I. Definisi Riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan).
Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan
membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa
pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau
bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
3. Raghib Al Asfahani
Riba adalah penambahan atas harta pokok"
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu
bentuk riba yang dilarang Al Qur'an dan As Sunnah adalah penambahan
atas harta pokok karena unsur waktu.
Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai
lama waktu pinjaman.
5. Qatadah:
"Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo
hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si
pembeli tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas
penangguhan."
7. Mujahid:
"Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab:
Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan
kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak
mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam)
atas pe-nambahan waktu yang diberikan."
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyyah
3. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang
ribawi.
4. Riba Nasi'ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi'ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
"Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadl, riba al
yaad, dan riba an nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu
riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan
secara ijma' berdasarkan nash al Qur'an dan hadits Nabi."
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang
ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan
ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya
bahwa barang ribawi meliputi:
1.Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2.Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan
makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
http://www.mail-archive.com/palanta@minang.rantaunet.org/msg09581.html
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria
berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda
maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek
pembungaan uang pada saat itu.
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari Surat al
Baqarah yang turun pada tahun ke 9 Hijriyah. (Keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan
“Alasan Pem-benaran Pengambilan Riba”, point “Berlipat-Ganda”).
Tahap terakhir, Allah I dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari
berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabary meriwayatkan bahwa:
“Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah e
bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang ber-dasarkan riba
agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah
menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai
daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan
uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa
membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan
dan asset yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan
(riba) dari Bani Mughirah – seperti sediakala – tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam
menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut
kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab langsung menulis surat
kepada Rasulullah dan
turunlah ayat di atas. Rasulullah lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab ‘jikalau
mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya
maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.’”
2. Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada Al Qur’an melainkan juga Al Hadits.
Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang
telah digariskan melalui Al Quran, pelarangan riba dalam hadits lebih terinci. Dalam amanat
terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah e masih menekankan sikap
Islam yang melarang riba. “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan
menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang
akibat riba harus di-hapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan
menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Di antaranya adalah:
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya
membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala), ayahku kemudian memusnahkan peralatan
bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku
menjawab, bahwa Rasulullah melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan
kasab budak perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan pentato dan yang minta ditato, me-
nerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (H.R. Bukhari no. 2084
kitab Al Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis
kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah e dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana
engkau mendapatkannya ” Bilal menjawab, “Saya mem-punyai sejumlah kurma dari jenis yang
rendah mutunya dan menukar-kannya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan
oleh Rasulullah e”, selepas itu Rasulullah e terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya
riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang
mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan
kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (H.R.
Bukhari no. 2145, kitab Al Wakalah)
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah e melarang
penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan
kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (H.R.
Bukhari no. 2034, kitab Al Buyu).
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah e bersabda, “Emas hendaklah dibayar
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa
memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba.
Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” (H.R. Muslim no. 2971, dalam kitab Al Masaqqah)
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah e bersabda, “Malam tadi aku
bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah Suci. Dalam perjalanan, sampailah
kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai
tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai
itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya
dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu ‘ Aku
diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.’ ” (H.R.
Bukhari no. 6525, kitab At Ta`bir)
Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya,
dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu
semuanya sama.” (H.R. Muslim no. 2995, kitab Al Masaqqah).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah e berkata, “Pada malam perjalanan mi’raj,
aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular
yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa
mereka adalah orang-orang yang memakan riba.
“Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi bersabda: “Riba itu mempunyai 73
pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina
dengan ibunya.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil
karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-
Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka
yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya.”
Kriteria berlipat-ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba, dan sama
sekali bukan merupakan syarat. Syarat artinya kalau terjadi pelipat-gandaan, maka riba, jikalau
kecil tidak riba.
Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konfrensi fiqh Islami di Paris, tahun
1978, me-negaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Beliau menjelaskan secara linguistik arti
“kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara adalah bentuk
jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian berarti 3×2=6 kali.
Sementara dalam ayat adalah ta’kid untuk penguatan.
Dengan demikian menurut beliau, kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan
konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600 %. Secara operasional dan nalar sehat
angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan-pinjam.
Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran ayat 130 ini Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al Matruk,
menegaskan
“Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 Surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat-ganda dan
pengguna-annya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak.
Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai
kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan
demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara
(Allah dan rasul-Nya).”
DR. Sami Hasan Hamoud menjelaskan bahwa, bangsa Arab di samping mela-kukan pinjam-
meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka
biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3
tahun (bint labun). Kalau meminjamkan bint labun meminta kembalian haqqah (berumur 4
tahun). Kalau meminjamkan haqqah meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).
Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan tergantung kekuatan
supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa
berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.
Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah maf-hum mukhalafah dalam konteks Ali Imran
130 sangatlah menyimpang baik dari siyaqul kalam, konteks antar-ayat, kronologis penurunan
wahyu, dan sabda-sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktek riba pada masa itu.
Secara sederhana, jika kita menggunakan logika maf-hum mukhalafah yang berarti konsekuensi
secara terbalik – jikalau berlipat ganda dilarang, maka kecil boleh; jikalau tidak sendirian, maka
bergerombol; jikalau tidak di dalam maka di luar. dan seterusnya, kita akan salah kaprah dalam
memahami pesan-pesan Allah I Sebagai contoh jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara
mafhum mukhalafah {32} “Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” “Diharamkan bagi kalian (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” Janganlah
mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina
sendiri tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi.
Janganlah memakan daging babi! Yang dilarang memakan dagingnya, sementara tulang, lemak,
dan kulitnya tidak disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal
Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti
dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks
antarayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek pembahasan, demikian juga disiplin ilmu
bayan, badie, dan maa’nie.
Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 Surat Ali Imran diturunkan
pada tahun ke 3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surat Al Baqarah yang
turun pada tahun ke 9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupa-kan
“ayat sapu jagat” untuk segala bentuk, ukuran, kadar, dan jenis riba.
3. Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah
Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan
demikian BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo, tidak terkena hukum taklif karena pada saat
Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis
i. Adalah tidak benar pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama sekali. Sejarah
Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan
dari pihak penguasa. Atau dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
ii. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality
atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili
individu-individu secara keseluruhan.
Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan da-pat melakukan mudharat jauh lebih besar
dari per seorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah
lembaga mafia dalam memproduksi, meng-ekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang
tidaklah sama lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita
menyatakan apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena
bukan insan mukallaf.
Memang ia bukan insan mukallaf tetapi melakukan fi’il mukallaf yang jauh lebih besar dan
berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir
dengan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir
dalam skala kecamatan atau kabupaten sementara lembaga rente meliputi propinsi, negara,
bahkan global.
ii. Menyadari bahwa warga NU merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan
nasional dan dalam kehidupan sosial ekonomi, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan yang
memenuhi persyaratan sesuai dengan keyakinan warga NU. Maka, Lajnah memandang perlu
mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam, yakni bank
tanpa bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Sebelum tercapai cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini
segera diperbaiki.
Perlu diatur :
1) Penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip:
i) Al wadi¡¦ah (simpanan) bersyarat atau dlaman, yang digunakan untuk menerima giro (current
account) dan tabungan (saving account) serta titipan dari pihak ketiga atau lembaga keuangan
lain yang menganut sis-tem yang sama.
ii) Al mudharabah, dalam prakteknya konsep ini disebut sebagai investment account atau lazim
disebut sebagai deposito berjangka dengan jangka waktu yang berlaku, misal-nya 3 bulan, 6
bulan, dan seterusnya, yang pada garis besarnya dapat dinyatakan dalam:
- General Investment Account (GIA).
- Special Investment Account (SIA).
2) Penanaman dana dan kegiatan usaha:
i) Pada dasarnya terbagi atas tiga jenis kegiatan, yaitu pembiayaan proyek, pembiayaan usaha
perdagangan atau perkongsian, dan pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan,
profit and loss sharing, dan sebagainya.
ii) Untuk membiayai proyek, sistem pembiayaan yang dapat digunakan antara lain mudharabah,
muqaradhah, musyarakah/syirkah, muraba-hah, pemberian kredit dengan service charge (bukan
bunga), ijarah, bai¡¦uddain, termasuk di dalamnya bai¡¦ as salam, al qardhul hasan (pinjaman
kredit tanpa bunga, tanpa service charge), dan bai¡¦ bitsaman aajil.
iii) Bank dapat membuka LC dan menerbitkan surat jaminan. Untuk mengaplikasikannya, bank
dapat menggunakan konsep wakalah, musyarakah, murabahah, ijarah, sewa-beli, bai’ as salam,
bai’ al aajil, kafalah (garansi bank), working capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui
purchase order dengan menggunakan prinsip murabahah.
iv) Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya seperti pengiriman dan transfer uang,
jual-beli mata uang atau valuta, dan penukaran uang, tetap dapat dilaksanakan dengan dengan
prinsip tanpa bunga.
3) Munas mengamanatkan kepada PBNU agar membentuk suatu tim pengawas dalam bidang
syariah, sehingga dapat menjamin keseluruhan operasional bank NU tersebut sesuai dengan
kaidah-kaidah muamalah Islam.
4) Para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya bank Islam NU dengan sistem tanpa
bunga.
3. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta Sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah
menyepakati dua hal utama yaitu :
i. Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
ii. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah
Hasil kesepakatan inilah yang melatar-belakangi didiri-kannya Bank Pembangunan Islam atau
Islamic Development Bank (IDB).
4.Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan
konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik
Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah
memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam Konferensi II KKID yang
diselenggarakan di Universitas Al Azhar, Cairo, pada bulan Muharram 1385 H./ Mei 1965,
ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang
seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Di antara ulama-ulama besar yang hadir pada
saat itu antara lain, Syeikh al Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa
Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia lainnya.
Dr. Yusuf Qardhawi, salah seorang peserta aktif dalam konferensi tersebut mengutarakan
langsung kepada penulis pada tanggal 14 Oktober 1999 di Institute Bankir Indonesia, Kemang,
Jakarta selatan, bahwa konferensi tersebut di samping dihadiri oleh para ulama juga diikuti oleh
para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa, dan dunia Islam. Yang menarik, menurut beliau,
bahwa para bankir dan ekonom justru yang paling semangat menganalisa kemadharatan praktek
pembunga-an uang melebihi hammasah (semangat) para ustadz dan ahli syariah. Mereka
menyerukan bahwa harus dicari satu bentuk sistem perbankan alternatif.
6. Fatwa lembaga-lembaga lain
Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia di atas, beberapa lembaga
tersebut berikut ini juga menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang
diharamkan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain
i. (Akademi Fiqh Liga Muslim Dunia)
ii. (Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia)
Satu hal yang perlu dicermati, keputusan dan fatwa dari lembaga-lembaga dunia di atas diambil
pada saat bank Islam dan lembaga keuangan syariah belum berkembang seperti saat ini. Atau
dengan kata lain, para ulama dunia tersebut sudah berani menetapkan hukum dengan tegas
sekalipun pilihan-pilihan alternatif belum tersedia. Alangkah malunya kita di mata Allah I dan
Rasulullah e ketika saat ini sudah berdiri 2 bank syariah secara penuh (Bank Muamalat dan Bank
Syariah Mandiri), 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Asuransi Takaful Keluarga,
Asuransi Takaful Umum, Reksa Dana Syariah dan ribuan Baitul Maal wat Tamwil (dengan
segala kekurangan dan kelebihannya) kita masih belum mem-buka hati untuk ¡§bertanggung
jawab¡¨ terhadap ajaran agama kita.
http://dennyhendrata.wordpress.com/2006/09/07/riba-dalam-perspektif-agama-dan-sejarah/
1. A. Definisi Riba
Riba ( )الرباsecara bahasa bermakna: ziyadah(– زيادةtambahan ). Dalam pengertian lain, secara
linguistic, riba juga bwerarti tumbuh dan membesar.
1. B. Macam-Macam Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang
dan riba jualbeli.Adapun riba yang kedua yaitu riba jual beli, terbagi menjadi Riba Fadl dan
riba Nasi’ah.
Adapun Riba menurut Imam Ibnu Hajar Al- Haitsami Ada empat yaitu :
Suatu manfaat atau tingkatan kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang yang berutang (
muqtaridh).
Hutang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutang pada
waktu yang ditetapkan.
Pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang
yang ditukarkan termasuk barang ribawi.
Penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba
dalam Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum. Dan jagung, serta bahan makanan tambahan,
seperti sayur-mayur dan buah-buahan.
3. D. Larangan Riba dalam Al-Qur’an Dan As-Sunnah
Larangan Riba yang terdapat dalam al- qur’an tidak diturunkan sekaligus
Tahap Kedua, Riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan
memberi balasan yang keras kepada orang yahudi memakan riba.
Tahap ketiga, Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda,
para Ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi
merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan opada masa tersebut.
Tahap Keempat, Allah menjelaskan dengan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman.
Pelarangan riba tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga Al- Hadist. Hal ini sebagai
mana posisi umum hadist yang bwerfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah
digariskan melalui Al-Qur’an. Adapun pelarang riba dalam hadist lebih terinci.
Diantara hadist tersebut adalah wasiat nabi terakhir pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah,
rasulullah masih menekankan sikap islam yang melarang riba “Ingatlah bahwa kamu akan
menghadap tuhanmu dan dia pasti akan menghitung Amalmu.Allah telah melarang kamu
mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok )
kamu adalah hal kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidak adilan.” Dan
hadist-hadist yang lainnya.
Riba bukan hanya merupakan masalah masyarakat islam, tetapi berbagai kalangan diluar islam
pun memandang serius persoalan ini. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat diruntut
mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam. Masalah telah menjadi vbahan bahasan kalangan
yahudi, yunani, demikian juga romawi. Kalangan keristen dari masa-kemasa juga mempunyai
pandangan tersendiri mengenai riba.
Adapun konsep riba menurut mereka akan disebutkan secara singkat berikut.
Konsep tentang larangan riba tersebut dikalangan Yahudi banyak terdapat dalam kitab suci
mereka, baik dalam Old Testment ( Perjanjian Lama ) Maupun undang-undang Talmud.
Larangan tersebut sebagi berikut :
“ Jika Engkau meminjamkan Uang kepada salah seorang dari umatku orang yang
Miskin diantara kamu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang
“Jangan lah engkau mengambil uang atau riba darinya, melainkan engkau harus
takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau
Konsep atau praktik pengambilan bunga dicela oleh para Ahli Filsafat, dua filosof yunani
terkemuka,Yaitu plato dan Aristoteles, mengecam praktik bunga. Dengan pebndapat mereka
sebagai berikut:
Plato ( 427-347 SM) Dia mengecam system bunga berdasarkan dua alasan yang pertama: Bunga
mengakibatkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua :Bunga
merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Kalu kita telah mengamati pendapat para tokoh filosof yunani diatas, sekarang kita amati
pendapat ahli filsafat romawi yang pendatnya beralasan yang sama dengan alas an filosof yunani
tokoh tersebut adalah. Cato (234-149 SM) Ia berkata pada anaknya agar menjauhi dua perkara
yaitu memungut cikai dan mengambil bunga.
Kitab perjanjian baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Akan tetapi, sebagaian
kalangan kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-35 sebagi Ayat yang
mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat trsebut menyatakan,
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima
sesuatu darinya, Apakah jasamu ?Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang
berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan
berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka
upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak tuhan yang maha tinggi sebab ia baik
terhadap orang-orang yang tidak tahu berterma kasih dan terhadap orang-orang jahat”
* St.Basil (329-379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperikemanusiaan. Baginya mengambil bunga adalah Mengambil keuntungan dari orang yang
memerlukan, Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan
orang miskin.
* St.Gregory Dari Nyssa (335-407 )Mengutuk praktik bunga karena menurutnya pertolongan
melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu, tetapi pada saat menagih
dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.
Dan masih banyak larangan-larangan riba lainnya didalam kitab injil perjanjian lama tersebut
yang tidak bisa disebutkan oleh kami pemakalah.
F. Dampak Negatif Riba
1. Dampak Ekonomi
Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai
biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu element dari penentuan harga adalah suku
bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu
barang.
Dampak lainnya adalah bahwa hutang dengan rendahnya penerimaan peminjam dan tingginya
biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi
bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang Negara-negara
berkembang kepada Negara –negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan
suku bunga yang rendah, pada akhirnya Negara-negara pengutang harus berhutanglagi untuk
membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah utang yang terus menerus. Ini yang
menjelaskan proses terjadinya kemiskinan structural yang menimpa lebih dari separuh
masyarakat dunia.
2.Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan
uangnya untuk memerintah orang lain agar berusaha dan mengembalikan, misalnya, 25% lebih
tinggi dari jumlah yang dipinmjamkan. Persoalannya, siapa yazng bisa menjamin bahwa usaha
yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari 25% ? semua
orang,apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi
besok lusa. Siapapun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan : berhasil atau gagal.
Dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan, bahwa usaha yang dikelola pasti untung.
http://ppraudlatulmubtadiin.wordpress.com/2009/09/28/riba-perspektif-agama-sejarah/
Secara umum riba didefinisikan sebagai pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli
maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam.[1]
Definisi ini mencakup segala jenis riba, baik yang pernah ada dalam jaman jahiliyah seperti riba
qardh, riba jahiliyyah, riba fadl, dan riba nasiah, juga praktik riba di zaman sekarang baik dalam
bentuk bunga bank, jual beli saham, promes, LC, permainan valas, dll.[2]
Menurut An-Nabhani, orang yang melakukan riba, keuntungan yang dia peroleh memiliki sifat
mengeksploitasi tenaga orang lain sehingga tanpa bekerja sedikitpun keuntungan tersebut dia
peroleh. Selain itu, keuntungan tersebut diperoleh secara pasti karena sudah menjadi aqad dalam
transaksinya.[3] Badr Ad Din Al Ayni mengemukakan, prinsip utama dalam riba adalah
penambahan dan menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya
transaksi bisnis riil.[4]
Adapun ayat yang secara final mengharamkan riba, QS. Al Baqarah 278 yang artinya, “Hai
orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu…â€. Ayat ini dengan
tegas mengharamkan riba untuk selama-lamanya. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar,
ayat ini merupakan peringatan yang amat keras yang dalam bahasa zaman sekarang bisa juga
disebut ultimatum dari Allah. Betapa murkanya Allah terhadap pelaku riba, sampai-sampai
ancaman Allah ini lebih keras dari dosa yang lain.[5]
Al Baihaqi dan Al Hakim pernah meriwayatkan sebuah hadist Rasulullah SAW dari Ibnu
Mas’ud. “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama
dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunyaâ€. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat
orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang
kelihatan dari luar. Aku bertanya pada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka
adalah orang-orang yang memakan riba.†Rasulullah juga mengingatkan bahwa orang yang
memakan riba, termasuk salah satu dari empat golongan orang yang diharamkan masuk surga
dan tidak mendapat petunjuk dari Allah.
Kemudian siapa sajakah yang terkena dosa riba sehingga mereka mendapatkan ancaman dari
Allah ? Dalam HR Muslim, “Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang
menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya,
kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.â€
Larangan riba ini tidak peduli apakah banyak ataukah sedikit jumlah riba yang diambil.
Hamka mengungkapkan bahaya riba, yakni riba merupakan suatu kejahatan yang meruntuhkan
hakikat dan tujuan Islam dan iman. Riba menyebabkan hancurnya ukhuwah di antara orang yang
beriman dan perselisihan antara sesama manusia. Riba benar-benar merupakan pemerasan
manusia terhadap manusia yang lain. Segelintir orang yang menghisap riba dengan enak-enaknya
menggoyang-goyangkan kakinya dan dari tahun ke tahun mereka menerima kekayaan yang
berlimpah dengan tidak bekerja sama sekali. Sementara orang yang dihisap riba memeras
keringat hanya untuk menambah kekayaan orang lain, seolah-olah dia menjadi budak dan sapi
perahan.[6]
Allah mengingatkan tentang bahaya riba ini di dalam firmannya QS. Al Baqarah ayat 275, yang
artinya “Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila…â€. Dalam ayat ini dijelaskan
bagaimana keadaan orang yang melakukan riba, yakni merasakan kesusahan dan gelisah
walaupun penghasilan dari riba sudah begitu besar. Orang-orang ini diumpamakan sebagai orang
yang kacau, gelisah, resah karena kerasukan syaitan.[7]
Salah satu ekonom kapitalis sendiri, Keynes, menyebutkan bahwa riba (maksudnya suku bunga)
hanyalah angan-angan manusia belaka, manusia dipaksa untuk menerima riba sebagai sesuatu
yang baik dan wajar padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih fatal lagi riba telah menyebabkan
inefisiensi dan ketidakproduktifan di dalam masyarakat. Riba akan menyebabkan sebagian
masyarakat berperilaku malas, eksploitatif dan spekulatif.[8]
Bahaya riba selain mengancam orang secara individu, juga mengancam perusahan (BUMN dan
swasta), bahkan keberlanjutan hidup suatu negara. Para pelaku riba akan merasakan penyakit
riba ini.
Dalam kehidupan sekarang, dimana telah terjadi perkembangan dalam aktivitas ekonomi seperti
bank, asuransi, transaksi obligasi, transaksi valas, dll, kita dihadapkan pada kondisi yang serba
sulit, karena hampir sebagian besar aktivitas ekonomi mengandung unsur riba. Jika kita tidak
hati-hati, kita bisa terjebak riba. Hal ini bisa terjadi karena tidak diterapkannya syariat Islam
yang menjamin dan menjaga kehidupan kaum muslimin dan umat lainnya.
