Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum Wr.Wb

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Riba dan Bank.

Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas makalah mata kuliah
Hadist Pendidikan. Tugas ini juga disusun agar pembaca dapat memahami
Pengertian riba dan bunga bank. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan makalah ini dari pembaca untuk penulis sangat diperlukan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu tidak hanya untuk penulis,
tetapi juga untuk para pembaca. Wassalamualaikum Wr. Wb.

                                                                                   

Tangerang,

Januari 2017

                                                                                                 Penulis

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada mulanya riba merupakan suatu tradisi bangsa Arab pada jual beli
maupun pinjaman dimana pembeli atau penjual, yang meminjam atau yang
memeberi pinjaman suatu barang atau jasa dipungut atau memungut nilai yang
jauh lebih dari semula, yakni tambahan (persenan) yang dirasakan memberatkan.

Namun setelah Islam datang, maka tradisi atau praktek seperti ini tidak
lagi diperbolehkan, dimana oleh Allah SWT menegaskan dengan
mengharamkannya dalam Al-Qur’an, bahkan oleh Allah dan RasulNya akan
memusuhi dan memeranginya apabila tetap melanggarnya, yang demikian itu
dimaksudkan untuk kebaikan umat manusia.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian riba dan perbedaannya dengan bunga bank?

2. Apa saja jenis atau macam-macam riba?

3. Bagaimana Al-Qur’an dan Hadits memandang riba?

4.Bagaimana hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum


mendirikan bank Islam?

C. Maksud dan Tujuan

1. Untuk mengetahui Pengertian riba dan perbedaannya dengan bunga bank

2. Dapat mengetahui Jenis atau macam-macam riba

3. Mampu memahami Ayat dan Hadist yang melarang riba

4. Mengetahui Hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum


mendirikan bank Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Riba

Asal makna riba menurut bahasa Arab (raba-yarbu) atau dalam bahasa
Inggrisnya usury/interest ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition) pada suatu
zat, seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman 1. Misalnya si A
memberi pinjaman kepada si B, dengan Syarat si B harus mengembalikan uang
pokok pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Riba dapat diartikan juga
dengan segala jual beli yang haram. Adapun yang dimaksud disini menurut
istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui
sama atau tidaknya menurut syara’, atau terlambat menerimanya.

B. Beberapa Macam Riba

Secara umum riba terbagi menjadi dua bagian, yakni riba nasi’ah dan riba al-
fadhl
1. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah (riba yang jelas, diharamkan karena keadaanya sendiri)
diambil dari kata an-nasu’, yang berarti menunda, jadi riba ini terjadi karena
adanya penundaan pembayaran hutang. Penjelasannya sebagai berikut.
Tambahan yang disyaratkan, yang diambil oleh orang yang memberi
hutang dari orang yang berhutang. . Misalnya, si A meminjam satu juta rupiah
kepada si B dengan janji waktu setahun pengembalian hutangnya. Setelah jatuh
temponya, si A belum bisa mengembalikan hutangnya kepada si B, maka si A
menyanggupi untuk memberi tambahan dalam pembayaran hutangnya.jika si B
mau menambah/menunda jangka waktunya. atau si B menawarkan kepada si A,
“apakah engkau akan membayarnya atau menundanya kembali dengan
menanggung bunga?” Jika si B membayarnya, maka ia tidak dikenakan tambahan.
Sedangkan jika tidak dapat membayarnya, maka ia menambahkan tangguh
pembayaran dengan syarat bahwa ia nantinya harus membayarnya dengan
tambahan. Sehingga, akhirnya harta yang menjadi tanggungan hutang orang
tersebut pun menjadi terlipat ganda. Hal ini merupakan praktek/kebiasaan
Jahiliyah, Oleh karena itu, Allah mengharamkan hal itu, dengan firmannya:
“ Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan.” (al-Baqarah: 280)
Maka dari itu jika waktu hutang tersebut sudah jatuh tempo, semantara
orang yang berhutang itu kesulitan membayarnya, maka ia tidak boleh
membalikan hutang tersebut kepadanya, tapi harus diberikan tempo lagi.
Sedangkan jika orang yang berhutang itu berpunya, dan tidak sedang kesulitan,
maka ia harus membayar hutangnya, dan tidak perlu menambah nilai tanggungan

3
hutangnya itu, baik orang yang berhutang itu sedang mempunyai uang atau
sedang sulit.

