Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PENGANTAR EKONOMI ISLAM

Nama Kelompok

Alya Ariyanti (220810102075)

Nifa Mohammed Nixon (220810102097)

Gabriela Ayu Veronika (220810102100)

PRODI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS JEMBER
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

RUMUSAN MASALAH

TUJUAN PENULISAN

BAB II PEMBAHASAN

PENGERTIAN RIBA

KONSEP DAN MACAM-MACAM RIBA

HUKUM DAN PELARANGAN RIBA

PENGEMBANGAN UANG YANG TIDAK MENGANDUNG RIBA

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

SARAN

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih atas bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan
harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca untuk ke depannya. Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, penulis
yakni masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan makalahini.

Jember, Maret 2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Riba dikenal sebagai istilah yang sangat terkait dengan kegiatan ekonomi.
Pelarangan riba merupakan salah satu pilar utama ekonomi Islam, di samping
implementasi zakat dan pelarangan maisir, gharar dan hal-hal yang bathil. Secara
ekonomi, pelarangan riba akan menjamin aliran investasi menjadi optimal,
implementasi zakat akan meningkatkan permintaan agregat dan mendorong harta
mengalir ke investasi, sementara pelarangan maisir, gharar dan hal-hal yang bathil
akan memastikan investasi mengalir ke sektor riil untuk tujuan produktif, yang akhirnya akan
meningkatkan penawaran agregat.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian riba
2. Jelaskan konsep dan macam-macam riba
3. Jelaskan dasar hukum dan larangan riba
4. Jelaskan pengembangan uang yang tidak mengandung riba

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian riba
2. Untuk mengetahui konsep dan macam-macam riba
3. Untuk mengetahui hukum dan larangan riba
4. Untuk mengetahui pengembangan uang yang tidak mengandung riba
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Riba

Kata riba berasal dari bahasa Arab,secara etimologis berarti tambahan(azziyadah),berkembang (an-
numuw),membesar (al-'uluw) dan meningkat (al-irtifa').

1. Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno
menyatakan sebagai berikut : arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi(seorang melakukan riba
terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma
a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan
dengan cara berlebih dari apa yang diberikan.
2. Menurut Wasilul Chair mengutip Abdal-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama'
sependapat bahwa tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam
tenggang waktu tertentu' iwadh (imbalan) adalah riba. Yang dimaksud dengan tambahan
adalah tambahan kuantitas dalam penjualan assetyang tidak boleh dilakukan dengan
perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu penjualan barang-barang riba fadhal: emas,perak,
gandum, serta segala macam komoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut.
3. Dalam pengertian lain secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.
4. Secara istilah syar’i menurut A.Hassan, riba adalah suatu tambahan yang diharamkan
didalam urusan pinjam Meminjam.
5. Menurut Jumhur ulama prinsip utama dalam riba adalah penambahan, penambahan atas
harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.

Ada beberapa pendapat lain dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-
beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam
Islam. Kata riba tidak hanya berhenti kepada arti "kelebihan". Pengharaman riba dan
penghalalan jual beli tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya,
dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya

B. Konsep Riba
Riba secara bahasa berarti tambahan. Sedangkan menurut istilah riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok secara batil. Secara umum, riba adalah pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip
muamalah dalam Islam (Antonio, 2001:37). Larangan ini terdapat dalam firman Allah SWT, yang
berbunyi:
ََ‫يََ هَاٱلَّذِين‬ ُّ ‫يََ ََأ‬ َ َ‫نوا‬ ُ ‫ل بَإينكَ َُ م إ َم َوََ َلكُ ََ م أ تإأ َ ُك ُلواَ لََََّ َءا َم‬
َِ ََ ِ‫عن ِت َجََ َ َرةَ ََ ََ تكَ َُ و أََََ إِ َّلََََ بِٱإلبَط‬
ََ َ‫ترََ اض‬
َ َُ‫إمَ مِ نك‬
ََََّ‫ َرحِ ٗيما إم بِكَُ ََ ََ كَا ََ َََ َََ ٱ ََ َََ َِإ إمَ أنَفا ََُ كَُ تإقَتلُ ُواَ َول‬٢٩

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batilkecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS.
An-Nisaa’: 29)

Dalam ayat diatas jelas bahwa Allah SWT melarang kita untuk mengambil tambahan (riba) pada
segala bentuk kegiatan bermuamalah. (Arif, 2015) menyebutkan bahwa unsur penting yang
membentuk riba adalah yang ditambahkan pada pokok pinjaman, besarnya tambahan menurut
jangka waktu, dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan kesepatakan yang disepakati.

Riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli. Riba utangpiutang
dibagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah, sedangkan riba jual beli dibagi menjadi riba fadhl
dan riba nasi’ah.

1. Riba Qardh (‫)رباالقرض‬


Suatu tambahan yang diambil dengan tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan kepada yang
berhutang.

2. Riba Jahiliyyah (‫)رباالجاهلية‬

Suatu tambahan yang diberikan dari pokok pinjaman dikarenakan peminjam tidak bisa membayar
hutang dengan tepat waktu.

3. Riba Fadhl (‫)رباالفضل‬

Pertukaran barang ribawi sejenis dengan takaran yang berbeda.

4. Riba Nasi’ah (‫)رباالنسيئة‬

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan barang
jenis ribawa lainnya.

C.Hukum dan Larangan Riba

Riba dalam Islam hukumnya adalah haram. Menurut Antonio (2001) menyebutkan, larangan riba
yang terdapat dalam Al-Qur’an melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap pertama, melalui QS. Ar-Rum ayat 39, yang berisi menolak anggapan bahwa pinjaman
riba yang pada zahirnya untuk menolong mereka yang memerlukan sebagai sesuatu
perbuatan yang mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.
2. Tahap kedua, melalui QS. An-Nisa’ ayat 160-161, yang berisi pengharaman riba melalui
kecaman Allah SWT terhadap praktik riba yang dilakukan oleh kaum Yahudi.
3. Tahap ketiga, melalui QS. Ali-Imran ayat 130, yang berisi bahwa riba yang diharamkan adalah
yang bersifat berlipat ganda, dengan praktik pengambilan bunga (tambahan) dengan tingkat
yang cukup tinggi. Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini bukan merupakan syarat terjadinya
riba, hal ini dikarenakan sifat karakteristik dari praktik pembungaan uang pada saat itu
4. Tahap terakhir, melalui QS. Al-Baqarah ayat 278-279, yang berisi bahwa Allah SWT
mengharamkan dengan jelas segala bentuk tambahan yang diambil dari pinjaman.

Larangan Riba dalam Al-Hadist

Seperti kita pahami, kegunaan dari hadist adalah menjelaskan secara lebih terperinci dan mendalam
atas ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Al-Quran. Dalam amanat terakhirnya ketika
khutbah haji wada’ rasulullah menegaskan bahwa Islam melarang keras praktek riba. Rasulullah
bersabda:

“Ingatlah bahwa semua riba yang diamalkan pada zaman jahiliyyah dihapuskan dari amalan kamu.
Kamu berhak mengambil modal (uang pokok) yang kamu berikan, niscaya kamu tidak menzalami dan
didzalami.”(H.R Muslim)

Selain itu masih banyak hadist Rasulullah saw yang berkaitan dengan pelarangan riba diantaranya:
1. “Jubir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba,orang yang
membayarnya, orang yang mencatatnya dan dua orang saksinya, kemudia beliau bersabda
“Mereka itu semuanya sama” (H.R Muslim)
2. Dari Abu Hurairah r.a, Nabi bersabda, pada malam mi’raj saya telah bertemuy dengan orang
yang perutnya besar seperti rumah, didalamnya dipenuhi ular-ular yang kelihatan dari luar,
lalu saya bertanya kepada Jibril, siapakah mereka?, Jibril menjawab, mereka orang-orang
yang memakan riba.” (H.R Ibnu Majah)
Larangan Riba dalam Ijma’ Ulama Para ulama juga bersepakat (ijma’) bahwa riba adalah haram, baik
sedikit maupun banyak. Riba merupakan salah satu dari tujuh dosa besar yang harus dihindari.
Dalam realitas kehidupan wujud riba sering dikaburkan atau disamarkan sehingga pemahaman
ulama yang berbeda-beda dalam memahami maksud nash dalam memberikan hukum khususnya
yang terjadi dalam perbankan, asuransi dan lembaga konvensional lainnya. Sehingga kaitannya
dengan hal tersebut, fatwa ulama yang digunakan (Hidayanto, 2008):

Fatwa MUI

Pada tanggal 16 Desember 2013, Ulama komisi Fatwa MUI se-Indonesia menetapkan bahwa bank,
asuransi, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun individu yang melakukan
praktek bunga adalah haram. Ini berarti umat Islam tidak boleh melakukan transaksi pada lembaga
keuangan tersebut. Pada awalnya fatwa pelarangan riba ini tidak berlaku untuk seluruh wilayah di
Indonesia. Untuk wilayah tertentu yang belum terdapat kantor atau jaringan lembaga keuangan
syariah diperbolehkan untuk melakukan kegiatan transaksi berdasarkan prinsip atau hajat
(keperluan). Namun ketika sudah terdapat akses didalam lembaga keuangan syariah maka secara
mutlak transaksi pada lembaga keuangan konvesional diharamkan.

Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) Semua sidang OKI yang kedua yang dilaksanakan di Karachi,
Pakistan pada Desember 1970, telah menyetujui dua agenda yaitu:

a. Praktek bank dengan sistem bunga tidak sesuai dengan syariat islam;
b. Perlu segera didirikan bank alternatif yang menjalankan operasinya berdasarkan prinsip syariah.
Hasil inilah yang melandasi didirikannya Islamic Development Bank (IDB).

Larangan Riba dalam Ekonomi Islam

Larangan riba pada hakekatnya adalah menghilangkan penipuan dan penegakan hukum dalam
perekonomian. Penghapusan riba dalam ekonomi Islam dapat diartikan sebagai penghapusan riba
yang timbul dalam jual beli hutang. Sehubungan dengan itu, berbagai transaksi yang bersifat
spekulatif dan mengandung unsur Gharar harus dilarang.

Kalangan modernis seperti Fazlur Rahman, Muhammad Asad, Said an-Najjar dan Abd al-Mun'im an-
Namir lebih menekankan pada aspek moral dalam memahami pelarangan riba dan
mengesampingkan legal formal riba itu sendiri. Pemahaman rasional terhadap larangan riba terletak
pada ketidakadilan sebagai alasan diharamkan riba sesuai dengan statemen al-Qur'an "La tadzlimun
wa la tudzlamun", maka dari itu riba ibedakan dengan bunga bank. Kelompok ini juga mendasarkan
pendapatnya para ulama klasik, seperti ar-razi, Ibn al-Qayyim dan Ibn Taimiyah bahwa larangan

riba berkaitan dengan aspek moral mengacu pada praktek riba pada masa pra- Islam (Saeed, 1996:
41). Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya penyebab dilarangnya riba karena mengandung
unsur eksploitasi terhadap kaum fakir miskin, bukan faktor bunganya. Eksploitasi ini dilakukan
melalui bentuk pinjaman yang berusaha mengambil keuntungan dari nilai pinjaman tersebut yang
mengakibatkan kesengsaraan kelompok lain. Beberapa pandangan modernis tentang bunga bank
adalah dibolehkan menurut Muslim (2005: 148) disebabkan antara lain:

a. Adanya hajat dan dharurah dalam kehidupan perekonomian, sebagaimana pendapat Sanhuri.

b. Ada perbedaan antara pinjaman konsumtif dengan pinjaman produktif, Jika pinjaman produktif
maka dibolehkan tetapi jika pinjaman konsumtif, maka tidak dibolehkan, sebagaimana dikatakan
Doulibi.

c. Ada perbedaan antara riba (usury) dengan bunga (interest). Dalam pandangan ini yang
diharamkan adalah riba, bukan bunga bank (interest), sebagaimana pandangan Hafni Nasif dan
Abdul Aziz Jawish.
d. Adanya inflationary economic dalam mekanisme perekonomian, sehingga naiknya suku bunga
akan mengoreksi kerugian yang diderita kreditur yang disebabkan oleh adanya inflasi, sebagaimana
dikatakan Syauqi Dunya.

Dari uraian tersebut, tampaknya perdebatan seputar hukum bunga bank yang terkait dengan
masalah riba belum akan berakhir. Bahkan kedua pendapat yang saling bertolak belakang antara
modernis dan Neo-Revivalisme tersebut tidak mungkin saling bertemu karena masing-masing
kelompok melihat dari sudut pandang dan pendekatan yang berbeda. Kelompok yang mensejajarkan
bunga dengan riba cenderung dalam mendekati permasalahan dari sisi legal formal atau meminjam
istilah Minhaji (1999:16-17) "doktriner-normatif-deduktif". Menurutnya, untuk menjawab berbagai
persoalan yang muncul, ushul fiqh sebagai ilmu yang berkompeten dalam bidang ini, mengenal dua
model pendekatan, yaitu doktriner-normatif- deduktif dan empiris-historis-induktif. Dalam beberapa
kasus hukum tertentu, untuk memahami al-Qur'an, as-Sunnah dan hubungan keduanya, ijma',
ijtihad dan proses-proses yang mengitarinya diperlukan kombinasi kedua model pendekatan
tersebut sekaligus.Hal ini bisa dilihat dari pembahasan mereka yang hanya mengutamakannash ks
dan kurang memperhatikan aspek objektif keberadaan perbankan sebagai penghimpun dan
penyalur dana (financial intermediary) yang berpengaruh besar terhadap ekonomi dan sosial.
Di lain pihak, kelompok yang mendukung halalnya bunga bank, mendekati persoalan ini lebih
menekankan pada sisi objektif keberadaan perbankan, meminjam istilah Minhaji "empiris-historis-
induktif". Meskipun demikian kelompok ini tidak mengabaikan sama sekali aspek nash. Nash,
mereka tempatkan pada posisi ideal-moral yang tetap menjiwai produk hukum yang dihasilkannya
(Rahmi, 2001: 150).

