Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

RIBA DAN HUKUM ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Semester III

Mata Kuliah :

Fiqih Mu’ammalah II

Dosen Pembimbing :
Muhammad Ma’rur, M.H.

Oleh :
Mhsmmad Nazih Syafiuddin

Muhammad Rifa’i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Riba dalam pandangan Islam berada dalam kelebihan baik dalam bentuk uang
ataupun barang. Riba berarti kelebihan atau pertambahan dan jika dalam suatu kontak
penukaran satu barang yang sama, hingga itu disebut dengan riba. Riba disebut juga
pembayaran yang dikenakan terhadap pinjaman yang berlaku dimana modal yang
berada dalam pinjaman tersebut digunakan. Riba juga merupakan sebagian dari
kegiatan ekonomi yang telah berkembang sejak zaman jahiliyah hingga pada sampai
saat ini. Sistem pinjam meminjam pada sistem riba ini banyak menguntungkan kaum
pemilik modal karena banyak mendapat keuntungan yang lebih dari yang
dipinjamkan. Dari adanya riba tersebut sehingga Islam melarang atau mengharamkan
adanya riba karena menumbuhkan tradisi shadaqah agar tidak ada yang teraniaya
karena adanya riba. Dalam kesamaan antara Bunga dan Riba yang dilarang di Al-
Qur’an dan hadits tapi masih banyak umat muslim yang masih bergabung dengan
bank konvensional yang menggunakan sistem bunga dalam kehidupan maka dari itu
turunlah ayat Allah yang melarang adanya riba yang menyebabkan kemelaratan dan
kerusakan dalam kehidupan manusia.
Hutang piutang adalah persoalan yang tidak asing di masyarakat, banyak sekali hukum-
hukum yang ikutan di dalam mengatur hal ini. Aspek transaksi antar makhluk tidak bias
dihindarkan dalam kehidupan, karena manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang tidak
bias memenuhi kebutuhannya sendiri. Riba sangat tidak sesuai dengan ajaran Islam dimana
dalam prakteknya riba memberikan kerugian yang tidak terkira pada pihak yang
menanggungya, serta memberikan untung yang berlipat-lipat bagi orang yang meminjaminya,
sehingga terjadi kesenjangan yang sangat menonjol diantara dua pihak yang bertransaksi.
Pada prakteknya riba yang terjadi di masyarakat tidak hanya terdapat pada transaksi hutang
piutang semata, melainkan terdapat juga dalam transaksi jual beli. Berangkat dari persoalan
diatas, skripsi ini membahas tentang Illat keharaman riba yang terdapat pada transaksi jual
beli menurut pandangan Muhammad Abu Zahrah. Muhammad Abu Zahrah berpendapat
bahwa segala jenis riba baik yang diterangkan oleh al-Qur’an ataupun Sunnah adalah
merupakan hal yang diharamkan. Dalam hal keharaman riba yang dinyatakan oleh al-Qur’an
yaitu riba nasa’i Abu Zahrah menekankan tidak adanya hilah apapun untuk melegalkan
praktek ini, karena secara shorih telah jelas pelarangannya. Sedangkan dalam memandang
riba yang keharamannya ditetapkan melalui Sunnah Abu Zahrah berpendapat bahwa
keharaman ini bias diqiyaskan kepada segala jenis transaksi yang disana terjadi penambahan
atau kelebihan nilai dari dua barang yang dipertukarkan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian riba dalil dan keharamanya
2. Ada berrapa Macam-macam riba
3. Bagaimana Pendapat ulama’ fiqih tentang riba
4. Bagaimana Dampak perbedaan pendapat ulama’ terhadap illat riba
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RIBA DAN DALIL KEHARAMANYA
1. Pengertian Riba

Secara bahasa, kata riba (‫ )ربا‬berarti ziyadah (‫ )زيادة‬yaitu tambahan. Dikatakan dalam


ungkapan Arab :

‫ربا الشيء إذا زاد‬

Sesuatu mengalami riba, maksudnya mengalami pertambahan.

sebagaimana perkataan Umar bin Al-Khattab ‫ الرما‬ ‫ِإنِّ َأخَافُ عَل ْي ُك ُم‬ :‫ ء‬Aku takutkan dari kalian
adalah rama’ (maksudnya adalah riba). Kadang kata riba juga disebutkan dengan lafadz yang
berbeda, seperti ‫( الزيادة‬tambahan), seperti arti kata riba pada ayat:

‫فإذا أنزلنا عليها الماء اهت ّزت و ربت‬...

Artinya:
“Kemudian apabila Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah”
(QS>Al-Hajj:5)
Menurut terminology, ulama fiqihmendefinisikannya sebagai berikut.
a. Ulama hanbaliah
‫الزيادة في أشياء مخصوص‬
Artinya:
“pertambahan sesuatu yang di khususkan “
b. Ulama fuqoha
‫ أو في تأخير في العوضين أو أحدهما‬،‫ في أنواع من المعاوضات‬،‫زيادة مخصوص‬
Artiny a:

“Peningkatan tertentu, dalam jenis kompensasi, atau penundaan dalam dua

pertimbangan, atau salah satunya”

c. Imam Hasan Ibn Ahmad Ibn Muhammad Al-Kaf

‫عقد على عوض مخصوص غيرمعلوم التماثل في معيار الشرع حالة اللعقد أو مع تأخيرفي البلدين أو أحدهما‬

Artinya:
“ Akad atas penggantian yang dikhususkan yang tidak diketahui kesetaraan dalam

pandangan syariah pada saat akad atau dengan penundaan salah satu atau kedua harta

yang dipertukarkan”.1

2. Dalil keharaman riba


Riba diiharamkan berdasarkan Al-Quran, sunah, dan ijma’:
a. Al-Quran
‫وأحل هللا البيع و حرم الربوا‬
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharmkan riba”
(QS. Al-Baqarah : 275)
b. As-Sunah

‫لعن رسو هللا صلى هللا عليه وسلم آكل الربا و موكله و شاهده‬:‫روي عن ابن مسود رضي هللا عنه قال‬
)‫وكاتبه(رواه أبو داود و غيره‬
Artinya:
“Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud r.a bahwa Rasulullah SAW.telah melaknat
pemakan riba, yang mewakilnya, saksinya, dan penulisnya”
(HR. Abu Dawaud dan lain-lain)
c. Ijma’
Seluruh ulama sepakat bahwa riba hukumnya haram dalam islam
B. MACAM-MACAM RIBA
1. Menurut Jumhur Ulama
Jumhur ulama membagi riba dalm dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah
a. Riba Fadhl
Menurut ulama Hanafiyah riba fadhl adalah

‫زيادة عين مال في عقد بيع على المعيار الشرعي عند اتحاد الجنس‬

Artinya:
“Tambahan zat harta paada akad jual beli yang di ukur dan sejenis
Dengan kata lain riba fadhl adalah jual beli yang mengandung unsur riba pad
abarang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut
Oleh karena itu jika melaksanakan akad jual beli antar baranag yang sejenis
tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba
b. Riba Nasi’ah
Menurut ulama Hanafiyah riba nasi’ah adalah
‫فضل الحلول على األجل و فضل العين على الدين فى المكيلين أو الموزونين عند اختالف الجنس أو غير‬
‫المكيلين أو الموزونين عند اتحاد الجنس‬
Artinya:

1
Hasan Ahmad Muhammaad Al-Khaf, Al-Taqrirat Al-Syadidah Fi Al-Masailil Al-Mufidah, h. 21
“memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan memberikan
kelebihan pada benda disbanding uatang pada benda yang ditakar atau yang berbeda
jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang”
Maksudnya menjual barang dengan sejenisnya tetapi yang satu lebih banyak
dengan pembayaran diakhirkan seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu
setengah kilogram gandum yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-beli yang
tidak ditimbang, seperti menjual satu buah semangka dengan dua buah semangka
yang akan dibayar setelah sebulan
Ibn Abbas, Usamah ibn Zaid Ibn Aqram, Jubair, Ibn Jabir, dan lain-lain
berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba nasi’ah . Pendapat ini
didasarkan pada hadis yang diriwayatkan olej Bukhori dan Muslim bahwa Rasulullah
SAW. Bersabda:
‫ال ربا اال فى النسيئة‬
Artinya:
“Tidak ada riba kecuali pada riba nasi’ah”
Ulama lainya menentang pendapat tersebut dan memberikan dalil-dalil yang
menetapkan riba fadhl, sedangkan tabi’in sepakat tentang haramnya kedua riba
tersebut dan perbedaan pendapat pu hilang.
Selain itu mereka yang mengatakan bahwa hanya riba nasi’ah yang di
haramkan kemungkinan tidak utuh dalam memahami hadist di atas. Asal hadis di atas
adalah Nabi Muhammad SAW, ditanya tentang pertukaaran emas dan perak yang
pembayaranya diakhirkan, kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak ada
riba kecuali pada riba nasi’ah” Hadis ini lebih tepat diartikan bahwa riba nasi’ah
adalah riba terberat dibandingkan dengan riba lainnya. Hal ini sama dengan
pernyataan “Tidak ada ulama di daerah ini kecuali pada riba Ahmad”, pzdahal
kenyataanya, juga ada ulama selain Ahmad. Hanya saja Ahmad merupakan ulama
paling disegani.
2. Menuurut Ulama Syafi’iah
Ulama Syafi’iah membagi riba menjadi tiga jenis:
a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti
(penukar) dari yang lainya. Dengan kata lain tambahan berasal dari penukaran paling
akhir. Rib aini terjadi pada barang yang sejenis seperti menjual satu kilogram kurma
dengan satu setengah kilogram kurma
b. Riba Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu) yakni bercerai-cerai
antar dua orang yang akad sebelum timbang terima seperti menganggap sempurna
jual beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus salinig menyerahkan dan menerima
di tempat akad
Menurut ulama Hanafiyah rib aini termasuk riba nasi’ah yakni menambah yang
tampak dalam hutang
c. Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah yakni jual-beli yang pembayaranya diakhirkan tetapi di
tambahkan harganya
Menurut ulama Syafi’iyah riba yad dan riba nasi’ah sama-sam terjadi pada
petukaran barang yang tidak sejenis perbedaannya riba yad mengakhirkan
pemegangan barang sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad
dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Imam Al-
Mutawali menambahkan jenis riba dengan riba qurdi (mensyaratkanya ada manfaat)
akan tetapi Imam Zarkasyi menempatkanya dlam riba fadhl
C. PENDAPAT ULAMA TENTANG ‘ILLAT RIBA
Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada tujuh barang, seperti terdapat para
nash, yaitu emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-
benda ini, adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ فَ َم ْن‬،‫ يَدًا بِيَ ٍد‬،‫ ِم ْثالً بِ ِم ْث ٍل‬،‫ح‬
ِ ‫ض ِة َو ْالبُرُّ بِ ْالبُ ِّر َوال َّش ِع ْي ُر بِال َّش ِعي ِْر َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َو ْال ِم ْل ُح بِ ْال ِم ْل‬
َّ ِ‫ضةُ بِ ْالف‬ ِ َ‫ال َّذهَبُ بِال َّذه‬
َّ ِ‫ب َوالف‬
ْ
‫آلخذ ِوال ُم ْع ِطي فِ ْي ِه َس َوا ٌء‬ ُ ْ ‫َأ‬
ِ ‫ ا‬،‫َزا َد ِو ا ْستَزَ ا َد فَقَ ْد رْ بَى‬ ‫َأ‬
Artinya:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir,
kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah
terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah
maka dia terjatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini
adalah sama.” (HR. Muslim).
Adapun pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat :
- Imam Malik mengkhususkannya pada makanan pokok
- Menurut pendapat masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl terjadi
pada setiap jual beli barang sejenis dan yang ditimbang
- Imam Syafi’i berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas dan perak serta
makanan meskipun tidak ditimbang
Perbedaan antar madzhab lebih detail sebagai berikut:
1.  Madzhab Hanafi
Illat riba fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar
atau ditimbang serta barang yang sejenis seperti emas, perak, gandum, syair, kurma,
garam dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis dari
barang-barang yang telah disebut di atas seperti gandum dengan gandum ditimbang
untuk diperjualbelikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl.
Adapun jual beli pada selain barang-barang yang ditimbang seperti hewan,
kayu dan lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya
seperti menjual 1 ekor kambing dengan 2 ekor kambing sebab tidak termasuk barang
yang bisa ditimbang. (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal. 185)
Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadits shahih Said al-
Khudri dan Ubadah ibn Shanit ra bahwa Nabi Saw bersabda,
‫الذهب بالذهب مثال بمثل يدا بيد والفضل ربا والفضة بالفضة مثال بمثل يدا بيد والفضل ربا والخنطة بالخنطة‬
‫مثال بمثل يدا بيد والفضل ربا والشعير باشعير مثال بمثل يدا بيد§ والفضل ربا والتمر بالتمر مثال بمثل يدا بيد‬
‫والفضل ربا والملح بالملح مثال بمثليدا§ بيد والفضل ربا‬
Artinya:
“emas dengan emas, keduanya sama (mitslan bi mitslin), tumpang terima (yadan bi
yadin), (apabila ada) tambahan adalah riba, perak dengan perak, keduanya sama,
tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, gandum dengan gandum,
keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, sya’ir dengan
sya’ir, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, kurma
dengan kurma, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba,
garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah
riba”.
Di antara hikmah diharamkannya riba adalah untuk menghilangkan tipu menipu
di antara manusia dan juga menghindari kemudharatan. Asal keharamannya adalah
Sadd Adz-Dzara’i (menurut pintu kemudharatan).
Namun demikian tidak semuanya berdasarkan sadd adz-dzara’i tetapi ada pula
yang betul-betul dilarang seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk sebab
hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan ‫( مثال بمثل‬mitslan bi mitslin).
Ukuran riab fadhl pada makanan adalah ½ sha’ sebab menurut golongan ini,
itulah yang telah ditetapkan syara’ (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4,
hal. 188). Oleh karena itu dibolehkan tambahan jika kurang dari ½ sha’
Illat riba nasi’ah adalah adanya salah satu dari 2 sifat yang ada pada riba fadhl
dan pembayarannya diakhirkan. Riba jenis ini telah biasa dikerjakan oleh orang
jahiliyah seperti seseorang membeli 2 kg gandum pada bulan Muharram dan akan
dibayar menjadi 2,5 kg gandum pada bulan Safar
2. Madzhab Maliki
Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah
harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat
dalam hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl.
Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekadar makanan saja
(makanan selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur
penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak kedua unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut
dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.
Alasan utama Malikiyah menetapkan illat di atas antara lain apabila riba
dipahami agar tidak terjadi penipuan di antara manusia dan dapat saling menjaga,
makanan tersebut haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia
yakni makanan pokok seperti gandum, padi, jagung dan lain-lain.
3.  Madzhab Syafi’i
Illat riba pada emas dan perak adalah harga yakni kedua barang tersebut
dihargakan atau menilai harga suatu barang. Illat pada makanan adalah sesuatu yang
bisa dimakan dan memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
a. Sesuatu yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok
b. Makanan yang lezat atau dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan
dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering
c. Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan
yakni obat. Ulama Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan yang
dimaksudkan adalah untuk menyehatkan badan termasuk pula obat untuk
menyehatkan badan.
Dengan demikian riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi
kriteria di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah, jual beli
harus memenuhi kriteria :
a. Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan dating
b. Sama ukurannya
c. Tumpang terima
Menurut ulama Syafi’iyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya seperti
menjual gandum dengan jagung, dobolehkan adanya tambahan, berdasarkan pada
hadits Rasulullah Saw bersabda,
‫الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح سواء بسواء يدا بي§§د ف§§إذا‬
‫اختلف هذه االصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد‬
Artinya:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan
sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima.
Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang terima”
Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama
meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung jagung
4. Madzhab Hambali
Pada madzhab ini terdapat 3 riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur
adalah seperti pendapat ulama Hanafiyah hanya saja ulama Hanabilah mengharamkan
pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.
Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh ulama
Syafi’iyah. Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap makanan
yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan
riba walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang tidak dimakan
manusia.
Hal ini sesuai dengan pedapat Saib bin Musayyib (Ibnu Qudamah, Al-Muhtaj,
juz 4, hal. 3-5) yang mendasarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah Saw bersabda:
)‫الربا إال فيما كيل أووزن مما يؤكل أو يشرب (رواه االرقطني‬
“Tidak ada riba kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan dan diminum”.
(HR Daruquthni)
5. Madzhab Zhahiri
Menurut golongan ini riba tidak dapat di-‘illat-kan sebab ditetapkan dengan
nash saja. Dengan demikian riba hanya terjadi pada barang-barang yang telah
ditetapkan pada hadis di atas, yaitu enam macam sebab golongan ini mengingkarinya
adanya qiyas
Kesimpulan dari pendapat para ulama di atas antara lain : ‘illat riba menurut
ulama Hanafiyah dan Hanbaliah adalah timbangan atau ukuran (alkail wa alwajn),
sedangkan menurut ulama Malikiyah adalah makanan pokok dan makanan tahan
lama, dan menurut ulama Syafi’iyah adalah makanan
D. DAMPAK PERBEDAAN ULAMA TERHADAP ‘ILLAT RIBA
Perbedaan pendapat di kalangan ulama di atas menyebabkan adanya beberapa
perbedaan lainya.
1. Berkaitan dengan Riba Fadhl
Ulama Hanafiyah membolehkan adanya tambahan pada makanan yang tidak
ditimbang sebab tidak ada ‘illat riba, yaitu timbangan. Menurut ulama Syafi’iyah, hal
itu tidak bolehsebab meskipun tidak ditimbang, tetap termasuk jenis makanan.
Sesuatu yang tidak termasuk makanan, tetapi ditimbang dan diukur menurut
ulama Hanafiyah tidak boleh ada tambahan sedangkan menurut ulama Syafi’iyah
dibolehkan sebab bukan termasuk makanan.
2. Berkaitan dengan Jenis
Para ulama berbeda pendapat tentang jual-beli yang berkaitan dengan jenis.
a. Jual-beli tepung dengan sejenisnya
Tentang jual beli tepung dengan sejenisnya, seperti tepung gandum. Ulama
Hanafiyah dan Hanabilah membolehkanya sedangkan ulama Malikiyiah dan
Syafi’iyah melarangnya
b. Jual beli dengan hewan
Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf membolehkan jual beli daging yang dapat
dimakan dengan hewan sejenisnya sebab sama dengan menjual sesuatu yanag tidak
ditimbang
Ulama Malikiyah Hanbaliah danSyafi’iah melarngnya seperti menjual daging
kambing dengan kambing sebab Rasulullah SAW sebagaimana hadis yang
diriwayatkan Imam Baihaqi melarang jual beli sesuatu yang sudah mati
Perbedaan perbedaaan lainya tentu saja masih banyak baik yang berkaitan dengan riba
fadhl maupun yang berkaitan dengan riba nasi’ah

Perbedaan perbedaan lainya tentu saja masih banyak baik yang berkaitan
dengan riba fadhl maupun yang berkaitan riba nasi’ah

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai