Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

QA’IDAH AL ASHLU BARA’AH DZIMMAH

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas MID Semester

Mata Kuliah Qowa’id Fiqh

Dosen : Ust. Arif Manggala, Lc

OLEH :
Sadid Abdullah Muhtar
NIM :

MA’HAD ALY DARUSY SYAHADAH LI TA’HIL MUDARRISIN


Blagung, Simo, Boyolali, Jawa Tengah
2017-2018 M
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Berbicara tentang Hukum Islam, maka kita akan disuguhkan
dengan permasalahan yang begitu kompleks, dengan keadaan yang selalu
berubah setiap waktu. Yang tentu saja Hukum Islam mampu menghadapi
semua permasalah dan keadaan tersebut, karena Hukum Islam adalah
hukum terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia, bersamaan dengan
diutusnya Nabi terakhir, yang berarti Hukum Islam akan terus menjadi
panduan manusia samapai Hari Kiamat nanti.
Berbagai disipilin ilmu pun muncul membahas tentang Syari’at
Islam, mulai dari Fiqh, Ushul Fiqh, Qowa’id Fiqh ataupun Maqashid
Syari’ah. Dari berbagai disiplin ilmu tersebut, Qowa’id Fiqh merupakan
salah satu pembahasan yang urgen. Qowa’id Fiqh
Pada kesempatan ini, penulis mencoba membahas salah satu
Qo’idah turunan dalam Qowa’id Fiqh yaitu Al Ashlu bara’atun fie
dzimmah. Tentu dalam penulisan makalah banyak kesalahan dan
kekeliruan yang ada, maka penulis mohon adanya saran kritik dari
pembaca, semoga bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah penjelasan Qa’idah al Ashlu bara’ah dzimmah dan
penerapannya?

C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui penjelasan Qa’idah al Ashlu bara’ah dzimmah dan
penerapannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dalil Qa’idah

َّ ‫صلَّى‬
‫َّللاُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ي‬ َّ ‫ أ َ َّن النَّ ِب‬،‫ع ْن َج ِد ِه‬
َ ،‫ َع ْن أ َ ِبي ِه‬،‫ب‬ ٍ ‫شعَ ْي‬ُ ‫َع ْن َع ْم ِرو ب ِْن‬
‫ين َعلَى ال ُمدَّ َعى‬ ُ ‫ َوال َي ِم‬،‫ «ال َب ِينَةُ َعلَى ال ُمدَّ ِعي‬:‫ط َبتِ ِه‬ ْ ‫سلَّ َم قَا َل فِي ُخ‬َ ‫َو‬
‫ي‬ ُ ‫ِيث فِي إِ ْسنَا ِد ِه َمقَا ٌل َو ُم َح َّمدُ ب ُْن‬
َّ ‫ع َب ْي ِد‬
ُّ ‫َّللاِ ال َع ْرزَ ِم‬ ٌ ‫َعلَ ْي ِه» َهذَا َحد‬
ُ‫غي ُْره‬َ ‫ َو‬،‫ار ِك‬ َ ‫ضعَّفَهُ اب ُْن ال ُم َب‬ َ ،‫ث ِم ْن قِ َب ِل ِح ْف ِظ ِه‬ِ ‫ف فِي ال َحدِي‬ ُ َّ‫ضع‬َ ُ‫ي‬
“Dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa nabi
bersabda dalam khutbahnya : Bukti itu bagi siapa yang menuduh, dan
sumpah itu bagi yang tertuduh.” Hadits ini pada sanadnya ada perkataan
Muhammad bin Ubaidillah al Arzami, hadits menjadi lemah dari sisi
hafalannya, Ibnu mubarok juga mendho’ifkannya, dan juga yang lainnya.
Al Bani menghukumi shahih.)1
B. Defenisi atau Makna Qa’idah
a. Makna Qa’idah Secara Bahasa.
Dzimmah secara bahasa : Jaminan, ketentraman.
Sedangkan menurut para Ahli Fiqh : Jiwa atau dzat yang
mempunyai jaminan, dan maksudnya di sini yaitu : Kemampuan,
kecakapan seorang untuk membawa pernjanjian yang ia lakukan
dengan orang lain, baik akad syar’I ataupun dalam perniagaan.
b. Makna Qa’idah dalam Fiqh
Qa’idah yang terus-menerus bahwa seorang manusia
terlepas dari tanggungan untuk mengadakan sesuatu atau
melaziminya dan jika ia terkena tanggungan, maka itu menyelisihi
dasar.2
Qa’idah merupakan salah satu Qa’idah dasar, dan makna
Qa’idah ini bahwa Allah tatkala menciptakan manusia, Ia
menciptakannya terbebas dari tuntutan terhadap apapun, baik yang
berkaitan dengan hak Nya yaitu ibadah, ataupun yang berkaitan
dengan hak manusia yang ada diantara mereka, maka perlindungan
mereka terbebas dari segala tuntutan, kemudian Allah
mencukupinya dengan hak-hak yang seharusnya untuk Nya atas
kita, seperti hak untuk mentauhidkan Nya, dan mengesakan Nya

