu risiko dalam suatu perbuatan, seperti lapar ketika puasa. Kesulitan semacam ini
tidak menyebabkan adanya keringanan kecuali bila kelaparan tadi membahayakan jiwanya. 15
Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh
macam, yaitu:16
1. Tahkfif isqath/ rukhsah isqath (pengguguran kewajiban).
2. Tahkfif tanqish (pengurangan beban kewajiban).
3. Tahkfif ibdal (penggantian).
4. Tahkfif taqdim (mendahulukan).
5. Tahkfif ta’khir (mengakhirkan).
6. Tahkfif tarkhis (darurat).
7. Tahkfif taghyir (merubah hukum).

C. Sumber Hukum
Kenyamanan dan kemudahan dalam syariah ini telah dipastikan dalam al-Qur’an maupun
hadist yang menjadi sumber hukum kaidah ini. Ayat-ayat ini saling melengkapi dan menguatkan
yang menunjukkan bahwa syariat Islam menginginkan hilangnya kesulitan dari umatnya. Prinsip
yang tersirat pada ayat-ayat dan hadist ini meniscayakan bahwa hukum-hukum syar’i tidak
pernah menuntut yang melewati batas kemampuan hamba-Nya.17
QS. Al Maidah: 6

12
Ahmad Sudirman Abbas, h. 84.
13
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001. H. 83.
14
A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah
yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007. H. 58-59.
15
Ibid.
16
Ahmad Sudirman Abbas, h. 102-104.
17
Ahmad Sudirman Abbas, h. 79.
Artinya: Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.
QS. Al Baqarah: 185

Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak meng-hendaki kesukaran bagi-mu.
Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.
QS. Al Baqarah: 286

Artinya : “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”

QS. An Nisaa : 28

Artinya : “Allah hendak memberi keringanan kepadamu karena manusia diciptakan


bersifat lemah”.

QS. Al Hajj : 78

Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”
Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa syari’ah Islam selamanya
menghilangkan kesulitan dari manusia dan tidak ada hukum Islam yang tidak bisa dilaksanakan
karena di luar kemampuan manusia yang memang sifatnya lemah. Demikianlah makna umum
yang bisa ditarik dari ayat-ayat di atas.
Sedangkan beberapa hadits yang menguatkan kaidah di atas antara lain:18

‫إن الدين عندهللا الحنفية السمحة‬


“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah yang ringan dan mudah”(HR. Al-Bukhari).

Ada juga yang mengartikan al-hanafiyah al-samhah dengan arti cenderung kepada
kebenaran dan mudah.

18
A. Djazuli, h. 59-60.
‫يسروا والتعسرواوبشرواوالتنفروا‬
“Mudahkanlah mereka dan jangan kamu menyulitkan dan gembirakanlah dan jangan
menyebabkan mereka lari”(HR. Bukhari)
Selain itu juga beliau bersabda :
“Berpeganglah, agama ini mudah, dan barangsiapa yang beragama melebihi kadarnya, maka
dia akan dicap berlebihan. Jadi, ambillah jalan tengah dan dekati kesempurnaan dan nikmatilak
kehidupan dengan baik”19
Hadist dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dan Imam Husain :20

“Kalian semua dihidupkan dalam keadaan dipermudah dan bukan dihidupkan dalam keadaan
dipersulit”.
Seluruh ayat dan hadist hadist diatas menjadi landasan kuat atas terbentuknya kaidah ini
beserta kaidah-kaidah furu’nya.

