Anda di halaman 1dari 50

[EMAIL PROTECTED] Riba dalam

Perspektif Agama dan Sejarah 1-3


Arnoldison
Mon, 18 Jul 2005 00:05:55 -0700

Riba dalam Perspektif Agama dan Sejarah


Oleh Syafei Antonio

I. Definisi Riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan).
Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan
membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa
pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau
bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Mengenai hal ini Allah I mengingatkan dalam firman-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu


dengan jalan bathil." (Q.S. An Nisa: 29)

Dalam kaitannya dengan pengertian al bathil dalam ayat tersebut, Ibnu


Al Arabi Al Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al Qur'an, menjelaskan:

"Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud


riba dalam ayat Qur'ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa
adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan
syariah."

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu


transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan
tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau
bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa
karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai
ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya,
sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan
sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas imbalan
barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para
peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping
menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko
kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi


pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu
penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali ke-sempatan dan faktor
waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil
di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak,
harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan
tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya
dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan
mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja
untung bisa juga rugi.

Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah


Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya:

1.Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari:

"Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba


berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis
riel."

2.Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi:

"Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa


adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan
tersebut."

3. Raghib Al Asfahani
Riba adalah penambahan atas harta pokok"

4. Imam An Nawawi dari mazhab Syafi'i:

Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu
bentuk riba yang dilarang Al Qur'an dan As Sunnah adalah penambahan
atas harta pokok karena unsur waktu.

Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai
lama waktu pinjaman.

5. Qatadah:
"Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo
hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si
pembeli tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas
penangguhan."

6. Zaid bin Aslam:

"Yang dimaksud dengan riba jahiliyyah yang berimplikasi


pelipat-gandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki
piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata: 'bayar
sekarang atau tambah.'"

7. Mujahid:

"Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo


dan (tidak mampu bayar) si pembeli memberikan 'tambahan' atas tambahan
waktu."

8. Ja'far Ash Shadiq dari kalangan Syiah:

Ja'far Ash Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah I mengharamkan


riba - "Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika
diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, maka seseorang
tidak berbuat ma'ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan
sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat
dan kebajikan antarmanusia."

9. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali

"Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab:
Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan
kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak
mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam)
atas pe-nambahan waktu yang diberikan."

II. Jenis-Jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing


adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama
terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan
kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba
nasi'ah.

1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang (muqtaridh).

2. Riba Jahiliyyah

Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu


membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

3. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang
ribawi.

4. Riba Nasi'ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi'ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al Haitsami:

"Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadl, riba al
yaad, dan riba an nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu
riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan
secara ijma' berdasarkan nash al Qur'an dan hadits Nabi."

III. Jenis Barang Ribawi

Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang
ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan
ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya
bahwa barang ribawi meliputi:

1.Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.

2.Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan
makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dalam kaitan dengan perbankan syariah implikasi ketentuan


tukar-menukar antarbarang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai
berikut:

1. Jual-beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam


jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat
transaksi jual-beli. Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah Rp
5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserah-kan ketika tukar-menukar.

2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis


diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat
barang diserahkan pada saat akad jual-beli. Misalnya Rp 5.000,00
dengan 1 dollar Amerika.

3. Jual-beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan


untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserah-kan pada saat akad.
Misalnya mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.

4. Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan


tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian
dengan barang elektronik.

http://www.mail-archive.com/palanta@minang.rantaunet.org/msg09581.html

Riba dalam Perspektif Agama dan Sejarah

oleh : M. Syafii Antonio, MSc


 
 
I. Definisi Riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba
juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan
riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil
atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
 
Mengenai hal ini Allah I mengingatkan dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil.”
(Q.S. An Nisa: 29)
Dalam kaitannya dengan pengertian al bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al Arabi Al Maliki,
dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an, menjelaskan:
“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani
yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang
yang dibenarkan syariah.”
 
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau
komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli,
gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa
karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang
karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti
menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas
imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta
pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut
serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
 
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil
tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam
kecuali ke-sempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang
tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak,
dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
 
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu
semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang
tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi. Pengertian senada disampaikan oleh
jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya:

1. Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari:


“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas
harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riel.”
2. Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi:
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau
padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
3. Raghib Al Asfahani :
“Riba adalah penambahan atas harta pokok”
4. Imam An Nawawi dari mazhab Syafi’i:
“Riba adalah penambahan atas pinjaman seiring bertambahnya waktu”
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang Al
Qur’an dan As Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia
perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
5. Qatadah:
“Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu.
Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, maka ia
memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”
6. Zaid bin Aslam:
“Yang dimaksud dengan riba jahiliyyah yang berimplikasi pelipat-gandaan sejalan dengan waktu
adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata: ‘bayar
sekarang atau tambah.’”
7. Mujahid
“Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu
bayar) si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu.”
8. Ja’far Ash Shadiq dari kalangan Syiah:
Ja’far Ash Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah I mengharamkan riba – “Supaya orang
tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas
pinjaman, maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan
sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan
antarmanusia.”
9. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali
“Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab: Sesungguhnya riba itu
adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau
membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga
pinjam) atas pe-nambahan waktu yang diberikan.”

II. Jenis-Jenis Riba


Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang
dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.
Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtaridh).
2. Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang
dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis
barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
 
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al Haitsami:
“Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadl, riba al yaad, dan riba an nasiah. Al
mutawally menambahkan jenis keempat yaitu riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua
jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash al Qur’an dan hadits Nabi.”
 
III. Jenis Barang Ribawi
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar
dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari
pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi :
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan
seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitan dengan perbankan syariah implikasi ketentuan tukar-menukar antarbarang-barang
ribawi dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Jual-beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama.
Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual-beli. Misalnya rupiah dengan rupiah
hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserah-kan ketika tukar-menukar.
2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan
kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual-beli. Misalnya Rp
5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
3. Jual-beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah
maupun untuk diserah-kan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan
pakaian.
4. Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan
diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.

IV. Konsep Riba dalam Perspektif Non-Muslim


Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam
pun memandang serius per-soalan ini. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat dirunut
mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan bahasan kalangan
Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai
pandangan tersendiri mengenai riba. Maka, sepantasnya bila kajian tentang riba pun melihat
perspektif dari kalangan non-Muslim tersebut. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari
kalangan non-Muslim tersebut perlu pula dikaji.
 
Pertama, agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak, Musa, dan Isa. Nabi-
nabi tersebut diimani juga oleh orang Yahudi dan Nasrani. Islam juga mengakui kedua kaum ini
sebagai Ahli Kitab karena kaum Yahudi dikaruniai Allah I kitab Taurat sedangkan kaum Kristen
dikaruniai kitab Injil.
Kedua, pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak tulisan mengenai
bunga yang dibuat para pemuka agama tersebut.
Ketiga, pendapat orang-orang Yunani dan Romawi juga perlu di-perhatikan karena mereka
memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat mereka juga banyak
mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta Islam dalam memberikan argumentasi
sehubungan dengan riba.
 
1.Konsep Bunga di Kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak
terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-
undangTalmud. Kitab Exodus (Keluaran ) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di
antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah
engkau bebankan bunga terhadapnya.”
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau
apa pun yang dapat dibungakan.”
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan
Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu
kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta
riba.”
 
2. Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa
jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai
bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
Pinjaman biasa (6 % – 18%)
Pinjaman properti (6 % – 12 %)
Pinjaman antarkota (7% – 12%)
Pinjaman perdagangan dan industri (12% – 18%)
Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang
yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan
¡¥tingkat maksimal yang dibenarkan hukum’ (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini
berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan
pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga
(double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan peng-ambilan bunga tidak diperbolehkan.
Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula.
Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi yaitu:
Bunga maksimal yang dibenarkan (8 – 12%)
Bunga pinjaman biasa di Roma (4 – 12%)
Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma) (6 – 100%)
Bunga khusus Byzantium (4 – 12 %)
Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli
filsafat Yunani terkemuka, Plato (427 – 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam
praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234 – 149 SM) dan Cicero (106 – 43 SM). Para ahli
filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan peng-ambilan bunga.
 
Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan.
Per-tama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua,
bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Sedangkan
Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai
alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat untuk meng-
hasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari uang
yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan
bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.
 
Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan bunga mempunyai alasan
yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan ahli filsafat Yunani. Cicero memberi nasihat
kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yakni memungut cukai dan memberi pinjaman
dengan bunga. Cato memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan
dan memberi pinjaman.
i. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko sedangkan memberi pinjaman
dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.
ii. Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan
bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali
lipat.
Ringkasnya, para ahli filsafat Yunani dan Romawi mengang-gap bahwa bunga adalah sesuatu
yang hina dan keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh masyarakat umum pada waktu itu.
Kenyataan bahwa bunga merupakan praktik yang tidak sehat dalam masyarakat merupakan akar
kelahiran pandangan tersebut.
 
3. Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian
kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang
mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima
sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang
berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan
berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka
upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik
terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya ber-bagai tanggapan dan tafsiran dari
para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan
pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat
dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I
hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII – XVI) yang
berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI – tahun
1836) yang menyebabkan agama Kristen meng-halalkan bunga. Pandangan Para Pendeta Awal
Kristen (Abad I – XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan
bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen.
St. Basil (329 – 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang
memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan
orang miskin.
 
St. Gregory dari Nyssa (335 – 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan
melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih
dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.
St. John Chrysostom (344 – 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian
Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru.
St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan
dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu
terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.
St. Anselm dari Centerbury (1033 – 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan.
Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja
gereja mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya
akan diturunkan.
Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja
mempraktekkan pengambilan bunga.
First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat
para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.
Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun
1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak
berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).

Pandangan para pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut :


Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang
dipinjamkan.
Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru.
Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa.
Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang
terselubung.
 
Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII – XVI)
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan
perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam
masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada
awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong
terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.
Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral
semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga
mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-
undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan,
niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.
 
Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari
hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan
menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan,
sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan
kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon
(1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St.
Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274).
Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga
adalah sebagai berikut :
Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu
dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat
si pemberi hutang.
 
Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI – Tahun 1836)
Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para
reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 – 1566),
Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan
Zwingli (1484-1531).
Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:
Dosa apabila bunga memberatkan.
Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
 
Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang seder-hana diperbolehkan asalkan bunga
tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin,
membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya,
menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk
melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula,
agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.

V.Larangan Riba dalam Al Qur’an dan As Sunnah


Ummat Islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya ummat Islam tidak
melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur’an dan hadits
Rasulullah.
1.Larangan Riba dalam Al Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak ditu-runkan sekaligus, melainkan diturunkan
dalam empat tahap. Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada
zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati
atau taqarrub kepada Allah .
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar Rum: 39).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah I mengancam memberi balasan
yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.
Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi
merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan
bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130).

Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria
berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda
maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek
pembungaan uang pada saat itu.
 
