Anda di halaman 1dari 17

NAMA : PUTRA OLOAN SANI

HASIBUAN NIM : 08.22.1407

PELAJARAN : HADIST

EKONOMI PRODI : EKONOMI

SYARIAH

RESUME MAKALAH 1:

Hadits adalah satu dari 4 sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Hadits menjadi
rujukan bagi umat muslim untuk menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al Quran.
Dikutip dari buku Memahami Ilmu Hadits oleh Asep Herdi, secara etimologis hadits dimaknai
sebagai jadid, qarib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim yang artinya yang baru.
Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama terjadi.

Sementara itu, khabar artinya warta yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorangkepadayanglainnya.

Hadits adalah satu dari 4 sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Hadits menjadi
rujukan bagi umat muslim untuk menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al Quran.
Dikutip dari buku Memahami Ilmu Hadits oleh Asep Herdi, secara etimologis hadits dimaknai
sebagai jadid, qarib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim yang artinya yang baru.
Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama terjadi.

Sementara itu, khabar artinya warta yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorangkepadayanglainnya.

Fungsihadits
Terdapat 4 macam fungsi hadits terhadap Al Quran yang ditetapkan oleh ulama Atsar, sebagai
berikut:
Bayanat-TaqrirBayan at-Taqrir disebut juga dengan bayat at-Ta'kid dan bayan at-Isbat.
Dalam hal ini hadits berfungsi untuk menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan dalam Al Quran.

Bayanat-TafsirFungsi hadits sebagai bayan at-Tafsir yaitu memberikan rincian dan tafsiran
terhadap ayat-ayat Al Quran yang masih mujmal (samar atau tidak dapat diketahui), memberikan
pesyaratan ayat- ayat yang masih mutlak, dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat yang
masih umum.

Bayanat-TasyriBayan at-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak didapati
dalam Al Quran. Fungsi ini disebut juga dengan bayan za'id ala al kitab al-karim.

Bayanan-Nasakh

Secara bahasa, an-naskh memiliki arti yang beragam, di antaranya al ibtal (membatalkan), al
ijalah (menghilangkan), at tahwil (memindahkan) atay at taqyir (mengubah). Adapun yang
disebut dengan bayan an nasakh adalah adanya dalil syara' (yang dapat menghapuskan ketentuan
yang telah ada) karena datangnya dalil berikutnya.

Menurut jumhur ulama, kedudukan hadits menempati posisi kedua setelah Al Quran. Ditinjau
dari segi wurud atau tsubutnya Al Quran bersifat qath'i (pasti) sedangkan hadits bersifat zhanni
al wurud (relatif) kecuali yang berstatus mutawatir (berturut-turut).

Macam-Macam hadits Ada tiga macam hadits yang digolongkan oleh para ulama sebagai
berikut:

a. Hadits Qauli, yaitu hadits-hadits yang yang diucapkan Nabi SAW dalam berbagai bidang.

b. Hadits Fi'li, perbuatan-perbuatan Nabi SAW yang sampai kepada kita melalui penukilan
sahabat. Seperti pekerjaan melakukan shalat lima waktu dengan tata caranya dan rukun-
rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi
dan sumpah dari pihak penuduh.

c. Hadis Taqriri, keadaan Nabi saw yang mendiamkan, tidak berkomentar dan tidak menyanggah
serta menyetujui apa yang dilakukan para sahabatnya.

Kedudukan hadits

Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam


Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran,
tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di
tugaskan Allah SWT. Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber
atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk
semua umat Islam.
RESUME MAKALAH KELOMPOK 2:

A. HADIST RIBA

1. Pengertian Riba
Secara bahasa, riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti
tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang meng- haruskan pihak peminjam
untuk membayar selain jumlah uang yang di- pinjamkan kepada pihak yang
meminjamkan pada waktu pengembalian uang pinjaman, riba semacam ini disebut
dengan riba nasiah.

Harus dibayar Menurut Satria Effendi, riba nasiah adalah tambahan pembayaran
atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang oleh si peminjam kepada yang
meminjam tanpa risiko sebagai imbal- an dari jarak waktu pembayaran yang diberikan
kepada si peminjam. Juga disebut dengan riba jali atau qath'i, sebab dasar hukumnya
disebut secara jelas dan pasti. Sejarah mencatat bahwa praktik riba nasiah ini pernah
dipraktikkan oleh kaum Thaqif yang telah terbiasa meminjamkan uang kepada Bani
Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba.

