Anda di halaman 1dari 10

1.

Dasar hukum riba


Asbab al-Nuzul ayat-ayat riba adalah untuk mengetahui latar belakang larangan ayat ayat riba
agar bisa memahami pengharaman riba secara mendasar. Tanpa mengetahui sebab yang
melatarbelakangi turunnya ayat ayat riba, akan menjadikan pemahaman yang kurang lengkap
terhadap masalah riba. Secara historis ada beberapa versi (riwayat) yang menjadi latar
belakang turunnya ayat larangan riba, khususnya QS. Al-Baqarah: 275-280 dan Ali Imran:
130131.
Pada umumnya para mufassir dengan mengutip dari al-Thabari berpendapat bahwa ayat al-
Baqarah: 275-279, khususnya ayat 275, turun disebabkan oleh pengamalan paman Nabi
Muhammad saw, Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid, yang bekerjasama
meminjamkan uang kepada orang lain dari Tsaqif bani Amr. Sehingga keduanya mempunyai
banyak harta ketika Islam datang . Sumber lain mengatakan bahwa banu Amr ibn Umair ibn
Awf mengambil riba dari bani Mughirah. Apabila tiba waktu pembayaran yang telah
dijanjikan, maka utusan datang ke bani Mughirah untuk mengambil tagihan. Ketika pada
suatu waktu Bani Munirah tidak mau membayar dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah
saw, beliau bersabda, “Ikhlaskanlah atau kalau tidak siksa yang pedih dari Allah.
Sedangkan sebab turunnya QS. Ali Imran: 130-131, menurut satu riwayat dari Atha
disebutkan bahwa, banu Tsaqif mengambil riba dari banu Mughirah. Apabila tiba waktu
pembayaran datang utusan dari banu Tsaqif untuk menagih hutang. Kalau tidak membayar,
disuruh menunda dengan syarat menambah sejumlah tambahan.
Senada dengan hal tersebut, Mujahid meriwayatkan, bahwa seseorang di zaman

Jahiliyah berhutang kepada orang lain. Lalu yang berhutang (kreditur) berkata, “Akan saya
tambah sekian jika kamu memberikan tempo kepadaku.” Maka si empunya piutang (debitur)
memberikan tempo tersebut.

Riwayat lain menyebutkan, bahwa di masyarakat pra-Islam, mereka biasa menggandakan


pinjaman pada orang orang yang sangat membutuhkan (kesusahan), yang dengan pinjaman
tertentu, orang yang meminjam tidak saja mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam,
tetapi juga menambah dengan sejumlah tambahan yang sesuai dengan masa pinjamannya.
Kalau si peminjam mempunyai uang untuk mengembalikan pinjaman dalam waktu cepat dan
singkat, maka dia akan mengembalikan dengan jumlah tambahan yang relatif sedikit.
Sebaliknya, kalau tidak mempunyai uang untuk mengembalikan dengan cepat, maka bisa
ditunda, dengan syarat harus membayar uang tambahan yang lebih besar lagi

Pada masa Jahiliyah istilah riba juga telah dikenal, pada masa itu (Jahiliyah) riba mempunyai
beberapa bentuk aplikatif.
Pertama: Riba Pinjaman, yaitu yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyah:
“tangguhkan hutangku, aku akan menambahkanya”. Maksudnya adalah jika ada seseorang
mempunyai hutang (debitur), tetapi tidak dapat membayarnya pada waktu jatuh tempo, maka
ia (debitur) berkata: tangguhkan hutangku, aku akan memberikan tambahan. Penambahan itu
bisa dengan cara melipatgandakan uang atau menambahkan umur sapinya jika pinjaman
tersebut berupa binatang.

Abu Bakar al-Jashshash berkata: seperti dimaklumi, riba dimasa jahiliyah hanyalah sebuah
pinjaman dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu. Tambahan itu adalah ganti dari
rentang waktu. Allah SWT menghapusnya.

Menurut Qatadah yang dimaksud riba pada masa jahiliyah adalah seorang laki-laki menjual
barang sampai pada waktu yang ditentukan. Ketika tenggang waktunya habis dan barang
tersebut tidak berada di sisi pemiliknya, maka harus membayar tambahan dan boleh
menambah waktunya. Menurut Mujahid (wafat tahun 104 H), menjelaskan tentang riba yang
dilarang oleh Allah SWT, di zaman Jahiliyah, seseorang mempunyai piutang dari orang lain.
Orang itu berkata kepadanya seperti itulah anda menangguhkannya dari saya, maka diampuni
menangguhkannya.”

Al-Jassash menyatakan, “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah
berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya
dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.

Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksi- transaksi perekonomian oleh
masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan tetapi pada zaman itu riba yang berlaku
merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat penundaan pelunasan hutang. Dengan
demikian, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli
maupun hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan kaidah syari’at Islam. Riba
tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain (non-Islam) riba telah dikenal
dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan pelarangan riba telah ada sejak
sebelum Islam datang.

Sebenarnya praktek riba ini sudah ada sebelum Islam datang dan agama di luar Islam tetap
melarangnya walaupun kegiatan riba ini sangat popular di masyarakat diantaranya:

1. Masa Yunani Kuno. Bangsa Yunani kuno mempunyai peradaban tinggi, peminjaman
uang dengan memungut bunga dilarang keras. Ini tergambar pada beberapa
pernyataan Aristoteles yang sangat membenci pembungaan uang
2. Masa Romawi. Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga atas uang
dengan mengadakan peraturan-peraturan keras guna membatasi besarnya suku bunga
melalui undang-undang. Kerajaan Romawi adalah kerajaan pertama yang menerapkan
peraturan guna melindungi para peminjam.

3. Menurut Agama Yahudi Yahudi juga mengharamkan seperti termaktub dalam kitab
sucinya, menurut kitab suci agama Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama
ayat

25 pasal 22: “Bila kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu uang, maka
janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan
padanya untuk pemilik uang” Dan pada pasal 36 disebutkan: “ Supaya ia dapat hidup di
antaramu janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau
harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup diantaramu”. Namun, orang Yahudi
berpendapat bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi,
dan tidak dilarang dilakukan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Mereka mengharamkan riba
sesama mereka tetapi menghalalkannya kalau pada pihak yang lain. Dan inilah
yangmenyebabkan bangsa Yahudi terkenal memakan riba dari pihak selain kaumnya.
Berkaitan dengan kezaliman kaum Yahudi inilah, Allah dalam Alqur’an surat an-Nisa’: 160-
161 secara tegas menyatakan bahwa perbuatan kaum Yahudi ini adalah riba yaitu memakan
harta orang lain dengan jalan batil, dan Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang
pedih.

4. Menurut Agama Nasrani. Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang
riba haram dilakukan bagi semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari
agama apapun, baik dari kalangan Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani. Menurut
mereka (tokoh-tokoh Nasrani) dalam perjanjian lama kitab Deuntoronomy pasal 23,
pasal 19 disebutkan: “Janganlah engkau membungakan uang terhadap saudaramu baik
uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan” .Kemudian dalam
perjanjian baru di dalam Injil Lukas ayat 34 disebutkan: “Jika kamu menghutangi
kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya
kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak
mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu sangat banyak” . Pengambilan bunga
uang dilarang gereja sampai pada abad ke-13 M. Pada akhir abad ke-13 timbul
beberapa faktor yang menghancurkan pengaruh gereja yang dianggap masih sangat
konservatif dan bertambah meluasnya pengaruh mazhab baru, maka piminjaman
dengan dipungut bunga mulai diterima msyarakat. Para pedagang berusaha
menghilangkan pengaruh gereja untuk menjustifikasi beberapa keuntungan yang
dilarang oleh gereja. Ada beberapa tokoh gereja yang beranggapan bahwa keuntungan
yang diberikan sebagai imbalan administrasi dan kelangsungan organisasi dibenarkan
karena bukan keuntungan dari hutang. Tetapi sikap pengharaman riba secara mutlak
dalam agama Nasrani dengan gigih ditegaskan oleh Martin Luther, tokoh gerakan
Protestan. Ia mengatakan keuntungan semacam itu baik sedikit atau banyak, jika
harganya lebih mahal dari harga tunai tetap riba.

3.Bunga bank dan Riba


D. Riba dan Bunga Bank
Sejak tahun 1960-an, bunga bank telah menjadi pembicaraan menarik di kalangan umat
Islam. Pembicaraan ini membawa konsekuensi logis terhadap anggapan bahwa bunga bank
yang umumnya berlaku dalam sistem perbankan, dewasa ini adalah termasuk riba. Hal ini
disimpulkan mengingat pengenaan bunga tidak sejalan dengan Syari’ah Islam, antara lain:
a. Dengan penetapan bunga terlebih dahulu, berarti seakan bank telah memastikan
kreditur akan memperoleh untung dengan pinjaman modal tersebut. Hal ini tentunya
mendahului takdir tuhan. Karena untung dan rugi adalah faktor nasib yang belum bisa
dipastikan. (lihat QS Lukman (31:34).
b. Dengan penetapan bunga dalam bentuk persentase, maka secara matematis bila
dipadukan dengan ketidakpastian dihadapi manusia seiring dengan perjalanan waktu, maka
akan berakibat utang menjadi berlipat ganda. Dan ini tentu bertentangan dengan QS Ali
Imran (3):130.
c. Dengan penetapan bunga dalam kredit berarti sama dengan memperdagangkan atau
menyewakan yang sama jenis (uang dengan uang) lalu memperoleh kelebihan/keuntungan
kualitas atau kuantitas. Dan ini hukumnya adalah riba. Sesuai dengan maksud Hadits Abi
Sa'id al-Khudry di atas.

Demikian juga hasil Muktamar II Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah yang diadakan di Kairo
tahun 1965, yang dihadiri oleh para ulama dari sekitar 30 negara-negara Islam, menghasilkan
kesepakatan di antaranya: semua jenis pinjaman yang menarik bunga adalah riba dan
hukumnya haram, dan tidak ada perbedaan atas pinjaman konsumsi maupun pinjaman
produksi karena nash Alquran dan sunnah yang berbicara tentang riba semuanya adalah
Qath’i. Oleh karena itu, bunga bank hukumnya adalah haram, sama halnya besar kecilnya
atau banyak dan sedikit.
Selain itu, sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz tampaknya
menarik oleh penulis untuk dituangkan dalam masalah ini. Beliau tidak hanya mengharamkan
bunga bank saja, tapi lebih dari itu, beliau juga mengharamkan bekerja pada bank di
dalamnya melakukan proses riba. Pendapat ini disandarkan pada hadis Nabi SAW bahwa
barangsiapa yang menolong orang yang memakan riba, yang memberi makan, yang
menuliskan dan menyaksikan atau semacamnya, akan dilaknat oleh Allah dan dikeluarkan
cari rahmat Allah.
Di sisi lain ada juga sebagian ulama yang memandang bunga bank sebagai sesuatu yang tidak
layak dikategorikan sebagai riba. Sebutlah misalnya Grand Syekh Al Azhar Muhammad
Sayyid Thanthawi. Dalam buku Mu’amalat al-Bunuk al-Islamiyah wa Ahkuma al-Syar’iyyah,
beliau menjelaskan bahwa muamalah apapun dalam Islam harus berdiri di atas prinsip Ijab
Qabul, saling meridhoi, menghilangkan unsur manipulasi dan monopoli selama dalam batas
yang dihalalkan oleh Allah SWT. Beliau menjelaskan bahwa tidak ada masalah jikalau dua
orang yang bekerja sama atau bertransaksi, menentukan terlebih dahulu jumlah yang akan ia
peroleh. Selama kedua belah pihak sepakat dan rela. Karena menurutnya, masalah penentuan
bunga adalah masalah mu’amalah/ekonomi yang dasarnya adalah kerelaan dan kesepakatan,
bukan masalah aqidah atau ibadah, sesuai dengan QS An-Nisa (4):29.
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha
Penyayang kepadamu.

Olehnya itu, menurut beliau, prinsip membatasi keuntungan lebih dahulu (tandid al-ribh
muqaddaman) oleh bank adalah prinsip yang lebih dekat dengan Islam, karena bank tersebut
memberitahukan kepada setiap nasabah akan hak dan kewajibannya terlebih dahulu sebelum
bertransaksi. Dan juga tidak terdapat teks nash yang melarang membatasi untung lebih
dahulu.
Dari berbagai komentar di atas, dapat dipahami bahwa posisi bunga bank dalam hukum Islam
masih menjadi polemik yang kuat antara ulama kontemporer. Mungkin hal ini ada
hubungannya dengan perbedaan mereka dalam melihat atau menggunakan illat untuk menilai
status bunga bank tersebut. Apakah bisa diqiyaskan dengan keenam komoditi tadi atau tidak.
Sebagaimana yang telah dialami oleh para mujtahid mazhab sebelumnya.
Oleh karena itu dalam melihat masalah bunga bank ini, kita perlu kembalikan kepada person
atau negara masing-masing. Karena hal ini adalah masalah ijtihad. Yang jelas, dalam setiap
melakukan muamalah dalam hidup ini, kita harus selalu berjalan dalam koridor prinsip dasar
dan etika ekonomi Islam dan senantiasa menghindarkan diri dari hal-hal yang bisa
menjerumuskan kepada perbuatan yang dilarang oleh nash. Serta senantiasa mengedepankan
prinsip al-tharadhy, nafy al-garar, dan nafy al-dzulm.

3.proses pelarangan riba

1. Tahapan Pelarangan Riba


Menurut Quraish Shihab, dalam al-Qur‟an, kata riba diulang sebanyak delapan kali yang
terdapat dalam empat surah, yakni al-Baqarah Ali Imran, al-Nisa‟ dan al-Rum. Tiga surah
pertama adalah “ayat madaniyah” (turun setelah Nabi Hijrah ke Madinah), sedangkan surah
alRum adalah “ayat Makkiyah” (turun sebelum Nabi Hijrah). Ini berarti ayat pertama yang
membahas tentang riba adalah firman Allah:

“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (QS. Al-Rum [30]:39) Sementara
Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi mengutip riwayatriwayat Bukhari, Ahmad, Ibnu Majah,
Ibn Mardawaih dan al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada
Rasulullah saw adalah ayat-ayat yang mengindikasikan penjelasan terakhir tentang riba, yaitu
firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika
kalian orang-orang yang beriman” QS. alBaqarah [2]:278).Menurut al-Maraghi tahap-tahap
pembicaraan al-Qur‟an tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr
(minuman keras), yakni ada empat tahap dalam pengharamannya.
#. Tahap pertama sekedar menggambarkan adanya unsur negatif di dalam riba. Hal ini
sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Rum [30]:39. Tahap berikutnya disusul dengan isyarat
tentang keharaman riba, yaitu firman Allah:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah * dan disebabkan mereka memakan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang batil . Kami telah menjadikan untk orang-orang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih” (QS. Al-Nisa‟ [4]:160-161).

Dalam ayat ini al-Qur‟an masih „hanya‟ menyebutkan kecaman terhadap orang-orang
Yahudi yang melakukan praktik-praktik riba. Tahap selanjutnya, secara eksplisit al-Qur‟an
telah mengharamkan praktik riba, meskipun masih terbatas pada salah satu bentuknya, yakni
dengan menyertakan batasan adh„āfan mudhā„afan. Hal ini sebagaimana disebutkan firman
Allah:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan” (QS. Ali Imran
[3]:30)
Dan pada tahap terakhir, riba telah diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya dan
digambarkan sebagai sesuatu yang sangat buruk dan tidak layak dilakukan oleh orang-orang
Mukmin sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman * Maka, jika kalian tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.
Dan, jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya” (QS. Al-Baqarah [2]:278-279).

Sementara Ali al-Shabuni menggambarkan secara detail tahap-tahap tersebut. Tahap pertama,
Allah menurunkan QS. Al-Rum [30]39. Ayat ini diturunkan di Makkah yang pada dasarnya
belum menyatakan secara tegas mengenai keharaman riba, namun dalam ayat tersebut
mengindikasikan kebencian Allah terhadap praktik riba dan tidak adanya pahala di sisi Allah
Swt.
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah swt mengancam akan
memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Pada tahap ini Allah
menurunkan QS. Al-Nisa‟ [4]:160-161.

Ayat ini termasuk ayat madaniyah yang memberi pelajaran bagi kita bahwa Allah swt
menceritakan tentang perilaku orang Yahudi yang telah diharamkan untuk memakan riba,
namun mereka tetap memakannya. Lalu

Allah swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang tetap
memakan riba. Ayat ini memang bukan merupakan dilalah keharaman riba bagi kaum
muslimin. Akan tetapi memberi gambaran yang buruk terhadap praktik riba.
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.
Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Pada tahap ini, Allah menurunkan
QS. Ali Imran [3]:130. Menurut al-Shabuni, ayat ini termasuk madaniyah yang di dalamnya
telah menerangkan keharaman riba secara jelas namun bersifat juz‟i tidak bersifat kulli.
Sebab, pengharamannya „hanya‟ ditujukan pada riba al-fāhisy; riba yang sangat buruk dan
keji di mana dengan riba tersebut hutang seseorang dapat menjadi berlipat-lipat.

Ayat ini turun pada tahun ke-3 H. Secara umum, ayat ini menjadi perdebatan antara fukaha
bahwa apakah kriteria berlipat ganda merupakan syarat terjadinya riba, atau ini merupakan
sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu. Akan melihat waktu turunnya ayat
ini harus dipahami secara komprehenship dengan QS. Al-Baqarah [2]:278-279 yang turun
pada tahun ke-9 H. Pengharaman ini sama dengan pengharaman khamr pada tahap ketiga
dimana keharamannya hanya bersifat juz‟i yakni hanya pada saat shalat saja. Hal ini
sebagaimana tergambar dalam firman “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian
ucapkan…..” (QS. Al-Nisa‟ [4]:43)

Tahap keempat, merupakan tahap yang terakhir, dengan diturunkannya QS. Al-Baqarah
[2]:278-279). Pada tahap ini, Allah swt dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman, baik sedikit mupun banyak. Dan pengharamannya
bersifat kulli dan qath„i. Ayat Ini merupakan ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.

2. Asbāb al-Nuzūl Turunnya Ayat-ayat Riba

Adalah suatu keharusan untuk mengetahui latar belakang (asbāb alnuzūl) larangan ayat riba
ayat agar bisa memahami pembahasan riba secara mendasar. Tanpa mengetahui sebab yang
melatarbelakanginya, akan menjadikan pemahaman yang kurang lengkap terhadap masalah
riba.

Secara historis ada beberapa versi (riwayat) yang menjadi latar belakang turunnya ayat
larangan riba, khususnya QS. A-Baqarah [2]:275-279 dan Ali Imran [3]:130-131.

Umumnya para mufassir dengan mengutip dari al-Thabari berpendapat bahwa ayat al-
Baqarah 275-279, khususnya ayat 275, turun disebabkan oleh pengamalan paman Nabi
Muhammad saw, Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid, yang bekerjasama
meminjamkan uang kepada orang lain dari Tsaqif bani „Amr. Sehingga keduanya mempunyai
banyak harta ketika Islam dating.

Sumber lain mengatakan bahwa banu „Amr ibn Umair ibn Awf mengambil riba dari bani
Mughirah. Apabila tiba waktu pembayaran yang telah dijanjikan, maka utusan datang ke bani
Mughirah untuk mengambil tagihan. Ketika pada suatu waktu Bani Mungirah tidak mau
membayar dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah saw, beliau bersabda, “Ikhlaskanlah
atau kalau tidak siksa yang pedih dari Allah.” Sedangkan sebab turunnya QS. Ali Imran
[3]:130-131, menurut satu riwayat dari „Atha disebutkan bahwa, banu Tsaqif mengambil riba
dari banu Mughirah. Apabila tiba waktu pembayaran datang utusan dari banu Tsaqif datang
untuk menagih. Kalau tidak membayar, disuruh menunda dengan syarat menambah sejumlah
tambahan.
Senada dengan hal tersebut, Mujahid meriwayatkan, bahwa seseorang di zaman Jahiliyyah
berhutang kepada orang lain. Lalu yang berhutang (kreditur) berkata, “Akan saya tambah
sekian jika kamu memberikan tempo kepadaku.” Maka si empunya piutang (debitur)
memberikan tempo tersebut.32 Riwayat lain menyebutkan, bahwa di masyarakat pra-Islam,
mereka biasa menggandakan pinjaman pada orangorang yang sangat membutuhkan
(kesusahan), yang dengan pinjaman tertentu, orang yang meminjam tidak saja
mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam, tetapi juga menambah dengan sejumlah
tambahan yang sesuai dengan masa pinjamannya. Kalau si peminjam mempunyai uang untuk
mengembalikan pinjaman dalam waktu cepat dan singkat, maka dia akan mengembalikan
dengan jumlah tambahan yang relatif sedikit. Sebaliknya, kalau tidak mempunyai uang untuk
mengembalikan dengan cepat, maka bisa ditunda, dengan syarat harus membayar uang
tambahan yang lebih besar lagi.

3. Kondisi Sosio-Ekonomi Sebelum Turunnya Ayat Riba

Menurut Abdullah Saeed, larangan riba sebagaimana termuat dalam al-Qur‟an telah
didahului bentuk-bentuk larangan yang lainnya yang secara moral tidak dapat ditoleransi.
Larangan ini tercermin dalam perilaku sosial ekonomi masyarakat Makkah pada saat itu,
yang secara luas menimbulkan dampak kerugian yang besar dalam komunitasnya. Di mana
al-Qur‟an sangat menganjurkan masyarakat Makkah untuk menolong fakir miskin dan anak
yatim yang ada di sekelilingnya. Menurut al-Qur‟an bahwa barangsiapa yang tidak
mendirikan shalat dan tidak memperhatikan fakir miskin akan diancam hukuman siksa neraka
(QS. Al-Muddatstsir [74]:4344). Di samping itu, fakir miskin mempunyai bagian hak dari
harta benda orang-orang kaya (QS. Al-Ma„arij [70]:24-25). Karena di antara orang mendapat
hukuman dari Allah karena mereka tidak mau memperhatikan serta menolong fakir miskin
(QS. Al-Haqqah [69]:34). Di samping itu, alQur‟an menegaskan tentang pentingnya untuk
menafkahkan (spending) harta benda untuk mengurangi beban penderitaan fakir miskin (QS.
alBaqarah [2]:262; al-Nisa‟ [4]:39; al-Ra„d [13]:22; al-Furqan [25]:67; Fathir [35]:29.

Anjuran untuk menafkahkan harta sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur‟an memiliki


peran penting untuk memperkuat pondasi keimanan umat Islam (QS. Al-Anfal [8]:72; al-
Hujurat [49]:15). Menafkahkan harta dapat dilaksanakan dalam bentuk hibah (pemberian)
maupun sedekah. Apabila bentuk tersebut terasa berat untuk dilaksanakan, maka dapat
dilakukan melalui peminjaman (hutang) dengan tanpa memungut kelebihan atau beban dari
nilai pokok, yang dipinjamkan kepada pihak yang membutuhkan. Menurut al-Qur‟an, bahwa
jenis pinjaman yang demikian dinamakan dengan qardh al-hasan (pinjaman yang penuh
kebijakan) (QS. Al-Baqarah [2]:245). Pinjaman ini dilakukan untuk mengurangi beban
penderitaan pihak-pihak yang membutuhkan, bukan untuk melakukan eksploitasi terhadap
mereka. Al-Qur‟an menggunakan term qardh al-hasan dalam versi yang mengindikasikan
bahwa penerima dari pinjaman tersebut secara umum diberikan kepada orang-orang yang
memang membutuhkan (QS. Al-Baqarah [2]:245; al-Ma‟idah [5]:12; alHadid [57]:1, al-Kahf
[18]; al-Taghabun [64]:17.

Al-Qur‟an telah memberikan pelajaran mengenai perilaku yang baik untuk menerima
pengembalian pinjaman dalam bentuk jumlah tetap sama dengan nilai pokok yang
dipinjamkan, serta mengajarkan untuk meringankan dan bahkan membebaskan seluruh beban
hutang debitur, jika pihak yang memberi pinjaman (kreditur) mampu untuk melakukannya.
Dalam al-Qur‟an dijelaskan, ”lebih baik bagimu jika membebaskan sebagian atau semua
hutang sebagai sedekah” (QS. Al-Baqarah [2]:280).

Berdasarkan pengertian di atas, al-Qur‟an memberikan perhatian yang mendalam terhadap


masyarakat yang secara otomatis sangat lemah yang menekankan untuk membantu akan
kebutuhan finansial mereka dengan tanpa memberi tambahan beban penderitaan mereka.
Dalam konteks ini menunjukkan bahwa tuntunan yang demikian itu diperintahkan dalam
kasus apabila pihak peminjam (debitur) terpaksa meminjam uang guna untuk mencukupi
kebutuhan primernya.

4.impilkasi riba
Riba sangat berdampak di tengah-tengah masyarakat tidak saja berpengaruh dalam kehidupan
ekonomi, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan manusia, adapun dampaknya adalah sebagai
berikut: (1). Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat
kerjasama/saling menolong dengan sesama manusia. Dengan mengenakan tambahan kepada
peminjam akan menimbulkan perasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau
tahu kesulitan orang lain; (2). Menimbulkan tumbuhnya mental pemboros dan pemalas.
Dengan membungakan uang, kreditur bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari waktu
kewaktu. Keadaan ini menimbulkan anggapan bahwa dalam jangka waktu yang tidak terbatas
ia mendapatkan tambahan pendapatan rutin, sehingga menurunkan dinamisasi, inovasi dan
kreativitas dalam bekerja; (3). Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang
meminjamkan modal dengan menuntut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai
yang telah disepakati bersama; (4).Menjadikan kreditur mempunyai legitimasi untuk
melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik untuk menuntut kesepakatan tersebut. Karena
dalam kesepakatan, kreditur telah memperhitungkan keuntungan yang diperoleh dari
kelebihan bunga yang akan diperoleh, dan itu sebenarnya hanya berupa

Pengharapan dan belum terwujud.

Anda mungkin juga menyukai