Anda di halaman 1dari 16

Bab II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Riba Secara Umum

Sebenarnya, apa itu RIBA? Pengertian Riba adalah pemberlakuan bunga atau
penambahan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah
pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam.

Secara etimologis, istilah riba berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna ziyadah
atau tambahan. Dengan kata lain, arti riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam.

Dalam agama Islam, Riba adalah praktik yang diharamkan. Bagi umat Islam,
pemberlakuan bunga dengan persentase tertentu pada pinjaman Bank Konvensional atau
lembaga keuangan lainnya dianggap sebagai praktik riba.

2.2 Pengertian Riba Menurut Para Ahli Fiqih

Agar lebih memahami apa arti riba, maka kita dapat merujuk pada pendapat beberapa ahli.
Berikut ini adalah pengertian riba menurut para ahli fiqih:

1. Al-Mali

Menurut Al-Mali pengertian riba adalah akad yang terjadi atas pertukaran barang atau komoditas
tertentu yang tidak diketahui perimbangan menurut syara’, ketika berakad atau mengakhiri
penukaran kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya.

2. Rahman Al-Jaziri

Menurut Rahman Al-Jaziri arti riba adalah akad yang terjadi dengan pertukaran tertentu, tidak
diketahui sama atau tidak menurut syara’ atau terlambat salah satunya.

3. Syeikh Muhammad Abduh


Menurut Syeikh Muhammad Abduh pengertian riba adalah penambahan-penambahan yang
disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya),
karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.

2.3 Jenis-Jenis Riba

Secara umum riba dapat dibedakan menjadi dua, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.
Berikut penjelasan mengenai kedua jenis riba tersebut:

1. Riba Hutang-Piutang

Pengertian riba hutang-piutang adalah tindakan mengambil manfaat tambahan dari suatu hutang.
Riba hutang-piutang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

 Riba Qardh, yaitu mengambil manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan
kepada penerima hutang (muqtaridh).
 Riba Jahiliah, yaitu penambahan hutang lebih dari nilai pokok karena penerima hutang
tidak mampu membayar hutangnya tepat waktu.

2. Riba Jual-Beli

Apa itu riba jual-beli? Riba jual-beli seringkali terjadi ketika konsumen membeli suatu barang
dengan cara mencicil. Penjual menetapkan penambahan nilai barang karena konsumen
membelinya dengan mencicil.

Riba jual-beli dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

 Riba Fadhl, yaitu praktik pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan tersebut masih termasuk dalam jenis
barang ribawi.
 Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan/ penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah terjadi karena adanya
perbedaan, perubahan, atau penambahan antara barang yang diserahkan saat ini dengan
yang diserahkan kemudian.
2.4 Landasan Hukum Riba

Seperti yang telah disebutkan pada paragraf awal, praktik riba diharamkan dalam Islam. Hal
tersebut dijelaskan dalam Al-Quran berikut ini:

1. Q.S. Al-Baqarah: 275

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit jiwa (gila). Keadaan mereka
yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba . . . (Q.S.
Al-Baqarah: 275).

2. Q.S. Al-Baqarah : 276

Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah SWT tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. ” (Q.S. Al-Baqarah: 276).

3. Q.S. Al-Baqarah : 278

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Baqarah : 278).

4. Q.S Ali ‘Imran : 130

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba…” (Ali ‘Imran/3:
130)”.

5. Q.S Ar-Ruum 39

Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…” (Ar-Ruum/30: 39).

2.5 4 Tahap Dilarangnya Riba dalam Al-Quran


MENETAPKAN bunga dalam urusan pinjam-meminjam adalah sesuatu yang dilarang dalam
agama Islam. Masyarakat muslim mengenal yang demikian itu sebagai Riba. Riba secara istilah
teknis berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Sekecil apapun
bentuk riba itu, tetaplah kita dilarang melakukan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut penjelasan dari dalil-dalil yang menjadi sumber larangan tersebut:

Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan
dalam empat tahap.

Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah
menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada
Allah SWT. Firman Allah SWT: “Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (ar-ruum: 39)

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan
memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba,sebagaimana firman
Allah SWT: “Maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka
itu siksa yang pedih,” (an-Nisaa’ :160-161).