2. Sejarah riba

Istilah riba sudah dikenal dan digunakan dalam transaksi-transaksi perekonomian


oleh masyarakat arab sebelum datangnya Islam. Dan istilah riba sudah dikenal sejak
peradaban yunani kuno, yaitu pada zaman hukum Nabi Musa AS yang dianggap sebagai
larangan anti riba tertua. Pada zaman Yunani kuno masyarakatnya sudah banyak yang
melakukan kegiatan riba. Plato dan Aristoteles sangat menentang keras akan adanya
praktek riba.

3. Macam-macam riba
Riba terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Riba nasiah
Riba nasiah ialah riba yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliah,
mereka menyerahkan harta kepada orang lain dengan cara tiap bulan menariknya
dengan jumlah tertentu dan apabila sudah jatuh tempo orang yang berutang dituntut
mengembalikan seluruh harta tetapi bila terlambat membayar akan diperpanjang dan
dikenai biaya tambahan.
2. Riba fadhl

Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih
banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyarat- kan demikian, seperti
penukaran padi dengan padi, emas dengan emas, dan sebagainya

4. Dampak riba

Hadits-hadits yang menerangkan dampak riba cukup banyak, namun untuk membatasi
penelitian ini maka dipilihlah 5 hadits yang secara tegas menjelaskan dampak riba, antara lain:

1. Pemakan riba, penyetor riba, penulis transaksi riba dan saksi yang menyaksikan
transaksi riba dilaknat

Dari Jabir bin Abdillah RA, Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, penyetor riba, penulis transaksi riba dan saksi
yang menyaksikan transaksi riba, semuanya samaDiriwayatkan juga dengan matan berbeda
dalam An-Nasa'i (5104) Ahmad (1364) Abu Dawud (2076), Al-Tirmidzi (1119), dan Ibn Majah
(1935).

Yang dimaksud dengan pemakan riba contohnya rentenir, bank keliling, atau bank
konvensional yang memakan bunga, termasuk orang yang menabung/menitipkan uang di
lembaga itu. Penyetor riba adalah peminjam, debitur, atau nasabah yang meminjam, Penulis
transaksi riba adalah sekretaris, notaris, karyawan yang menuliskan transaksi riba dan dua saksi
yang menyaksikan transaksi riba.

2. Riba mendatangkan azab kepada suatu negeri bukan hanya kepada pemakannya saja.
Dari Abdullah bin Abas RA, Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Apabila zina dan riba muncul di suatu negeri, maka mereka telah menimpakan
siksaan Allah SWT pada diri mereka sendiri.
3. Riba merusak kehormatan orang lain
Dari Sa’ad bin Zaid RA, Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Sesungguhnya seburuk-buruk riba adalah merusak kehormatan orang lain dengan cara
yang tidak dibenarkan. Riba merusak kehormatan orang lain, antara lain karena merusak harkat
dan martabat orang yang meminjam, membuat terhina dan malu, dengan riba yang jika tidak
tertagih maka akan terus menumpuk-numpuk seiring waktu.

B. HADIST JUAL BELI


1. Pengertian jual beli

Pengertian jual beli menurut Bahasa Jual-beli atau perdagangan dalam bahasa
arab sering disebut dengan kata al-bay'u, al-tijarah,

2. Hukum jual beli


muamalat Jual-beli adalah perkara muamalat hukumnya bisa berbeda-beda,
tergantung sejauh mana terjadinya pelanggaran syariah.

1. Jual Beli Halal


Secara asalnya, jual-beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau
dibolehkan. Al-Imam Asy-Syafi'i menegaskan bahwa dasarnya hukum jual-beli itu
seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari kedua-belah pihak.
Namun kehalalan ini akan berubah menjadi haram bila terjadi hal-hal tertentu,
misalnya apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW atau yang maknanya
termasuk yang dilarang beliau SAW.

2. Jual Beli Haram


Di luar jual-beli yang hukumnya halal, maka ada juga jual-beli yang hukumnya
haram atau terlarang. dengan cara mengurutkan sebab-sebab
Para ulama mengelompokkan keharaman jual-beli keharamannya. Di antara
penyebab haramnya suatu akad jual-beli antara lain:
a. Haram Terkait Dengan Akad
Keharaman jual-beli yang terkait dengan akad yang haram terbagi dua
lagi, yaitu :
1. Barang Melanggar Syariah

keharamannya karena terkait barang yang dijadikan objek akad tidak memenuhi
syarat dan ketentuan dalam akad, seperti benda najis, atau barang tidak pernah ada, atau
barang itu merusak dan tidak memberi manfaat, atau bisa juga barang itu tidak mungkin
diserahkan.