2. Riba Fadhl
Riba fadhl (riba yang samara, diharamkan karena sebab lain) berasal dari
kata al-fadhl, yang berarti tambahan dalam salah satu barang yang dipertukarkan.
Riba ini terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/barang yang sejenis.
Jadi syariat telah menetapkan keharamannya dalam enam hal, yakni
diantaranya adalah emas, perak, gandum, kurma, garam. Dan jika salah satu
barang-barang ini diperjual belikan dengan jenis yang sama, maka hal itu
diharamkan jika disertai dengan adanya tambahan antara keduanya. Hal ini senada
dengan apa yang dikatakan oleh Sayid Sabiq bahwa riba fadhl ialah jual beli
emas/perak atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan (yang sejenis)
dengan ada tambahan.
Hal ini berdasarkan dari hadist Nabi yang disampaikan Abu Said al-
Khudri (yang juga hampir senada dengan hadist yang disampaikan oleh ‘Ubadah
bin al-Shamit )3 :
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandunm,
kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama dan tunai. Maka
barang siapa yang meminta tambahan maka sesungguhnya ia memungut riba.
Orang yang mengambil dan memberikan riba itu sama dosanya.” (H.R. Ahmad,
Muslim dan Nasa’i)
Riba ini diharamkan karena untuk mencegah timbulnya
riba nasi’ah, sehingga ia bersifat prefentif. Sebagian Ulama ada yang
membedakan antara riba nasi’ah dengan riba fadhl seperti membedakan antara
berbuat zina dengan memandang atau memegang wanita yang bukan mahramnya
dengan nafsu syahwat. Memandang atau memegang wanita seperti itu diharamkan
karena untuk menghindari perbuatan zina. .
Sebagian Ulama ada yang menambahkan selain kedua jenis riba tersebut diatas,
yakni riba yad, yaitu riba yang dilakukan karena berpisah dari tempat akad
sebelum serah terima terjadi. Kemudian Riba qardi yaitu hutang dengan syarat
ada keuntungan bagi yang memberi hutang4. Namun secara umum keduanya
termasuk kedalam jenis riba nasi’ah dan riba fadhl.
Pada dasarnya semua agama samawi di dunia (revealed religion) melarang
praktek riba, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya
dan bagi mereka yang terlibat riba pada khususnya.
Adapun dampak akibat praktek dari riba itu sendiri diantaranya adalah sebagai
berikut5:

1. Menyebabkan eksploatasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin,


sehingga menjadiakan si kaya semakin berjaya dan si miskin tambah
sengsara

2. Dapat menyebabkan kebangkrutan usaha bila tidak disalurkan pada


kegiatan-kegiatan yang produktif, karena kebanyakan modal yang dikuasai

4
oleh the haves (pengelola) justru disalurkan dalam perkreditan berbunga
yang belum produktif.

C. Ayat dan Hadist yang Melarang Riba

1. Firman Allah SWT

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan


berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan” (Ali Imran : 130)

2. Firman Allah SWT :

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”


(Al-Baqarah : 275)

3. Firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan


tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah
bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya (Al-Baqarah : 278-279)”

4. Sabda Nabi SAW

“Dari Jabir : Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk) orang yang


memakan riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya” (HR. Muslim)

D. Bunga Bank

Bunga bank sendiri dapat diartikan berupa ketetapan nilai mata uang oleh
bank yang memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank
memberikan kepada pemiliknya atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga
(tambahan) tetap sebesar beberapa persen, seperti lima atau sepuluh persen.
Dengan kata lain bunga bank adalah sebuah system yang diterapkan oleh
bank-bank konvensional (non Islam) sebagai suatu lembaga keuangan yang mana
fungsi utamanya menghimpun dana untuk kemudian disalurkan kepada yang
memerlukan dana (pendanaan), baik perorangan maupun badan usaha, yang
berguna untuk investasi produktif dan lain-lain.
Bunga bank ini termasuk riba7, sehingga bunga bank juga diharamkan
dalam ajaran Islam. Bedanya riba dengan bunga/rente (bank) yakni riba adalah

