Anda di halaman 1dari 4

Konsep dasar pembiyaan bebas riba : berbasis utang

1. Pembiayaan Bebas Riba Riba adalah ziyadah atau tambahan. Dalam Lisanul ‘Arab dikatakan
rabaa asy-syai-u, yarbuu rubuwwan wa ribaa an, artinya bertambah dan tumbuh (zaada wa
namaa).Riba adalah praktik pembebanan bunga keuangan atau premi atas jumlah uang pokok.
Secara literal, istilah riba merujuk pada kelebihan, tambahan, dan surplus, dan kata kerja yang
berkaitan dengan kata ini berarti “meningkatkan, melipatgandakan, melebihkan, mengambil
lebih dari yang seharusnya, atau melakukan praktik peminjaman uang dengan bunga yang
tinggi.” Menurut Lane, riba adalah meningkatkan, memperbesar, menambah, tambahan
“terlarang” menghasilkan lebih dari asalnya, mempraktikkan pinjaman dengan bunga atau yang
sejenisnya, kelebihan atau tambahan, atau tambahan di atas jumlah pokok yang dipinjam atau
dikeluarkan. Riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun dalam istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara adil.Riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
2. Jenis jenis riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli.
Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua,
jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Untuk lebih jelasnya, diuraikan sebagai
beikut.
a. Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berutang (muqtaridh).
b. Riba Jahiliyyah Utang dibayar lebih dari pokok karena peminjam tidak mampu membayar
utangnya pada waktu yang ditetapkan.
c. Riba Fadhl Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang riba.
d. Riba Nasi’ah Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.
3. Esensi pembiyaan bebas riba (berbasis utang )
Fadhl secara bahasa berarti tambahan atau kelebihan, sedangkan nasi’ah secara bahasa
maknanya adalah penundaan atau penangguhan. Dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba
nasi’ah tidak berupa tambahan, tetapi hanya dalam bentuk penundaan penyerahan barang
ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai, baik keduanya sejenis maupun berbeda jenis.
Contohnya membeli emas menggunakan perak secara tempo atau membeli perak dengan perak
secara tempo. Praktik tersebut tidak boleh dilakukan karena emas dan perak merupakan barang
ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah alasan
pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan ke dalam riba nasi’ah. Menurut Syafi’i
(2001), sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang ribawi
ini dengan istilah khusus, yaitu riba yang akan datang.5
a. Riba dalam Utang Riba dalam utang adalah tambahan atas utang, baik yang disepakati sejak
awal maupun yang ditambahkan sebagai denda atas pelunasan yang tertunda. Riba utang
bisa terjadi dalam qardh (pinjam/ utang-piutang) ataupun selain qardh, seperti jual-beli
kredit. Semua bentuk riba dalam utang tergolong riba nasi’ah karena muncul akibat tempo
(penundaan).
b. Pembiayaan Berbasis Utang Pembiayaan utang mencakup dana yang dipinjam oleh pemilik
perusahaan kecil dan harus dibayarkan kembali dengan bunga. Pemberi pinjaman modal
utang lebih beragam daripada investor meskipun pinjaman perusahaan kecil sulit (bahkan
lebih sulit) untuk diperoleh.

Riba ditinjau dari berbagai aspeknya

1. Riba dalam Pandangan Islam Islam dengan tegas melarang praktik riba.
Hal ini tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Quran menyatakan haram terhadap
riba bagi kalangan masyarakat Muslim. Allah SWT. telah mewahyukan adanya larangan riba
secara bertahap sehingga tidak mengganggu kehidupan ekonomi masyarakat pada saat itu.6
Larangan riba secara bertahap sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti
juga tentang pelarangan yang lain, seperti judi dan minuman keras. Tahap pertama
disebutkan bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari keberkahan Allah, sedangkan
sedekah akan meningkatkan keberkahan berlipat ganda (Q.S. Ar Rum [30]: 39). Tahap
kedua, pada awal periode Madinah,Tahap ketiga, sekitar tahun kedua atau tahun ketiga
Hijriah, Allah menyerukan agar kaum muslimin menjauhi riba jika mereka menghendaki
kesejahteraan yang sebenarnya sesuai Islam. Terakhir dijelaskan menjelang selesainya misi
Rasulullah SAW., Allah mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menegaskan
perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba
2. Riba dalam Perspektif Ekonomi
a. Teori Abstinence Teori ini mengemukakan untuk pembenaran pengambilan bunga
adalah alasan abstinance.
b. Bunga Sebagai Imbalan Sewa Uang memiliki karakter yang berbeda dengan barang dan
komoditas lain, baik menyangkut daya tukar yang dimiliki, kepercayaan masyarakat
terhadapnya, maupun posisi hukumnya. Sewa hanya dikenakan terhadap barang-barang
seperti rumah, perabotan alat transportasi, dan sebagainya, yang apabila digunakan
akan habis, rusak dan kehilangan sebagian dari nilainya. Biaya sewa layak dibayar
terhadap barang yang susut, rusak, dan memerlukan biaya perawatan. Adapun uang
tidak dapat dimasukkan dalam kategori tersebut

3. Riba dalam Jual-Beli dan Riba dalam Utang-Piutang Ibnu Rusyd, dalam Bidayatul Mujtahid,
menyatakan, “Para ulama bersepakat bahwa riba terjadi dalam dua hal, yaitu dalam jual-beli
dan dalam perkara yang menjadi tanggungan (utang), baik utang karena jual-beli, salaf,
maupun lainnya.”8 Dengan kata lain, riba dapat terjadi dalam: pertama, utangpiutang atau
muamalah yang melahirkan kewajiban yang harus dibayarkan oleh satu pihak kepada pihak
yang lain pada masa yang akan datang; kedua, tukar-menukar barang atau jual beli.9 Utang
piutang dinamakan riba duyun (riba utang piutang), sedangkan tukar-menukar barang
dinamakan riba buyu’ (riba jual-beli).10 Duyun merupakan bentuk plural dari kata dain yang
berarti utang. Adapun buyu’ merupakan bentuk plural dari kata bai’ yang berarti jual-beli
Perbedaan BBA dan Murabahah

1. Riba Utang-Piutang Utang dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu: (a) utang yang
muncul karena pinjam-meminjam (qardh); (b) utang yang tidak lahir dari pinjam-meminjam,
seperti lahir dari jual-beli kredit atau tunggakan sewa. Pinjam-meminjam (qardh) yang
dimaksud di sini bukan peminjaman barang yang digunakan manfaatnya semata, seperti
meminjam sepeda untuk dipakai lalu dikembalikanAdapun utang (dain) yang bukan lahir
dari qardh contohnya adalah utang yang muncul karena jual-beli kredit atau biaya sewa
yang belum dilunasi (tunggakan)
2. 2.Biaya Murabahah Murabahah menurut Ibnu Qudamah dalam bukunya Mughni adalah
menjual dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati.
Tipe murabahah dibedakan menjadi dua macam.11 a. Murabahah Jual-beli barang pada
harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.. b. Murabahah kepada pemesan
pembelian Jual-beli yang kedua belah pihak atau lebih bernegosiasi dan berjanji satu sama
lain untuk melaksanakan sebuah kesepakatan, yakni pemesan meminta pembeli untuk
membeli sebuah aset yang pemesan akan memilikinya. Pemesan berjanji kepada pembeli
untuk membeli aset itu darinya dan memberi keuntungan yang diminta
3. Perbedaan Murabahah dengan Al-Bai’ Bitsaman Ajil Bank Islam memiliki produk-produk
pembiayaan dengan prinsip pengambilan keuntungan yang terdiri atas:12
a. Al-murabahah, yaitu kontrak jual-beli dengan cara barang yang diperjual-belikan
tersebut diserahkan segera, sedangkan harga (pokok dan margin keuntungan yang
disepakati bersama) dibayar kemudian hari secara sekaligus (lum sump defered
payment
b. Al-bai’ bitsaman ajil, yaitu kontrak al-murabahah dengan cara barang yang diperjual-
belikan diserahkan dengan segera, sedangkan harga barang tersebut dibayar kemudian
hari secara angsuran (installment deffered payment).
c. . c. Bai’ salam, yaitu kontrak jual-beli yang harga atas barang yang diperjual-belikan
dibayar di muka sebelum barang diserahkan kepada pembeli (pre-paid purchase of
goods).

Sistem ribawi yang disamarkan


1. Sistem Ekonomi Ribawi Salah satu penyebab utama munculnya krisis ekonomi dan keuangan di
berbagai belahan dunia adalah praktik ribawi dan spekulasi finansial dalam aktivitas
perekonomian. Islam dengan tegas mengharamkan riba dan spekulasi tersebut dalam sistem
ekonomi umatnya. Inilah yang menjadi pembeda utama antara sistem ekonomi Islam dan
ekonomi konvensional. Ekonomi kapitalisme secara nyata menghalalkan bunga dan praktik
spekulasi. Pengharaman riba menurut ekonomi Islam memiliki argumentasi yang rasional.
pengharamkan riba dalam ekonomi disebabkan oleh hal-hal berikut.15 Pertama, sistem
ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, Kedua, sistem ekonomi
ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dan
peminjam.ketiga, sistem ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tinggi
tingkat bunga dalam masyarakat, semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi.
Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para pengusaha yang
menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan
untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga
akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua
dampak negatif sistem ekonomi ribawi ini secara gradual, tetapi pasti, akan mengeroposkan
sendi-sendi ekonomi umat. Kehadiran krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian
sistem ekonomi ribawi
2. Mu’amalat Ribawi dan Bahayanya Transaksi muamalah maliyah juga semakin berkembang
sesuai dengan tuntutan zaman.. Di antara permasalahan yang sering terjadi dan menimpa kaum
Muslim dalam muamalat maliyah adalah permasalahan riba. Oleh karena itu, orang yang masuk
dalam muamalat wajib untuk mengetahui permasalahan ini dengan baik dan jelas Di antara
dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang.
Hal tersebut disebabkan oleh salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga,
semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah
utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjaman dan tingginya biaya bunga,
menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi apabila bunga atas
utang tersebut akan dibungakan

Anda mungkin juga menyukai