Seluruh ulama telah menyepakati bahwa riba hukumnya adalah haram. Masalahnya, manakah jenis transaksi yang
termasuk riba dfan bukan riba, disnilah ulama mulai berbeda pendapat.
Transaksi keuangan merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat salah satu
cara memenuhi kebutuhan harian adalah dengan kegiatan jual beli. Namun, tentu tidak hanya itu. Transaksi pinjam
meminjam pun sering dilakukan bila bujet sedang tipis.
Riba adalah hal yang sering terjadi pada kedua transaksi tersebut. Secara sederhana ada 2 jenis riba, yaitu :
1. Riba Fadhl
Riba Fadhl adalah kegiatan transaksi/pertukaran barang-barang (barter) yang sejenis, namun dengan jumlah atau
takaran berbeda, sehingga menghasilkan riba.
Contoh :
- Penukaran uang Rp100 ribu dengan pecahan Rp 5 ribu, akan tetapi totalnya 19 lembar saja, sehingga jumlah
nominal uang yang diberikan hanya Rp95 ribu. Inilah riba.
Bagaimana caranya supaya tidak jatuh hukum riba? Tukarkan uang Rp100 ribu dengan pecahan Rp 5 ribu totalnya
20 lembar, transaksikan terlebih dahulu. Setelah itu, kasih uang lelah (upah) secara terpisah. Ini bukan riba.
- Penukaran emas 24 karat menjadi 18 karat. Inilah riba.
- Penukaran beras bulog 1 kg dengan beras ramos 0,8 kg. Inilah riba.
- Penukaran kurma azwah 1 kg dengan kurma jenis lain 1,2 kg. Inilah riba.
2. Riba Nasi'ah
Riba Nasi’ah adalah kelebihan yang didapatkan dari proses transaksi pinjaman atau jual-beli dengan jangka waktu
tertentu.
a. Riba pada transaksi pinjaman
Ada 2 jenis pinjaman :
- ‘Ariyah (I’arah), pinjam barang-barang untuk dipergunakan manfaat. Misalnya, pinjam motor untuk
dipergunakan, lalu dikembalikan lagi.
- Qardh, pinjaman uang atau barang (hutang-piutang) untuk dipergunakan habis (konsumsi). Misalnya, pinjam
uang, beras untuk dimakan, dll. Disinillah
b. Riba pada transaksi jual beli.
Transaksi riba pada jual beli tergantung jenis akadnya. Misalnya, Andi hendi beli motor secara kredit.
- Bila pinjam uang di bank untuk beli motor dengan pengembalian tertentu, inilah riba. Transaksinya, pinjam
uang.
- Bila transaksinya dirubah: bank beli motor Rp. 10 juta, lalu dijual kepada Andi seharga Rp. 15 juta secara kredit
dengan mencicil 2 tahun, ini bukan riba. Transaksinya, jual-beli.
Macam-Macam Riba
Di dalam perdagangan sesuai syariat Islam, riba terbagi menjadi lima jenis, yaitu riba fadhl, riba yad, riba nasi’ah, riba
qardh, dan riba jahilliyah. Berikut ini penjelasan lengkapnya.
3. Riba Fadhl
Riba adalah kegiatan transaksi jual beli maupun pertukaran barang-barang yang menghasilkan riba, namun
dengan jumlah atau takaran berbeda.
Contoh riba pada jenis ini yaitu penukaran uang Rp100 ribu dengan pecahan Rp2 ribu, akan tetapi totalnya 48
lembar saja, sehingga jumlah nominal uang yang diberikan hanya Rp96 ribu. Selain itu juga penukaran emas 24
karat menjadi 18 karat.
4. Riba Yad
Pada jenis ini, riba adalah hasil transaksi jual-beli dan juga penukaran barang yang menghasilkan riba maupun
non ribawi. Namun, waktu penerimaan serah terima kedua barang tersebut mengalami penundaan.
Contoh riba yad dalam kehidupan sehari-hari yaitu penjualan motor dengan harga Rp12 juta jika dibayar secara
tunai dan Rp15 juta melalui kredit. Baik pembeli maupun penjual tidak menetapkan berapa nominal yang harus
dilunaskan hingga transaksi berakhir.
5. Riba Nasi'ah
Riba adalah kelebihan yang didapatkan dari proses transaksi jual-beli dengan jangka waktu tertentu. Adapun
transaksi tersebut menggunakan dua jenis barang yang sama, namun terdapat waktu penangguhan dalam
pembayarannya.