D. Kaidah mengenai Aturan Dalam Hal Rukshah (Keringanan)


1. Adh Dharurat Tubiihul Mahdzuuraat
Artinya, keadaan darurat membolehkan hal yang dilarang. Darurat dalam pengertian khusus
adalah suatu kepentingan esensial yang jika tidak dipenuhi dapat menyebabkan kesulitan yang
dahsyat yang menyebabkan kematian.21 Contohnya memakan daging babi bagi seorang yang
sekarat karena kelaparan dibolehkan atas dasar kebutuhan mendesak.
Darurat dalam pengertian umum merujuk pada suatu hal yang esensial untuk melindungi dan
menjaga tujuan-tujuan dasar syariah (maqasid syariah).
Syeikh Mustafa Zarqa22 dalam pandangannya tentang darurat memasukkan semua kasus
yang sangat sulit meskipun tidak membahayakan kehidupan atau harta. Sedangkan DR. Wahbah
Zuhayli23 juga cenderung berpegang pada pendapat darurat dalam interpretasi yang lebih luas,
yaitu darurat mengandung semua keadaan yang memerlukan keringan dari aturan syariah.24

19
Mansoori, Muhammad, hal 76.
20
Muhammad bin Ismail al Bukhari, h.15-16
21
Mansoori, Muhammad, hal 77.
22
Syeikh Mustafa Az-Zarqa dilahirkan di Aleppo, Syria pada 1904 daripada sebuah keluarga dengan
sejarah panjang dan kuat agama. Ayahnya bernama Ahmad al Zarqa. Mustafa Az Zarqa adalah seorang ahli fiqih
khususnya fiqih keuangan/bisnis, perbandingan fiqih dan ahli tata bahasa/sastra Arab. Diambil dari
http://www.arabnews.com/node/212596
23
Dr. Wahbah Zuhaili adalah seorang ulama fikih kontemporer dunia dan menguasai berbagai disiplin ilmu
yang lahir pada 6 Maret 1932 di Syiria dari seorang ayah yang shalih serta hafidz Qur’an (Syaikh Mustafa Zuhaili).
Sampai saat ini, Ulama’ besar asal Syiria ini telah menulis lebih dari 133 judul buku (termasuk diantaranya Tafsir al
Munir) dan 500-an karya dalam bentuk makalah ilmiah. Maka dari itu beliau dijuluki Imam Suyuthi kedua. Diambil
dari http://blog.umy.ac.id/syrama/2012/10/01/biografi-prof-dr-wahbah-az-zuhaili/
24
Mansoori, Muhammad, hal 79.
Syarat-syarat Keadaan Darurat
Para ulama fiqih telah memberikan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum
keringanan diambil atas dasar kebutuhan yang memaksa.
1. Darurat itu harus nyata, bukan spekulatif atau imajinatif. Sifat dan tingkat urgensitas
darirat ditentukan oleh hakim yang benar dan disertifikasi bukan oleh orang biasanya.
Contohnya, tidak dibenarkan mengambil bunga melalui pinjaman hutang ke bank karena
alasan perlindungan harta dibolehkan syariah.
2. Tidak ada solusi lain yang ditemukan untuk mengatasi kesulitan kecuali dengan
keringanan tersebut. Aturan ini berlaku saat tidak ada jalan lain untuk menghilangkan
kesulitan kecuali yang haram.
3. Solusi tidak boleh menyalahi hak-hak sakral yang memicu pembunuhan, pemurtadan,
perampasan harta, atau bersenang-senang sesama jenis. Contoh, tidak boleh membunuh
orang lain walaupun dibawah paksaan.
4. Harus ada justifikasi kuat untuk melakukan keringanan. Terpaksa mengkonsumsi
makanan haram/melakukan sesuatu yang haram. Keringanan ini dilakukan hanya sebatas
kadar yang menyelamatkan nyawa.
5. Merupakan satu-satunya solusi yang tersedia.

2. Adh Dharurat Tuqaddaru bi Qadariha - ‫الضرورات تقدر بقدرها‬


Artinya, keadaan darurat itu ditentukan oleh kadarnya. Contohnya adalah sita barang atau
pembekuan rekening yang dilakukan pemerintah/bank pada nasabah yang tidak membayar
hutang pribadi atau hutang institusi. Maka banyaknya barang yang disita/rekening yang
dibekukan senilai dengan hutangnya tersebut, dan tidak boleh lebih dari itu.