D. Pengembangan Uang yang Tidak Mengandung Riba

Riba merupakan suatu bentuk transaksi ekonomi yang keharamannya bukan disebabkan karena
dzatnya, namun disebabkan oleh transaksi yang dilakukan (haram lighairihi). Oleh karena itu, pada
hakikatnya riba, dapat dihilangkan dengan cara-cara yang diuraikan dalam tabel 4 ini sebagai berikut.
Dalam Islam melarang praktik riba (membungakan uang) dan mendorong umatnya untuk melakukan
investasi karena terdapat perbedaan mendasar antara antara investasi dan membungakan uang.
Menurut Antonio (2001: 59), perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga maknanya
masing-masing, yaitu:
1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung resiko karena berhadapan
dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan return-nya tidak pasti
dan tidak tetap.
2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung rtetap karena
perolehan return-nya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap. Investasi ini dapat
dilakukan melalui kerjasama ekonomi yang dilakukan dalam semua lini kegiatan
ekonomi, baik produksi, konsumsi dan distribusi.

Salah satu bentuk kerjasama dalam bisnis ekonomi Islam adalah musyarakah atau mudharabah.
Melalui transaksi musyarakah dan mudharabah ini, kedua belah pihak yang bermitra tidak akan
mendapatkan bunga, tetapi mendapatkan bagi hasil atau profit dan loss sharing dari kerjasama
ekonomi yang disepakati bersama. Profit-loss sharing ini dapat dianggap sebagai sistem kerjasama
yang lebih mengedepankan keadilan dalam bisnis Islam, sehingga dapat dijadikan sebagai solusi
alternatif pengganti sistem bunga.
BAB III

A. Kesimpulan
Mengenai riba selalu menjadi isu yang mendominasi kajian ekonomi Islam. Pelarangan riba
sebagai salah satu pilar utama ekonomi Islam bertujuan untuk menciptakan sistem yang
mendukung iklim investasi. Implikasi pelarangan riba di sektor riil, diantaranya dapat
mendorong optimalisasi investasi, mencegah penumpukan harta pada sekelompok orang,
mencegah timbulnya inflasi dan penurunan produktivitas serta mendorong terciptanya
aktivitas ekonomi yang adil. Hadirnya ekonomi Islam di tengah-tengah masyarakat adalah
untuk menciptakan keadilan ekonomi dan distribusi pendapatan menuju tercapainya
kesejahteraan masyarakat. Ekonomi Islam menempatkan keadilan untuk semua pelaku
bisnis, tidak mengenal istilah ”kreditur” dan ”debitur”, melainkan mitra kerja yang sama-
sama memikul resiko dengan penuh rasa tanggung jawab. Untuk itu, sistem profit-loss
sharing dapat dijadikan sebagai solusi alternatif pengganti sistem bunga dalam sistem
perekonomian Islam.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat penulis sajikan, yang masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dari pembacaun
erbaikan makalah ini

C. Daftar Pustaka

Budiantoro, Risanda Alirastra, Riesanda Najmi Sasmita, and Tika Widiastuti. "Sistem Ekonomi (Islam)
dan Pelarangan Riba dalam Perspektif Historis." Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam 4.01 (2018): 1-13.

Rahmawaty, Anita, and M. Ag. "Riba dalam Perspektif Keuangan Islam." Jurnal Hukum Islam 14.2
(2013).

Tho’in, Muhammad. "Larangan Riba Dalam Teks Dan Konteks (Studi Atas Hadits Riwayat Muslim
Tentang Pelaknatan Riba)." Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam 2.02 (2016).

Setyawati, Fitri. "Riba Dalam Pandangan Al-Qur’an Dan Hadis." Al-Intaj: Jurnal Ekonomi dan
Perbankan Syariah 3.2 (2017): 257-271.

Anda mungkin juga menyukai