Akad Melanggar Syariah:

Contohnya jual-beli yang mengandung unsur riba dan gharar dengan segala
macam jenisnya. Jual-beli yang diharamkan karena ada unsur riba antara lain bai'ul 'inah,
al-muzabanah, al-muhaqalah, al-araya, al-'urbun, baiul akli' bil kali', dan seterusnya.
Sedangkan jual-beli yang diharamkan karena unsur gharar antara jual-beli janin hewan
yang masih di perut induknya, jual-beli buah yang belum masak, bai'us-sinin, jual-beli
ikan di dalam air, jual-beli budak yang kabur dari tuannya, jual-beli susu yang masih
dalam tetek hewan, jual-beli wol yang masih melekat pada kambing, jual-beli minyak
pada susu, dan baiuts-tsuyya.

b. Haram Terkait Dengan Hal-hal di Luar Akad


Jual-beli yang diharamkan karena terkait dengan hal-hal di luar akad ada dua
macam, yaitu :
1. Dharah Mutlak Misalnya jual-beli budak yang memisahkan antara ibu dan
anaknya, jual-beli perasan buah yang akan dibikin menjadi khamar, jual-beli
atas apa yang ditawar atau dibeli oleh saudaranya, jual-beli an- najsy, talaqqi
ar-rukban, bai'u hadhirun li badiyyin dan lainnya.
2. Melanggar Larangan Agama. Diantara contoh jual-beli haram karena
melanggar agama misalanya jual-beli yang dilakukan pada saat terdengarazan
untuk shalat Jumat, dan jual-beli mushaf kepada orang kafir.

RESUME MAKALAH KELOMPOK 3

HADITS TENTANG SYIRKAH

1. Pengertian Syirkah

Istilah lain dari kerja sama adalah musyarakah atau syirkah. Secara bahasa syirkah
berarti al-ikhtilat (percampuran) atau persekutuan dua hal atau lebih, sehingga antara
masing-masing sulit dibedakan.Seperti persekutuan hak milik atau perserikatan
usaha.yang dimaksud dengan percampuran adalah seseorang mencampurkan hartanya
dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Sedangkan menurut
istilah, para Fuqaha berbeda pendapat mengenai pengertian syirkah, di antaranya menurut
Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah ialah akad antara orang yang berserikat
dalam modal dan keuntungan.Menurut Shidieqie syirkah ialah akad yang berlaku antara
dua orang atau lebih untuk ta'awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi
keuntungannya. Syirkah menurut KHES Buku II Pasal 20 ayat (3) adalah kerja sama
antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam
usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh
pihak-pihak yang berserikat. Dari beberapa pengertian di atas, pada dasarnya syirkah itu
ialah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha (permodalan ataupun usaha
lainnya), yaitu keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama sesuai proporsi.1 Hasil
keuntungan dalam musyarakah juga diatur, seperti halnya pada mudarabah, sesuai prinsip
pembagian keuntungan dan kerugian seperti dalam Undang-Undang Perbankan No. 10
Tahun 1998 dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah mengenai Bagi Hasil.
Keuntungan dibagimenurut proporsi yang telah disepakati sebelumnya, kedua pihak
memikul risiko kerugian financial.
Dasar Hukum Syirkah

Dalam hal ini yang menjadi dasar hukum serikat (syirkah) dapat dilihat dalam
ketentuan Al-Qur'an dan hadis.

Persetujuan (taqrir) Nabi Saw.terhadap kegiatan kerja sama yang dilakukan oleh
masyarakat pada masa itu. Serta ijma ulama sepeninggal nabi tentang mubahnya hukum
syirkah. Selain itu, ada fatwa DSN MUI No.114/ DSN-MUI/IX/2017 tentang akad
syirkah dan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdapat dalam Pasal 134-186
disertai akad turunannya.

Macam-Macam Syirkah

Di dalam buku Fiqih Muamalah Ekonomi Syariah, Nur Faizin Muhith, dikatakan
terdapat beberapa macam syirkah :

a. Syirkah Inan adalah persekutuan dalam pengelolaan harta oleh dua orang. Mereka
memperdagangkan harta tersebut dengan keuntungan dibagi dua. Dalam syirkah ini, tidak
disyaratkan sama dalam jumlah modal, begitu juga wewenang dan keuntungan.

b. Syirkah Mufawadhah yaitu dua orang atau lebih yang membuat akad untuk
menjalankan pekerjaan dengan syarat jumlah modal mereka sama dan hak
membelanjakan juga sama. Dengan kata lain, modal, hak dan kewajiban antara masing-
masing pihak adalah sama, tidak berbeda, termasuk dalam hak atas keuntungan yang
nanti didapatkan.

c. Syirkah Wujuh adalah apabila ada dua orang yang terpandang bersepakat untuk
membeli dengan cara mengkredit (dalam tanggungjawabnya) dan kemudian menjual
barang itu dengan tunai dan keuntungan yang didapatkan akan menjadi hak mereka
sesuai syarat atau kesepakatan. Dalam Syirkah ini kepemilikan atas barang masing-
masing pihak boleh berbeda dan keuntungan pun dibagi sesuai kepemilikan itu, begitu
juga dengan kerugian.