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari Surat al
Baqarah yang turun pada tahun ke 9 Hijriyah. (Keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan
“Alasan Pem-benaran Pengambilan Riba”, point “Berlipat-Ganda”).
Tahap terakhir, Allah I dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari
berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)
 
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabary meriwayatkan bahwa:
“Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah e
bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang ber-dasarkan riba
agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah
menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai
daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan
uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa
membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan
dan asset yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan
(riba) dari Bani Mughirah – seperti sediakala – tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam
menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut
kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab langsung menulis surat
kepada Rasulullah dan
 turunlah ayat di atas. Rasulullah lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab ‘jikalau
mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya
maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.’”
 
2. Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada Al Qur’an melainkan juga Al Hadits.
Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang
telah digariskan melalui Al Quran, pelarangan riba dalam hadits lebih terinci. Dalam amanat
terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah e masih menekankan sikap
Islam yang melarang riba. “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan
menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang
akibat riba harus di-hapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan
menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
 
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Di antaranya adalah:
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya
membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala), ayahku kemudian memusnahkan peralatan
bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku
menjawab, bahwa Rasulullah melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan
kasab budak perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan pentato dan yang minta ditato, me-
nerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (H.R. Bukhari no. 2084
kitab Al Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis
kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah e dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana
engkau mendapatkannya ” Bilal menjawab, “Saya mem-punyai sejumlah kurma dari jenis yang
rendah mutunya dan menukar-kannya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan
oleh Rasulullah e”, selepas itu Rasulullah e terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya
riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang
mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan
kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (H.R.
Bukhari no. 2145, kitab Al Wakalah)
 
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah e melarang
penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan
kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (H.R.
Bukhari no. 2034, kitab Al Buyu).
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah e bersabda, “Emas hendaklah dibayar
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa
memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba.
Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” (H.R. Muslim no. 2971, dalam kitab Al Masaqqah)
 
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah e bersabda, “Malam tadi aku
bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah Suci. Dalam perjalanan, sampailah
kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai
tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai
itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya
dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu ‘ Aku
diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.’ ” (H.R.
Bukhari no. 6525, kitab At Ta`bir)
 
Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya,
dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu
semuanya sama.” (H.R. Muslim no. 2995, kitab Al Masaqqah).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah e berkata, “Pada malam perjalanan mi’raj,
aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular
yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa
mereka adalah orang-orang yang memakan riba.
“Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi bersabda: “Riba itu mempunyai 73
pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina
dengan ibunya.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil
karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-
Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka
yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya.”

VI. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba


Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa
cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Di
antara-nya karena alasan:
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak
mendzalimi, diperkenankan.
3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian tidak terkena
khitab ayat-ayat dan hadits riba.
 
Pembahasan :
1. Darurat
Untuk lebih memahami pengertian, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif
tentang pengertian darurat ini seperti yang dinyatakan oleh syara’ (Allah dan rasul-Nya) bukan
pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Imam Suyuti dalam bukunya Al Asybah wan Nadhair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu
keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan
cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”
Dalam literatur klasik keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat
di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, maka dalam keadaan
darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan 2 batasan
 
“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa, seraya dia (1) tidak menginginkan dan (2) tidak pula
melampaui batas, maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang.” (Q.S. Al
Baqarah: 173) Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai
dengan metodologi ushul fiqh, ter-utama penerapan al qawaid al fiqhiyah seputar kadar darurat.
Sesuai dengan ayat di atas para ulama merumuskan kaidah
“Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya.”
Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya,
seandainya di hutan ada sapi atau ayam maka dispensasi untuk memakan daging babi menjadi
hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap maka
tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap. Apalagi jika dibawa pulang dan
dibagi-bagikan kepada tetangga.
 
2. Berlipat Ganda
Pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat-ganda dan memberatkan.
Sementara bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan . Pendapat ini berasal dari pe-mahaman
yang keliru atas Surat Ali Imran ayat 130.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat-ganda dan
bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”
Sepintas, surat Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat-ganda. Namun
pemahaman kembali ayat ter-sebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat
riba lainnya. Secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara
menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak
diharamkan

Kriteria berlipat-ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba, dan sama
sekali bukan merupakan syarat. Syarat artinya kalau terjadi pelipat-gandaan, maka riba, jikalau
kecil tidak riba.
Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konfrensi fiqh Islami di Paris, tahun
1978, me-negaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Beliau menjelaskan secara linguistik arti
“kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara adalah bentuk
jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian berarti 3×2=6 kali.
Sementara dalam ayat adalah ta’kid untuk penguatan.
Dengan demikian menurut beliau, kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan
konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600 %. Secara operasional dan nalar sehat
angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan-pinjam.

Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran ayat 130 ini Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al Matruk,
menegaskan
“Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 Surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat-ganda dan
pengguna-annya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak.
Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai
kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan
demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara
(Allah dan rasul-Nya).”
 
DR. Sami Hasan Hamoud menjelaskan bahwa, bangsa Arab di samping mela-kukan pinjam-
meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka
biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3
tahun (bint labun). Kalau meminjamkan bint labun meminta kembalian haqqah (berumur 4
tahun). Kalau meminjamkan haqqah meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).
 
Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan tergantung kekuatan
supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa
berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.
Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah maf-hum mukhalafah dalam konteks Ali Imran
130 sangatlah menyimpang baik dari siyaqul kalam, konteks antar-ayat, kronologis penurunan
wahyu, dan sabda-sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktek riba pada masa itu.
Secara sederhana, jika kita menggunakan logika maf-hum mukhalafah yang berarti konsekuensi
secara terbalik – jikalau berlipat ganda dilarang, maka kecil boleh; jikalau tidak sendirian, maka
bergerombol; jikalau tidak di dalam maka di luar. dan seterusnya, kita akan salah kaprah dalam
memahami pesan-pesan Allah I Sebagai contoh jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara
mafhum mukhalafah {32} “Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” “Diharamkan bagi kalian (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” Janganlah
mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina
 sendiri tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi.
Janganlah memakan daging babi! Yang dilarang memakan dagingnya, sementara tulang, lemak,
dan kulitnya tidak disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal

Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti
dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks
antarayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek pembahasan, demikian juga disiplin ilmu
bayan, badie, dan maa’nie.
Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 Surat Ali Imran diturunkan
pada tahun ke 3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surat Al Baqarah yang
turun pada tahun ke 9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupa-kan
“ayat sapu jagat” untuk segala bentuk, ukuran, kadar, dan jenis riba.
 
3. Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah
Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan
demikian BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo, tidak terkena hukum taklif karena pada saat
Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis
i. Adalah tidak benar pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama sekali. Sejarah
Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan
dari pihak penguasa. Atau dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
ii. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality
atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili
individu-individu secara keseluruhan.
Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan da-pat melakukan mudharat jauh lebih besar
dari per seorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah
lembaga mafia dalam memproduksi, meng-ekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang
tidaklah sama lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita
menyatakan apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena
bukan insan mukallaf.
Memang ia bukan insan mukallaf tetapi melakukan fi’il mukallaf yang jauh lebih besar dan
berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir
dengan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir
dalam skala kecamatan atau kabupaten sementara lembaga rente meliputi propinsi, negara,
bahkan global.

VII. Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang


Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan tersebut
dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.
1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur
ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan
kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produk-tif. Islam mendorong seluruh
masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi
di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan
kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan
kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai
mudharib atau pengelola dana.
 
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus
berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih
memberi kepercayaan bagi pemilik dana.
 
VIII. Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang
Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-
meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena
pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas,
seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak
pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan.
Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang
utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus
keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh
berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah
yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.
 
IX. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta meng-haramkan riba. Keduanya sama-
sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang
sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
SISTEM BUNGA STESAAMS
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung a.Penentuan
besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan
un-tung rugi
b. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. b. Besarnya
rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang
dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. c. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek
yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau
keadaan ekonomi sedang “booming”. d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan
peningkatan jumlah pendapatan.
e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam. e. Tidak
ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

X. Berbagai Fatwa tentang Riba


Hampir semua majlis fatwa ormas Islam berpengaruh di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama, telah mem-bahas masalah riba. Pembahasan itu sebagai bagian dari kepedulian
ormas-ormas Islam tersebut terhadap berbagai masalah yang berkembang di tengah umatnya.
Untuk itu, kedua organisasi tersebut memiliki lembaga ijtihad yaitu Majlis Tarjih
Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa¡¦il Nahdlatul Ulama.
 
Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputusan penting kedua lembaga ijtihad tersebut
yang berkaitan dengan riba dan pembungaan uang.
1. Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi/keuangan di luar zakat,
meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi
simpan-pinjam (1989).
Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan :
i. Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur¡¦an dan As Sunnah.
ii. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
iii. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya
yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
iv. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk meng-usahakan terwujudnya konsepsi sistem
perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang
diemban sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank pemerintah (pada saat
itu) relatif lebih rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan
bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).
 
Majlis Tarjih Wiradesa, Pekalongan (1972) :
i. Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Majlis
Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya
lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
ii. Mendesak Majlis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam
muktamar yang akan datang.
 
Masalah keuangan secara umum ditetapkan berdasarkan keputusan Muktamar Majlis Tarjih
Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian uang atau harta, hak milik,
dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan-pinjam dibahas
dalam Muktamar Majlis Tarjih Malang (1989). Keputusannya: koperasi simpan-pinjam
hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan-pinjam bukan
termasuk riba.
 
Berdasarkan keputusan Malang di atas, Majlis Tarjih PP Muhammadiyah mengeluarkan satu
tambahan keterangan yakni, bahwa tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan oleh
peminjam kepada koperasi simpan-pinjam bukanlah riba. Namun, dalam pelaksanaannya, perlu
mengingat beberapa hal. Di antaranya, hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak melampaui
laju inflasi.
 
2. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama
Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutus-kan masalah tersebut melalui beberapa
kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai.
Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini :
i. Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut rente.
ii. Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat
begitu saja dijadikan syarat.
iii. Syubhat: (tidak tentu halal-haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-
hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.
Keputusan Lajnah Bahsul Masa¡¦il yang lebih lengkap tentang masalah bank ditetapkan pada
sidang di Bandar Lampung (1982). Kesimpulan sidang yang membahas tema Masalah Bank
Islam tersebut antara lain :
i. Para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank konvensional sebagai
berikut :
Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga
hukumnya haram.
Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh.
Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).
Pendapat pertama dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut :
Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba, sehingga hukumnya haram.
Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara sistem
per-bankan yang islami atau tanpa bunga belum ber-operasi.
Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab ada kebutuhan
yang kuat (hajah rajihah).
Pendapat kedua juga dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut :
Bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram.
Bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
Bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
Bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di bank, hukumnya boleh.
Bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.

ii. Menyadari bahwa warga NU merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan
nasional dan dalam kehidupan sosial ekonomi, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan yang
memenuhi persyaratan sesuai dengan keyakinan warga NU. Maka, Lajnah memandang perlu
mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam, yakni bank
tanpa bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Sebelum tercapai cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini
segera diperbaiki.
Perlu diatur :
1) Penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip:
i) Al wadi¡¦ah (simpanan) bersyarat atau dlaman, yang digunakan untuk menerima giro (current
account) dan tabungan (saving account) serta titipan dari pihak ketiga atau lembaga keuangan
lain yang menganut sis-tem yang sama.
ii) Al mudharabah, dalam prakteknya konsep ini disebut sebagai investment account atau lazim
disebut sebagai deposito berjangka dengan jangka waktu yang berlaku, misal-nya 3 bulan, 6
bulan, dan seterusnya, yang pada garis besarnya dapat dinyatakan dalam:
- General Investment Account (GIA).
- Special Investment Account (SIA).
2) Penanaman dana dan kegiatan usaha:
i) Pada dasarnya terbagi atas tiga jenis kegiatan, yaitu pembiayaan proyek, pembiayaan usaha
perdagangan atau perkongsian, dan pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan,
profit and loss sharing, dan sebagainya.
ii) Untuk membiayai proyek, sistem pembiayaan yang dapat digunakan antara lain mudharabah,
muqaradhah, musyarakah/syirkah, muraba-hah, pemberian kredit dengan service charge (bukan
bunga), ijarah, bai¡¦uddain, termasuk di dalamnya bai¡¦ as salam, al qardhul hasan (pinjaman
kredit tanpa bunga, tanpa service charge), dan bai¡¦ bitsaman aajil.
iii) Bank dapat membuka LC dan menerbitkan surat jaminan. Untuk mengaplikasikannya, bank
dapat menggunakan konsep wakalah, musyarakah, murabahah, ijarah, sewa-beli, bai’ as salam,
bai’ al aajil, kafalah (garansi bank), working capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui
purchase order dengan menggunakan prinsip murabahah.
iv) Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya seperti pengiriman dan transfer uang,
jual-beli mata uang atau valuta, dan penukaran uang, tetap dapat dilaksanakan dengan dengan
prinsip tanpa bunga.
3) Munas mengamanatkan kepada PBNU agar membentuk suatu tim pengawas dalam bidang
syariah, sehingga dapat menjamin keseluruhan operasional bank NU tersebut sesuai dengan
kaidah-kaidah muamalah Islam.
4) Para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya bank Islam NU dengan sistem tanpa
bunga.
3. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta Sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah
menyepakati dua hal utama yaitu :
i. Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
ii. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah
Hasil kesepakatan inilah yang melatar-belakangi didiri-kannya Bank Pembangunan Islam atau
Islamic Development Bank (IDB).
4.Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan
konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik
Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah
memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam Konferensi II KKID yang
diselenggarakan di Universitas Al Azhar, Cairo, pada bulan Muharram 1385 H./ Mei 1965,
ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang
seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Di antara ulama-ulama besar yang hadir pada
saat itu antara lain, Syeikh al Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa
Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia lainnya.
 
Dr. Yusuf Qardhawi, salah seorang peserta aktif dalam konferensi tersebut mengutarakan
langsung kepada penulis pada tanggal 14 Oktober 1999 di Institute Bankir Indonesia, Kemang,
Jakarta selatan, bahwa konferensi tersebut di samping dihadiri oleh para ulama juga diikuti oleh
para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa, dan dunia Islam. Yang menarik, menurut beliau,
bahwa para bankir dan ekonom justru yang paling semangat menganalisa kemadharatan praktek
pembunga-an uang melebihi hammasah (semangat) para ustadz dan ahli syariah. Mereka
menyerukan bahwa harus dicari satu bentuk sistem perbankan alternatif.
 
6. Fatwa lembaga-lembaga lain
Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia di atas, beberapa lembaga
tersebut berikut ini juga menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang
diharamkan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain
i. (Akademi Fiqh Liga Muslim Dunia)
ii. (Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia)
 
Satu hal yang perlu dicermati, keputusan dan fatwa dari lembaga-lembaga dunia di atas diambil
pada saat bank Islam dan lembaga keuangan syariah belum berkembang seperti saat ini. Atau
dengan kata lain, para ulama dunia tersebut sudah berani menetapkan hukum dengan tegas
sekalipun pilihan-pilihan alternatif belum tersedia. Alangkah malunya kita di mata Allah I dan
Rasulullah e ketika saat ini sudah berdiri 2 bank syariah secara penuh (Bank Muamalat dan Bank
Syariah Mandiri), 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Asuransi Takaful Keluarga,
Asuransi Takaful Umum, Reksa Dana Syariah dan ribuan Baitul Maal wat Tamwil (dengan
segala kekurangan dan kelebihannya) kita masih belum mem-buka hati untuk ¡§bertanggung
jawab¡¨ terhadap ajaran agama kita.

XI. Dampak Negatif Riba


1. Dampak Ekonomi
Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai
biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku
bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu
barang.
Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan
tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan,
terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang
negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak,
artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara peng-hutang harus berhutang
lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini
yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh
masyarakat dunia.
 
2. Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan
uangnya untuk memerintah-kan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua
puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjam-kannya. Persoalannya, siapa yang bisa
menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih
dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak
bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu bahwa berusaha memiliki
dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan
bahwa usaha yang yang dikelola pasti untung.***
 
sumber: www.tazkia.com

http://dennyhendrata.wordpress.com/2006/09/07/riba-dalam-perspektif-agama-dan-sejarah/

-RIBA PERSPEKTIF AGAMA & SEJARAH September 28, 2009


Posted by ppraudlatulmubtadiin in GORESAN.
trackback

1. A. Definisi Riba
Riba (‫ )الربا‬secara bahasa bermakna: ziyadah(‫– زيادة‬tambahan ). Dalam pengertian lain, secara
linguistic, riba juga bwerarti tumbuh dan membesar.

Adapun dalam istilah teknis, riba berarti


pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba ini, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba
adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara
bathil atau bertentangan dengan prinsip mu’amalah dalam islam.

1. B. Macam-Macam Riba

Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang
dan riba jualbeli.Adapun riba yang kedua yaitu riba jual beli, terbagi menjadi Riba Fadl dan
riba Nasi’ah.

Adapun Riba menurut Imam Ibnu Hajar Al- Haitsami Ada empat yaitu :

1. Riba Qardh ( ‫)ربا القرض‬

Suatu manfaat atau tingkatan kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang yang berutang (
muqtaridh).

1. Riba Jahiliyah (  ‫)رباالجاهلية‬

Hutang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutang pada
waktu yang ditetapkan.

1. Riba Fadl ( ‫)رباالفضل‬

Pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang
yang ditukarkan termasuk barang ribawi.

1. Riba Nasi’ah ( ‫) رباالنسيئة‬

Penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba
dalam Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

1. C. Jenis Barang Ribawi.


Para Ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar
dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari
pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:

1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum. Dan jagung, serta bahan makanan tambahan,
seperti sayur-mayur dan buah-buahan.
3. D. Larangan Riba dalam Al-Qur’an Dan As-Sunnah

1.Larangan Riba Dalam Al-Qur’an

Larangan Riba yang terdapat dalam al- qur’an tidak diturunkan sekaligus

melainkan diturunkan dalam empat tahap.

Tahap pertama,menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada dzahirnya

seolah-olah menolong mereka yang membutuhkan sebagai suatu perbuatan

mendekati atau Taqarrub kepada Allah SWT.

Yaitu  dalam surat Ar-Rum :39.

Tahap Kedua, Riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan
memberi balasan yang keras kepada orang yahudi memakan riba.

Yaitu  dalam surat An-Nisa’ Ayat:161 .

Tahap ketiga, Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda,
para Ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi
merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan opada masa tersebut.

Yaitu  dalam surat Ali Imran :130.

Tahap Keempat, Allah menjelaskan dengan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman.

Yaitu  dalam surat Al-Baqarah :279.

2. Larangan Riba Dalam Al-Hadist

Pelarangan riba tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga Al- Hadist. Hal ini sebagai
mana posisi umum hadist yang bwerfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah
digariskan melalui Al-Qur’an. Adapun pelarang riba dalam hadist lebih terinci.
Diantara hadist tersebut adalah wasiat nabi terakhir pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah,
rasulullah  masih menekankan sikap islam yang melarang riba “Ingatlah bahwa kamu akan
menghadap tuhanmu dan dia pasti akan menghitung Amalmu.Allah telah melarang kamu
mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok )
kamu adalah hal kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidak adilan.” Dan
hadist-hadist yang lainnya.

E.Konsep Riba Dalam Persepektif Non Muslim

Riba bukan hanya merupakan masalah masyarakat islam, tetapi berbagai kalangan diluar islam
pun memandang serius persoalan ini. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat diruntut
mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam. Masalah telah menjadi vbahan bahasan kalangan
yahudi, yunani, demikian juga romawi. Kalangan keristen dari masa-kemasa juga mempunyai
pandangan tersendiri mengenai riba.

Adapun konsep riba menurut mereka akan disebutkan secara singkat berikut.

1. 1. Konsep Riba Dikalangan Yahudi

Konsep tentang larangan riba tersebut dikalangan Yahudi banyak terdapat dalam kitab suci
mereka, baik dalam Old Testment ( Perjanjian Lama ) Maupun undang-undang Talmud.
Larangan tersebut sebagi berikut :

Kitab Exodus pasal 22 Ayat 25 menyatakan

“ Jika Engkau meminjamkan Uang kepada salah seorang dari umatku orang yang

Miskin diantara kamu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang

terhadap dia: janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya”

Kitab Deoteronomy Psal 23 ayat 36-37 Menyatakan,

“ Janganlah kamu membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan

makanan, atau apapun yang dapat dibungakan “

Kitab Levicitus Pasal 25 Ayat 19 Mengatakan,

“Jangan lah engkau mengambil uang atau riba darinya, melainkan engkau harus

takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau

memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah

kau berikan dengan meminta riba”


1. 2. Konsep Bunga dikalangan Yunani Dan Romawi

Konsep atau praktik pengambilan bunga dicela oleh para Ahli Filsafat, dua filosof yunani
terkemuka,Yaitu plato dan Aristoteles, mengecam praktik bunga. Dengan pebndapat mereka
sebagai berikut:

Plato ( 427-347 SM) Dia mengecam system bunga berdasarkan dua alasan yang pertama: Bunga
mengakibatkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua :Bunga
merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.

Adapun Aristoteles ( 384-322 SM) Menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi


uang adalah sebagi alat tukar atau Medium of exchange. Ditegaskannya bahwa uang bukan alat
untuk menghasilkan tambahan melalui bunga.Diapun menyebut bunga sebagai uang yang
berasal keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi.