3. Al Idhtiraar laayubtilu haqqal ghairi - ‫االضطرار ال يبطل حق الغير‬


Artinya, darurat tidak meniadakan hak orang lain. Kaidah ini menegaskan bahwa kondisi
darurat tidak dapat menjadi sebab dan justifikasi untuk melanggar hak-hak orang lain. Misalnya
karena kelaparan maka seseorang mencuri makanan/barang orang lain. Maka dia bertanggung
jawab untuk mengembalikan/membayar ongkosnya di kemudian hari.
4. Al hajah tanzilu manzilah al-dharurah ‘ammaah awkhaashah
Artinya, suatu kebutuhan penting bisa dianggap atau disamakan dengan kebutuhan darurat,
baik kebutuhan penting yang berlaku umum maupun khusus.
Hajah Ammah adalah kebutuhan yang dihadapi oleh semua orang. Hajah khassah adalah
kebutuhan yang dihadapi komunitas tertentu atau orang dari profesi tertentu. Seperti contoh
kebutuhan asuransi pada muslim india seperti yang dijelaskan pada subbab aplikasi kaidah.25
Dalam kondisi riil, manusia akan selalu berhadapan pada 5 kondisi berikut yang memiliki
susunan prioritas kebutuhan sebagai berikut :26
25
Mansoori, Muhammad, hal 86.
26
Abi Bakr al-Ahdali al Yamaniy, seperti yang dikutip oleh Ahmad Sudirman Abbas, h. 117.
1. Kebutuhan darurat (adh dharuroh)
2. Kebutuhan penting (al Haajat)
3. Kebutuhan yang hanya berupa keinginan
4. Kebutuhan memperindah diri
5. Kebutuhan untuk berlebih-lebihan
Dispensasi yang diperbolehkan karena sebab hajat hanya bisa terjadi jika memenuhi syarat
berikut :
1. Ada dalil nash yang dijadikan justifikasi.
2. Atau harus ada kebiasaan interaksi ekonomi dimasyarakat yang menunjukkan adanya al-
hajat.
3. Atau tidak ada dalil yang melarangnya.
4. Paling tidak harus ada contoh kasus yang terjadi di dalam hukum syar’i yang bisa
digunakan untuk menyamakan (ilhaq).27
Kesimpulannya menurut pendapat imam al Haramain al Juwayni 28, suatu hajat ketika
bersifat kolektif dan umum dapat membuat hal yang diharamkan menjadi halal seperti darurat. 29
Kaidah-Kaidah Penyeimbang
Prinsip “kebutuhan yang sangat mendesak membuat yang haram menjadi halal” tidak
bersifat absolut atau tidak terbatas. Ada beberapa aturan penyeimbang yang membatasinya dan
tercantum pada kaidah-kaidah penyeimbang berikut :

‫إذا ضاق األمر إتسع و إذا إتسع ضاق‬


“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila suatu perkara
menjadi meluas maka hukumnya menyempit”
Kaidah tersebut terdiri dari 2 kaidah. Pertama, ‫ إذا ضاق األمر إتسع‬maksudnya adalah jawaban
atas kondisi sulit yang menyebabkan seorang boleh melakukan sesuatu yang semestinya tidak
boleh dalam kondisi normal. Kemudian kaidah kedua ‫ إذا إتسع ضاق‬maksudnya apabila kondisi

27
Abd al Aziz Muhammad Azam seperti yang dikutip oleh Ahmad Sudirman Abbas, h. 120.
28
al-Juwayni, Abu'l Ma'ali lahir di Persia tahun 1028-1085, adalah salah seorang ulama fikih, ahli ushul
fikih, ilmuwan, agamawan, pemuka masyarakat, dan teolog muslim yang seringkali membahas persoalan-persoalan
teologis secara mendalam, seperti persoalan fungsi akal dan wahyu, surga dan neraka, perbuatan manusia, dan lain-
lain. Dia dikenal sebagai pengikut aliran Sunni, dan uniknya, dalam komentar-komentarnya justru mengacu juga
pada pemikiran-pemikiran Mu'tazilah. Karena itulah dia disebut tokoh kontroversial yang membuat para intelektual
berbeda mengenai paham teologis yang dianutnya; sebagian menyebut dia berpaham Ahlussunnah wal Jama'ah
(baca: Asy'ariyah); sebagian ulama menyebutnya berpaham Mu'tazilah; dan sebagian yang lain menyebutkan bahwa
dia meniti jalan tengah antara paham Ahlussunnah wal Jama'ah dan Mu'tazilah, khususnya dalam konteks perbuatan
manusia, atau jalan tengah antara paham Jabariyah dan Qadariyah. http://www.muslimphilosophy.com/ip/rep/H050
dan http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Al-Haramain
29
Mansoori, Muhammad, hal 87.
pertama sudah kembali normal atau kesulitan sudah hilang maka tidak boleh melakukan sesuatu
yang dilakukan saat sulit, tapi harus kembali ke hukum asalnya.30

