Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

AGAMA ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN


“KONSEP AL-QUR’AN TENTANG RIBA”

DOSEN PENGAMPU: DR. BADAIRUS, MM.M.Ag

DISUSUN OLEH :
MELLYANA NOVIANTY

FAKULTAS MIPA DAN KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU
2023
KONSEP AL-QUR’AN TENTANG RIBA

A. GAGASAN

Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam. Seluruh ayatnya berstatus


qath‘iy alwurud yang diyakini eksistensinya. Ia merupakan pedoman umum bagi
umat manusia dalam rangka mengatur kehidupannya, baik yang berkaitan dengan
ibadah maupun muamalah. Salah satu hal yang berkaitan dengan muamalah yang
diatur oleh Al-Qur’an adalah masalah riba. Secara Bahasa, “riba” berarti ziyadah
(kelebihan atau bertambah), sedangkan “riba” menurut istilah syara‘ adalah
tambahan yang disyaratkan kepada seseorang dalam suatu transaksi jual beli,
utang piutang dari semua jenis barang, baik berupa perhiasan, makanan, tumbuh-
tumbuhan dan buahbuahan, maupun benda-benda tertentu yang bisa
dipertukarkan dengan cara tertentu. Ulama fiqh mendefinisikan riba dengan
kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.8 Al-
Jurjani mengatakan, bahwa yang dimaksud riba adalah “kelebihan tambahan
pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, disyaratkan bagi salah seorang dari dua
orang yang membuat akad. Secara umum, ada 5 macam riba yang seringkali
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai berikut:

1. Riba Nasi’ah

Riba adalah tambahan pada transaksi keuangan. Riba nasi’ah adalah riba yang
terjadi apabila melakukan penundaan, sesuai dengan arti kata nasi’ah itu sendiri.
Penundaan yang dimaksud yaitu menunda pembayaran dalam jangka waktu yang
tidak menentu, ataupun menunda penyerahaan barang yang ditransaksikan. Riba
nasi’ah adalah riba yang umum terjadi pada aktifitas menukar dua barang sejenis
ataupun tidak serta dalam kegiatan jual beli. Rasul pun menegaskan larangan
melakukan riba nasi’ah melalui hadisnya: “Dari Samurah bin Jundub Ra.
sesungguhnya Nabi telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya
diakhirkan” (HR. Lima Ahli Hadis). Contoh riba nasi’ah adalah transaksi jual beli
atau tukar menukar hewan ternak.

2. Riba Fadhl

Riba fadhl adalah riba yang terjadi saat adanya tambahan pada transaksi
keuangan, selaras dengan arti kata fadhl itu sendiri. Tambahan yang dimaksud
dalam riba fadhl adalah kelebihan pada kuantitas ukuran masing-masing barang
yang ditransaksikan, meskipun jenis barang yang ditransaksikan sama. Riba fadhl
adalah jenis riba yang contoh pelaksanaannya dijelaskan khusus dalam hadis Rasul:
“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan
kurma, dan garam dijual dengan garam, (tukaran/timbangannya) sama dengan
sama dan (dibayar dengan) kontan. Barang siapa yang menambah atau meminta
tambahan maka ia telah berbuat riba.” (HR. Muslim). Contoh riba fadhl adalah
seperti yang telah disebutkan dalam hadis di atas, yakni emas, perak,
serta bahan pangan.

3. Riba Qardh

Riba adalah kelebihan yang ada pada saat pengembalian utang. Riba qardh
adalah riba yang terjadi saat melakukan aktivitas pinjaman, sesuai dengan arti kata
qardh itu sendiri. Tentu tidak semua pinjaman merupakan riba qardh. Pinjaman
yang dimaksud ialah apabila pemberi pinjaman mensyaratkan jumlah uang yang
dikembalikan melebihi jumlah pokok utang. Riba qardh adalah macam riba yang
dilarang dalam Islam, sesuai dengan hadis Rasul: “Semua piutang yang menarik
keuntungan termasuk riba,” (HR. Al- Baihaqi). Contoh riba qardh adalah transaksi
yang umum dilakukan oleh lembaga pembiayaan atau pendanaan konvensional.

4. Riba Yad

Riba adalah kelebihan dalam transaksi yang terjadi akibat adanya penundaan.
Penundaan dalam riba yad adalah penundaan serah terima salah satu atau kedua
barang yang ditransaksikan. Transaksi dapat berupa tukar menukar ataupun jual
beli. Adanya penundaan tersebut, menyebabkan munculnya perubahan nominal
harga yang dibayarkan menjadi lebih tinggi. Contoh riba yad adalah transaksi
kendaraan yang harga pembayaran tunainya lebih murah daripada
pembayaran cicilan.

5. Riba Jahiliyah

Riba jahiliyah adalah kelebihan pengembalian jumlah pokok utang yang


disebabkan oleh ketidakmampuan peminjam untuk mengembalikan tepat waktu.
Riba jahiliyah Meski sama-sama terjadi pada transaksi peminjaman, perbedaan
riba jahiliyah dengan riba qardh terletak pada alasan lebihnya uang yang harus
dikembalikan. Pada riba jahiliyah, riba hanya terjadi bila peminjam tidak bisa
mengembalikan uang sesuai waktu yang telah disepakati. Sementara pada riba
qardh, riba terjadi karena pemberi pinjaman mewajibkan peminjam
mengembalikan uangnya lebih tinggi dari jumlah pokoknya. Riba jahiliyah adalah
macam riba yang umum dilakukan orang-orang pada zaman jahiliyah. sejarah as
syariah Itulah informasi tentang macam-macam riba yaitu riba nasi’ah, riba fadhl,
riba yad, riba qardh, dan riba jahiliyah.

Allah swt dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Yaitu firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah/2: 278-279,

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan


tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Menurut al-Suyuthi, mengutip riwayat dari al-Bukhari, Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu
Mardawaih, dan al-Baihaqi, bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah
adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang
hukum riba, yaitu ayat 278-281 Surat al-Baqarah tersebut di atas (al-Suyuthi, tanpa
tahun :I : 27). Dengan demikian, ayat di atas dan menegaskan haramnya riba secara
total, tidak lagi membedakan banyak atau sedikit. Ayat ini merupakan tahap
terakhir turun tentang diharamkannya riba dan merupakan larangan tegas. Ayat
tersebut mengecam keras mereka yang melakukan riba. Ayat ini juga membuat
perbedaan yang jelas antara perdagangan dan riba, dan meminta kaum muslimin
untuk membatalkan semua riba, memerintahkan mereka untuk hanya mengambil
uang pokok dan meninggalkannya, meskipun ini merupakan satu kerugian dan
beban berat bagi yang meminjamkannya. Bisa kita liat contoh dari riba dalam
kehidupan sehari hari seperti proses transaksi peminjaman uang senilai 20 juta
dengan ketentuan waktu pengembalian yaitu 6 bulan, apabila tidak bisa
membayarkan secara tepat waktu, maka aka nada nominal tambahan dari total
pinjamannya, ini masuk ke dalam contoh riba jahiliyah

B. SOLUSI

Dengan adanya peringatan yang jelas dari pencipta alam semesta di atas, tentu
seorang muslim harus taat. Sebagai hamba tidak ada pilihan lain kecuali senantiasa
taat kepadaNya. Karena apa yang menjadi batasan pasti memiliki dampak buruk
dan bahaya bagi setiap hamba. Orang beriman tentunya akan memikirkan cara
menghindari riba menurut Islam agar dirinya selamat. Berkenaan hal itu berikut
adalah tips yang bisa dijadikan referensi :
a. Selalu bersyukur

Apa yang Allah Ta’ala berikan pada masing-masing hamba sudah sesuai takaran
atas kebutuhannya. Salah satu yang menjadikan seseorang selalu merasa
kekurangan adalah karena menuruti nafsu. Padahal dalam mengarungi kehidupan
di dunia, agama Islam menganjurkan untuk hidup penuh rasa syukur. Allah SAW
berfirman : “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan “ Sesungguhnya jika
kamu bersyukur niscaya Aku akan menambahkan nikmat kepadamu. Tetapi jika
kamu mengingkari nikmatKu maka sesungguhnya azabKu sangat pedih”. (TQS
Ibrahim 7)

b. Mengutamakan transaksi halal

Banyak hal dalam kehidupan dunia merupakan pilihan bagi seseorang. Dengan
demikian jika seseorang ingin terhindar dari riba alangkah baiknya terus
mengutamakan transaksi yang halal. Allah SWT telah memberi berbagai macam
cara dalam pemenuhan ekonomi. Selain ada mekanisme zakat, seorang muslim
dalam kondisi darurat boleh berhutang. Selain itu saat ini juga banyak ditemukan
berbagai lembaga sosial. Seandainya terjadi kasus yang mengharuskan meminta
bantuan, transaksi kepada lembaga tersebut masih halal. Biasanya mereka
memiliki banyak program dari bantuan makan hingga yang lebih besar lagi.

c. Kuatkan ta’awun

Sesama muslim adalah bersaudara. Dengan demikian jika anda tidak ingin terjerat
riba, tentu juga berharap saudaranya juga demikian bukan? Salah satu langkah
yang bisa ditempuh untuk terhindar darinya adalah dengan menanamkan
kebiasaan kerjasama. Maksudnya adalah saling mempedulikan antara satu dengan
yang lain. Jika dalam kondisi lapang bisa membantu saudara yang kesulitan. Karena
setiap orang pasti akan melewati kesulitan termasuk dalam ekonomi. Jika kita
sering peduli pada sesama tentu Allah akan mempermudah urusan kita. Salah
satunya dengan menggerakkan saudara kita untuk membantu saat kita mengalami
kesulitan.

d. Kenali bahaya riba

Agar terus termotivasi untuk menghindar dari transaksi ini maka perlu tahu akan
bahayanya. Sebagai sesuatu yang diharamkan oleh Allah Ta’ala tentu dibaliknya
terdapat banyak mudharat. Jika seseorang sengaja melakukannya akan
mendapatkan kerugian baik di dunia maupun di akhirat.

C. LANGKAH-LANGKAH MENGIMPLEMENTASIKAN BAHAYA RIBA

Riba merupakan perbuatan yang harus dan wajib kita hindari di dalam kehidupan
sehari-hari. Terlebih untuk umat muslim. Berikut ini adalah beberapa cara yang
bisa kamu lakukan untuk membantu dan mencegah perbuatan riba.

 Mengetahui tentang bahaya dari perbuatan riba


 Di dalam Al Quran surat An-Nisa ayat 161, menjelaskan mengenai riba.
Bahwasannya Allah SWT, akan memberikan ganjaran yang berupa siksaan
amat pedih kepada orang-orang yang memakan hasil riba. Sebab, uang
tersebut didapatkan dengan cara yang batil.
 Memindahkan tabungan kamu ke Bank Syariah yang tidak menghasilkan
riba.
 Selalu bersyukur atas rezeki yang kita dapatkan.
 Memindahkan tabungan ataupun kredit ke Bank Syariah yang sudah
mendapatkan fatwa Dewan Syariah Nasional atau DSN bisa menjadi salah
satu cara untuk menghindari riba. Sebab, dengan adanya peraturan yang
berdasar pada syariat Islam, maka akan sedikit kemungkinan terjadinya
riba.
 Biasanya, salah satu penyebab adanya riba yaitu karena kurang rasa syukur
atas apa yang sudah kita miliki. Pada kenyataannya, jika kita menerapkan
sifat syukur di dalam diri kita, maka akan menghindarkan kita dari
keinginan hidup yang mewah dan konsumtif melalui hutang atau riba.

D. KESIMPULAN

Riba pada masa turunnya al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama
sejumlah hutang yang didalamnya terdapat unsur penganiayaan dan penindasan,
bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah hutang. Kesimpulan ini bisa
dilihat dari rangkaian ayat-ayat al-Quran yang membicarakan tentang riba
sebagaimana tersebut di atas.Menurut Rasyid Ridha (1376 H:III:113), tidak
termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang
lain, harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya darihasil usaha
tersebut kadar tertentu. Hal ini karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola
dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang
tanpa satu sebab kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa
usaha kecuali penganiayaan dan ketamakan. Dengan demikian, dalam dua kasus ini
tidak mungkin ketetapan hukumnya menjadi sama. Riba pada masa jahiliyah atau
riba nasi’ah pada masa kita ini diberi nama riba fahisy atau rabh murakkab atau
faidah murakkabah. Riba yang seperti ini diharamkan secara pasti oleh Nash al-
Quran, sedangkan kata adh’afan mudha’afah sebagai penjelasan khusus (incident
clarifier) dan ilustrasi keadaan manusia pada masa jahiliyah, selain menjelaskan
ketercelaan perbuatan tersebut yang mengandung penganiayaan dan penindasan
kepada mereka yang sedang kesulitan. Kata adh’afan mudha’afah tidak
menjelaskan bahwa riba yasir (riba yang sedikit) adalah halal, karena itu bukan
maksud ayat ini, selain karena riba itu baik sedikit maupun banyak tetap
diharamkan dan termasuk dosa besar (Wahbah alZuhaili, 1991: III: 84).
DAFTAR PUSTAKA

‘Ashr, Shubhiy ‘Abd al-Ra’uf & Ahmad Musthafa Qasim al-Thahthawiy, alMu‘jam
al-Maudhu‘iy li Ayat alQur’an al-Karim. Kairo: Dar alFadhilah, 2006.

Al-Qurthubiy, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anshari. Al-Jami‘ li Ahkam


al-Qur’an. Jilid VII (Juz XIV). Kairo: al-Maktabah alTaufiqiyah, t.th.

__________. Ensiklopedi Islam. Cet. IX; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.

Mustafiet, A. Khairun. Takdir 13 Skala Richter: Mempertanyakan Takdir Tuhan.


Jakarta: Qultum Media, t.th.

Al-Baghdadi, Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusi. 1994. Ruh al-Ma’ani fi al-
Tafsir al-Quran al-‘Adhim wa al-Sab’I alMatsani. Beirut-Libanon: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah.

Al-Zuhaili, Wahbah. 1991. Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa alManhaj. Beirut-


Libanon: Dar al-Fikr alMu’ashir

Ridha, Rasyid. 1376 H. Tafsir al-Manar. Mesir: Dar al-Manar. Shihab, M. Quraish.
1995. Membumikan alQur’an. Bandung: Mizan.

Anda mungkin juga menyukai