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.
Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi
merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah SWT berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130)

Ayat ini turun pada tahun ke-tiga hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria
berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jukalau bunga berlipat ganda
maka riba,tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik
pembungaan uang pada saat itu.

Demikin juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat al-
Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah .

Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba: “Hai orang-
orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.Dan, jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya.” (al-Baqarah: 278-279) [mila/islampos]

2.5.1 Contoh Riba Dalam Masyarakat

Setelah memahami apa itu riba dan landasan hukumnya, tentu kita juga perlu mengetahui apa
saja contoh riba yang pernah dilakukan sehari-hari. Adapun contoh praktik riba adalah sebagai
berikut:

1. Bunga Bank Konvensional

Bunga yang diterapkan oleh Bank konvensional ternyata termasuk dalam praktik riba. Ketika
kita meminjam dana dari Bank, maka kita akan dikenakan bunga setiap kali membayar angsuran
pinjaman tersebut.

Hal ini (riba) juga terjadi pada lembaga keuangan lainnya, misalnya lembaga pembiayaan.
Ketika kita membeli kendaraan bermotor atau properti secara mencicil maka kita akan dikenakan
bunga, dan ini termasuk praktik riba.

2. Pinjaman Dengan Syarat


Ketika kita ingin meminjam uang dari pihak lain, seringkali pinjaman tersebut disertai dengan
syarat. Misalnya bunga atau hal lainnya sebagai syarat agar pemilik uang mau meminjamkannya
pada orang lain.

Contoh lain, misalnya seorang kerabat ingin meminjam uang dari kamu, lalu kamu memberikan
syarat memberikan pinjaman yaitu harus bersedia menjemput dan mengantar kamu setiap hari.
Hal-hal seperti ini ternyata sudah termasuk dalam praktik riba yang dilarang.

2.6 Riba dalam perspektif Agama Yahudi dan Nasrani

Sistem ekonomi syariah yang salah satu prinsip di dalamnya adalah larangan mengambil harta
secara batil dengan menggunakan instrument riba telah menimbulkan kecenderungan bahwa
konsep larangan riba hanya terdapat pada Islam. Hal ini akhirnya menimbulkan kesan bahwa
larangan riba ini hanya diperuntukkan oleh umat Islam saja dan merugikan umat agama lain yang
selama ini telah nyaman dengan sistem ekonomi kapitalisnya. Namun, riba ternyata bukanlah
persoalan kalangan Islam saja, tetapi sudah menjadi persoalan serius yang dibahas oleh kalangan
non-muslim.

Riba adalah salah satu penyebab angka kemiskinan bertambah. Seperti yang kita ketahui
bersama, tidak asing lagi bagi umat muslim mendengar kata riba yang dapat terjadi akibat
pertukaran sejenis atau pun hutang piutang antara dua pihak atau lebih.

Riba dapat diartikan juga ialah tambahan pembayaran yang dibebankan terhadap pinjaman
pokok sebagai imbalan terkait jangka waktu pengembaliannya peminjam akan membayar lebih
tinggi dari pinjaman yang diterima karena adanya perbedaan waktu saat pinjaman diberi dan
waktu pengembalian pinjaman.

Setiap tambahan berlipat ganda yang diambil dari hutang piutang bertentangan dengan prinsip
Islam. Riba dalam jual beli terbagi dalam dua bagian yaitu riba fadhl dan riba nasiah. Riba fadhl
ialah pertukaran barang yang sejenis dengan jumlah atau takaran yang berbeda.

2.6.1 Riba dalam pandangan Agama Samawi

Riba merupakan bentuk penjajahan dalam bidang ekonomi yang menimbulkan ketidakadilan dan
kesengsaraan, khususnya bagi kaum yang lemah. Oleh karena itu Agama - Agama Samawi besar
seperti Yahudi, Nasrani dan Islam sepakat mengharamkannya. Pengharaman ini secara eksplisit
tercantum dalam kitab suci masing-masing agama tersebut.