‫بزواله لعدر بطل ما جاز‬


Sesuatu yang dibolehkan karena ada alasannya, akan dilarang ketika alasan itu tidak ada.
Kaidah ini memiliki makna yang serupa dengan kaidag ‫إذا إتسع ضاق‬. Contohnya, pelarangan
yang berlaku pada orang yang berhutang akan hilang saat hutangnya lunas. Sholat dipesawat
boleh tayamum, setelah mendarat tidak boleh tayamum.

E. Aplikasi Kaidah
Berikut beberapa aturan dalam hukum islam dalam fiqih muamalat klasik dan modern yang
dibangun atas konsep darurat.31
1. Jika seseorang dan keluarganya menderita kelaparan dan tidak mendapat qardul hasan
untuk memenuhi kebutuhannya maka dia diperbolehkan memperoleh pinjaman hutang
dengan keuntungan yang ditetapkan di muka untuk orang yang meminjamkannya.
2. Seseorang yang diamanahkan untuk menjaga harta anak yatim karena keadaan darurat
diperbolehkan menggunakan harta anak yatim tersebut sampai pada kadar yang
diperlukan untuk melayani anak yatim pemilik harta tersebut.
3. Keputusan Islamic Fiqih academi of india atas bolehnya asuransi bagi muslim india.
Walaupun dasar hukum asuransi komersial adalah haram dengan pertimbangan
menghapus mudharat dan kesulitan serta menyelamatkan nyawa dan harta karena
faktanya komunitas muslim india seringkali ditakut –takuti dengan kerusuhan dan
penyerangan hingga menyebabkan kerugian seperti kehilangan harta dan nyawa.
4. Keputusan European Fiqh Council atas pembiayaan kredit untuk membeli rumah. Di
eropa, kaum muslimin umumnya tidak bisa beli rumah dengan kontan. Satu-satunya
pilihan membeli dengan cicilan berbunga. Sehingga the european fiqh council
membolehkan hal ini dengan syarat-syarat khusus. Pertama, rumah yang dibeli harus
untuk pembeli atau keluarga. Kedua, pembeli benar-benar tidak memiliki rumah yang
lain. Ketiga, pembeli benar-benar tidak memiliki kelebihan aset yang dapat menolongnya
untuk membeli rumah selain kredit.

Aplikasi Kaidah yang didasarkan atas Hajat Pada Transaksi Muamalah


1. Kontrak Salam
Kontrak salam adalah kontrak dimana pembeli membayar harganya dimuka dan
pengiriman barang ditunda hingga waktu yang ditentukan. Dengan kata lain, Bay’ salam
adalah transaksi jual beli dimana pembayaran di muka diberikan kepada penjual untuk
penyediaan barang dikemudian hari. Salam merupakan kontrak yang umum ditemukan
sebelum periode Rasulullah.
30
Wahbah al Zuhayli seperti yang dikutip oleh Ahmad Sudirman Abbas, h. 106.
31
Mansoori, Muhammad, hal 82-83.
Alasan Rasulullah mengijikan praktik salam dengan beberapa syarat adalah
karena kebutuhan yang dihadapi petani dan pedagang. Sesuai prinsip, penjual suatu
komoditi yang tidak dimiliki penjual tidak diperbolehkan. Praktek salam dilegalkan
sebagai pengecualian karena kebutuhan petani dan produsen terhadap uang/modal untuk
mengolah tanaman mereka.
2. Kontrak Istisna
Dalam kontrak ini seorang produsen setuju untuk memproduksi produk tertentu
dengan karakteristik tertentu yang disepakati sebelumnya.
Sama seperti salam, istisna juga suatu kontrak atas barang yang tidak ada keberadaannya.
Tapi kontrak ini diperbolehkan oleh ulama fiqih dengan alasan kebutuhan umum
masyarakat.
Diantara syarat-syarat istisna yang harus dipenuhi adalah harus jelasnya dan
terpenuhinya spesifikasi jenis, bentuk, kualitas, kuantitas, dan time delivery-nya. Tidak
seperti salam, pembayaran dimuka pada kontrak istisna tidak harus.
Istisna saat ini banyak digunakan untuk transaksi pembangunan rumah dan infrastruktur
perekonomian atau pesanan-pesanan khusus lainnya.