5
untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan bunga/rente (bank) adalah
untuk pinjaman yang bersifat produktif8. Namun demikian, pada hakikatnya baik
riba, bunga/rente atau semacamnya sama saja prakteknya, dan juga memberatkan
bagi peminjam.
Maka dari itu solusinya adalah dengan mendirikan bank Islam. Yaitu
sebuah lembaga keuangan yang dalam menjalankan operasionalnya menurut atau
berdasarkan syari’at dan hukum Islam. Sudah barang tentu bank Islam tidak
memakai system bunga, sebagaimana yang digunakan bank konvensional. Sebab
system atau cara seperti itu dilarang oleh Islam.
Sebagai pengganti system bunga tersebut, maka bank Islam menggunakan
berbagai macam cara yang tentunya bersih dan terhindar dari hal-hal yang
mengandung unsur riba. Diantaranya adalah sebagai berikut 9:
1. Wadiah (titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito). Bisa
diterapkan oleh bank Islam dalam operasionalnya menghimpun dana dari
masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan
surat-surat berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya
oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu
tanpa harus membayar imbalannya tetapi bank harus menjamin bisa
mengembalikan dana itu kepada waktu pemiliknya membutuhkan
2. Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana atas
dasar perjanjian profit and loss sharing).dengan cara ini, bank Islam dapat
memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya
baik besar maupun kecil dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang
perbandingannya sama sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty.
Dalam mudharabah ini, bank tidak mencapuri manajeman perusahaan.

3. Musyarakah/ syirkah (persekutuhan). Di bawah kerja sama cara ini, pihak


bank dan pihak perngusaha mempunyai peranan (saham) pada usaha
patungan (joint venture.) karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi
mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama
atas dasar perjanjian tersebut.

4. Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas
dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan cara ini, orang
pada hakikatnya ingin merubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam
meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity menjadi sale and
purchase transaction). Dengan system ini, bank bias
membelikan/menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha
untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost plus) atas harga
pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah ini ialah si pemilik barang
dalam hal ini bank harus memberi informasi yang sebenarnya kepada
pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit
margin) daripada cost plus-nya itu.
5. Qargh Hasan (pinjaman yang baik atau bernevolent loan). Bank Islam
dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan) kepada para
nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank Islam

6
itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposan,
karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.
6. Bank Islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul
untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha yang profitable.
Dalam hal ini, bank sendiri yang melakukan manajemennya secara
langsung, berbeda dengan investasi patungan, maka manajemennya
dilakukan oleh bank bersama partner usahanya dengan perjanjian profit
and loss sharing.

7. Bank Islam boleh pula mengelola zakat di Negara yang pemerintahnya


tidak mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan
sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif, yang
hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.

8. Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk :


1. Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank
dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepetingan nasabah,
misalnya biaya telegram, telpon, telex dalam memindahkan atau
memberitahukan rekening nasabah dan sebagainya.
2. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan
untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan prasarana yang
disediakan oleh bank, dan biaya administrasi pada umumnya.

E. Hukum Bermuamalah dengan Bank Konvensional dan Hukum


Mendirikan Bank Islam

Pada masa zaman kehidupan modern seperti saat sekarang ini, umat Islam
hampir tidak dapat menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional
yang memakai system bunga itu dalam segala aspek kehidupannya, termasuk
dalam beragama. Misalkan ibadah Haji di Indonesia umat Islam harus memakai
jasa bank, apalagi dalam hal kehidupan ekonomi sulit untuk bisa lepas dari jasa
bank itu sendiri. Sebab tanpa jasa bank tersebut, perekonomian Indonesia
mungkin tidak akan selancar dan semaju seperti sekarang. Namun para ulama dan
cendikiawan Muslim sendiri hingga kini masih tetap berbeda pendapat tentang
hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga banknya.