2.6.2 Riba dalam pandangan Yahudi

Ajaran Yahudi melarang praktik riba dalam bermu’amalah. Larangan ini dapat dilihat dalam
Perjanjian Lama (Torah). Dalam Kitab Keluaran (Exodus) ayat 22 pasal 25 disebutkan :

“ Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatku, orang-orang miskin
diantaramu, maka janganlah engkau berlaku seperti penagih hutang terhadap dia janganlah
kamu membebankan bunga uang kepadanya”.

Selanjutnya dalam Kitab Imamat (Levicitus) ayat 25 pasal 35-37, dijelaskan :

“ Apabila saudaramu jatuh miskin sehingga tidak sanggup bertahan diantaramu, maka engkau
harus menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang supaya ia dapat hidup diantaramu (35)
Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya melainkan engkau harus takut
kepada Allahmu supaya saudaramu dapat hidup diantaramu (36) janganlah engkau
memberi/meminjamkan uang kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu
janganlah engkau berikan dengan meminta riba (37)”.

Namun pelarangan praktek riba ini tidak universal, ruang lingkupnya hanya pada transaksi
diantara sesama umat Yahudi. Bila transaksi dengan orang asing selain Yahudi, diperbolehkan
memungut bunga. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Ulangan (Deuteronomium) ayat
23 pasal 19-20:

“ Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu baik uang atau bahan makanan apapun
yang dapat dibungakan (19) Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, supaya Tuhan,
Allahmu memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk
mendudukinya (20)”.

2.6.3 Riba dalam pandangan Nasrani

Pelarangan riba dalam ajaran Nasrani tertera dalam Perjanjian Baru. Dalam Kitab Injil Lukas
pasal 6 ayat 34 – 35 yang membahas tema tentang kasihilah musuhmu, dijelaskan sebagai
berikut:
“ Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima
sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang-
orang berdosa supaya menerima kembali sama banyak (34) Tetapi kamu kasihilah musuhmu dan
berbuat baiklah kepada mereka dan pinjamkanlah dengan tidak mengharapkan balasan (bunga),
maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah yang maha Tinggi sebab ia
baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang jahat. (35)”.

Atas dasar ayat tersebut gereja dengan tegas mengharamkan riba secara total. Riba merupakan
bentuk kemaksiatan dan perbuatan jahat, sehingga orang yang tidak melarang riba dianggap
orang murtad. Scubar mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang mengatakan riba bukan
maksiat, ia dihitung sebagai atheis yang keluar dari agama. Lebih lanjut Paus Paulus mengatakan
bahwa sesungguhnya para pemakan riba mereka kehilangan harga diri/kemuliaan dalam hidup di
dunia dan mereka orang yang tidak pantas dikafankan setelah mereka mati.

Tokoh-tokoh intelektual Nasrani dari kaum Skolastik yang pemikiran-pemikiran ekonominya


masih sangat konsisten dengan ajaran gereja seperti St. Albertus Magnus (1206-1280) dan
Thomas Aquinas (1225-1274) sangat mengutuk praktik pembungaan uang. Thomas Aquinas
dalam Summa Theologia bahkan dengan tegas menyebut orang-orang yang memperanakkan
uang sebagai pendosa. Sedangkan menurut Magnus memungut bunga dari uang yang
dipinjamkan adalah perbuatan tidak adil.

Larangan praktek riba atau memungut bunga dalam agama Nasrani masih dipegang teguh sampai
abad 13 dan menjadi ajaran gereja. Namun pada akhir abad 13, muncul aliran-aliran baru yang
berusaha menghilangkan pengaruh gereja yang mereka anggap lama, sehingga peminjaman
dengan bunga berkembang luas dan pengharaman bunga dari pihak gereja pun makin kabur.
Sejak itu praktik bunga merajalela dan dianggap sah di Eropa. Pada masa itu sarjana Kristen
melakukan rumusan baru tentang pendefinisian bunga. Pembahasan mereka bertujuan
memperluas dan melegitimasi bunga. Mereka membedakan bunga menjadi dua,
yakni interest dan usury. Menurut mereka interest adalah bunga yang dibolehkan,
sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan (riba) dan hukumnya dilarang.