3. Ijarah (Sewa Menyewa)


Maksudnya adalah transaksi atas jasa dengan ongkos, biaya, yang kadar keduanya
telah disepakati.32 Sedangngkan dalam e-Book Kamus Ekonomi Syariah, Ijarah adalah
perjanjian sewa-menyewa suatu barang dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa. 33
Dr. M Syafi’i Antonio mendefinisikan ijarah sebagai akad pemindahan hak guna atas
barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri.34
Pada dasarnya ijarah tidak boleh dalam konteks syar’i karena ijarah sama dengan
membeli sesuatu yang belum terwujud pada waktu transaksi. Karena ijarah adalah
kebutuhan masyarakat luas maka akad ijarah diperbolehkan.
Hal ini seperti yang dicontohkan pada QS. Al Baqarah : 233

‫َو اْلَو اِلَداُت ُيْر ِض ْع َن َأْو الَد ُهَّن َح ْو َلْيِن َك اِم َلْيِن ِلَم ْن َأَر اَد َأْن ُيِتَّم الَّر َض اَع َة َو َع َلى اْلَم ْو ُلوِد َلُه‬
‫ِر ْز ُقُهَّن َو ِكْس َو ُتُهَّن ِباْلَم ْعُروِف ال ُتَك َّلُف َنْفٌس ِإال ُو ْس َعَها ال ُتَض اَّر َو اِلَد ٌة ِبَو َلِد َها َو ال َم ْو ُلوٌد‬
‫َلُه ِبَو َلِدِه َو َع َلى اْلَو اِر ِث ِم ْثُل َذ ِلَك َفِإْن َأَر اَدا ِفَص اال َع ْن َتَر اٍض ِم ْنُهَم ا َو َتَش اُو ٍر َفال ُجَناَح‬
‫َع َلْيِهَم ا َو ِإْن َأَر ْد ُتْم َأْن َتْسَتْر ِض ُعوا َأْو الَد ُك ْم َفال ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َس َّلْم ُتْم َم ا آَتْيُتْم ِباْلَم ْعُروِف‬
‫َو اَّتُقوا َهَّللا َو اْع َلُم وا َأَّن َهَّللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َبِص يٌر‬
Artinya :
32
Jalaluddin al-Mahali, Syarh al Mahali ‘ala minhaj al Thalibin li Nawawiy seperti dikutip Mansoori,
Muhammad, hal 121.
33
Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, e-Book Kamus Ekonomi Syariah.
34
M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkiyah Institute, 1999),
hal 155.
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula
seorang ayah menderita karena anaknya. Ahli waris pun berkewajiban seperti itu pula.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan persetujuan dan
permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

4. Bai’ al ‘Araya
Bay’ al-araya ialah menjual rutab (buah kurma mengkal) dengan tamar (kurma
yang masak). Dari Jabir ra dia berkata : Nabi saw telah melarang menjual buah sebelum
ia masak dan tak boleh menjual sesuatu pun melainkan dengan dinar dan dirham kecuali
penjualan araya.35
Bay’ al-araya dibolehkan oleh Nabi saw karena menjaga kepentingan kaum
miskin. Penjualan dihitung berdasarkan sa '. Satu sa’ korma kering sama dengan satu sa’
korma basah.
Shahibul Mubdi’ (4/140) mendefinisikan jual beli ‘araya dengan menjual korma
basah yang masih ada di pohon korma dengan korma kering secara perkiraan kurang dari
lima wasaq. Hal itu dibolehkan bagi orang yang ingin sekali memakan korma basah dan
tidak memiliki uang untuk membelinya.36