Contoh riba nasi’ah yaitu penukaran emas 24 karat oleh dua pihak berbeda. Saat pihak pertama telah
menyerahkan emasnya, namun pihak kedua mengatakan akan memberikan emas miliknya dalam waktu satu
bulan lagi. Hal ini menjadi riba karena harga emas dapat berubah kapan saja.
6. Riba Qardh
Pada jenis qardh, riba adalah tambahan nilai yang dihasilkan akibat dilakukannya pengembalian pokok utang
dengan beberapa persyaratan dari pemberi utang. Contoh riba di kehidupan sehari-hari yaitu pemberian utang
Rp100 juta oleh rentenir, namun disertai bunga 20% dalam waktu 6 bulan.
7. Riba Jahilliyah
Riba adalah tambahan atau kelebihan jumlah pelunasan utang yang telah melebihi pokok pinjaman. Biasanya,
hal ini terjadi akibat peminjam tidak dapat membayarnya dengan tepat waktu sesuai perjanjian.
Contoh riba jahilliyah adalah peminjaman uang sebesar Rp20 juta rupiah dengan ketentuan waktu
pengembalian 6 bulan. Jika tidak dapat membayarkan secara tepat waktu, maka akan ada tambahan utang dari
total pinjaman.
Nah, itu dia uraian mengenai pengertian riba, jenis dan hukumnya dalam Islam. Hindari praktik riba dan mulailah
menggunakan lembaga keuangan syariah. Jika Anda tertarik, saat ini OCBC telah menyediakan layanan tabungan Tanda
iB yang akan mengelola keuangan sesuai syariat Islam. Yuk buka rekeningnya sekarang!
Kita sebagai makhluk sosial sudah pasti mengenal yang namanya pinjam meminjam dan utang piutang. Sudah barang
tentu, kita sendiri sering bermuamalah yang seperti ini. Kegiatan ini, seperti pinjam meminjam dari anak SD juga sudah
ada yang pernah melakukannya. Seperti meminjam pulpen, meminjam buku, dan barang lainnya. Tapi masih banyak
orang tidak tahu istilah dalam Islam tentang pinjam meminjam dan utang piutang. Seperti yang kita lihat, di antara
keduanya seperti tidak ada perbedaan antara arti utang piutang dengan pinjam meminjam.
Tapi, sebenarnya dalam istilah dan pengertiannya dari keduanya itu sangat berbeda. Dalam kitab-kitab fikih seperti kitab
Yaqut an-Nafis, Fath al-Qarib dan yang lainnya, dikatakan bahwa istilah yang cocok untuk akad pinjam meminjam sering
disebut ‘ariyah, sedangkan istilah yang cocok disematkan untuk akad utang piutang adalah qardh.
‘Ariyah merupakan kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain
dengan dengan cuma-cuma dalam artian lain gratis.
Pengertian ‘ariyah secara bahasa yang termaktub dalam kitab lain seperti dalam kitab Fath al-Mu’in dan kitab Fath al-
Qarib berasal dari kata َعاَرyang artinya sesuatu yang pergi dan datang kembali dengan cepat, bukan dari kata الَع ارyang
artinya cacat. Sedangkan menurut istilah pengertian ‘ariyah adalah akad yang memberikan wewenang untuk mengambil
manfaat sesuatu yang halal, dan saat pengembalian barang masih tetap utuh. Sedangkan pengertian qardh adalah
memberikan kepemilikan sesuatu dan jika sudah saatnya dikembalikan, itu disebut sebagai gantian.
Masalah hukum pinjam meminjam (‘ariyah), mayoritas para ulama fikih mengatakan sunnah. Dikatakan sunnah karena
mengacu pada potongan ayat dari QS. al-Ma’idah: 2, artinya “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebajikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong menolong kalian dalam perbuatan dosa.”
Sedangkan dalam hukum utang piutang (qardh) hukumnya wajib jika keadaan terdesak. Ini mengacu pada potongan
ayat QS. Al-Baqarah: 245 yang artinya, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahi hartanya di jalan Allah maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.
Selain di dalam al-Qur’an, hadis yang diriwatkan oleh Ibnu Majjah juga menyebutkan bahwa siapa yang memberi
pinjaman kepada sesamanya, maka akan diganti dengan ganti dua kali lipat dari apa yang dipinjamkannya. “ Setiap
muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka itu seperti sedekah dua kali” (H.R Ibnu Majah).