Rukun dan Syarat Syirkah Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama.Menurut
ulama Hanafiyah bahwarukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan qabul atau bahasa lainya
adalah akad.Akad yang menentukan adanya syirkah. Adapun syarat syarat yang
berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian berikut ini
: 1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun
dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat yaitu a). yang berkenaan dengan
benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b). yang
berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat
diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepertiga dan yang lainnya.

2. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta). Dalam hal ini terdapat dua
perkara yang harus dipenuhi

a).bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah darialat pembayaran
(nuqud) seperti Riyal, dan Rupiah

b). yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan baik
jumlahnya sama maupun berbeda.

3. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah bahwa dalam mufawadhah


disyaratkan

a). modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama

b). bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah

c). bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum, yakni pada semua
macam jual beli atas perdagangan.

HADIST TENTANG ‘ARIYAH


1. Pengertian ‘Ariyah Secara etimologi, 'ariyah diambil dari kata Aara yang berarti
datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat 'ariyah berasal dari kata 'At-Ta'aawuru
yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At- Tanaasubu yang berarti saling menukar
dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam. Secara terminologi syara', ulama
fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan 'ariyah, antara lain:

1. Ibnu Rif'ah berpendapat, bahwa yang dimaksud 'ariyah adalahkebolehan mengambil


manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada
pemiliknya.

2. Menurut pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh Wahbah al-Juhaili,


'ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan. Adapun
menurut al-Syafi'iyah dan al-Hanabalah 'ariyah adalah pembolehan untuk mengambil
manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan.

3. Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa 'ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu
barang tanpa imbalan, dalam arti sederhana 'ariyah adalah menyerahkan suatu wujud
barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya imbalan.

Menurut Wahbah al-Juhaili akad ini berbeda dengan hibah, karena 'ariyah
dimaksudkan hanya untuk mengambil manfaat dari suatu barang, 'Ariyah berbeda pula
dengan ijarah, sebab pada ijarah, barang yang dimanfaatkan itu harus diganti dengan
imbalan tertentu. Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi 'ariyah dapat ber- laku
pada seluruh jenis tingkatan masyarakat.Ia dapat berlaku pada masyarakat tradisional
maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat diperkirakan bahwa jenis akad
atautransaksi ini sudah sangat tua, yaitu sejak manusia yang satu berhubungan dengan
yang lainnya.
RESUME MAKALAH KELOMPOK 4:

QARDH

1. PENGERTIAN QARDH

Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qarada yang sinonimnya qatha’a yang berarti
memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari
hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh). 1

Menurut Syafi’i Antonio, qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan.2

Menurut Bank Indonesia , qardh adalah akad pinjaman dari bank (muqridh) kepada pihak
tertentu (muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Qardh
adalah pinjaman uang. Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai
fasilitas pinjaman talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan
bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi.

Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal:

a. Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan
untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya
sebelum keberangkatan haji.
b. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana
nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM. Nasabah
akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.
c. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan Bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema jual-beli Ijarah atau
bagi hasil.
d. Sebagai pinjaman kepada pengurus Bank, dimana Bank menyediakan fasilitas ini untuk
memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus Bank. Pengurus Bank akan
mengembaliaknnya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
3

2. RUKUN DAN KETENTUAN SYARIAH QARDH

a. Rukun Qardh

1. Pelaku yang terdiri dari pemberi (muqridh) dan penerima pinjaman (muqtaridh).
2. Objek akad, berupa uang yang dipinjamkan.
3. Ijab kabul atau serah terima.

RESUME MAKALAH KELOMPOK 5

HADITS WADI’AH 1. PENGERTIAN HADITS WADI’AH (TITIPAN) Al-wadi’ah


ialah sejumlah harta ataupun lainnya yang di titipkan atau di tinggalkan pada seseorang
penjaganya yang berkewajiban untuk menjaga balik kepada pihak yang menitipkan dan
pihak yang menitipkan bisa memintanya kapan pun saja. Menurut bahasa wadi’ah artinya
yaitu meninggalkan atau meletakkan sesuatu kepada orang lain untuk dipelihara atau
dijaga, sedangkan menurut istilah wadi’ah artinya yaitu memberikan kekuasaan kepada
orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau
dengan isyarat yang semakna dengan itu. Ada 2 pengertian yang dikemukakan oleh
ulama fiqh tentang al-wadi’ah yaitu : 1. Ulama Mahzab Hanafi Al-wadi’ah yaitu
mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas
maupun dengan isyarat. 2. Ulama Mahzab Hambali, Syafi’l dan Maliki (jumhur ulama)
Al-wadiah yaitu mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu denngan cara
tertentu.
2. RUKUN DAN SYARAT AL-WADI’AH a. RUKUN WADI’AH Rukun wadi’ah
adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada di dalamnya yang menyebabkan
terjadinya akad wadi’ah yaitu :

a. Muwaddi (orang yang menitipkan).

b. Wadi’l (orang yang dititipi barang).

c. Wadi’ah (barang yang dititipkan).

d. Shigot (ijab dan qobul).

b. SYARAT WADI’AH Dalam persyaratan wadi’ah itu mengikat kepada muwaddi’,


wadi’l, dan wadi’ah. Muwaddi’ dan wadi’l mempunyai persyaratan yang sama yaitu :

a. Harus balig.

b. Berakal.

c. Dan dewasa.

Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam
kekuasaan/tangannya secara nyata.

HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN WADI’AH.

1. Masing-masing pihak, baik yang dititipi atau yang menitipkan harus orang yang
barakal sehat, pikirannya sudah dewasa.

2. Pihak yang dititipi tidak bertanggung jawab atas kerusakan barang titipan yang
bukan disengaja dirusak atau karena kelalaian. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
SAW. “ tidak ada kewajiban menjamin untuk orang yang di beri amanat.” ( H.R Al-
Daruqthni) dan “barang siapa yang dititipi suatu titipan, maka dia tidak mempertanggung
jawabkannya.” ( H.R Ibnu Majah).
3. Masing-masing pihak, baik yang dititipi maupun yang menitipkan mempunyai hak
untuk pengambilan barang titipan kapan pun saja.

4. Pihak yang dititipkan barang dilarang memanfaatkannya dalam bentuk apapun


kecuali bila ada izin pemiliknya dan atas kerelaaannya apabila barang itu rusak atau
hilang maka dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

5. Jika terjadi perselisihan antar pihak yang menitipkan dan yang dititipi tentang
pengembalian barang titipan, maka pengakuan yang harus dipegang adalah pengakuan
pihak yang dititipi diminta untuk bersumpah, kecualiapabila pihak yang menitipkan
membawa tanda bukti bahwa pihak yang dititipi tidak mengembalikan barang titipan itu
kepadanya

HADITS IJARAH (SEWA MENYEWA)

1. PENGERTIAN IJARAH

Ijarah adalah perjanjian sewa menyewa suatu barang dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa atau Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang
dan upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau
imbalan jasa. Menurut Dr. Muhammad Syafi'i Antonio, ijarah adalah akad pemindahan
hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan (ownership/mil-kiyah) atas barang itu sendiri. Menurut
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu
tertentu dengan pembayaran. Ijarah dapat juga diartikan dengan lease contract dan juga
hire contract. Karena itu ijarah dalam konteks perbankan syariah adalah suatu lease
contract. Lease contract adalah suatu lembaga keuangan menyewakan peralatan, baik
dalam bentuk sebuah bangunan maupun barang-barang, seperti mesin-mesin, pesawat
terbang, dll, kepada salah satunasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah
ditentukan secara pasti sebelumnya.
DASAR HUKUM IJARAH

Dasar hukum ijarah adalah firman Allah QS. al-Baqarah: 233 yang artinya
sebagai berikut : “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun
penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung
nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula
seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula.
Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara
keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu
kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara
yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.” Arti tersebut menjadi dasar hukum adanya sistem sewa dalam
hukum Islam, seperti yang diungkapkan dalam arti bahwa seseorang itu boleh menyewa
orang lain untuk menyusui anaknya, tentu saja ini akan berlaku umum terhadap segala
bentuk sewa menyewa. Dilihat dari objeknya ijarah mempunyai obyek barang seperti
mobil, ruko, rumah, dan gedung dan objek manfaat dari tenaga kerja, seperti jasa taxi,
jasa guru, jasa dosen, dan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai