Anda di halaman 1dari 17

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Riba

Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan

(azziyadah), riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan

salah satu pihak dalam suatu transaksi. Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa

tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut: arba fulan 'ala

fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di

dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in

lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara

berlebih dari apa yang diberikan).1

Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang

dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba sering

juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti tambahan

uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik dengan

jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.2

Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di

kalangan masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu disebabkan

rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu

sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.

1
Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, al-Ikhlas,
Surabaya 2003, hal. 125.
2
Ibid.
9

Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank

atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha

produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan

lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua

belah pihak baik kreditur (bank) maupun debitur (nasabah) sama-sama sepakat atas

keuntungan yang akan diperoleh pihak bank. Timbullah pertanyaan, di mana letak

perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan

definisi dari bunga.

Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest yang berarti

tanggungan pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang

yang dipinjamkan. menurut Tim Pengembangan Syariah Institut Bankir Indonesia,

bahwa pengertian dari interest atau bunga adalah uang yang dikenakan atar dibayar

atas penggunaan uang, sedangkan konsep usury adalah pekerjaan meminjamkan

uang dengan mengenakan bunga yang tinggi.3

Jadi, uraian di atas dapat disimpulkan bahwa riba "usury" dan bunga

"interest" pada hakikatnya sama, keduanya sama-sama memiliki arti tambahan uang.

Abu Zahrah dalam kitab Buhusu fi al-Riba menjelaskan mengenai haramnya

riba bahwa riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik

pinjaman itu untuk konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk

mendapatkan sejumlah uang guna keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk

3
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, edisi revisi, Unit Penerbit dan Peretakan (UPP)
AMP YKPN, Yogyakarta, 2012, hal. 35.
10

mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk

dikembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash tersebut bersifat umum.4

Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama' sependapat bahwa

tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu

tertentu 'iwadh (imbalan) adalaha riba.5 Yang dimaksud dengan tambahan adalah

tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan

perbedaan kuantitas, yaitu penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak,

gandum, serta segala macam komoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut.

Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana

dalam perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi yang memakai

konsep bunga, berbeda dengan perbankan yang berbasis syariah yang memakai

prinsip bagi hasil (mudharabah) yang belakangan ini lagi populer dengan

diterbitkannya Undang-Undang Perbankan Syariah di Indonesia Nomor 7 Tahun

1992. pada pasal 13 huruf C disebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat yang

melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah tidak diperkenankan

melaksanakan kegiatan secara konvensional. Sebaliknya Bank Perkreditan Rakyat

yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional tidak diperkenankan melakukan

kegiatan berdasarkan prinsip syariah.6

Dalam kajian ini difokuskan pada kajian ulama tafsir, maka definisi riba

terbagi dua: Yaitu menurut ulama klasik dan kontemporer. menurut ulama klasik,

4
Muhammad Abu Zahrah, Buhūsu fi al-Ribā, cet.1, Dar al-Buhus al-Ilmīyah, Beirut, 1399 H/
1980 ), hal. 38-39.
5
Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-arba'ah, Dar al-Fikr, Beirut,
1972), juz. II, hal. 245
6
Lihat Undang-undang Perbankan, Undang-undang No. 10 Th. 1998 Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 44 - 45.
11

seperti dalam al-Mughni karya Ibnu Qudamah, bahwa “Para ulama sepakat bahwa

setiap pinjaman yang disyaratkan ada tambahannya itu diharamkan”, kemudian Ibnu

al-Mundzir berkata “Para ulama telah sepakat bahwa pihak yang meminjamkan jika

memberi syarat kepada pihak peminjam agar dibayar lebih dengan tambahan atau

hadiah dan ia meminjam atas dasar itu, jika ia mengambil kelebihan tersebut, itu

termasuk riba.

Menurut Badruddin al-Ayni pengarang Umdah al-Qari‟ Syarh Shahîh al-

Bukhâri, bahwa prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Sedangkan

menurut ulama kontemporer seperti Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar,

dikatakan bahwa: riba menurut bahasa adalah “Az-Ziyâdah/bertambah”, harta

dapat dikatakan riba jika bertambah dan berkembang, sedangkan menurut istilah:

bertambahnya harta dari modal awal yang tidak disertai dengan imbalan yang

dibenarkan. Jadi tidak semua tambahan dalam sebuah pinjaman itu haram, tetapi

tambahan disini maksudnya adalah tambahan yang tidak dibenarkan/ batil.7

Menurut Muhammad Syafi’i Antonio riba adalah tambahan yang diambil

tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah,

maksud transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial

yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil seperti transaksi jual-beli,

gadai, sewa, atau bagi-hasil proyek.8

Sehubungan dengan arti riba menurut bahasa, ada ungkapan orang Arab

kuno yang artinya “Seseorang melakukan riba terhadap orang lain jika didalamnya
7
Sayyid Muhammad Thantawi, Bunga Bank Halal?: Pandangan Baru Membongkar Hukum
Bunga Bank dan Transaksi Perbankan Lainnya, …, Hal. 91.

8
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari‟ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani,
12

terdapat unsur penambahan atau mengambil sesuatu yang kamu berikan dengan cara

berlebih dari apa yang diberikan.9

Sekilas memang tidak ada perbedaan dalam definisi ini, namun jika

dicermati secara mendalam dan terperinci maka akan ditemukan perbedaan

istilah dalam hal riba ini.

B. Dalil Yang Berkenaan Dengan Larangan Riba

1. Dalil Al Qur’an

Tampaknya pelarangan riba dalam Al-Qur'an datang secara bertahap seperti

larangan minum khamar. Dalam surat al-Baqarah merupakan ayat riba yang terakhir

dan para ahli hukum Islam dan ahli tafsir tidak ada yang membantahnya.

Berbagai riwayat yang dikutip oleh mufassir ketika mereka menjelaskan

sebab turunnya kelompok ayat ini menyebutkan bahwa ayat tersebut merupakan

ketegasan atas praktek riba yang dilakukan antara penduduk Makkah dan penduduk

Thaif.

Al-Qur’an membicarakan masalah riba dalam empat surat, yaitu al-Baqarah,

Ali-Imran, an-Nisa’ dan ar-Rum. Jika dilihat dari segi urutan turunnya ayat-ayat

tentang riba, maka yang pertama kali turun adalah surat ar-Rum yang turun di

Makkah. Sedangkan ayat terakhir tentang riba adalah ayat-ayat dalam surat al-

Baqarah. Bahkan ayat ini dinilai sebagai ayat hukum terakhir atau ayat terakhir yang

diterima oleh Rasulullah SAW.10

9
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi Atas Pemikiran M. Abduh,
Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Academia, Yogyakarta, 2016, hal. 37.
10
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
hal. 550
13

Al-Qur’an membicarakan tentang pengharaman riba tampaknya secara

bertahap sama halnya dengan tahapan pembicaraan/pengharaman tentang khamr.

Pada tahap pertama sekedar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya

bagaimana terdapat dalam QS. ar-Rum: 39,

‫ُد وَن‬OO‫َو َم ٓا َء اَتۡي ُتم ِّم ن ِّر ٗب ا ِّلَيۡر ُبَو ْا ِفٓي َأۡم َٰو ِل ٱلَّناِس َفاَل َيۡر ُبوْا ِع نَد ٱِۖهَّلل َو َم ٓا َء اَتۡي ُتم ِّم ن َزَكٰو ٖة ُتِر ي‬
‫َٰٓل‬
٣٩ ‫َو ۡج َه ٱِهَّلل َفُأْو ِئَك ُهُم ٱۡل ُم ۡض ِع ُفوَن‬
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).11

Selanjutnya disusul dengan isyarat tentang keharamannya seperti yang

termaktub dalam QS. an-Nisaa': 160- 161.

١٦٠ ‫َفِبُظۡل ٖم ِّم َن ٱَّلِذ يَن َهاُدوْا َح َّرۡم َنا َع َلۡي ِهۡم َطِّيَٰب ٍت ُأِح َّلۡت َلُهۡم َو ِبَص ِّد ِهۡم َعن َس ِبيِل ٱِهَّلل َك ِثيٗر ا‬
١٦١ ‫َو َأۡخ ِذِهُم ٱلِّر َبٰو ْا َو َقۡد ُنُهوْا َع ۡن ُه َو َأۡك ِلِهۡم َأۡم َٰو َل ٱلَّناِس ِبٱۡل َٰب ِط ِۚل َو َأۡع َتۡد َنا ِلۡل َٰك ِفِر يَن ِم ۡن ُهۡم َع َذ اًبا َأِليٗم ا‬
160. Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
161. dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih.12

Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah

satu bentuknya pada QS. Ali- Imran: 130.


‫ۖٗة‬
١٣٠ ‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنوْا اَل َتۡأ ُك ُلوْا ٱلِّر َبٰٓو ْا َأۡض َٰع ٗف ا ُّم َٰض َع َف َو ٱَّتُقوْا ٱَهَّلل َلَع َّلُك ۡم ُتۡف ِلُحوَن‬

130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan

berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat

11
Departemen Agama RI., Al Qur’an dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 2005, hal.
647.
12
Ibid., hal. 150.
14

keberuntungan.13

Dan pada tahap terakhir, yaitu terdapat pada surat al-Baqarah: 275-279.

‫ٱَّلِذ يَن َيۡأ ُك ُلوَن ٱلِّر َبٰو ْا اَل َيُقوُم وَن ِإاَّل َك َم ا َيُقوُم ٱَّلِذ ي َيَتَخَّبُط ُه ٱلَّش ۡي َٰط ُن ِم َن ٱۡل َم ِّۚس َٰذ ِل َك ِب َأَّنُهۡم‬
‫ة ِّم ن َّرِّبِهۦ َف ٱنَتَهٰى َفَل ۥُه َم ا‬ٞ‫َقاُلٓو ْا ِإَّنَم ا ٱۡل َبۡي ُع ِم ۡث ُل ٱلِّر َبٰو ْۗا َو َأَح َّل ٱُهَّلل ٱۡل َبۡي َع َو َح َّر َم ٱلِّر َبٰو ْۚا َفَم ن َج ٓاَء ۥُه َم ۡو ِع َظ‬
‫ َيۡم َح ُق ٱُهَّلل ٱلِّر َب ٰو ْا‬٢٧٥ ‫َس َلَف َو َأۡم ُر ٓۥُه ِإَلى ٱِۖهَّلل َو َم ۡن َع اَد َفُأْو َٰٓلِئ َك َأۡص َٰح ُب ٱلَّن اِۖر ُهۡم ِفيَه ا َٰخ ِل ُد وَن‬
‫ ِإَّن ٱَّل ِذ يَن َء اَم ُن وْا َو َع ِم ُل وْا ٱلَّٰص ِلَٰح ِت َو َأَق اُم وْا‬٢٧٦ ‫َو ُيۡر ِبي ٱلَّص َد َٰق ِۗت َو ٱُهَّلل اَل ُيِح ُّب ُك َّل َك َّف اٍر َأِثيٍم‬
‫ َٰٓيَأُّيَه ا ٱَّل ِذ يَن‬٢٧٧ ‫ٱلَّص َلٰو َة َو َء اَتُو ْا ٱلَّز َكٰو َة َلُهۡم َأۡج ُر ُهۡم ِع نَد َر ِّبِهۡم َو اَل َخ ۡو ٌف َع َلۡي ِهۡم َو اَل ُهۡم َيۡح َز ُنوَن‬
‫ َفِإن َّلۡم َتۡف َع ُل وْا َف ۡأ َذُنوْا ِبَح ۡر ٖب ِّم َن‬٢٧٨ ‫َء اَم ُنوْا ٱَّتُقوْا ٱَهَّلل َو َذ ُروْا َم ا َبِقَي ِم َن ٱلِّر َبٰٓو ْا ِإن ُك نُتم ُّم ۡؤ ِمِنيَن‬
‫ َو ِإن َك اَن ُذ و ُع ۡس َر ٖة‬٢٧٩ ‫ٱِهَّلل َو َر ُس و ۖۦِلِه َو ِإن ُتۡب ُتۡم َفَلُك ۡم ُر ُء وُس َأۡم َٰو ِلُك ۡم اَل َتۡظ ِلُم وَن َو اَل ُتۡظ َلُم وَن‬
٢٨٠ ‫ر َّلُك ۡم ِإن ُك نُتۡم َتۡع َلُم وَن‬ٞ ‫َفَنِظ َر ٌة ِإَلٰى َم ۡي َسَر ٖۚة َو َأن َتَص َّد ُقوْا َخ ۡي‬
Artinya: 275 Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.
Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.14

Dengan turunnya ayat ini, khususnya ayat 278, diharamkan secara total dalam

berbagai bentuknya.15

13
Ibid., hal. 97.
14
Ibid., hal. 69 – 70.
15
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1996, hal. 260.
15

Riba termasuk dalam kategori masalah yang dijelaskan dalam Al- Qur’an

secara terpisah-pisah, sehingga untuk mengetahui kesimpulan makna yang dimaksud

dalam Al-Qur’an dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam

surat yang berbeda-beda itu. Begitupun dengan penafsiran menurut ulama-ulama

kontemporer, dibutuhkan pembahasan yang komprehensif yang mencakup ayat-ayat

yang berkaitan dengan riba, dalam pandangan ulama kontemporer.

Ahli-ahli tafsir menyebut di sini adalah kejadian pada Bani Amr bin Umar

dari suku Tsaqif dan Bani al-Mughirah dari suku Makhzum, ketika di masa

Jahiliyah terjadi hutang piutang riba, kemudian ketika Islam datang, suku Tsaqif

akan menuntut kekurangan riba yang belum dilunasi tetapi Bani al Mughirah

berkata, "Kami tidak akan membayar riba dalam Islam, maka gubernur Mekkah

Attab bin Usaid menulis surat kepada Rasulullah SAW, surat tersebut berisi

mengenai kejadian hutang piutang antara Bani Amr bin Umar dari suku Tsaqief

dengan Bani Mughirah dari suku Makhzum, maka turunlah ayat 278-279 dari

surat al-Baqarah ini, maka Bani Amr bin Umar berkata, “Kami tobat kepada

Allah dan membiarkan sisa riba itu semuanya”.16

2. Hadis Rasulullah SAW.

Orang yang memakan riba kelak dibangkit jadi kera dan babi

‫ َو اَّلِذ ْى َنْفِسْى ِبَيِدِه َلُيَبِّيَتَن ُأَناٌس ِم ْن ُأَّمِتى َع َلى َأَش ٍر َو َبَطٍر َو َلْهٍو َو َلِعٍب‬: ‫َقاَل َص َّلى الَّلُه َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫َفِيْص َبُحْو اِقَر َد ًة َو َخَناِزْيَر ِباْس ِتْح اَل ِلِهُم اْلَم َح اِرَم َو اِّتَخاِذِهُم اْلَقْيَناٍت َو ُشْر ِبِهُم اْلَخ ْمَر َو ِبَأْك ِلِهُم الِّر َباَو ُلْبِسِهُم‬
‫اْلَح ِرْيَر‬.

16
Salim Bahreisy dan Said Bahriesy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid. I, Bina
Ilmu, Surabaya, 1993, hal. 506-507.
16

Artinya: Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, “Demi Allah yang diriku ada pada

kekuasaan Nya, sungguh bakal menjadi manusia-manusia dari umatku dalam

kesombongan dan keangkuhan, kesia-siaan dan permainan. Maka pada pagi (ketika

dibangkitkan pada hari kiamat) mereka menjadi kera dan babi sebab mereka

menghalalkan barang-barang yang haram, dan sebab memanggil biduan, dan sebab

meminum khamar dan sebab makan riba dan memakai kain sutra.”

Orang yang memakan riba dosanya lebih berat dari zina

‫ ِد ْر َهُم َر ًباَيْأُكُلُه الَّرُجُل َو ُهَو َيْع َلُم َأَشُّد ِم ْن ِس َّتٍة َو َثاَل ِثْيَن َزْيَنًة‬: ‫َقاَل َص َّلى الَّلُه َع َلْيِه َو َس َّلَم‬

Artinya: Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, "Uang satu dirham dari riba yang dimakan

seorang lelaki padahal ia mengetahui itu lebih berat dosanya dari pada tiga puluh enam

kali perbuatan zina."

Dalam hadits, Nabi ‫ ﷺ‬juga memerintahkan agar seorang muslim menjauhi

riba. Riba termasuk salah satu dari tujuh dosa besar. Nabi SAW bersabda:

‫ َو َقْتُل الَّنْفِس‬،‫ َو الِّسْح ُر‬،‫ َو َم ا ُهَّن َقاَل " الِّش ْر ُك ِبالَّلِه‬،‫ َقاُلوا َيا َر ُسوَل الَّلِه‬." ‫اْج َتِنُبوا الَّسْبَع اْلُم وِبَقاِت‬

‫ َو َقْذ ُف اْلُم ْح َص َناِت‬، ‫ َو الَّتَو ِّلي َيْو َم الَّز ْح ِف‬، ‫ َو َأْك ُل َم اِل اْلَيِتيِم‬،‫ َو َأْك ُل الِّر َبا‬،‫اَّلِتي َح َّر َم الَّلُه ِإَّال ِباْلَح ِّق‬

)‫اْلُم ْؤ ِم َناِت اْلَغاِفَالِت "( متفق عليه‬

Artinya: "Jauhi tujuh hal yang membinasakan! Para sahabat berkata, "Wahai,

Rasulullah! apakah itu? Beliau bersabda, "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa

yang diharamkan Allah tanpa haq, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari

dari medan perang dan menuduh wanita beriman yang Ialai berzina" (Muttafaq 'alaih).
17

Hadits Riwayat Muslim tentang Keterlibatan dalam Proses Riba

‫َح َّد َثَنا ُمَح َّم ُد ْبُن الَّص َّباِح َو ُز َهْي ُر ْبُن َح ْر ٍب َو ُع ْثَم اُن ْبُن َأِبي َش ْيَبَة َق اُلوا َح َّد َثَنا ُهَش ْيٌم‬

‫َأْخ َبَر َن ا َأُب و الُّز َبْي ِر َع ْن َج اِبٍر َق اَل َلَع َن َر ُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم آِك َل الِّر َب ا‬

‫َو ُم ْؤ ِكَلُه َو َك اِتَبُه َو َش اِهَد ْيِه َو َقاَل ُهْم َس َو اٌء‬

Artinya: Dalam salah satu hadis Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Dari Jabir Ra. ia berkata: “Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam telah melaknat

orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi

makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan

selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja.” (HR. Muslim).

C. Macam Macam Riba

Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang

piutang yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam al- Qur'an, dan riba jual

beli yang juga telah dijelaskan boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam as-

Sunnah.

1. Riba akibat hutang-piutang disebut Riba Qardh ( ‫) قرض‬, yaitu suatu

manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang

berhutang (muqtarid), dan riba jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar dari

pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada

waktu yang ditetapkan.17

2. Riba akibat jual-beli disebut Riba Fadl (‫) فضل‬, yaitu pertukaran antar

barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang

17
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet. I,
Tazkia Institute, Jakarta, 1999, hal. 77-78.
18

dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi, dalam hadits Ubadah

bin Shamit disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫عـن عبـادة بـن الصـامت قـال انى سمعـت رسـوالهللا صـلى اهللا عليـه وسـلم ينهـى‬

‫ولملح‬,‫والتمربالتمر‬,‫والشعير بالشعير‬,‫والبربالبر‬.‫عـن بيـع الذهب بالذهب والفضة بالفضة‬

‫مثال‬.‫ بالملح‬18

Maksud dari hadits di atas adalah seseorang menukar barang berupa emas

harus dengan emas pula yang sepadan dan beratnya juga harus sama, perak dengan

perak dan harus diserahterimakan secara langsung. Dan Riba Nasi’ah (‫) نسئة‬, yaitu

penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang diperlukan

dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul dan terjadi karena adanya

perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang

diserahkan kemudian.19

D. Sejarah Pelarangan Riba Dalam Islam

Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksi- transaksi

perekonomian oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan tetapi pada

zaman itu riba yang berlaku merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat

penundaan pelunasan hutang. Dengan demikian, riba dapat diartikan sebagai

pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli maupun hutang piutang secara batil

atau bertentangan dengan kaidah syari'at Islam.

Asbab al-Nuzul ayat-ayat riba adalah untuk mengetahui latar belakang

larangan ayat ayat riba agar bisa memahami pengharaman riba secara mendasar.
18
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dalam kitab al-Musaqat, bab: Menjual emas
dengan perak secara kontan, nomor 1587, lihat juga Abu Daud dalam Sunannya nomor 3348,
diriwayatkan juga olwh an-Nasa'i nomor 4562, diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah Nomor, 2253-
2254.
19
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Op. Cit. hal. 39 - 40.
19

Tanpa mengetahui sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat ayat riba, akan

menjadikan pemahaman yang kurang lengkap terhadap masalah riba.

Secara historis ada beberapa versi (riwayat) yang menjadi latar belakang

turunnya ayat larangan riba, khususnya QS. al-Baqarah: 275-280 dan Ali Imran: 130-

131.