Adapun rukun dari ‘ariyah di antaranya sebagai berikut :
1. Mu’ir (orang yang meminjamkan)
2. Musta’ir (orang yang diberi pinjaman)
3. Mu’aar (barang yang dipinjamkan)
4. Shigat (Ijab qabul)
Rukun dari ‘ariyah ini seperti simpel sekali. Tetapi di balik rukun yang simple seperti ini juga terdapat syarat-syarat
tersendiri baik bagi mu’ir, musta’ir, dan mu’ar. Di antara uraian syarat bagi mu’ir kami menemukan beberapa perbedaan
seperti dalam kitab Yakut an-Nafis dan Fath al-Qarib, ada tiga syarat bagi mu’ir, sedangkan dalam buku Fiqih Islam karya
H. Sulaiman Rasjid terdapat dua syarat bagi mu’ir. Adapun syarat bagi mu’ir di antaranya :
1. Ikhtiyar (orang yang bebas memilih) bukanlah anak kecil, budak, maupun orang gila.
2. Mampu mengalokasikan barangnya.
3. Pemilik dari manfaat barang, yaitu barang tersebut manfaatnya benar-benar dimiliki oleh orang yang
meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf dan sebagainya. Karena meminjamkan itu hanya bersangkutan
dengan manfaat, bukan zatnya suatu benda yang dipinjamkan, sehingga orang yang tidak memiliki manfaat
barang tersebut hukumnya tidak sah meminjamkan suatu barang.
Adapun syarat bagi mu’ir yakni orang yang diberi pinjaman itu ada dua :
Dia orang yang sangat membutuhkan akan pinjaman.
Orang yang bebas khiyar.
Selain kedua orang yang berakad dalam ‘ariyah memilki syarat tertentu, begitu pula dengan barang yang akan
dipinjamkan dalam muamalah ‘ariyah tersebut.
Di antara syarat bagi barang yang dipinjamkan (mu’ar) yaitu :
1. Barang tersebut memiliki manfaat dan tidak bertentangan dengan syara’.
2. Barang yang dipinjamkan tidak berkurang atau utuh saat dikembalikan, sehingga apabila terdapat kekurangan
pada barang tersebut dan di luar izin orang yang meminjamkan, maka musta’ir harus mengganti barang
tersebut atau memperbaiki kerusakan barang tersebut. Di antara macam pinjaman bisa terjadi pada rumah,
tanah, hewan dan semua barang yang diketahui bendanya dan memiliki manfaat.
Sedangkan dalam kitab Yakut an-Nafis ada tambahannya di antaranya :
1. Barang tersebut boleh dipinjamkan.
2. Barang tersebut sesuai apa yang dibutuhkan oleh peminjam.
Rukun utang piutang atau qardh itu sama seperti rukun ‘ariyah yakni :
1. Adanya dua orang yang berakad yakni muqarridh dan muqtarid
2. Uang atau barang yang mau diutangi ma’qud alaih
3. Adanya ijab qobul atau shigot
Dalam hal utang piutang agama Islam menyuruh umatnya agar semaksimal mungkin untuk menghindari kegiatan ini,
jika ia masih mampu membeli atau tidak dalam keadaan keadaan terdesak. Karena utang merupakan penyebab
kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Anggapan ini terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim yang menggambarkan betapa beratnya tanggung jawab dalam utang piutang. Adapun isi hadits tersebut
ialah akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.
Karena keumuman sering kali kita memberikan utang kepada orang lain tanpa tahu untuk apa harta yang kita pinjamkan
kepadanya, maka dari itu ada syarat untuk utang piutang piutang itu menjadi amal shalih di antaranya.:
Harta yang diutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya.
Pemberi utang tidak mengungkit-ungkit dan menyakiti penerima utang.
Pemberi piutang berniat mendekatkan diri kepada Allah swt.
Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat bagi pemberi utang.
Kesimpulannya antara qardh dan ‘ariyah itu merupakan hal yang berbeda, seperti yang ditulis di atas. Namun, keduanya
juga memiliki perbedaan dan pesaman tersendiri. Adapun dari segi persamaan antara ‘ariyah dan qardh ialah memiliki
manfaat dan waktunya dikembalikan kepada pemiliknya. Sedangkan perbedaan antara ‘ariyah dan qardh terletak pada
barang itu sendiri. Jika pada ‘ariyah barang yang dipinjamkan tidak diganti atau ditukar dengan barang baru, sedangkan
dalam qardh barang itu diganti atau ditukar dengan artian hanya nilai atau sifat yang tetap.
Referensi
Al- Malibari, Zainudin bin Abdul Aziz. 2005.Kitab Fathul Mu’in Jilid Tiga. Lebanon: Darul Fikr
Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung : Penerbit Sinar Baru Algensindro Badung
As-Satiri, Ahmad Ibnu Umar . Kitab Yaqutun Nafis. Jakarta : Darul Hikmah
Syekh Muhammad bin Qosim. Kitab Fathul Qorib. Jakarta : Pustaka Islamiyah