Sedangkan di kalangan umat Yahudi, pelarangan riba tertulis secara jelas dan terdapat di
beberapa ayat sehingga tidak terdapat penafsiran yang berujung pada perbedaan pendapat di
kalangan pembesar – pembesar agama Yahudi. Larangan praktik pengambilan bunga (riba)
terdapat di kitab suci mereka yaitu Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang – undang
Talmud.

Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:

“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau
apapun yang dapat dibungakan.”

Untuk kalangan bangsa Yunani dan Romawi, terdapat dinamika terkait pelarangan praktik
pengambilan bunga. Namun demikian, tidak terdapat perbedaan pendapat tentang riba yang
merupakan suatu hal yang amat keji dan merugikan. Para ahli filsafat Yunani dan Romawi
terkemuka yaitu Plato, Aristoteles, Cato, dan Cicero mengutuk orang – orang romawi yang
mempratikkan pengambilan bunga.

Ada dua alasan yang diungkapkan Plato atas kecamannya terhadap sistem bunga yaitu pertama,
bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga
menjadi alat golongan kaya dalam mengeksploitasi golongan miskin. Aristoteles mencermati
tentang berubahnya fungsi uang yang telah menjadi komoditas. Aristotles memandang bahwa
fungsi uang hanyalah sebagai alat tukar medium of exchange.

Sedangkan ahli filsafat Romawi Cicero memberi nasihat pada anaknya agar menjauhi dua
pekerjaan yaitu memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Sedangkan Cato
memberikan dua ilustrasi untuk menggambarkan perbedaan antara perniagaan dan memberi
pinjaman yakni pertama, perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko, sedangkan
memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuaru yang tidak pantas. Kedua, dalam tradisi mereka
terdapat perbandingan antara seorang pencuri dan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda
dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat yang berarti bahwa
kejahatan bunga melalui sistem riba lebih jahat dari tindak kriminal pencurian.

2.7 Dampak Negatif Riba dalam Kehidupan Sosial dan Ekonomi

Dampak dalam ekonomi maupun sosial yang terjadi, ialah ketika perseorangan ataupun
perusahaan, meminjam dana untuk kegiatan usahanya dari bank, maupun lembaga lain yang
menggunakan prinsip bunga, maka peminjam harus membayar sejumlah bunga atas
pinjamannya.

Kini riba yang dipinjamkan merupakan asas penngembangan harta pada perusahaan –
perusahaan. Itu berarti akan memusatkan harta pada penguasaan para hartawan, padahal mereka
hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil –
hasil produksi juga kecil. Pada waktu yang bersamaan, pendapatan kaum buruh yang berupa
upah atau yang lainnya, juga kecil. Maka, daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.

Hal ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu siklus – siklus ekonomi. Hal ini
berulang kali terjadi. Siklus – siklus ekonomi yang berulang terjadi disebut krisis ekonomi. Para
ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar
sebagai peminjaman modal atau dengan singkat bisa disebut riba.

Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat
lemah sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet
karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian
yang lebih besar, dan mengakibatkan adanya sekian jumlah pengangguran.

Lord Keynes pernah mengeluh di hadapan Majelis Tinggi (House of Lord) Inggris tentang bunga
yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa negara besar pun
seperti Inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika, bunga tersebut menurut fuqaha
disebut riba. Dengan demikian, riba dapat meretakkan hubungan, baik hubungan antara orang
perorang maupun hubungan antarnegara, seperti Inggris dan Amerika Serikat.

Biaya bunga pun dibebankan pada harga pokok sehingga harga jual barang menjadi meningkat
karna adanya unsur bunga yang dibebankan pada pembeli. Peminjam akan selalu membayar
bunga sesuai presentase kesepakatan yang diperjanjikan diawal. Pihak pemberi pinjaman tidak
mempertimbangkan, apakah dana yang dipinjamkan untuk usaha tersebut menghasilkan untung
atau tidak, yang jelas peminjam harus membayar cicilan tiap bulannya, dan bunga tersebut akan
bertambah ketika peminjam tidak dapat mngembalikannya.

Riba terjadi karena tidak pernah bersyukur dengan apa yang dimiliki, mencari kekayaan duniawi
saja tanpa memikirkan akhirat dan jauh dari perintah allah. Itulah mengapa riba sangat
diharamkan, karena dapat merugikan orang lain dan merampas hak orang lain, serta dapat
menambah kemiskinan yang terjadi di engara ini.

Dampak ekonomi riba adalah inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal ini
disebabkan oleh salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga.

Utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan
menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas
utang tersebut dibungakan.

Bank syariah tidak menggunakan prinsip riba dalam operasionalnya, karena dapat
menyengsarakan pihak tertentu yang melakukan pinjaman, namun bank syariah menggunakan
prinsip islam dalam operasionalnya, agar memberi keyamanan bagi nasabahnya yang menitipkan
dananya dengan aman, dan menyalurkannya dalam pembiayaan yang halal bukan sembarangan.

Keburukan yang ditimbulkan oleh riba sangat menyengsarakan bagi pihak yang terbelit hutang
dan islam sangat melarang praktek riba karena merampas hak orang lain dengan melipat
gandakan pinjaman.

Para ekonom modern dewasa ini, telah menyadari secara empiris, bahwa bunga mengandung
mudharat, karena mengambil keuntungan tanpa memikul resiko atas proyek usaha yang dikelola
si peminjam adalah sebuah ketidakadilan dan ini dapat menimbulkan berbagai krisis, karena itu,
tidak mengherankan jika banyak pakar ekonomi yang berkeyakinan bahwa krisis ekonomi ini
disebabkan oleh sistem ribawi.

Fakta, kini telah membuktikan bahwa sistem riba banyak menimbulkan bencana di berbagai
negara dan berbangsa. Sebagaimana disebut diawal,bahwa bunga secara factual telah
menimbulkan kemudhratan besar bagi manusia.Tidak terhitung jumlah para ekonom yang
berkeyakinan bahwa krisis ekonomi yang melanda banyak negara dan terjadi terus menerus
disebabkan oleh sistem ribawi.

Roy Davies dan Glyn davies dalam buku ''A History Of money from Ancient Time to the Present
Day'' {1996}, Menuliskan dan menyimpulkan, '' sepanjang abad 20 Telah terjadi lebih dari 20
krisis. Krisis ini melanda banyak negara tidak terkecuali America, Inggris, Perancis, Jepang,dan
Negara negara dunia ke tiga .kesemuanya merupakan krisis sektor keuanagan. Gempuran krisis
menyebabkan kemiskinan ratusan juta bahkan milyaran umat manusia di berbagai negara,
Indonesia merupakan salah satu contoh yang menjadi sasaran dari gempuran krisis tersebut.jadi
secara factual dan empiris, telah terbukti bahwa sistem bunga banyak menimbulkan bencana
dalam masalah perekonomian dunia.

Sejumlah ekonom lainnya juga memberikan pandangan yang buruk terhadap bunga antara lain
minsky[1995], Bernante and Gerther[1989], Mereka berpandangan bahwa sistem suku bunga
mengakibatkan fluktuasi, dan ketidakstabilan. Sehingga dalam literatur ekonomi barat ada
semacam tradisi walaupun bukan termasuk sebagai pandangan utama, yang mengindikasikan
bahwa masalah tersbesar ekonomi jaman sekarang adalah hasil dari suku bunga dan sangat
berhubungan dengan ekspansi dan kontraksi pinjaman bank.

Dalam studi ekonomi, teorinya mengajarkan bahwa bunga tersebut menurunkan investasi. Jika
investasi menurun maka otomatis akan menurunkan produksi dan akibat berikutnya bunga
menciptakan pengangguran dan kemiskinan . tegasnya bunga mengakibatkan bangkrutnya sektor
produktif, dan dan menciptakan pengannguran bagi kehidupan masyarakat. Bayangkan jika
fenomena ini melanda dunia, maka bisa dipastikan kemiskinan semakin menggurita.

Sistem bunga telah menimbulkan kemudharatan yang besar bagi kehidupan kemanusiaan.
Dengan demikian bunga merupakan sumber kehancuran ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi.

Hal inilah yang dimaksudkan dalam al qur,an surat ar-Rum (39-41). ''Apa saja yang berikan
dalam bentuk bunga supaya bertambah harta manusia( tejadi pertumbuhan ekonomi), maka
sesungguhnya hal itu tidak bertambah menurut allah"', dalam ayat selanjutnya, yakni ayat 41
Allah berfirman," Telah nyata kerusakan didarat dan di laut akibat ulah tangan manusia, supaya
kami rasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke
jalan yang benar .

Menurut ayat ini praktik bunga merupakan fasad fil ardhi yang menimbulkan krisis, vostalitas,
inflasi, penurunan investasi, dan produksi, kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan pendapatan,
serta berbagai kekacauan ekonomi dan bencana ekonomi lainnya. Ayat ini juga menyampaikan
pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat sistem ekonomi
masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Pandangan al qur-an ini secara selintas sangat
kontras dengan pendapat masyarakat kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan
sistem bunga akan meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut allah, pinjaman
dengan sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang.

Dalam penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa selayaknya masyarakat untuk menjauhi dan
segera meninggalkan transaksi yang mempraktikkan riba. Bukankah keselamatan dan kesuksesan
akan diperoleh ketika mentaati allah dan rasulnya bukan terletak pada kekayaan. Anggapan yang
keliru semacam ini yang mendorong manusiamelakukan penyimpangan dalam agama demi
mendapatkan kekayaan, walau itu diperoleh dalam bentuk ribawi.

Di dalam sabda nabi shallallahu'alahi wa sallam disabdakan bahwa : Satu dirham yang diperoleh
seorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dan buruk dosanya daripada
melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.'' (HR.Ahmad).

Dampak ekonomi riba adalah inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal ini
disebabkan oleh salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga.

Utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan
menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas
utang tersebut dibungakan.

2.7.1 Dampak Sosial Kemasyarakatan

Riba merupakan merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba
menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha.

2.7.2 Dampak Negatif Bagi Individu

Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya. Jika diperhatikan, maka kita
akan menemukan bahwa mereka yang berinteraksi dengan riba adalah individu yang secara
alami memiliki sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras, menyembah harta, tamak akan
kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya. Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh
Allah, Yahudi. Allah ta’ala berfirman:

ُ‫َوأَ ْخ ِذهِم‬ ‫الربَا‬


ِّ ِ ْ‫َوقَ ُد‬ ‫نهوا‬ ‫َع ْن ُه‬ ُ‫َوأ َ ْك ِل ِه ْم‬ ُ‫أ َ ْم َوا َل‬ ِ َّ‫الن‬
ُ‫اس‬ ِ َ‫بِ ْالب‬
ُ‫اط ِل‬ ‫َوأَ ْعتَدْنَا‬ َُ‫ِل ْلكَافِ ِرين‬ ُ‫ِم ْنه ْم‬ ‫َعذَابًا‬ ‫أ َ ِلي ًما‬
Artinya:
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang
daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami
Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS.
An Nisaa’: 161)

Riba merupakan akhlak kaum jahiliyah. Barang siapa yang melakukannya, maka sungguh dia
telah menyamakan dirinya dengan mereka.

Pelaku (baca: pemakan) riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan seperti
orang gila. Seperti dalam firman Allah swt (QS. Al-Baqarah: 275). Memakan riba menunjukkan
kelemahan dan lenyapnya takwa dalam diri pelakunya. Hal ini menyebabkan kerugian di dunia
dan akhirat. Memakan riba menyebabkan pelakunya mendapat laknat dan dijauhkan dari rahmat
Allah. Rasulullah pun melaknat pemakan riba, yang memberi riba, juru tulisnya dan kedua
saksinya, beliau berkata, “Mereka semua sama saja.” (HR. Muslim: 2995) Setelah meninggal,
pemakan riba akan di adzab dengan berenang di sungai darah sembari mulutnya dilempari
dengan bebatuan sehingga dirinya tidak mampu untuk keluar dari sungai tersebut, sebagaimana
yang ditunjukkan dalah hadits Samurah radliallahu ‘anhu (HR. Bukhari 3/11 nomor 2085)
Memakan riba merupakan salah satu perbuatan yang dapat menghantarkan kepada kebinasaan.
(dalam HR. Bukhari nomor 2615, Muslim nomor 89).

2.7.4 Dampak Negatif Riba dalam Sosial

Riba dapat memicu konflik perpecahan antara individu dan kelompok :

Riba akan merusak rasa solidaritas antara manusia satu dengan manusia lainnya. Prinsip awal
hutang pihutang yang pada dasarnya untuk membantu sesama, justru dirusak menjadi cenderung
pada model penindasan antara satu individu terhadap individu lainnya.

Transaksi yang berdasar pada riba akan menimbulkan mental pemalas :

Pihak yang meminjamkan uangnya untuk dibungakan dapat memperoleh tambahan uang setiap
saat, baik dia sedang makan, istirahat, bersenda gurau, maupun semua aktifitas keseharinannya.
Kondisi semacam ini berimplikasi kepada turunnya kreativitas, mobilitas, dan etos kerja kreditur
karena telah merasa uangnya berlipat ganda pada setiap waktunya.
Sistem transaksi ribawi akan menjadikan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin menjadi
semakin curam :

Bagi golongan elit, transaksi ribawi dipandang sebagai alat untuk menggandakan kekayaannya
dengan praktis. Sebaliknya, bagi kalangan miskin, riba dirasa sebagai lintah yang terus
mereduksi jumlah hartanya dari waktu ke waktu, mengingat jumlah bunga yang didapat akan
terus meningkat apabila tidak sanggup membayar.

Riba pada dasarnya adalah bentuk pemerasan, bahkan bisa dikatakan sebagai pencurian
Mungkin bentuk pemerasan transaksi ribawi sendiri tidak dapat dilihat secara langsung, tapi
disadari atau tidak, menerapkan suku bunga berlipat sama saja meminta orang untuk
memberikan hartanya secara cuma-cuma.

2.8 Berbagai Fatwa Tentang Bunga Bank

Apapun namanya bunga atau fawaid, tetap perlu dilihat hakekatnya. Keuntungan apa saja yang diambil
dari utang-piutang, senyatanya itu adalah riba walau dirubah namanya dengan nama yang indah. Inilah
riba yang haram berdasarkan Al Qur’an, hadits dan ijma’(kesepakatan ulama). Mufti Saudi Arabia di
masa silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,

“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang), namun senyatanya
bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong dan berbuat baik. Transaksinya
murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang dan akan diganti beberapa waktu kemudian.
Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang
namanya bunga bank yang diambil dari pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena
didapat dari penambahan (dalam utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh
sama-sama disebut riba.”

Tulisan singkat di atas diolah dari penjelasan Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan –salah seorang ulama
senior di kota Riyadh- dalam kitab fikih praktis beliau “Taysir Al Fiqh” hal. 398, terbitan Dar Blancia,
cetakan pertama, 1424 H.

Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992. Pertama, ada yang sepakat kalau bunga bank
itu otomatis riba. Kedua, tidak mempersamakan hokum riba dengan hokum bunga banj asalkan kedua
belah pihak sama-sama ridho. Ketiga, hokum bunga bank ini syubhat, makanya lebih baik dihindarkan.
2.9 Perbedaan antara bagi hasil dan bunga bank

Bagi hasil Bunga

Besar ratio disepakati pada awal akad dibuat yang Penetapan bunga dibuat pada awal pembukaan
berpedoman kemungkinan utang dan rugi rekening dan harus selalu untung (untuk tabungan)

Besar ratio didasarkan pada jumlah keuntungan Perhitungan didasarkan pada jumlah pokok dana
yang diperoleh yang disimpan nasabah di bank tersebut.

Ratio atau nasabah tidak akan berubah selama akad Masih adanya pengaruh dari suku bunga bank
masih berlaku sedari awal akad dibuat Indonesia, terutama bunga peminjaman.

Besar laba yang diperoleh bergantung pada Jumlah pembayaran bunga untuk tabungannya
keuntungan yang didapat pihak bank, dan akan selalu tetap sekalipun pihak bank sedang
semakin meningkat ketika keuntungan bank juga mendapatkan untung besar.
menongkat

Anda mungkin juga menyukai