Kalu kita telah mengamati pendapat para tokoh filosof yunani diatas, sekarang kita amati
pendapat ahli filsafat romawi yang pendatnya beralasan yang sama dengan alas an filosof yunani
tokoh tersebut adalah. Cato (234-149 SM) Ia berkata pada anaknya agar menjauhi dua perkara
yaitu memungut cikai dan mengambil bunga.

1. 3. Konsep Bunga Dikalangan Kristen

Kitab perjanjian baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Akan tetapi, sebagaian
kalangan kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-35 sebagi Ayat yang
mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat trsebut menyatakan,

“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima
sesuatu darinya, Apakah jasamu ?Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang
berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan
berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka
upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak tuhan yang maha tinggi sebab ia baik
terhadap orang-orang yang tidak tahu berterma kasih dan terhadap orang-orang jahat”

Larangn riba juga terdapat pada kitab perjanjian lama

*        St.Basil (329-379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperikemanusiaan. Baginya mengambil bunga adalah Mengambil keuntungan dari orang yang
memerlukan, Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan
orang miskin.

*        St.Gregory Dari Nyssa (335-407 )Mengutuk praktik bunga karena menurutnya pertolongan
melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu, tetapi pada saat menagih
dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.

Dan masih banyak larangan-larangan riba lainnya didalam kitab injil perjanjian lama tersebut
yang tidak bisa disebutkan oleh kami pemakalah.
F. Dampak Negatif Riba

1. Dampak Ekonomi

Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai
biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu element dari penentuan harga adalah suku
bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu
barang.

Dampak lainnya adalah bahwa hutang dengan rendahnya penerimaan peminjam dan tingginya
biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi
bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang Negara-negara
berkembang kepada Negara –negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan
suku bunga yang rendah, pada akhirnya Negara-negara pengutang harus berhutanglagi untuk
membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah utang yang terus menerus. Ini yang
menjelaskan proses terjadinya kemiskinan structural yang menimpa lebih dari separuh
masyarakat dunia.

2.Sosial Kemasyarakatan

Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan
uangnya untuk memerintah orang lain agar berusaha dan mengembalikan, misalnya, 25% lebih
tinggi dari jumlah yang dipinmjamkan. Persoalannya, siapa yazng bisa menjamin bahwa usaha
yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari 25% ? semua
orang,apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi
besok lusa. Siapapun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan : berhasil atau gagal.
Dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan, bahwa usaha yang dikelola pasti untung.

http://ppraudlatulmubtadiin.wordpress.com/2009/09/28/riba-perspektif-agama-sejarah/

Saatnya Menggusur Riba dari Percaturan Ekonomi Indonesia

September 15th, 2003 in KUMPULAN ARSIP e-SYARIAH, SISTEM EKONOMI SYARIAH |


No Comments »

oleh: Hidayatullah Muttaqin

Secara umum riba didefinisikan sebagai pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli
maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam.[1]
Definisi ini mencakup segala jenis riba, baik yang pernah ada dalam jaman jahiliyah seperti riba
qardh, riba jahiliyyah, riba fadl, dan riba nasiah, juga praktik riba di zaman sekarang baik dalam
bentuk bunga bank, jual beli saham, promes, LC, permainan valas, dll.[2]
Menurut An-Nabhani, orang yang melakukan riba, keuntungan yang dia peroleh memiliki sifat
mengeksploitasi tenaga orang lain sehingga tanpa bekerja sedikitpun keuntungan tersebut dia
peroleh. Selain itu, keuntungan tersebut diperoleh secara pasti karena sudah menjadi aqad dalam
transaksinya.[3] Badr Ad Din Al Ayni mengemukakan, prinsip utama dalam riba adalah
penambahan dan menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya
transaksi bisnis riil.[4]

Adapun ayat yang secara final mengharamkan riba, QS. Al Baqarah 278 yang artinya, “Hai
orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu…”. Ayat ini dengan
tegas mengharamkan riba untuk selama-lamanya. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar,
ayat ini merupakan peringatan yang amat keras yang dalam bahasa zaman sekarang bisa juga
disebut ultimatum dari Allah. Betapa murkanya Allah terhadap pelaku riba, sampai-sampai
ancaman Allah ini lebih keras dari dosa yang lain.[5]

Al Baihaqi dan Al Hakim pernah meriwayatkan sebuah hadist Rasulullah SAW dari Ibnu
Mas’ud. “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama
dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat
orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang
kelihatan dari luar. Aku bertanya pada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka
adalah orang-orang yang memakan riba.” Rasulullah juga mengingatkan bahwa orang yang
memakan riba, termasuk salah satu dari empat golongan orang yang diharamkan masuk surga
dan tidak mendapat petunjuk dari Allah.

Kemudian siapa sajakah yang terkena dosa riba sehingga mereka mendapatkan ancaman dari
Allah ? Dalam HR Muslim, “Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang
menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya,
kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.”

Larangan riba ini tidak peduli apakah banyak ataukah sedikit jumlah riba yang diambil.

Bahaya Riba bagi Kehidupan Manusia

Hamka mengungkapkan bahaya riba, yakni riba merupakan suatu kejahatan yang meruntuhkan
hakikat dan tujuan Islam dan iman. Riba menyebabkan hancurnya ukhuwah di antara orang yang
beriman dan perselisihan antara sesama manusia. Riba benar-benar merupakan pemerasan
manusia terhadap manusia yang lain. Segelintir orang yang menghisap riba dengan enak-enaknya
menggoyang-goyangkan kakinya dan dari tahun ke tahun mereka menerima kekayaan yang
berlimpah dengan tidak bekerja sama sekali. Sementara orang yang dihisap riba memeras
keringat hanya untuk menambah kekayaan orang lain, seolah-olah dia menjadi budak dan sapi
perahan.[6]

Allah mengingatkan tentang bahaya riba ini di dalam firmannya QS. Al Baqarah ayat 275, yang
artinya “Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila…”. Dalam ayat ini dijelaskan
bagaimana keadaan orang yang melakukan riba, yakni merasakan kesusahan dan gelisah
walaupun penghasilan dari riba sudah begitu besar. Orang-orang ini diumpamakan sebagai orang
yang kacau, gelisah, resah karena kerasukan syaitan.[7]

Salah satu ekonom kapitalis sendiri, Keynes, menyebutkan bahwa riba (maksudnya suku bunga)
hanyalah angan-angan manusia belaka, manusia dipaksa untuk menerima riba sebagai sesuatu
yang baik dan wajar padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih fatal lagi riba telah menyebabkan
inefisiensi dan ketidakproduktifan di dalam masyarakat. Riba akan menyebabkan sebagian
masyarakat berperilaku malas, eksploitatif dan spekulatif.[8]

Bahaya riba selain mengancam orang secara individu, juga mengancam perusahan (BUMN dan
swasta), bahkan keberlanjutan hidup suatu negara. Para pelaku riba akan merasakan penyakit
riba ini.

Riba dalam Kehidupan Sekarang

Dalam kehidupan sekarang, dimana telah terjadi perkembangan dalam aktivitas ekonomi seperti
bank, asuransi, transaksi obligasi, transaksi valas, dll, kita dihadapkan pada kondisi yang serba
sulit, karena hampir sebagian besar aktivitas ekonomi mengandung unsur riba. Jika kita tidak
hati-hati, kita bisa terjebak riba. Hal ini bisa terjadi karena tidak diterapkannya syariat Islam
yang menjamin dan menjaga kehidupan kaum muslimin dan umat lainnya.

Riba di zaman modern ini telah menjelma dan dilegitimasi oleh sistem dan institusi/lembaga.
Bank Sentral yang dimiliki setiap negara seperti Bank Indonesia, menggunakan instrumen riba
(bunga) sebagai dasar kebijakan moneter dan dalam mempengaruhi sektor riil.

Untuk mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat (M1), untuk menjaga inflasi dan
stabilitas kurs rupiah di sektor moneter, serta memicu gairah investasi di sektor riil, maka Bank
Indonesia memainkan instrumen suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan cara
menaikkan ataupun menurunkan tingkat suku bunga SBI tersebut.

Kebijakan bank sentral ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan perekonomian dalam negeri,
bahkan bagi suatu negara yang mempunyai pengaruh yang luas dalam perekonomian dunia
seperti Amerika Serikat, kebijakan bank sentralnya (The Fed) dalam menaikkan atau
menurunkan tingkat suku bunga Amerika walaupun hanya satu persen saja akan membawa
pengaruh yang besar terhadap perekonomian global termasuk Indonesia.

Dalam perekonomian kapitalis, perbankan memiliki peranan yang penting dalam sendi
kehidupan ekonomi masyarakat dan negara. Hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat
terkait dengan bank, seperti untuk menyimpan dananya dalam bentuk tabungan, deposito, giro,
ataupun dalam memperoleh modal untuk membentuk dan mengembangkan usaha, juga jasa-jasa
perbankan lainnya seperti LC (letter of credit) untuk ekspor impor, kartu kredit, transfer uang,
dll. Namun, hampir seluruh jasa-jasa perbankan konvensional tersebut terkait dengan bunga yang
secara sadar ataupun tidak sadar turut dinikmati masyarakat. Selain bank, riba juga bisa
dijalankan oleh lembaga-lembaga keuangan lainnya seperti koperasi simpan pinjam, asuransi,
pegadaian, dana pensiun.

Pada sektor informal, riba dihidupkan oleh masyarakat dengan memberikan pinjaman pribadi
kepada pihak lainnya dengan mengenakan bunga. Biasanya para peminjam adalah orang-orang
kecil seperti para petani, pedagang kecil, nelayan, sedangkan para pemberi pinjaman kebanyakan
para juragan kaya.

Perkembangan perekonomian yang berkiblat kepada kapitalis telah membuat perolehan sumber-
sumber keuangan tidak hanya cukup dari dunia perbankan, karena itu muncullah sumber-sumber
keuangan ribawi yaitu pasar uang dan pasar modal. Di sini diterbitkan instrumen-instrumen
keuangan seperti obligasi (bonds) dan surat utang, saham, reksadana, yang kemudian dapat
diperdagangkan dalam transaksi derivatif (financial derivativies). Transaksi ini antara lain
berbentuk future dan option yang terjadi di zero sum market (satu pihak diuntungkan dan pihak
lain dirugikan yang berarti zhalim dan terjadi eksploitasi). Dalam transaksi derivatif ini juga
diperdagangkan mata uang.[9]

Selain melakukan pinjaman kepada bank, pemerintah, BUMN dan swasta dapat memperoleh
dana/modal melalui pasar modal dan pasar uang ini dengan menerbitkan saham dan obligasi.
Pasar keuangan ini sarat dengan kegiatan spekulasi yang bernilai ratusan miliar dolar setiap
harinya. Di sinilah sektor moneter (sektor maya) dengan cepat menggelembung sehingga tercipta
ekonomi balon (buble economic) yang sangat rawan krisis.

Di tingkat negara riba telah lama mewabah. Hampir seluruh negara di dunia melakukan utang-
piutang baik terhadap negara lainnya maupun dengan lembaga keuangan internasional seperti
Bank Dunia (World Bank), IMF dan ADB dengan tingkat bunga tertentu dan syarat yang
memberatkan (zhalim).

Fakta Kerusakan Ekonomi Ribawi di Indonesia

Salah satu penyebab terpuruknya perekonomian Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan
adalah utang luar negeri, baik yang dilakukan pemerintah maupun yang dilakukan swasta.
Sampai akhir tahun 2001 total utang luar negeri Indonesia adalah US $ 139,143 miliar dengan
rincian US $ 72,197 miliar utang luar negeri pemerintah dan sisanya sebesar US $ 66,946 miliar.
Padahal utang luar negeri Indonesia pada awal orde baru sekitar US $ 2,437 miliar.

Besarnya utang luar negeri Indonesia ini selain disebabkan oleh pinjaman yang terus dilakukan
setiap tahunnya, juga karena faktor bunga. Khusus bunga utang luar negeri pemerintah yang
dibayar dari tahun 1989-2001 berjumlah US $ 46,631 miliar atau setara dengan Rp 419,679
trilyun (kurs Rp 9000 per dolar).[10] Kemudian selama tahun 1996-2000 total utang luar negeri
Indonesia yang dibayar kepada kreditur luar negeri adalah US $ 128,748 miliar. Dari jumlah
tersebut, beban bunga yang dibayar Indonesia sebesar US $ 38,025 miliar atau 29,53 persen[11].
Bila jumlah beban bunga tersebut dirupiahkan dengan kurs Rp 9000 per dolar, maka beban
bunga yang dibayar Indonesia itu setara dengan Rp 342,225 trilyun. Beban bunga utang luar
negeri Indonesia selama lima tahun tersebut lebih besar dari rencana penerimaan RAPBN 2003
sebesar Rp 327,834 trilyun yang disampaikan presiden pada pidato kenegaraannya bulan
Agustus lalu.[12] Jadi bisa dibayangkan bagaimana susahnya pemerintah mencari sumber
penerimaan APBN sebesar itu, apalagi pemerintah mentargetkan penerimaan dari pajak sebesar
Rp 260,785 trilyun[13] (79,55 persen dari total penerimaan RAPBN) yang berarti masyarakat
kembali harus berkorban banyak untuk membayar pajak.

Dalam RAPBN 2003, pemerintah menganggarkan Rp 80,89 trilyun untuk membayar bunga
utang dalam negeri dan luar negeri atau memakan porsi 43,4 persen dari belanja rutin.
Bandingkan anggaran bunga utang ini dengan anggaran pendidikan yang hanya berjumlah Rp
13,6 trilyun. Akibat beban bunga ini, RAPBN 2003 mengalami defisit yang cukup besar yaitu Rp
26,263 trilyun.[14] Defisit ini oleh pemerintah sebagaimana biasanya berusaha ditutupi dengan
privatisasi BUMN, penjualan aset-aset yang ditangani BPPN, penghapusan subsidi untuk rakyat
dan meningkatkan penerimaan dari pajak. Tentu saja kebijakan ini akan semakin memberatkan
rakyat. Jelas APBN ini menggambarkan keuangan negara tidak rasional.[15]

Sektor keuangan dan perbankan Indonesia juga mengalami kerusakan yang sangat parah bahkan
akut. Sejak dipermudahnya pendirian bank oleh pemerintah melalui Paket Oktober (Pakto) 1988,
maka dengan cepat ratusan bank baru menjamur di Indonesia, sehingga semakin dekatlah
interaksi masyarakat dengan bunga. Akhirnya seiring dengan jatuhnya mata uang rupiah dan
krisis utang Indonesia, perbankan mengalami kejatuhan yang luar biasa. Dari kredit macet,
pelarian uang nasabah oleh pemilik bank, sampai dengan ketidakmampuan bank untuk
mengembalikan dana masyarakat akibat mengalami rush.

Untuk mengatasi keadaan tersebut Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang jumlahnya Rp 144,536 trilyun. Menurut BPK, dari dana BLBI yang
disalurkan Bank Indonesia tersebut terdapat indikasi penyimpangan sebesar Rp 138,442 trilyun
(95,78 persen) sampai 29 Januari 1999.[16]

Program penyehatan perbankan Indonesia yang dijalankan pemerintah dan diawasi IMF,
menyebabkan pemerintah terjebak pada utang domestik sebesar Rp 600 trilyun lebih yang
jumlahnya akan terus berkembang. Utang domestik tersebut berupa Surat Utang Pemerintah
(SUP) yang terdiri dari Rp 400 trilyun lebih dalam bentuk obligasi rekap yang ditaruh di bank-
bank rekap, dan sisanya SUP yang dikeluarkan untuk mengganti dana BLBI kepada Bank
Indonesia.[17] Ini merupakan suatu yang tidak masuk akal. Karena sebelum terjadinya krisis
perbankan, pemerintah tidak memiliki utang dalam negeri, namun dengan dikeluarkannya dana
BLBI dan program penyehatan perbankan, pemerintah harus menanggung utang dalam negeri
yang jumlahnya sangat besar dan beban ini harus ditanggung bersama rakyat Indonesia melalui
APBN.

Setiap tahun jumlah bunga utang dalam negeri ini dibayar oleh pemerintah antara Rp 50 sampai
Rp 60 trilyun kepada Bank Indonesia dan bank-bank yang direkap. Besarnya beban bunga ini
tergantung perkembangan suku bunga SBI. +Jika suku bunga SBI naik satu persen, maka kira-
kira beban bunga bertambah Rp 6 trilyun (hitungan kasar, 1% x 600 trilyun).

Anehnya bank-bank yang masuk dalam program rekapitalisasi perbankan, setelah


dibiayai/direkap sehingga CAR-nya membaik, oleh pemerintah dengan persetujuan DPR dijual
kepada swasta. Misalnya kasus divestasi saham BCA. BCA yang sudah disuntikkan modal dari
obligasi pemerintah senilai 60 trilyun dan setiap tahunnya menerima bunga obligasi rekap rata-
rata Rp 8,4 trilyun pertahunnya atau Rp 700 miliar perbulannya[18] dijual seharga Rp 5,3 trilyun
kepada investor dari Amerika, Faralon Capital. Baru-baru ini pemerintah menjalin kesepakatan
untuk menjual 51 persen saham Bank Niaga kepada Commerce Asset dari Malaysia seharga Rp
1,025 trilyun, padahal obligasi pemerintah di Bank Niaga senilai Rp 9,5 trilyun.[19] Proses
divestasi bank dalam program rekapitalisasi ini akan berlanjut dengan penjualan bank-bank
lainnya.

Jauh sebelum terjadinya krisis perbankan, negara dan masyarakat sudah mengalami kerugian
akibat kegiatan ribawi ini. Menurut Rahmat Basoeki, terjadi penjarahan periode pertama dana
milik rakyat oleh konglomerat di Bank Indonesia sebesar 100 trilyun melalui KLBI (Kredit
Likuiditas Bank Indonesia) periode 1985-1988. Periode kedua tahun 1988-1996, yakni dengan
dikeluarkannya kebijakan Pakto ’88 yang membuat para konglomerat rame-rame mendirikan
bank dengan janji bunga yang tinggi sehingga berhasil menyedot dana masyarakat yang
kemudian dana tersebut disalurkan kepada kelompok usaha mereka sendiri. Akibatnya bank-
bank para konglomerat tersebut sekarat bahkan tidak dapat mengembalikan dana masyarakat
sedangkan mereka dengan enaknya melarikan diri ke luar negeri beserta uang yang mereka jarah.
[20]

Dalam perekonomian yang lesu, bank-bank hasil binaan BPPN tersebut tidak menyalurkan
dananya ke masyarakat, karena takut mengalami kredit macet apalagi dengan tingkat suku bunga
yang masih tinggi. Bank-bank tersebut justru menanamkan dananya pada aktivitas bunga yang
tidak berhubungan sama sekali dengan sektor produksi. Mereka lebih senang mendepositokan ke
bank lain, membungakan uang di pasar uang antar bank, jual beli surat berharga seperti obligasi,
commercial paper serta transaksi derivatif lainnya, dan yang terbanyak dengan
membungakannya pada SBI. Hal ini membuat geram Memperindag Rini Suwandi dengan
mengirimkan surat kepada BI karena dana masyarakat yang dikelola bank 90 persen (meminjam
istilah Hilmi) “menari-nari” di Bank Indonesia.[21]

Kebijakan Bank Indonesia memberlakukan suku bunga yang tinggi (tight money policy) untuk
menahan laju penurunan rupiah telah menyebabkan sektor riil yang sudah bangkrut karena terlilit
utang berbunga, terpaksa terjatuh-jatuh untuk merangkak bangkit. Walaupun instrumen SBI
sudah dinaikkan tingkat suku bunganya (pernah mencapai 70 persen) dengan harapan para
investor dan spekulan memilih menanamkan modalnya di perbankan Indonesia, namun kurs
rupiah tetap lengser di kisaran 8.000-10.000 rupiah per dolar.

Berdasarkan analisa Dicki Iskandardinata (mantan bankir), terdapat indikasi penyelewengan


dana BLBI sebesar Rp 51 trilyun yang digunakan oleh para pemilik bank untuk bermain valas.
Jika dirupiahkan dengan kurs rata-rata yang berlaku saat itu Rp 4000 per dolarnya, maka
permainan spekulasi mereka setara dengan 13 dolar Amerika.[22] Ini merupakan seuatu yang
sangat ironi.

Riba Harus Digusur

Penerapan ekonomi ribawi di Indonesia telah merusak sendi kehidupan masyarakat dan
membangkrutkan negara. Jangankan melihat bagaimana kondisi orang/ perusahaan yang
bangkrut karena terlilit utang berbunga, dan kondisi bank yang mengalami kredit macet, negara
pun merasakan pahitnya terlilit utang, sehingga menjadi negara kelas dua, hina, mudah diinjak-
injak orang, dan terutama kebijakannya dalam mengelola perekonomian nasional terlihat
“tidak waras” bagi kepentingan masyarakat banyak.

Pemerintah yang terililit utang ribawi, berada dalam posisi yang sangat lemah terutama ketika
berhadapan dengan IMF, Bank Dunia, Amerika, bahkan dengan negara sekecil Singapura.
Pemerintah juga takluk di bawah ketiak konglomerat dan cukong-cukongnya. Maka tak heran
kebijakan pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan pembangunan bukannya memihak dan
menguntungkan bagi rakyatnya, tetapi menguntungkan dan menghamba kepada Bank Dunia,
IMF, negara-negara maju, para investor, konglomerat dan pejabat korup.

Ancaman dan peringatan Allah SWT serta fakta kerusakan ekonomi ribawi hendaknya benar-
benar kita camkan. Jangan sampai kita tetap larut dalam sistem riba ini. Maka tidak ada kata lain
selain riba harus digusur dari perekonomian kita.