Riba di zaman modern ini telah menjelma dan dilegitimasi oleh sistem dan institusi/lembaga.
Bank Sentral yang dimiliki setiap negara seperti Bank Indonesia, menggunakan instrumen riba
(bunga) sebagai dasar kebijakan moneter dan dalam mempengaruhi sektor riil.
Untuk mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat (M1), untuk menjaga inflasi dan
stabilitas kurs rupiah di sektor moneter, serta memicu gairah investasi di sektor riil, maka Bank
Indonesia memainkan instrumen suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan cara
menaikkan ataupun menurunkan tingkat suku bunga SBI tersebut.
Kebijakan bank sentral ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan perekonomian dalam negeri,
bahkan bagi suatu negara yang mempunyai pengaruh yang luas dalam perekonomian dunia
seperti Amerika Serikat, kebijakan bank sentralnya (The Fed) dalam menaikkan atau
menurunkan tingkat suku bunga Amerika walaupun hanya satu persen saja akan membawa
pengaruh yang besar terhadap perekonomian global termasuk Indonesia.
Dalam perekonomian kapitalis, perbankan memiliki peranan yang penting dalam sendi
kehidupan ekonomi masyarakat dan negara. Hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat
terkait dengan bank, seperti untuk menyimpan dananya dalam bentuk tabungan, deposito, giro,
ataupun dalam memperoleh modal untuk membentuk dan mengembangkan usaha, juga jasa-jasa
perbankan lainnya seperti LC (letter of credit) untuk ekspor impor, kartu kredit, transfer uang,
dll. Namun, hampir seluruh jasa-jasa perbankan konvensional tersebut terkait dengan bunga yang
secara sadar ataupun tidak sadar turut dinikmati masyarakat. Selain bank, riba juga bisa
dijalankan oleh lembaga-lembaga keuangan lainnya seperti koperasi simpan pinjam, asuransi,
pegadaian, dana pensiun.
Pada sektor informal, riba dihidupkan oleh masyarakat dengan memberikan pinjaman pribadi
kepada pihak lainnya dengan mengenakan bunga. Biasanya para peminjam adalah orang-orang
kecil seperti para petani, pedagang kecil, nelayan, sedangkan para pemberi pinjaman kebanyakan
para juragan kaya.
Perkembangan perekonomian yang berkiblat kepada kapitalis telah membuat perolehan sumber-
sumber keuangan tidak hanya cukup dari dunia perbankan, karena itu muncullah sumber-sumber
keuangan ribawi yaitu pasar uang dan pasar modal. Di sini diterbitkan instrumen-instrumen
keuangan seperti obligasi (bonds) dan surat utang, saham, reksadana, yang kemudian dapat
diperdagangkan dalam transaksi derivatif (financial derivativies). Transaksi ini antara lain
berbentuk future dan option yang terjadi di zero sum market (satu pihak diuntungkan dan pihak
lain dirugikan yang berarti zhalim dan terjadi eksploitasi). Dalam transaksi derivatif ini juga
diperdagangkan mata uang.[9]
Selain melakukan pinjaman kepada bank, pemerintah, BUMN dan swasta dapat memperoleh
dana/modal melalui pasar modal dan pasar uang ini dengan menerbitkan saham dan obligasi.
Pasar keuangan ini sarat dengan kegiatan spekulasi yang bernilai ratusan miliar dolar setiap
harinya. Di sinilah sektor moneter (sektor maya) dengan cepat menggelembung sehingga tercipta
ekonomi balon (buble economic) yang sangat rawan krisis.
Di tingkat negara riba telah lama mewabah. Hampir seluruh negara di dunia melakukan utang-
piutang baik terhadap negara lainnya maupun dengan lembaga keuangan internasional seperti
Bank Dunia (World Bank), IMF dan ADB dengan tingkat bunga tertentu dan syarat yang
memberatkan (zhalim).
Salah satu penyebab terpuruknya perekonomian Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan
adalah utang luar negeri, baik yang dilakukan pemerintah maupun yang dilakukan swasta.
Sampai akhir tahun 2001 total utang luar negeri Indonesia adalah US $ 139,143 miliar dengan
rincian US $ 72,197 miliar utang luar negeri pemerintah dan sisanya sebesar US $ 66,946 miliar.
Padahal utang luar negeri Indonesia pada awal orde baru sekitar US $ 2,437 miliar.
Besarnya utang luar negeri Indonesia ini selain disebabkan oleh pinjaman yang terus dilakukan
setiap tahunnya, juga karena faktor bunga. Khusus bunga utang luar negeri pemerintah yang
dibayar dari tahun 1989-2001 berjumlah US $ 46,631 miliar atau setara dengan Rp 419,679
trilyun (kurs Rp 9000 per dolar).[10] Kemudian selama tahun 1996-2000 total utang luar negeri
Indonesia yang dibayar kepada kreditur luar negeri adalah US $ 128,748 miliar. Dari jumlah
tersebut, beban bunga yang dibayar Indonesia sebesar US $ 38,025 miliar atau 29,53 persen[11].
Bila jumlah beban bunga tersebut dirupiahkan dengan kurs Rp 9000 per dolar, maka beban
bunga yang dibayar Indonesia itu setara dengan Rp 342,225 trilyun. Beban bunga utang luar
negeri Indonesia selama lima tahun tersebut lebih besar dari rencana penerimaan RAPBN 2003
sebesar Rp 327,834 trilyun yang disampaikan presiden pada pidato kenegaraannya bulan
Agustus lalu.[12] Jadi bisa dibayangkan bagaimana susahnya pemerintah mencari sumber
penerimaan APBN sebesar itu, apalagi pemerintah mentargetkan penerimaan dari pajak sebesar
Rp 260,785 trilyun[13] (79,55 persen dari total penerimaan RAPBN) yang berarti masyarakat
kembali harus berkorban banyak untuk membayar pajak.