5. Qard (Pinjaman/Utang Piutang)


Secara etimologis qard merupakan bentuk masdar dari qaradha – yaqridu, yang
berarti memutuskan. Secara terminologis qard adalah memberikan harta kepada orang
yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. 37 Dalam
literatur fiqih Salaf as Shalih, qardh dikategorikan dalam aqad ta’awun atau akad saling
membantu dan bukan transaksi komersial.38
Fatwa-fatwa DSN atas produk-produk perbankan syariah berbasis akad qardh,
mencakup antara lain fatwa nomor 26, 29, dan 31 tahun 2002 terkait gadai emas, talangan
haji, dan pengalihan utang, serta fatwa nomor 54 tahun 2006 tentang syariah card. DSN
bukannya tidak tahu atas kemungkinan riba pada produk berbasis pinjaman ini. Mereka
sesungguhnya telah mengantisipasi agar produk itu tidak terjatuh pada riba melalui

35
http://www.slideshare.net/ssuserb3ab4a/muamalat-wahidah
36
http://alsofwah.or.id/cetakkajian.php?id=2443&idjudul=1
37
Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, seperti yang dikutip Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah,
(Kencana, Jakarta, 2003), hal.334.
38
Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis, ( Jakarta: Kencana
Media Group, 2010), hal 58.
fatwa-fatwa tersebut dengan mengatur bahwa jasa yang diberikan oleh bank dan tarifnya
tidak boleh dikaitkan dengan pinjaman yang diberikan.39
Qard dibutuhkan oleh kebanyakan masyarakat karena :40
1. Sebagai dana talangan untuk jangka waktu singkat, maka nasabah akan
mengembalikannya dengan cepat.
2. Sebagai fasilitas untuk memperoleh dana cepat karena nasabah tidak bisa menarik
dananya, misalnya karena tersimpan dalam deposito.
3. Diperlukan untuk membentuk usaha kecil dan keperluan sosial (qardh al hasan).
Saat ini bank syariah memiliki beberapa variasi produk yang menggunakan akad
pinjaman (qardh), seperti talangan haji, gadai emas syariah, anjak piutang, dan kartu
kredit syariah. Pada produk-produk ini, bank syariah memperoleh penghasilan atas jasa
yang mereka berikan pada nasabah. Pada produk talangan haji, bank syariah memberikan
jasa pengurusan haji. Pada gadai emas syariah, bank syariah memberikan jasa titipan
barang gadai. Pada kartu kredit syariah, bank syariah memberikan jasa pembayaran ke
merchant.41
Adapun yang menjadi dasar hukumnya pelaksanaan akad Qard adalah sebagai
berikut:
QS. al-Baqarah, ayat 280

Artinya:
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

A. Pengetian adh-Dhararu Yuzalu


‫ُل‬ ‫ا‬ ‫َز‬‫َرُرُي‬ ‫ُّض‬ ‫ل‬‫َا‬
“Kemudharatan harus dihilangkan.”
Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang
menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan..[1] Dharar (‫)ُّض َر ر‬
secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun
tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para
ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar
sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Hal seperti ini memperbolehkan ia
melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas-batas tertentu.

39
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/paradoks-pembiayaan-syariah-berakad-qardh/
40
A. Djazuli, hal. 130.
41
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/paradoks-pembiayaan-syariah-berakad-qardh/
2. Abu Bakar Al Jashas[2], mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan
seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya
karena ia tidak makan”.
3. Menurut Ad Dardiri[3], “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan
yang teramat sangat”.
4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri
dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5. Menurut imam As Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris
binasa.

Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan
maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

Konsepsi kaidah memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari


idhrar (tidak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak
semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[4]

B. Perbedaan antara Masyaqot dengan Darurat

Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang
sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan,
Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak
diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang
dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan keringanan
masyaqqot dan penghapusan madharat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan
manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan (Wahbah az-
Zuhaili, 1982:218).[5]

C. Landasan Kaidah adh-Dhararu Yuzalu

Kaidah ini didasarkan kepada nash-nash Al-Qur’an dan hadits[6] sebagi berikut :

‫ب ِّم َن ٱۡل ُم ۡح ِس ِنيَن‬ٞ‫َو اَل ُتۡف ِس ُدوْا ِفي ٱَأۡلۡر ِض َبۡع َد ِإۡص َٰل ِحَها َو ٱۡد ُعوُه َخ ۡو ٗف ا َو َطَم ًعۚا ِإَّن َر ۡح َم َت ٱِهَّلل َقِر ي‬
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang
yang berbuat baik.” (al-A’raf: 56)
‫إن هللا اليحّب المفسدين‬
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-
Qashash: 77)
‫وال تمسكوهن ضرارا لتعتدوا‬
“Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan.”(al-Baqarah: 231)
Hadits yang menjadi dalil keberadaan kaidah adh-Dhararu Yuzalu adalah:
‫َالَضَر َر َو َالِضَر اَر‬
“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan pada orang lain.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

D. Macam-macam adh-Dhararu Yuzalu

a. ]7[ ‫الَّضَرُر َالُيَز اُل ِبالَّضَر ِر‬


Artinya “Kemudharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.”
Maksud kaidah ini adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan
kemudharatan lain yang sebanding keadaannya.
Contoh:
a. Kasus tidak bolehnya orang tua membunuh anaknya hanya karena takut kelaparan
b. Tidak dibolehkan seorang yang kelaparan memakan makanan seorang yang sama
dalam keadaan lapar juga.

b. ]8[‫َالَّضُر وَر ات ُتِبْيُع اْلَم ْح ُظْو َر اِت‬


Artinya “Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.” Kaidah ini dapat
disimpulkan, bahwa dalam keadaan (sangat) terpaksa, maka orang diizinkan melakukan
perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin
akan menimbulkan suatu kemadhorotan pada dirinya.
Tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu
dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan
itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya.
Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali jika ia tidak makan maka dapat
mengancam dirinya atau ia bisa mati, namun yang ada disana hanya babi hutan maka babi
hutan itu boleh dimakan sebatas keprluannya.
Di kalangan ushul fiqih yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan
seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b. Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Contoh:
a. Kasus kelaparan dan ia sedang menemukan makanan bangkai, jika tidak dimakan ia
akan mati, maka baginya boleh memakannya.

c. ]9[‫َم اُأِبْيُح ِللَّضُرْو َرِة ُيَقَّد ُر ِبَقَد ِر َها‬


Artinya “Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi dharurot harus
disesuaikan menurut batasan yang ukuran yang dibutuhkan dhorurot tersebut.”
Maksudnya sesuatu yang asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran keadaan yang
memaksa (dhorurot), harus disesuaikan dengan kadar ukuran dhorurot yang sedang
dideritanya, dan tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya atau seenaknya saja, sebab kaidah
ini memberikan batasan pada kemutlakan kaidah adh-Dharurotu Tubihu al-Mahdzurot.
Contoh:
a. Orang yang haus sekali dan tidak ada minuman kecuali khamr (minuman keras),
maka baginya boleh meminumnya, tetapi hanya sekedar untuk mempertahankan
hidupnya yang sedang terancam lantaran kehausan. Akan tetapi jika hausnya telah hilang,
maka hukumnya kembali pada asal, yaitu haram.