Alternatifnya
Allah SWT mengingatkan kita dalam QS. Al Baqarah ayat 275, yang artinya “…padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”. Ayat ini dengan tegas
menyatakan bahwa jual beli sebagai cara untuk menambah kekayaan yang dibenarkan. Ini berarti
dalam bidang ekonomi, maka suatu perekonomian seharusnya tegak berdiri di atas sektor riil
bukan sektor non riil. Sektor riil yang dimaksud di sini adalah usaha produksi, perdagangan, dan
jasa yang sesuai syariah bukan yang sesuai dengan hukum buatan manusia seperti kapitalisme.

Menggusur riba dalam perekonomian harus diikuti dengan menggusur kapitalisme baik sebagai
sistem ekonomi maupun sebagai ideologi/sistem kehidupan dari Indonesia. Karena itu, alternatif
praktis untuk mengikis riba sampai ke akar-akarnya adalah dengan mengubah ideologi dan
sistem negara termasuk sistem ekonominya dengan disertai revolusi pemikiran masyarakat
menjadi masyarakat yang Islami sehingga tidak terjadi lagi eksploitasi di dalam masyarakat.

http://jurnal-ekonomi.org/2003/09/15/saatnya-menggusur-riba-dari-percaturan-ekonomi-indonesia/
BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA
PRINSIP EKONOMI
- Uang hanyalah alat pembayaran dan alat pengukur.
- Uang dapat menghasilkan keuntungan hanya sesudah berubah menjadi barang. Uang saja tidak
bisa
menghasilkan uang.
- Permintaan akan uang adalah untuk transaksi dan jaga-jaga. Uang diminta bukan karena uang,
tapi
untuk tujuan lain. Permintaan spekulatif akan uang tidak dibenarkan.
- Adalah permintaan dan suplai baring yang menentukan nilai uang. Waktu bukanlah penentu
nilai uang.
Time value of money tidak dikenal dalam Islam.
- Untuk menjaga agar nilai uang stabil, uang harus dibuat dari barang-barang yang bernilai,
seperti emas
dan perak, atau didasari olehnya.
YUNANI
Plato (427-347 SM) :
- Bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
- Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Aristoteles (384-322 SM):
- Fungsi uang adalah sebagai alat tukar (medium of exchange) bukan alat menghasilkan
tambahan
melalui bunga.
YAHUDI
Kitab Eksodus (keluaran) 22:25
- “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang yang miskin
diantaramu,
maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau
bebankan bunga
Hal 1 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together

BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA


terhadapnya”.
Kitab Deuteronomy (Utangan) 23:19
- “Janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu, baik uang maupun bahan
makanan,
atau apapun yang dapat dibungakan”.
Kitab Levicitus (Imamat) 35:7
- “Jangan engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut
akan
Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau memberi uangmu
kepadanya dengan
meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba”.
KRISTEN
- “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan
menerima
sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang
berdosa, supaya
mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada
mereka dan
pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan
menjadi anak-anak
Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab ia baik terhadap orang yang tidak tahu berterimakasih dan
terhadap
orang-orang jahat” (Lukas 6;34-35)
- karena tidak disebutkan secara jelas, timbul berbagai anggapan dan tafsiran tentang boleh
tidaknya
melakukan praktek pembungaan. Pandangan para sarjana Kristen terhadap praktek pembungaan
terbagi pada
tiga periode, yaitu:
o Pandangan Pendeta Awal (Abad I – XII)
o Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII – XV)
o Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI – Tahun 1836):
KRISTEN
Kesimpulan Pandangan Para Pendeta Awal (Abad I – XII):
- Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang
dipinjamkan di awal.
Hal 2 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together

BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA


- Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang baik dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian
Baru.
- Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa.
- Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
- Harga barang yang tinggi untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang
terselubung.
KRISTEN
Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII – XV):
- Robert of Courcon (1152-1218)
- William A
- St. Raymond of Pennafore (1180-1978)
- St. Bonaventure (1211-1274)
- St. Thomas Aquimas (1225-1274)
o Bunga dibedakan menjadi interest dan usury
o Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah
suatu dosa
yang bertentangan dengan konsep keadilan.
o Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau setidaknya tergantung niat
si
pemberi uang.
KRISTEN
Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI – Tahun 1836)
Hal 3 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together

BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA


- John Calvin (1509-1564)
- Gau
- Martin Luther (1463-1546)
- Melancthon (1497-1560)
- Zwingli (1484-1531)
o Dosa apabila bunga memberatkan
o Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles)
o Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi
o Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
ISLAM
Ar Ruum: 39
- “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia,
maka
disisi riba itu pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang yang melipatgandakan
pahalanya)”.
An Nisaa: 160-161
- Maka disediakan kezhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka yang (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) diharamkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil, Kami
telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.
ISLAM
Hal 4 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together

BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA


Ali-Imran
- :Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan lipat ganda dan
bertaqwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Al-Baqarah
- “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa
riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangi kamu. Dan jika kamu
bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya”.
ISLAM
Ar Ruum : 39
- “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia,
maka
disisi riba itu pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk
mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang yang melipatgandakan
pahalanya)”.
Annisa : 160-161
- maka disediakan kezhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka yang (memakan
makanan) yang baik-baik () diharamkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari
jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka sudah
dilarang dari
padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil, kami telah
menyediakan untuk
orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.
ISLAM
Ali-Imran : 130
- “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan
bgertaqwalah kamu kepada Alah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Al-Baqarah : 278-279
Hal 5 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together

BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA


- “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alah dan tinggalkan sisa-sisa riba
(yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa
riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
dianiaya”.
ISLAM
- Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang
membayarnya
dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda :
“Mereka semuanya
sama” (HR. Muslim).
- Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasul SAW berkata : “pada malam
perjalananku
Mi’raj, aku melihat orang-orang yang perutnya seperti rumah, didalamya dipenuhi oleh
ualr-ular yang
kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa
mereka adalah
orang-orang yang menerima riba”.
- Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Riba itu memiliki
tujuh
puluh tingkatan, adapun tingkat yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang
melakukan zina
dengan ibunya sendiri”.
BUNGA BANK: PANDANGAN ULAMA INDONESIA
Nahdhatul Ulama
- Sebagian ulama mengatakan bunga sama dengan riba, sebagian lain mengatakan tidak sama
dan
sebagian lain mengatakan Syubhat.
- Rekomendasi: Agar PBNU mendirikan bank Islam NU dengan sistem tanpa bunga (Bahsul
Masail,
Munas Bandar Lampung, 1992)
Muhammadiyah
- Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada nasabahnya atau sebaliknya yang
selama ini
berlaku, termasuk perkara “mutasyabihat”.
- Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem
perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam (Lajnah Tarjih
Sidoarjo, 1968)
Hal 6 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together

BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA


Majelis Ulama Indonesia
- 1) Bunga bank sama dengan riba; 2) tidak sama dengan riba; 3) Syubhat. MUI harus
mendirikan bank
alternatif. (Lokakarya Alim Ulama, Cisarua 1991)
9 ALASAN ULAMA YANG MEMBOLEHKAN BUNGA BANK
- Boleh mengambil bunga karena darurat
- Pada tingkat wajar, tidak mengapa bunga dibebankan.
- Opportunity Cost yang hilang disebabkan penggunaan uang oleh pihak lain.
- Bunga untuk konsumtif dilarang, tapi untuk produktif dibolehkan.
- Uang sebagai komoditi, karena itu ada harganya. Dan harga uang adalah bunga.
- Bunga sebagai penyeimbang laju inflasi.
- Bunga sebagai upah menunggu (Abstinence Concept)
- Nilai uang sekarang lebih kecil daripada nilai uang pada masa depan (Time Value of Money).
- Di zaman Nabi tidak ada bank, dan bank bukan Syakhsiyyah Mukallafah.
UPAYA ULAMA
- Istinbath para ulama terhadap sumber-sumber Syariah merupakan upaya menghindari riba.
- Musyarakah, Mudharabah (Qiradh), Muzara’ah, Musaqah, Mugharatsah.
Hal 7 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together

BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA


- Murabahah, Bai’ Muajal, Salam, Istisna, Sharf, Jazzaf.
- Ijarah.
- Wadi’ah, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Qardh, Ijarah, Suih, Muqashah,, Ihya
Ardhil
Mawat, Iqtha’, Hima.
BUNGA BANK: PANDANGAN DUNIA ISLAM
- Dewan Studi Islam Al-Azhar, Cairo
Bunga dalam segala bentuk pinjaman adalah riba yang diharamkan. (Konferensi DSI Al-Azhar,
Muharram
1385 H / Mei 1965 M)
- Rabithah Alam Islamy
Bunga bank yag berlaku dalam perbankan konvensional adalah riba yang diharamkan.
(Keputusan No. 6
Sidang ke 9, Mekkah 12-19 Rajab 1406 H)
- Majma’ Fiqh Islamy, Organissi Konferensi Islam
Seluruh tambahan dan bunga atas pinjaman yang jatuh tempo dan nasabah tidak mampu
membayarnya,
demikian pula tambahan (atau bunga) atas pinjaman dari permulaan perjanjian adalah dua
gambaran dari riba
yang diharamkan secara syariah (Keputusan No. 10 Majelis Majma’ Fiqih Islamy,
Konferensi OKI ke
II, 22-28 Desember 1985)
DAMPAK BUNGA BAGI EKONOMI ISLAM
Hutang luar negeri Indonesia berjumlah US$ 110 milyar dollar degan bunga rata-rata 7% per
tahun. Ini berarti
rakyat Indonesia harus membayar bunganya saja sebesar US$ 7,7 milyar atau Rp. 57,7 trilyun
atau ¼ APBN
1999 (Rp. 219,6 trilyun).
Biaya rekapitalisasi perbankan (konvensional) akibat negative spread yang mengakibatkan
kekurangan modal,
sebesar Rp. 35 trilyun.
Hal 8 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together

BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA


KONSEP FUNDAMENTAL KEUANGAN ISLAMI : LANDASAN UNTUK PRAKTEK
INVESTASI
BERDASARKAN SYARIAH
Kepemilikan, Manajemen Keuangan, dan Zakat
Merujuk pada kodifikasi ayat al-Qur’an dan hadits tentang kekayaan di atas,
memunculkan aspek
penting yang namanya manajemen. Panggilan sebagai khalifatullah, yang tugasnya mengelola
atau
memanajemeni dunia untuk mewujudkan kerajaan Allah di muka bumi, sudah pasti
mengamanatkan
kewajiban penguasaan ilmu pengetahuan.
Harta sebagai salah satu titipan Allah harus dikelola dengan baik dan professional berdasarkan
pengetahuan.
QS. An-Nisa ayat 5 dan 6 sudah menegaskannya. Dasar pengetahuan tentang perincian lebih
lanjut yang
terkait dengan pengelolaan harta ini tetap harus merujuk pada shuratic process. Karenanya
konsep dasar
tentang keuangan Islami ini akan diuraikan pada bagian-bagian selanjutnya.
Menjadi catatan sangat penting bahwa zakat adalah bagian tak terpisahkan dalam pengelolaan
harta benda ini.
Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Arti asli kata zakat itu adalah tumbuh, suci
dan berkah.
Surat at-Taubah; 103 menyebutkan bahwa zakat dipungut dari harta benda untuk membersihkan
dan
menyucikan.
Khan (1995) memberikan perspektif dinamis perihal efek zakat pada pertumbuhan (growth) dan
employment.
Zakat yang dipertimbangkan sebagai instrument untuk transfer sumber daya memberikan efek
positif dalam
perekonomian. Dengan menggunakan model sederhana ditunjukkan bahwa meskipun terdapat
kemungkinan
penurunan aggregate savings dalam jangka pendek, tetapi penurunan segera berbalik dan
mendorong tabungan
dan pertumbuhan jangka panjang yang lebih tinggi. Hal ini merupakan resultante dari efek
distribusi
pendapatan zakat. Perbaikan kondisi ekonomi masyarakat miskin akan membuka peluang upaya
kegiatan
produktif, untuk meningkatkan kapasitas pendapatan dan tabungan.
Choudhuri (1986, 1992) menyebut zakat sebagai wealth tax dalam Islam. Dan zakat merupakan
salah satu ciri
dan komponen dalam laporan keuangan (income statement) perusahaan yang berada dalam
perekonomian
Islami atau yag menjalankan prinsip-prinsip Islam. Model analisis matematis yang ditawarkan
juga
menunjukkan hubungan positif antara zakat, income dan employment, karena dengan ide zakat
adalah
transformasi produktif. Hal ini ditunjukkan dengan pembuktian analitis-kuantitatif bahwa zakat
mendorong
multiplier positif untuk investasi. Dengan demikian, model tersebut merupakan sebuah
pembuktian bahwa
zakat memang ‘tumbuh’.
Riba, Time Value of Money, dan Cost of Capital
Konsep diskonto sangat penting dalam analisis teori modal dan investasi. Secara praktis,
digunakan dalam
Hal 9 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together

BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA


evaluasi proyek ataupun keputusan investasi. Misalnya saja model net Present Value (NPV),
Cost-Benefit
Analysis, Internal Required Rate of Return (IRR), Deviden Model dalam asset valuation, dan
seterusnya.
Diskonto inilah yang dimaksud dalam time value of money.
Konsep time value of money atau yang disebut ekonomi sebagai positive time preference
meyebutkan bahwa
nilai komoditi pada saat ini lebih tinggi dibanding nilainya di masa depan. Konsep yang di
kembangkan Von
Bhom-Bawerk dalam capital and Interset dan positive Theory of capital memang meyebutkan
bahwa positive
time prefernce merupakan pola ekonomi yang normal, sistematis, dan rasional. Diskonto dalam
positive time
prefernce ini biasanya didasarkan pada, atau paling tidak berhubungan intim dengan, tingkat
bunga (interest
rate).
Sejak terjadinya kovergensi pendapat dalam fiqh bahwa bunga diharamkan dalam Islam karena
dianggap salah
satu bentuk riba, muncullah pertayaan-pertanyaan tentang penggunaan diskonto dalam evaluasi
investasi, dan
juga pemakaiannya sebagai cost of capital. Misalnya, apakah penggunaannya secara mendasar
bertentangan
dengan prinsip dasar pelarangan riba tersebut?
Terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini, yang berarti belum terdapat kesepakatan. Tetapi ada
penyikapan
yang cukup sama terhadap teori positive time Prefrence, yaitu bahwa teori tersebut tidak bisa
diasumsi begitu
saja diterima secara menyeluruh dikalangan ekonomi. Kalau disebutkan bahwa positive time
preference
merupakan pola yang wajar dan normal dengan melihat latar historis, maka yang rasional justru
yang
memungkinkan terjadinya positive maupun negative time preference. Kemungkinan positif
maupun negatif
dan bahkan zero time preference adalah karena ketidakpastian (uncertainty) dimasa depan.
“Dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti ) apa yang akan
diusahakannya
besok” (QS. 31:34)
Perbedaan pedapat terjadi pada saat suatu rate tertentu digunakan sebagai faktor diskonto. Yang
satu
menganggap dilarang karena Islam tidak membolehkan riba; di pihak lain, ditemukan adanya
praktek
penjualan dalam betuk bay as-salam dan bay mu’ajjal yang teryata tidak dilarang dalam
Islam. Dalam
praktek penjualan yang demikian, harga komoditi boleh berbeda dengan harga spot-nya dengan
adanya
pelibatan waktu dalam proses pertukaran. Secara sederhana, terkadang ini dianggap bentuk
pengakuan time
value of money atau adanya tingkat diskonto.
Prof. Shabir F. Ulgener membolehkan interest rate dipakai sebagai faktor diskonto. Katanya
yang diperlukan
adalah pembedaan interest sebagai suatu surplus (riba) dengan interest sebagai faktor
penghitungan effisiensi
ekonomi. Anas Zarqa (1992) menyebutkan ekonom pun sepakat bahwa mengabaikan diskonto
akan
menyebabkan hilangnya effisiensi, padahal Islam menghendaki effisiensi melalui pelarangan
israf (sesuatu
yang berlebihan, waste). Hanya saja dalam hal ini Anas Zarqa tidak mau menggunakan interest
rate sebagai
faktor diskonto. Karena, kalau kemudian diskonto membuat interest (bunga) harus pula diterima,
sudah
semestinya yang demikian itu ditolak. Katanya,
Since no real investment in an economy can be undertaken without facing risk, cash flow of such
investment
should be discounted not by riskless interest rate, but by true opportunity cost.
Hal 10 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together

BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA


Dalam hal ini, yang dimajukan sebagian alternatif adalah rate of return dari asset beresiko
semisal saham
dengan menggunakan ukuran rasio Earning per share dengan harga (E/P). Idenya adalah seperti
teori Cost of
Capital Modigliani dan Miller yang menyebutkan bahwa setiap asset memiliki rate yang
berbeda-beda.
Kesimpulannya: pendapat yang membolehkan penggunaan rate tertentu sebagai faktor diskonto
didasarkan
pada alasan bahwa discount rate dan interest rate merupakan dua hal yang berbeda. Dan faktor
diskonto ini
diperlukan secara definitif untuk kepentingan effisiensi.
M. Akram Khan (1992) mewakili pendapat yang menentang penggunaan suatu rate sebagai
faktor diskonto.
Selain didasarkan pada penolakan atas positive time prefference, disebutkan pula bahwa
“time value of
money is an unsound concept on rational ground”. Katanya penerimaan konsep diskonto
dapat
mendorong legitimasi interest (bunga) dan membuka pintu belakang bagi masuknya riba.
Sedangkan argumen
tentang effisiensi dijawab dengan memajukan faktor-faktor lain sebagai penentu effisiensi,
misalnya proses
manajerial, sehingga faktor diskonto bukan merupakan penentu suatu effisiensi. Tetapi Arkram
Khan tidak
menyebut-nyebut opportunity cost yang dikandung oleh faktor diskonto sebagai cost of capital.
Karenanya Vogel dn Hayes (1998) menyimpulkan bahwa sampai saat ini konsep time of capital
tidak ditolak
sepenuhnya dalam hukum Islam (fiqih).
Faktor diskonto yag digunakan sebagai cost of capital tergantung dari asset dan risiko yang
dikandungnya.
Islam mengizinkan pinjam-meminjam tidak dengan bunga, melainkan dengan basis profit/loss
sharing. Hal ini
dapat diinterpretasikan bahwa Islam mendorong umatnya menjadi investor dan bukannya
kreditor. Investor
selalu berhadapan dengan risiko, sejalan dengan demikian, penghitungan cost of capital dalam
pendanaan
Islami akan lebih menjurus pada cost of equity, karena debt dengan sistem tersebut pun
diberlakukan seperti
equity.
Yang lazim digunakan selama ini adalah Capital Asset Pricing Model (CPAM) dan Arbitrage
Pricing Theory
(APT) untuk menentukan rate of return yang dianggap pantas.
CPAM mengasumsikan bahwa return suatu sekuritas berbandingan lurus dengan risikonya.
Risiko yang
digunakan adalah beta, yang mengukur risiko sekuritas bersangkutan terhadap risiko pasar.
Hubungan
ekuilibrium antara return dan risikonya dinyatakan dengan persamaan Security Market Line
(SML) berikut:
E (Ri) = Rf + Bi (E(Rm)-Rf)
Dimana:
E (Ri) = Expected return on risky security I
Hal 11 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together

BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA


E (Rm) = Expected return on market portfolio
Rf = Risk-free rate
Bi = Cov (Ri, Rm) / Var (Rm)
Dari persamaan tersebut tampak bahwa CAPM memerlukan dua kondisi: (1) keberadaan risk-
free rate, dan (2)
adanya market port polio yang terdiversifikasi dengan baik. Dalam Islamic Finance tampaknya
hanya satu saja
yang memungkinkan dipenuhi.
Proxi untuk risk-free rate di Barat adalah T-Bills rate. Secara teoritis, tidak ada yang ekuivalen
dalam Islamic
market, karena tidak diizinkannya pemerintah meminjam dengan basis bunga ini. Memang bisa
dimungkinkan
suatu pemerintah mengeluarkan sekuritas dengan menggunakan predetermined fixed rate tapi
dengan ukuran
pertumbuhan GDP sebagai bentuk profit-sharing misalnya. Tapi yang begini tetap tidak dapat
dianggap
sebagai proxi untuk risk-free rate. Lagi pula, sekuritas pemerintah yang demikian belum banyak
tersedian di
berbagai negara.
Untuk well-diversified market portfolio, perkembangan yang menggembirakan dalam Islamic
capital market memungkinkan untuk dipenuhi. Sudah ada Dow Jones Islamic Index (DJII) untuk
portfolio
pasar internasional atau RHB Islamic Index di Malaysia yang dapat dijadikan benchmark untuk
market
portfolio. Sementara di Indonesia, kondisi ini tampaknya belum memungkinkan. Saat buku ini
ditulis, belum
ada Islamic Index di pasar modal Indonesia meskipun sudah ada reksa dana syariahnya.
Kabarnya, dalam
waktu dekat ini indeks syariah akan diluncurkan di Bursa Efek Jakarta.
Dengan demikian, CAPM sulit digunakan karena tidak adanya proxi untuk risk-free rate tersebut.
Sementara
APT tidak digunakan untuk mengidentifikasi portfolio mana yang efisien, tetapi mengasumsikan
bahwa return
setiap asset bergantung pada pengaruh beberapa faktor plus “noise”
Ri = B1i
(factor 1) + B2i (factor 2) + … + Bki (factor k) + Ei
Kesuksesan model ini tergantung pada kemampuan menemukan dan menentukan daftar faktor
yang dapat
dimasukkan dalam model. Dengan demikian modifikasi dengan penyesuaian kondisi pasar
keuangan islami
mungkin dilakukan. (Disadur dari berbagai sumber)

http://www.bayunugraha.web.id/pdf.php?id=19

riba dan berbagai permasalahannya, kita akan menganalisis bunga dengan berbagai
implikasinya, baik dari segi ekonomi, produktivitas usaha, dampak kejiwaan, hubungan
antar anggota masyarakat, demikian juga akibatnya terhadap akumulasi utang negara
berkembang.

