Anda di halaman 1dari 3

Uncategorized

Beni dan Tholo-Tholo Kena Rutinitas Kampanye

Date: 27 Desember 2018Author: masteddy 0 Komentar

Mereka yang pernah punya anak kecil pasti tahu bahwa yang disebut ‘rutin’ adalah momok bagi anak-anak.
Bahkan seringkali bagi orang dewasa dan orang tua tertentu, mungkin sampai mati ‘rutin’ itu tetap sesuatu yang
sangat ditakuti. Salah satu rutinitas yang paling ditakuti itu adalah mandi. Masih ingat ‘kan ketika ibu
menyuruh kita untuk mandi pada jam-jam rutin. Waktu kita sedang enak main kênèkêr atau gobak sodor atau
main bola. Bahkan sehabis kita mandi di sungai pun, kita di-oprak-oprak,

“Hayoo … mandi! Hayoo adus!”

Dan untuk meyakinkan kita bahwa mandi itu penting untuk kebersihan badan dan penampilan kita, ibu-ibu kita
akan menambahkan perbendaharaan kosa kata dengan,

“Hayoo … mandi! Badanmu bau lêdhis seperti wêdhus prêngus!”


Atau,

“Badanmu penuh dangkal kabèh, bolot kayak orang utan!”

Dan begitu kalimat-kalimat liris dan puitik lainnya. Pendeknya, rutinitas mandi adalah sesuatu yang terkutuk
bagi kami anak-anak. Dan kenapa juga waktu mandi itu tiba saat kita lagi syuur? Akan tetapi, ketika anak-anak
itu tumbuh dewasa kemudian menjadi orang tua, mereka mewarisi semangat miturut jadwal orang tua mereka.
Yaitu, meng-oprak-oprak anak-anak mereka untuk mandi miturut jadwal orang tua mereka. Meskipun,
meskipun banyak juga anak-anak yang menjadi orang tua tetap tidak mau mandi pada waktunya mandi. Anti
rutinitas mandi? Sudah tentu istri-istri mereka tidak akan membentak-bentak dengan kata-kata mutiara yang
liris puitis seperti jaman anak-anak mereka dulu. Betulkah begitu … ?

Demikianlah, tanpa kecuali suami istri the Rigens. Mereka seperti juga para priyayi di seluruh Jawa, percaya
pada rutinisasi. Beni Prakosa, meskipun calon kadet West Point Amerika dan disiapkan untuk mengikuti jejak
Jenderal Eisenhower dan Douglas MacArthur dan Tholo-Tholo yang tampaknya akan disiapkan sebagai
manajer konglomerat seperti Tanri Abeng atau Mochtar Riyadi, tidak bebas pula dari lecutan disiplin rutinitas
mandi. Dan kosa kata Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem tentunya lebih dengan sentuhan warna-warni idiom lokal
from Pracimantoro dan Jatisrono.

“Adus, adus, bêdhès-bêdhès cilik! Ambumu koyok wêdhus nggak pernah keluar kandang!”

Atau,

“Hayoo … adus, adus! Bolotmu koyok bolot kéré Kedung Kopi!”

Dan sebagainya lagi. Perlawanan tentu saja ada. Waktu akan diulur-ulur oleh kedua kader bangsa itu. Tapi, sia-
sia! Hegemoni orang tuanya seteguh hegemoni Stalin. Mereka akan di-grujug oleh kedua orang tua mereka di
kamar mandi atau di sumur.

Akan tetapi, dalam sebulan terakhir ini ada perkembangan rutinisasi yang ajaib di rumah tangga saya. Beni
Prakosa dan Tholo-Tholo, jam tiga sore hari, yak jam tiga sore, mereka sudah mandi, bagus, njlonèt, bau sabun
wangi Lux untuk kemudian duduk manis di lincak teras depan. Elho?! Perkembangan apa ini? Agak terlalu
cepat bolehnya mereka tunduk kepada hegemoni rutinisasi mandi. Mestinya mereka agak lama sedikit bolehnya
berani menawar dan melawan jadwal rutinisasi mandi mereka. Eh, … baru umur tujuh dan empat tahun kok
sudah berkapitulasi kepada otoritas orang tua. Kok mlêmpêm begitu?!

Misteri ini baru terpecahkan waktu beberapa sore hari yang lalu. Dari kamar tidur saya dengar,

“Hayoo … jam setengah empat durung mandi? Mau malês lagi, ya? Mau malês lagi?”

“Sik to, Paak! Saya sama adik lagi main cetak pasir, lho.”

“Wis? Mau main cetak pasir terus, biar gatêlên? Boleh, boleh! Sore ini kampanyenya seru, lho. Lewat sini.
Yang enggak mandi, enggak boleh. Enggak bo-leh!”

“Yaa, … Bapaak!”

“Pokoke no mandi, no kampanye!”

Ajaib, dua bêdhès itu pun terus mak brubut lari ke kamar mandi jêbar-jêbur mulai mandi. Wèlèèh … ternyata
kampanye to yang bikin mereka tunduk pada rutinisasi mandi?

Tetapi, pada hari Senin sore kemarin dua bêdhès itu tampak duduk lesu di lincak dan belum mandi pada jam
empat sore. Dan yang lebih penting, orang tuanya kok ya tidak galak lagi, lho.

“Elho … kok belum pada mandi? Mandi sana!”


“Nanti aja, Pak Ageng.”

“Anti aja, ak gêung.”

“Elho … mulai gerakan mbalélo, ya?”

Bapaknya meringis.

“Lha, ya itu, Paak. Alasannya karena kampanye sudah bubar. Tidak ada tontonan lagi. Tidak ada lagi yang
teriak, siji-siji, loro-loro, metal-metal. Jadi, ya tidak mandi lagi.”

“He-ehe …. iya to, Lé?”

“Siji-siji, loro-loro, metal-metal … !”

Wah, ciloko! Rutinisasi mandi mesti pakai kampanye politik. Saya terbayang akan ke mana para remaja yang
ber-nguuung-nguuung, ngoèng-ngoèèng itu? Yang akan kehilangan rutinisasi mereka. Apa mereka akan ogah
mandi juga, seperti Beni dan Tholo-Tholo.

Yogyakarta, 2 Juni 1992

Anda mungkin juga menyukai