1
Duski Ibrahim, Al-Qowa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih) (Palembang: Perpustakaan Nasional
Katalog dalam Terbita, 2018), hlm. 47.
kalua ada perjanjian-perjanjian tertentu sebelum men/jadi transaksi jual beli,
umpamanya perjanjian garansi.2
2
Ibid., hlm 58
3
Ibid., hlm 71
sekedar menutupi kelaparannya, tidak dibenarkan sampai berlebih-leihan dan
terus-menerus. Sebab manakala ia telah kenyang maka alasan maka alasan
kebolehan memakan yang haram itu tidak ada lagi. Contoh lain penggunaan
vaksin imunisasi yang bercampur dengan benda najis boleh dilakukan oleh
dokter karena sangat penting untuk kesehatan, selama belum ada atau
kesulitan mencari yang tidak bercampur dengan najis. Demikian juga halnya,
seorang dokter laki-laki karena darurat yang harus mengobati pasien
perempuan, maka tidak diperbolehkan meneliti anggota tubuh yang tidak
perlu diobati.4
4
Ibid., hlm 83
5
Fathurrahman Azhari, Qowaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat, 2015) hlm. 248
Misalnya: Pak Ilham memberikan jasa tumpangan kepada pak Ibnu
sebagai balas budi karena pak Ibnu telah memberikan utang kepada pak
ilham, maka jasa tumpangan itu adalah riba. Contoh lain si A memberikan
utang kepada si B lalu tiba-tiba si B menghadiahkan jam tangan kepada si A
sebagai tanda terimakasih karena si A sudah memebrikan utang kepada si B.
maka hadiah yang diberikan tersebut dikategorikan sebagai riba.6
b) Qowa’id Ushuliyah
Berdasarkan QS. Ali-Imran ayat 130 dengan kalimat “La ta ‘kulu al-Riba”
maka al-Qowa’id al-Usuliyyah yang bisa digunakan:
النهي يدل على التحر مي
Contoh: kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya
niat, kalau kita tidak berteny dengan yang namanya niat berarti kita tidak
perna sholat begitu juga dengan yang lainnya seperti zakat, haji, dll. Kita pasti
6
Lukita Fahriana, JM. Muslimin, “Penerapan Qowa’id ao Usuliyyah dan Qowa’id al-Fiqhiyah dalam
Kasus Riba dan Bank Syariah”, Jurnal Kajian Interdisipliner Islam Indonesia, Vol 10, No. 2 (2020),
123
7
Ibid., hlm. 124
bertemu dengan yang namanya niat. Dasar kaidah para ulama ini mengambil
dari ayat al-Qur’an QS. Ali Imran:145 yang artinya: “Barang siapa yang
mengehendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala didunia
itu, dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, kami berikan pula
kepadanya pahala akhirat.”
Kaidah berikutnya:
الضرر يزال
Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak
yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai orang yang lewat
di bawahnya hingga ada yang harus dibawa kerumah sakit, maka dengan
beracuan kaidah ini pohon tersebut harus ditebang. Dasar kaidah ini beracuan
kepada nash Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 56, yang artinya: “Dan janganlah
kamu membuat kerusakan dibumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-
orang yang berbuat baik.
Daftar pustaka
BUKU:
Ibrahim D, Al-Qowa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih) (Palembang:
Perpustakaan Nasional Katalog dalam Terbita, 2018), hlm. 47.
Azhari, Qowaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat, 2015) hlm. 248
JURNAL:
Fahriana L, Muslimin, “Penerapan Qowa’id ao Usuliyyah dan Qowa’id al-Fiqhiyah
dalam Kasus Riba dan Bank Syariah”, Jurnal Kajian Interdisipliner Islam Indonesia,