d. ]10[‫الَح ا َج ُة َتْنِزُل َم ْنِز َلَة الَّضُر وَرِة َعاَّم ًةَك اَنْت َأْو َخ اَّص ًة‬
Artinya “Kebutuhan itu terkadang disetarakan dengan kondisi darurat, baik kebutuhan
umum atau khusus.” Maksudnya ialah kebutuhan terkadang menempati posisi
kemadlaratan, baik secara umum maupun khusus, yakni dalam artian hajat (kebutuhan)
yang dalam kondisi tertentu bisa menjadi salah satu hal yang pada awalnya dilarang,
kemudian berubah menjadi suatu hal yang diperbolehkan untuk dikerjakan.
Contoh:
a. Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi mengurangi
kecelakaan lalu lintas dikarenakan sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah
berencana akan membongkar sebagian rumah warga. Dalam hal ini hal tersebut
dibolehkan karena demi kepentingan orang banyak.

e. ]11[‫ِاَذ ا َتَعا َر َض اْلُم ْفِس َدَتاِن ُرْو ِع َي َاْع َظُم ُهَم ا َضَر ًر ا ِباْر ِتَك اِب َاَخ ِّفِهَم ا‬
Artinya “Jika ada dua bahaya berkumpul, maka yang dihindari adalah bahaya yang lebih
besar dengan mengerjakan yang bahayanya lebih ringan.” Maksud ialah jika ditemukan
adanya pertentangan antara dua macam madlarat, maka yang harus diperhatikan adalah
mana yang lebih besar bahayanya dengan melakukan yang lebih ringan. Jadi, jika pada
suatu saat terjadi secara bersamaan dua bahaya atau lebih, maka yang harus diteliti adalah
mafsadah mana yang bobot nilainya lebih kecil dan lebih ringan efek sampingnya,
sehingga yang lebih besar ditinggalkan dan yang lebih ringan dikerjakan.
Contoh:
a. Membedah perut wanita yang sedang hamil, jika masih ada harapan bayi yang ada di
dalamnya hidup, maka hukum membedah adalah boleh.
b. Diperbolehkannya bagi seorang yang dalam keadaan dharurot mengambil makanan
seorang yang tidak dalam keadaan dharurot karena terpaksa.

f. ]12[‫َدْر ُء اْلَم َفا ِس ِد ُم َقَّد ٌم َع َلى َج ْلِب اْلَم َص اِلِح‬


Artinya “Mencegah bahaya itu lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan.”
Maksudnya ketika dalam realitas ditemukan adanya bahaya dan kebaikan berkumpul
dalam satu kasus, maka yang harus diprioritaskan lebih dahulu adalah menangkal bahaya
dengan mengabaikan kebaikan. Artinya hal-hal yang dilarang dan membahayakan itu
lebih utama ditangkal daripada berusaha meraih kebaikan dengan cara menjalankan
perintah keagamaan, sementara disisi lain dibiarkan terjadinya kerusakan.
Contoh:
a. Diperbolehkannya meninggalkan shalat jum’at atau shalat jamaah karena adanya
faktor sakit.

DAFTAR PUSTAKA
A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007.
Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, seperti yang dikutip Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi
Syariah, (Kencana, Jakarta, 2003).
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaidh Fiqhiyah: Dalam perspektif Fiqih, Pedoman Ilmu
Jaya, Jakarta, 2004.
http://alsofwah.or.id/cetakkajian.php?id=2443&idjudul=1
http://blog.umy.ac.id/syrama/2012/10/01/biografi-prof-dr-wahbah-az-zuhaili/
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Al-Haramain
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/paradoks-pembiayaan-syariah-berakad-qardh/
http://www.arabnews.com/node/212596
http://www.muslimphilosophy.com/ip/rep/H050
http://www.slideshare.net/ssuserb3ab4a/muamalat-wahidah
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
Mansoori, Muhammad, Kaidah-kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, Ulil Albab
Institute, Bogor, 2010.
Muhammad Ma’Shum Zein, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyah), Jawa
Jombang: Al-Syarifah Al-Khadijah, 2004.
M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkiyah
Institute, 1999).
Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis, ( Jakarta:
Kencana), 2001.
Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, e-Book Kamus Ekonomi Syariah. Media Group,
2010), hal 58.
Tim, Kamus Al-Munir (Kamus Lengkap Arab-Indonesia), Surabaya: Kashiko, 2000.

Anda mungkin juga menyukai