1
Abu Isa at Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Juz. 3, Hal. 618
2
Muhammad Sidqi Al Burnu, Al Wajiz fie Idhohi Qawa’id Fiqh Al Kuliyyah, Hal. 179
dalam ibadah, Shalat lima waktu, berbakti pada orang tua, puasa,
zakat dan kewajiban haji, maka pada dasarnya kita tidak dituntut
dengan ibadah apapun, kecuali ibadah-ibadah yang ditunjukkan
oleh syar’i dengan dalil yang shahih, dan tersisa/dibiarkan apa
yang tidak ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i dengan dasar, yaitu
kebebasan dari tuntutan, maka seorang tidak dituntut kecuali
dengan bukti, dan begitu juga dalam hak-hak manusia, yaitu kita
terbebas dari tuntutan, maka tidak ada seorangpun dari makhluk
yang menuntutnya kecuali dengan penguat dari bukti, maka
manusia terbebas dari segala hak dengan tetap, maka ia tidak bisa
dituduh dengan tuduhan yang tidak berdasar, dan tidak juga dengan
hadits-hadits yang lemah yang tidak diterima kehujjahannya, tetapi
hendaknya dengan dalil lain yang menghilangkan ketetapan
bebasnya yaitu dengan bukti, karena suatu yang pasti tidak akan
hilang kecuali dengan yang pasti.3

C. Contoh Penerapan Qa’idah dalam berbagai permasalahan.


Qa’idah ini menurunkan permasalahan yang bermacam-macam
dari tema-tema yang berbeda-beda, seperti dalam jual beli, sewa menyewa,
penitipan, pinjaman, gasab dan yang lainnya. Diantaranya :
a. Jika penjual dan pembeli berbeda pendapat tentang nilai suatu
barang, jika barangnya rusak atau terlepas dari kepemilikannya
misalkan, atau perbedaan antara yang menyewa dan yang memberi
sewa tentang ganti dari barang sewa setelah ia selesai
memanfaatkannya, maka yang diambil adalah perkataan pembeli
dan yang menyewa, sedangkan bukti bagi pembeli dan yang
memberi sewa untuk menetapkan tambahan, adapun jika perbedaan
terjadi sebelum rusaknya barang dalam jual beli, atau sebelum si
penyewa memanfaatkan barang, maka tidak ada bukti bagi
keduanya karena keduanya bersekutu.4
b. Jika seorang merusak barang orang lain dan mereka berbeda
pendapat tentang nilainya, maka perkataan yang diambil adalah
perkataan yang merusak dengan sumpah, karena ia mengingkari
adanya tambahan dalam tanggungannya, dan pada dasarnya
seorang itu bebas dari tanggungan, dan bukti bagi pemilik harta
untuk menetapkan adanya tambahan.5