Ada beberapa syarat utama untuk dapat memahami bunga dan kaitannya dengan
riba, yaitu menghindarkan diri dari kemalasan ilmiah yang cenderung pragmatis dan
mengatakan bahwa praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan lembaga-lembaga
keuangan ciptaan Yahudi sudah sejalan dengan ruh dan semangat Islam. Tunduk dan patuh
kepada aturan Allah dan Rasulullah dalam segala aspek termasuk dimensi ekonomi dan
perbankan, seperti dalam firman Allah SWT

‫ون لَ ُه ُم ا ْل ِخيَ َرةُ ِمنْ أَ ْم ِر ِه ْم‬


َ ‫سولُهُ أَ ْم ًرا أَنْ يَ ُك‬ َ َ‫ان لِ ُم ْؤ ِم ٍن َوالَ ُم ْؤ ِمنَ ٍة إِ َذا ق‬
ُ ‫ضى هللاُ َو َر‬ َ ‫َو َما َك‬
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (al-Ahzab : 36)

II. PEMBAHASAN

A. Riba
Riba yang berasal dari bahasa Arab artinya tambahan (ziyadah, Arab/addition,
Inggris), yang berarti : tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.

َ‫ش ِرطَ ِالَ َح ِدا ْلـ َعاقِ ِديْن‬


ُ ‫ض‬
ٍ ‫ـال عَنْ ِع َوا‬ ْ َ‫ع ه َُو ف‬
ٍ ‫ص ٌل َخ‬ ِ ‫ـافي الش َّْر‬ ِّ َ‫ا‬
ِ َ‫لرب‬
Kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan
bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad / transaksi.

Ada yang membedakan antara riba dan rente/bunga seperti bahwa riba adalah
untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente/riba untuk pinjaman yang
bersifat produktif.

Adapun dampak akibat praktek riba itu antara lain ialah :

1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin

2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-
usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya
yang dapat menciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi
masyarakat dan juga bagi pemilik modal sendiri, tetapi modal besar itu justru
disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.

3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan


keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu mengembalikan
pinjaman dan bunganya.

Karena melihat bahaya besar atau dampak negatif dari praktek riba itulah, maka
Nabi Muhammad membuat perjanjian dengan kelompok Yahudi, bahwa mereka tidak
dibenarkan menjalankan praktek riba dan Islam pun dengan tegas nelarang riba. Di
dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara eksplisit. Pada
periode Mekah sebelum hijrah, Allah berfirman dalam surat ar-Rum ayat 39, yang
menerangkan bahwa bagi Allah orang itu sebenarnya tidak melipatgandakan hartanya
dengan jalan riba, melainkan dengan jalan zakat yang dikeluarkan karena Allah semata-
mata.
Di dalam hadits-hadits Nabi, yang menegaskan bahwa riba itu termasuk tujuh
dosa besar, yakni syirik, sihir, membunuh anak yatim, melarikan diri waktu
pertempuran dan menuduh zina wanita yang baik-baik.

)‫ـن هللا ُ آ ِك َل ال ِّربَـا َو ُه َو ِكلَّهُ َوشَــا ِهـ َد ْي ِه َو َكاتِبَـهُ (الحديث‬


َ ‫لَ َع‬
Allah mengutuk orang yang mengambil riba (orang yang memberi pinjaman), orang
yang memberikan riba (orang yang utang), dua orang saksinya, dan orang yang
mencatatnya.

Ibnu al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Isa menerangkan


bahwa riba ada dua macam, yaitu :

a. Riba yang jelas, yang diharamkan karena adanya keadaan sendiri, yaitu riba nasiah
(riba yang terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang). Riba nasiah ini
hanya di perbolehkan dalam keadaan darurat.

b. Riba yang samar, yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena
adanya tambahan pada jual beli benda/bahan yang sejenis.

.‫ت‬ َّ ‫ــاجةُ تَ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَـةَ ال‬


ِ ‫ض ُر ْو َرةُ تُبِ ْي ُح ا ْل َم ْحطُ ْو َرا‬ َ ‫اَ ْل َح‬
Hajat (keperluan yang mendesak/penting) itu menempati di tempat terpaksa,
sedangkan keadaan darurat itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang
dilarang.

B. Bank non-Islam (Convensional Bank)

Bank non Islam atau convensional bank, ialah sebuah lembaga keuangan yang
berfungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan
dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan
lain-lain dengan sistem bunga, sedangkan bank Islam, ialah sebuah lembaga keuangan
yang menjalankan operasinya menurut hukum Islam. Sudah tentu bank Islam tidak
memakai sistem bunga, sebuah bunga dilarang oleh Islam.

Sebagai pengganti sistem bunga Bank Islam menggunakan berbagai cara yang
bersih dari unsur ribam antara lain ialah sebagai berikut :
a. Wadiah (titipan uang, barang dan surat berharga dan deposito). Lembaga fiqh Islam
bisa diterapkan oleh Bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari
masyarakat dengan cara menerima deposito berupa uang, barang, dan surat-suart
berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh Bank Islam. Bank
berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar
imbalannya, tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu
pemiliknya (depositor) memerlukannya.

b. Mudharabah (kerjasama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian
profit and loss sharing. Dengan mudharabah ini, bank Islam dapat memberikan
tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian modal
kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang
perbandingannya sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah
ini, bank tidak mencampuri manajemen perusahaan.

c. Bank Islam boleh pula mengelola zakaat di negara yang pemerintahannya tidak
mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian
zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk
kepentingan agama dan umum.

C. Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional dan Hukum Mendirikan Bank


Islam

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa
menghindar diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem
bunga itu dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya
ibadah haji di Indonesia umat Islam harus memakai jasa bank apalagi dalam kehidupan
ekonomi tidak bisa lepas dari jasa bank. Sebab tanpa jasa bank, perekonomian
Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Namun para ulama dan
cendekiawan muslim hingga dini masih tetap berbeda pendapat tentang hukum
bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank.
Menurut penulis, alasan ulama dan cendekiawan muslim membolehkan bahkan
menganjurkan berdirinya bank Islam dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Umat Islam telah berada dalam keadaan darurat, sebab dalam kehidupan modern
sekarang ini umat Islam hampir tidak bisa menghindarkan diri dari bermuamalah
dengan bank dengan sistem bunga dalam segala aspek kehidupan, termasuk
kehidupan agama / ibadahnya.

2. Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga yang mengandung unsur
pemerasan (eksploitasi) dari si kaya terhadap si miskin atau orang yang kuat
ekonominya terhadap yang lemah ekonominya.

3. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam dengan bank non-Islam yang


menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan bank, sehingga umat Islam
tidak bisa menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat,
terutama dalam kegiatan bisnis dan perekonomiannya.

4. Untuk mengaplikasikan ketentuan fiqh, ٌ‫سـت ََحت‬ ِ َ‫( اَ ْل ُح ُر ْو ُج ِمنَ ا ْل ِخال‬menghindari


ْ ‫ف ُم‬
perselisihan ulama itu sunat hukumnya). Sebab ternyata sehingga kini ulama dan
cendekiawan muslim masih beda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan
bank konvensional, karena masalah bunga bank yang masih tetap kontrovesial
(haram/syubhat/halal).

D. Bank Islam di Indonesia

Telah lama umat Islam di Indonesia mendambakan adanya bank dengan sistem
syari’at Islam (tanpa bunga) dan ikhtiar-ikhtiar untuk menuju kearah itu telah lama
dilakukan. Karena itu, patut di syukuri berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI)
pada tahun 1991, setelah diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
didorong oleh cendekiawan muslim Indonesia (ICMI) kemudian direstui dan disponsori
Presiden.
Setelah BMI sebagai bank umum dengan sistem bagi hasil berdasarkan syari’at
Islam berdiri pada tahun 1991 dengan total modal Rp. 120 Milyar yang terkumpul
hanya dalam tempo 3 hari, kemudian disusul dengan lahirnya Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) pada tahun 1992 di berbagai daerah di Indonesia.

1. Tujuan BMI dan BPR dengan sistem bagi hasil berdasarkan syariat Islam antara lain
adalah :

a. Untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat terbanyak


bangsa Indonesia, sehingga semakin berkurang kesenjangan sosial ekonomi
dan dengan demikian akan melestarikan pembangunan nasional antara lain
melalui :

- Peningkatan kuantitas dan kualitas kegiatan usaha

- Peningkatan kesempatan kerja dan

- Peningkatan pendapatan masyarakat banyak

b. Untuk meningkatkan partisipasi msyarakat banyak dalam proses pembangunan


terutama dalam bidang ekonomi keuangan karena:

- Masih cukup banyak yang enggan berhubungan dengan bank itu riba

- Masih banyak masyarakat yang menganggap bunga bank itu riba

- Dengan berhasilnya pembangunan di bidang agama makin banyak masyarakat


yang mempersoalkan hukum bunga bank

2. Produk-Produk operasional BMI

Pada umumnya produk-produk operasional bank konvensional juga


dilakukan dan dikembangkan oleh BMI, tetapi tidak dengan sistem bunga seperti
yang dilakukan oleh bank konvensional, melainkan dengan sistem bagi hasil
berdasarkan syariat Islam.
a) Produk-produk BMI yang ditawarkan kepada masyarakat antara lain dalam
bentuk :

a. Giro titipan (wadi’ah)

- Giro wadiah untuk ibadah, masjid, baitul maal, bazis, dan sebagainya

- Giro wadi’ah untuk muamalah, terdapat saldo rata-rata diatas jumlah


tertentu dalam waktu tertentu dengan hak laba.

b. Deposito bagi hasil / mudharabah

c. Simpanan mudharabah namun dibenarkan adanya mutasi tanpa perjanjian,


sehingga perlu perhitungan saldo rata-rata.

1) Tabungan mudharabah ibadah haji

- Dapat dijadikan jaminan fasilitas kredit bank

2) Tabungan mudharabah muamalah

- Untuk beasiswa, nikah, rumah dan sebagainya

- Bagian laba diperhitungkan sesuai dengan saldo rata-rata dalam waktu


tertentu

- Dapat dijadikan jaminan fasilitas kredit bank.

b) Produk penyaluran dana berupa :

- Kredit bagi hasil mudharabah

- Kredit pemilikan barang jatuh tempo

- Kredit pemilikan barang cicilan


- Kredit kebijakan

III. KESIMPULAN

Dapat diambil kesimpulan, bahwasanya riba itu hukumnya haram dan tidak
diperbolehkan dan hukum bunga bank konvensional hukumnya sama dengan riba dan bank
Islam sistemnya bagi hasil yang diperbolehkan agama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1987

2. M. Daud Ali, Kedudukan Hukum dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta, 1984.

3. MUI, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/11/riba-dalam-perspektif-hukum-islam.html

Anda mungkin juga menyukai