Dalam RAPBN 2003, pemerintah menganggarkan Rp 80,89 trilyun untuk membayar bunga
utang dalam negeri dan luar negeri atau memakan porsi 43,4 persen dari belanja rutin.
Bandingkan anggaran bunga utang ini dengan anggaran pendidikan yang hanya berjumlah Rp
13,6 trilyun. Akibat beban bunga ini, RAPBN 2003 mengalami defisit yang cukup besar yaitu Rp
26,263 trilyun.[14] Defisit ini oleh pemerintah sebagaimana biasanya berusaha ditutupi dengan
privatisasi BUMN, penjualan aset-aset yang ditangani BPPN, penghapusan subsidi untuk rakyat
dan meningkatkan penerimaan dari pajak. Tentu saja kebijakan ini akan semakin memberatkan
rakyat. Jelas APBN ini menggambarkan keuangan negara tidak rasional.[15]
Sektor keuangan dan perbankan Indonesia juga mengalami kerusakan yang sangat parah bahkan
akut. Sejak dipermudahnya pendirian bank oleh pemerintah melalui Paket Oktober (Pakto) 1988,
maka dengan cepat ratusan bank baru menjamur di Indonesia, sehingga semakin dekatlah
interaksi masyarakat dengan bunga. Akhirnya seiring dengan jatuhnya mata uang rupiah dan
krisis utang Indonesia, perbankan mengalami kejatuhan yang luar biasa. Dari kredit macet,
pelarian uang nasabah oleh pemilik bank, sampai dengan ketidakmampuan bank untuk
mengembalikan dana masyarakat akibat mengalami rush.
Untuk mengatasi keadaan tersebut Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang jumlahnya Rp 144,536 trilyun. Menurut BPK, dari dana BLBI yang
disalurkan Bank Indonesia tersebut terdapat indikasi penyimpangan sebesar Rp 138,442 trilyun
(95,78 persen) sampai 29 Januari 1999.[16]
Program penyehatan perbankan Indonesia yang dijalankan pemerintah dan diawasi IMF,
menyebabkan pemerintah terjebak pada utang domestik sebesar Rp 600 trilyun lebih yang
jumlahnya akan terus berkembang. Utang domestik tersebut berupa Surat Utang Pemerintah
(SUP) yang terdiri dari Rp 400 trilyun lebih dalam bentuk obligasi rekap yang ditaruh di bank-
bank rekap, dan sisanya SUP yang dikeluarkan untuk mengganti dana BLBI kepada Bank
Indonesia.[17] Ini merupakan suatu yang tidak masuk akal. Karena sebelum terjadinya krisis
perbankan, pemerintah tidak memiliki utang dalam negeri, namun dengan dikeluarkannya dana
BLBI dan program penyehatan perbankan, pemerintah harus menanggung utang dalam negeri
yang jumlahnya sangat besar dan beban ini harus ditanggung bersama rakyat Indonesia melalui
APBN.
Setiap tahun jumlah bunga utang dalam negeri ini dibayar oleh pemerintah antara Rp 50 sampai
Rp 60 trilyun kepada Bank Indonesia dan bank-bank yang direkap. Besarnya beban bunga ini
tergantung perkembangan suku bunga SBI. +Jika suku bunga SBI naik satu persen, maka kira-
kira beban bunga bertambah Rp 6 trilyun (hitungan kasar, 1% x 600 trilyun).
Jauh sebelum terjadinya krisis perbankan, negara dan masyarakat sudah mengalami kerugian
akibat kegiatan ribawi ini. Menurut Rahmat Basoeki, terjadi penjarahan periode pertama dana
milik rakyat oleh konglomerat di Bank Indonesia sebesar 100 trilyun melalui KLBI (Kredit
Likuiditas Bank Indonesia) periode 1985-1988. Periode kedua tahun 1988-1996, yakni dengan
dikeluarkannya kebijakan Pakto ’88 yang membuat para konglomerat rame-rame mendirikan
bank dengan janji bunga yang tinggi sehingga berhasil menyedot dana masyarakat yang
kemudian dana tersebut disalurkan kepada kelompok usaha mereka sendiri. Akibatnya bank-
bank para konglomerat tersebut sekarat bahkan tidak dapat mengembalikan dana masyarakat
sedangkan mereka dengan enaknya melarikan diri ke luar negeri beserta uang yang mereka jarah.
[20]
Dalam perekonomian yang lesu, bank-bank hasil binaan BPPN tersebut tidak menyalurkan
dananya ke masyarakat, karena takut mengalami kredit macet apalagi dengan tingkat suku bunga
yang masih tinggi. Bank-bank tersebut justru menanamkan dananya pada aktivitas bunga yang
tidak berhubungan sama sekali dengan sektor produksi. Mereka lebih senang mendepositokan ke
bank lain, membungakan uang di pasar uang antar bank, jual beli surat berharga seperti obligasi,
commercial paper serta transaksi derivatif lainnya, dan yang terbanyak dengan
membungakannya pada SBI. Hal ini membuat geram Memperindag Rini Suwandi dengan
mengirimkan surat kepada BI karena dana masyarakat yang dikelola bank 90 persen (meminjam
istilah Hilmi) “menari-nari†di Bank Indonesia.[21]
Kebijakan Bank Indonesia memberlakukan suku bunga yang tinggi (tight money policy) untuk
menahan laju penurunan rupiah telah menyebabkan sektor riil yang sudah bangkrut karena terlilit
utang berbunga, terpaksa terjatuh-jatuh untuk merangkak bangkit. Walaupun instrumen SBI
sudah dinaikkan tingkat suku bunganya (pernah mencapai 70 persen) dengan harapan para
investor dan spekulan memilih menanamkan modalnya di perbankan Indonesia, namun kurs
rupiah tetap lengser di kisaran 8.000-10.000 rupiah per dolar.
Penerapan ekonomi ribawi di Indonesia telah merusak sendi kehidupan masyarakat dan
membangkrutkan negara. Jangankan melihat bagaimana kondisi orang/ perusahaan yang
bangkrut karena terlilit utang berbunga, dan kondisi bank yang mengalami kredit macet, negara
pun merasakan pahitnya terlilit utang, sehingga menjadi negara kelas dua, hina, mudah diinjak-
injak orang, dan terutama kebijakannya dalam mengelola perekonomian nasional terlihat
“tidak waras†bagi kepentingan masyarakat banyak.
Pemerintah yang terililit utang ribawi, berada dalam posisi yang sangat lemah terutama ketika
berhadapan dengan IMF, Bank Dunia, Amerika, bahkan dengan negara sekecil Singapura.
Pemerintah juga takluk di bawah ketiak konglomerat dan cukong-cukongnya. Maka tak heran
kebijakan pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan pembangunan bukannya memihak dan
menguntungkan bagi rakyatnya, tetapi menguntungkan dan menghamba kepada Bank Dunia,
IMF, negara-negara maju, para investor, konglomerat dan pejabat korup.
Ancaman dan peringatan Allah SWT serta fakta kerusakan ekonomi ribawi hendaknya benar-
benar kita camkan. Jangan sampai kita tetap larut dalam sistem riba ini. Maka tidak ada kata lain
selain riba harus digusur dari perekonomian kita.
Alternatifnya
Allah SWT mengingatkan kita dalam QS. Al Baqarah ayat 275, yang artinya “…padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…â€. Ayat ini dengan tegas
menyatakan bahwa jual beli sebagai cara untuk menambah kekayaan yang dibenarkan. Ini berarti
dalam bidang ekonomi, maka suatu perekonomian seharusnya tegak berdiri di atas sektor riil
bukan sektor non riil. Sektor riil yang dimaksud di sini adalah usaha produksi, perdagangan, dan
jasa yang sesuai syariah bukan yang sesuai dengan hukum buatan manusia seperti kapitalisme.
Menggusur riba dalam perekonomian harus diikuti dengan menggusur kapitalisme baik sebagai
sistem ekonomi maupun sebagai ideologi/sistem kehidupan dari Indonesia. Karena itu, alternatif
praktis untuk mengikis riba sampai ke akar-akarnya adalah dengan mengubah ideologi dan
sistem negara termasuk sistem ekonominya dengan disertai revolusi pemikiran masyarakat
menjadi masyarakat yang Islami sehingga tidak terjadi lagi eksploitasi di dalam masyarakat.
http://jurnal-ekonomi.org/2003/09/15/saatnya-menggusur-riba-dari-percaturan-ekonomi-indonesia/
BUNGA DAN RIBA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN AGAMA
PRINSIP EKONOMI
- Uang hanyalah alat pembayaran dan alat pengukur.
- Uang dapat menghasilkan keuntungan hanya sesudah berubah menjadi barang. Uang saja tidak
bisa
menghasilkan uang.
- Permintaan akan uang adalah untuk transaksi dan jaga-jaga. Uang diminta bukan karena uang,
tapi
untuk tujuan lain. Permintaan spekulatif akan uang tidak dibenarkan.
- Adalah permintaan dan suplai baring yang menentukan nilai uang. Waktu bukanlah penentu
nilai uang.
Time value of money tidak dikenal dalam Islam.
- Untuk menjaga agar nilai uang stabil, uang harus dibuat dari barang-barang yang bernilai,
seperti emas
dan perak, atau didasari olehnya.
YUNANI
Plato (427-347 SM) :
- Bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
- Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Aristoteles (384-322 SM):
- Fungsi uang adalah sebagai alat tukar (medium of exchange) bukan alat menghasilkan
tambahan
melalui bunga.
YAHUDI
Kitab Eksodus (keluaran) 22:25
- “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang yang miskin
diantaramu,
maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau
bebankan bunga
Hal 1 http://www.bayunugraha.web.id/
BayuNugraha.Web.Id - Lets Learning Together
http://www.bayunugraha.web.id/pdf.php?id=19
riba dan berbagai permasalahannya, kita akan menganalisis bunga dengan berbagai
implikasinya, baik dari segi ekonomi, produktivitas usaha, dampak kejiwaan, hubungan
antar anggota masyarakat, demikian juga akibatnya terhadap akumulasi utang negara
berkembang.
Ada beberapa syarat utama untuk dapat memahami bunga dan kaitannya dengan
riba, yaitu menghindarkan diri dari kemalasan ilmiah yang cenderung pragmatis dan
mengatakan bahwa praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan lembaga-lembaga
keuangan ciptaan Yahudi sudah sejalan dengan ruh dan semangat Islam. Tunduk dan patuh
kepada aturan Allah dan Rasulullah dalam segala aspek termasuk dimensi ekonomi dan
perbankan, seperti dalam firman Allah SWT
II. PEMBAHASAN
A. Riba
Riba yang berasal dari bahasa Arab artinya tambahan (ziyadah, Arab/addition,
Inggris), yang berarti : tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.