3
Walid bin Rasyid as Sa’idani, Talqih Ifham al Aliyah bi Syarh al Qowa’id al Fiqhiyah, Hal. 45
4
Ahmad bin Syaikh Muhammad Razaq, Syarhu al Qowa’id al Fiqhiyah, Hal. 114
5
Ibid.
D. Hal-hal lain yang Berkaitan dengan Qa’idah
Ibnu Qayyim al Jauziyah dalam kitabnya ath Thuruq al Hukmiyah
fie Siyasah Syar’iyah membuat sebuah pembahasan dengan judul
‘Penuduh wajib menyampaikan bukti, tertuduh yang mengingkari tuduhan
wajib menyampaikan sumpah’, dalam pembahasn ini Ibnu Qayyim
menulis :
Hadits yang masyhur di kalangan fuqaha’ adalah : Bayyinah
(bukti) harus disampaikan oleh yang menuduh, dan sumpah harus
disampaikan oleh orang yang mengingkari tuduhan. Hadits ini sudah
terlanjur diriwayatkan, namun sanadnya tidak seshahih dan semasyhur
hadits lainnya, tidak pula diriwayatkan oleh para ulama’ ashab as sunan
tak seorangpun ulama’ kecuali sekelompok Fuqaha’ Kufah semisal Abu
Hanifah dan lainnya berpendapat akan keumumannya. Mereka Fuqaha’
Kufah berpendapat bahwa tertuduh yang mengingkari dakwaan lah yang
harus mengucapkan sumpah, bahkan dalam masalah qasamah mereka
menyumpah tertuduh. Mereka tidak memutuskan perkara atas dasar
kesaksian satu laki-laki dan sumpahnya. Mereka juga tidak menyumpah
penuduh saat tertuduh melakukan nukul. Mereka berpendapat bahwa
hadits di atas bersifat umum.
Adapun ulama’-ulama’ lain dari Madinah, Makkah dan Syam, dan
para fuqaha’ hadits dan lainnya semisal Ibnu Juraij, Malik, Syafi’I, al Lais,
Ahmad dan Ishaq terkadang mereka menyumpah tertuduh sebagaimana
diterangkan dalam sunnah di atas. Menurut mereka, hokum asal
mengatakan bahwa sumpah disyari’atkan bagi pihak yang lebih kuat di
antara kedua belah pihak yang berperkara. Dalam menilai hadits di atas,
terkadang mereka mendhaifkannya, terkadang mereka menilainya sebagai
hadits aam, mereka mengatakan hadits mereka bersifat khas, terkadang
menganggap hadits mereka lebih shahih dan lebih banyak, lalu
mengamalkannya di saat adanya ta’arudh adalah lebih utama.
Terdapat hadits yang diriwayatkan dari Nabi bahwa dalam
beberapa masalah hokum beliau meminta penuduh untuk menunjukkan
bayyinah (bukti), sementara tertuduh yang menolak tuduhan tersebut
disuruh untuk mengucapkan sumpah. Sebagaimana hadits yang
dikeluarkan Imam Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shahih mereka, dari
al Asy’ats bin Qa’is, bahwa dia berkata, “Ada perseketaan antara diriku
dengan seorang laki-laki terkait dengan sebuah sumur, lalu kami mengadu
kepada Nabi , maka beliau bersabda, “Tunjukkan dua saksi, atau dia
(sengketamu) itu mengucapkan sumpah.” Maka aku berkata,” Jadi dia
bersumpah sesuka hatinya? Beliau bersabda, “Barang siapa bersumpah
demi mengalahkan orang yang sabar di mana dengan sumpahnya itu ia
merampas harta seseorang Muslim secara zhalim, maka ia akan bertemu
dengan Allah dalam keadaan Allah marah kepadanya.” Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa Beliau bersabda, “Tunjukkan bukti kalau sumur
itu benar milikmu. Jika kau tidak sanggup menunjukkan bukti, maka dia
sengketamu itu harus bersumpah. (Al Bukhari, No. 2356, 2357 dan
Muslim, No. 138)
Begitu juga dengan hadits yang yang lain, disimpulkan bahwa
tertuduh tidak dituntut apa-apa selain mengucapkan sumpah, disertai
tuduhan dari penuduh bahwa tertuduh adalah orag zhalim. Beliau berkata
kepada penuduh, “Engkau tidak bisa menuntut apa-apa darinya selain
sumpahnya.” Demikian pula dalam hadits Asy’ats bin Qa’is di atas,
disebutkan bahwa rival yang menjadi musuh al Asy’ats adalah seorang
Yahudi. Demikian disebutkan Kitab Shahihain. Meski demikian, Yahudi
tersebut hanya diminta mengucapkan sumpahnya.6

6
Ibnu Qayyim, ath Thuruq al Hukmiyah fie Siyasah Syar’iyah, Terjemah oleh : Muhammad
Muchson Anasy, Hal. 180-182.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Qaidah al ashlu bara’ah dzimmah merupakan salah satu qa’idah
penting dalam Islam, yang dasarnya telah menciptakan manusia dengan
kebebasan dari tuntutan kecuali dengan adanya dalil syar’i, maka dalam
hal hak-hak, baik yang berhubungan dengan Allah ataupun yang
berhubungan dengan manusia, harus adanya dalil/hujjah yang shahih
untuk menghilangkan ketetapan kebebasan seorang hamba dari tuntutan
itu.
Banyak permasalahan yang merupakan turunan dari penerapan
Qa’idah ini, baik dalam jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam dan
yang lainnya.

B. Kalimat Penutup
Demikianlah makalah yang penulis tulis, semoga menjadi amal
jariyah bagi penulis dan bermanaat bagi kita semua, penulis mohon ma’af
bila ada kesalahan ataupun kekeliruan, dan penulis memohon adanya saran
kritik dari para pembaca, untuk menjadi masukan bagi penulis. Wallahu
a’lam bishshawwab.
DAFTAR PUSTAKA

Tirmidzi. Abu Ishaq, Sunan Tirmidzi, Mesir : Perpustakaan dan Percetakan


Musthofa Al Baabi Al Halabi, Cet. Ke II, 1975.

Al Burnu. Muhammad Sidqi, Al Wajiz fie Idhohi Qowa’id Fiqh al Kuliyyah,


Beirut : Yayasan Ar Risalah. 1996.

As Sa’idani, Walib bin Rasyid. Talqih Ifham al Aliyah bi Syarh al Qowa’id al


Fiqhiyah. Di muraja’ah dan dita’liq oleh Salman Al Audah. Tanpa
penerbit dan tahun.

Ar Razaq, Ahmad bin Syaikh Muhammad, Syarhu al Qowa’id al Fiqhiyah,


Damaskus : Dar Al Qolam. Cet. Ke II. 1989.

Al Jauziyyah, Ibnu Qayyim. ath Thuruq al Hukmiyah fie Siyasah Syar’iyah,


Terjemah oleh : Muhammad Muchson Anasy. Jakarta : Al Kautsar.
2014.

Anda mungkin juga menyukai