Perbedaan pendapat mereka tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut10 :

1. Pendapat Abu Zahrah (Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Cairo),


Abul A’la Maududi (Pakistan), Muhammad abdullah Al-‘Arabi (Penasihat
Hukum pada Islamic Congres Cairo), dan lainnya yang sependapat
menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah, yang dilarang oleh agama
Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak diperkenankan bermuamalah

7
dengan bank yang memakai sistem bunga, terkecuali memang benar-benar
dalam keadaan darurat atau terpaksa, dengan syarat mereka itu
mengharapkan dan menginginkan lahirnya bank Islam yang tidak
memakai sistem bunga sama sekali.

2. Pendapat A. Hasan pendiri dan Pemimpin Pesantren Bangil (Persis) yang


menerangkan bahwa bunga bank seperti di Negara kita ini bukan riba yang
diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan
dalam surat Ali Imran ayat 130.

3. Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo (Jawa Timur) tahun


1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank
Negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya adalah
termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya tidak/belim jelas halal
haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati
menghadapi masalah-masalah yang semisal ini. Karena itu, jika kita dalam
keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang
mendesak/penting barulah kita diperbolehkan bermuamalah dengan bank
yang menggunakan sistem bunga bank itu dengan batasan-batasannya
yang telah ditetapkan dalam agama.

Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’ (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum
Perdata Universitas Syria), bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang ini
sebagai realitas yang tak dapat kita hindari. Karenanya umat islam diperbolehkan
(mubah) bermuamalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam
keadaan darurat dan bersifat sementara. Sebab umat Islam harus berusaha mencari
jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa adanya system bunga/riba, demi
menyelamatkan umat Islam dari cengkraman budaya yang tidak Islami11.

Dari sini kemudian kita dapat mengetahui alasan para ulama maupun cendikiawan
Muslim menganjurkan berdirinya bank Islam yakni sebagai berikut :

1. Agar umat Islam tidak selalu berada dalam keadaan darurat dan
menghindarkannya dari hal-hal yang bersifat subhat/haram

2. Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga, riba, rente dan
sebagainya yang mengandung unsur pemaksaan atau pemerasan
(eksploitasi) oleh yang berekonomi kuat terhadap yang berekonomian
lemah, dan juga menghindarkan dari ketimpangan yang menjadikan si
kaya makin kaya dan si miskin menjadi semakin miskin

3. Guna melepaskan ketergantungan umat Islam terhadap bank-bank


konvensional (non-Islam) yang mengandung unsur syubhat/haram, dan
menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan asing, yang itu
membuat keterpurukan dan melemahnya ekonomi Islam, sehingga umat

8
islam tidak dapat menerapkan ajaran agamanya secara menyeluruh dalam
kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.

4. Untuk mengaplikasikan ketentuan kaidah fiqh, “al khuruuju minal khilafi


mustahabbun” (menghindari perselisihan ulama itu sunnah hukumnya),
sebab ternyata hingga kini ulama maupun para cendikiawan Muslim masih
saja terjadi perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah, khusunya
dengan bank-bank non Islam (konvensional), karena masalah bunga dan
semacamnya itu masih tetap kontroversial dan tidak jelas hukumnya
(haram/syubhat/halal)

BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami ambil dari makalah ini adalah, riba
dengan segala macam bentuknya merupakan suatu pemaksaan pemindahan hak
milik dari orang yang menjadi objek riba oleh orang yang menjadi subjek dari
perbuatan riba itu secara tidak langsung. Dan perbuatan semacam ini
mendapatkan kecaman yang sangat serius dari Allah dan Rasul-Nya. Orang yang
melakukan transaksi semacam ini balasannya adalah neraka berdasarkan firman
Allah “Dan Allah telah menghalalkan jualbeli dan mengharamkan riba”. Karena
pada dasarnya riba adalah pencurian yang mempunyai akad.

B.       Saran
kami harap bagi pembaca bila menemukan kekeliruan atau kata yang
mempunyai  makna menyinggung ataupun salah dalam penerapan dalam
kehidupan pembaca/bertentangan maka kami mohon maaf, karena kami pembuat
makalah ini hanya ciptaan yang mungkin masih memilikin kekurangan.

Anda mungkin juga menyukai