Ada yang membedakan antara riba dan rente/bunga seperti bahwa riba adalah
untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente/riba untuk pinjaman yang
bersifat produktif.
2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-
usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya
yang dapat menciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi
masyarakat dan juga bagi pemilik modal sendiri, tetapi modal besar itu justru
disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
Karena melihat bahaya besar atau dampak negatif dari praktek riba itulah, maka
Nabi Muhammad membuat perjanjian dengan kelompok Yahudi, bahwa mereka tidak
dibenarkan menjalankan praktek riba dan Islam pun dengan tegas nelarang riba. Di
dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara eksplisit. Pada
periode Mekah sebelum hijrah, Allah berfirman dalam surat ar-Rum ayat 39, yang
menerangkan bahwa bagi Allah orang itu sebenarnya tidak melipatgandakan hartanya
dengan jalan riba, melainkan dengan jalan zakat yang dikeluarkan karena Allah semata-
mata.
Di dalam hadits-hadits Nabi, yang menegaskan bahwa riba itu termasuk tujuh
dosa besar, yakni syirik, sihir, membunuh anak yatim, melarikan diri waktu
pertempuran dan menuduh zina wanita yang baik-baik.
a. Riba yang jelas, yang diharamkan karena adanya keadaan sendiri, yaitu riba nasiah
(riba yang terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang). Riba nasiah ini
hanya di perbolehkan dalam keadaan darurat.
b. Riba yang samar, yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena
adanya tambahan pada jual beli benda/bahan yang sejenis.
Bank non Islam atau convensional bank, ialah sebuah lembaga keuangan yang
berfungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan
dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan
lain-lain dengan sistem bunga, sedangkan bank Islam, ialah sebuah lembaga keuangan
yang menjalankan operasinya menurut hukum Islam. Sudah tentu bank Islam tidak
memakai sistem bunga, sebuah bunga dilarang oleh Islam.
Sebagai pengganti sistem bunga Bank Islam menggunakan berbagai cara yang
bersih dari unsur ribam antara lain ialah sebagai berikut :
a. Wadiah (titipan uang, barang dan surat berharga dan deposito). Lembaga fiqh Islam
bisa diterapkan oleh Bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari
masyarakat dengan cara menerima deposito berupa uang, barang, dan surat-suart
berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh Bank Islam. Bank
berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar
imbalannya, tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu
pemiliknya (depositor) memerlukannya.
b. Mudharabah (kerjasama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian
profit and loss sharing. Dengan mudharabah ini, bank Islam dapat memberikan
tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian modal
kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang
perbandingannya sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah
ini, bank tidak mencampuri manajemen perusahaan.
c. Bank Islam boleh pula mengelola zakaat di negara yang pemerintahannya tidak
mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian
zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk
kepentingan agama dan umum.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa
menghindar diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem
bunga itu dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya
ibadah haji di Indonesia umat Islam harus memakai jasa bank apalagi dalam kehidupan
ekonomi tidak bisa lepas dari jasa bank. Sebab tanpa jasa bank, perekonomian
Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Namun para ulama dan
cendekiawan muslim hingga dini masih tetap berbeda pendapat tentang hukum
bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank.
Menurut penulis, alasan ulama dan cendekiawan muslim membolehkan bahkan
menganjurkan berdirinya bank Islam dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Umat Islam telah berada dalam keadaan darurat, sebab dalam kehidupan modern
sekarang ini umat Islam hampir tidak bisa menghindarkan diri dari bermuamalah
dengan bank dengan sistem bunga dalam segala aspek kehidupan, termasuk
kehidupan agama / ibadahnya.
2. Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga yang mengandung unsur
pemerasan (eksploitasi) dari si kaya terhadap si miskin atau orang yang kuat
ekonominya terhadap yang lemah ekonominya.
Telah lama umat Islam di Indonesia mendambakan adanya bank dengan sistem
syari’at Islam (tanpa bunga) dan ikhtiar-ikhtiar untuk menuju kearah itu telah lama
dilakukan. Karena itu, patut di syukuri berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI)
pada tahun 1991, setelah diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
didorong oleh cendekiawan muslim Indonesia (ICMI) kemudian direstui dan disponsori
Presiden.
Setelah BMI sebagai bank umum dengan sistem bagi hasil berdasarkan syari’at
Islam berdiri pada tahun 1991 dengan total modal Rp. 120 Milyar yang terkumpul
hanya dalam tempo 3 hari, kemudian disusul dengan lahirnya Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) pada tahun 1992 di berbagai daerah di Indonesia.
1. Tujuan BMI dan BPR dengan sistem bagi hasil berdasarkan syariat Islam antara lain
adalah :
- Masih cukup banyak yang enggan berhubungan dengan bank itu riba
- Giro wadiah untuk ibadah, masjid, baitul maal, bazis, dan sebagainya
III. KESIMPULAN
Dapat diambil kesimpulan, bahwasanya riba itu hukumnya haram dan tidak
diperbolehkan dan hukum bunga bank konvensional hukumnya sama dengan riba dan bank
Islam sistemnya bagi hasil yang diperbolehkan agama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1987
2. M. Daud Ali, Kedudukan Hukum dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta, 1984.
3. MUI, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/11/riba-dalam-perspektif-hukum-islam.html