Pada umumnya para mufassir dengan mengutip dari al-Thabari berpendapat

bahwa ayat QS. al-Baqarah: 275-279, khususnya ayat 275, turun disebabkan oleh

pengamalan paman Nabi Muhammad saw, Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid

bin Walid, yang bekerjasama meminjamkan uang kepada orang lain dari Tsaqif bani

Amr. Sehingga keduanya mempunyai banyak harta ketika Islam datang.20

Sumber lain mengatakan bahwa banu Amr ibn Umair ibn Awf mengambil

riba dari bani Mughirah. Apabila tiba waktu pembayaran yang telah dijanjikan, maka

utusan datang ke bani Mughirah untuk mengambil tagihan. Ketika pada suatu waktu

Bani Mungirah tidak mau membayar dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah saw,

beliau bersabda, “Ikhlaskanlah atau kalau tidak siksa yang pedih dari Allah. 21

Sedangkan sebab turunnya QS. Ali Imran: 130-131, menurut satu riwayat dari Atha

disebutkan bahwa, banu Tsaqif mengambil riba dari banu Mughirah.

Apabila tiba waktu pembayaran datang utusan dari banu Tsaqif untuk

menagih hutang. Kalau tidak membayar, disuruh menunda dengan syarat menambah

sejumlah tambahan.

Senada dengan hal tersebut, Mujahid meriwayatkan, bahwa seseorang di

zaman Jahiliyah berhutang kepada orang lain. Lalu yang berhutang (kreditur)

20
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i, al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, jilid 1,
Beirut: Dar al-Fikr, t.tt., hal. 385
21
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, juz III, Mesir: Mathba„ah Muhammad Ali Shahib wa
Awladih, 1374, hal. 103
20

berkata, “Akan saya tambah sekian jika kamu memberikan tempo kepadaku.” Maka

si empunya piutang (debitur) memberikan tempo tersebut.22

Riwayat lain menyebutkan, bahwa di masyarakat pra-Islam, mereka biasa

menggandakan pinjaman pada orang orang yang sangat membutuhkan (kesusahan),

yang dengan pinjaman tertentu, orang yang meminjam tidak saja mengembalikan

sejumlah uang yang dipinjam, tetapi juga menambah dengan sejumlah tambahan

yang sesuai dengan masa pinjamannya. Kalau si peminjam mempunyai uang untuk

mengembalikan pinjaman dalam waktu cepat dan singkat, maka dia akan

mengembalikan dengan jumlah tambahan yang relatif sedikit. Sebaliknya, kalau

tidak mempunyai uang untuk mengembalikan dengan cepat, maka bisa ditunda,

dengan syarat harus membayar uang tambahan yang lebih besar lagi Pada masa

Jahiliyah istilah riba juga telah dikenal, pada masa itu (Jahiliyah) riba mempunyai

beberapa bentuk aplikatif.

Pertama: Riba Pinjaman, yaitu yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa

jahiliyah: "tangguhkan hutangku, aku akan menambahkanya". Maksudnya adalah

jika ada seseorang mempunyai hutang (debitur), tetapi ia tidak dapat membayarnya

pada waktu jatuh tempo, maka ia (debitur) berkata: tangguhkan hutangku, aku akan

memberikan tambahan. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan uang atau

menambahkan umur sapinya jika pinjaman tersebut berupa binatang.23

Abu Bakar al-Jashshash berkata: seperti dimaklumi, riba dimasa jahiliyah

hanyalah sebuah pinjaman dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu.

Tambahan itu adalah ganti dari rentang waktu. Allah SWT menghapusnya.

22
Ibid, juz IV, hal. 123
23
Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam Alih Bahasa
Abu Umar Basyir, Jakarta, Darul Haq, 2004, hal. 350
21

Menurut Qatadah yang dimaksud riba pada masa jahiliyah adalah seorang

laki-laki menjual barang sampai pada waktu yang ditentukan. Ketika tenggang

waktunya habis dan barang tersebut tidak berada di sisi pemiliknya, maka ia harus

membayar tambahan dan boleh menambah waktunya.

Menurut Mujahid (wafat tahun 104 H), menjelaskan tentang riba yang

dilarang oleh Allah SWT, di zaman Jahiliyah, seseorang mempunyai piutang dari

orang lain. Orang itu berkata kepadanya seperti itulah anda menangguhkannya dari

saya, maka diampuni menangguhkannya."24

Al-Jassash menyatakan, "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh

masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar

secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan

sesuai dengan kesepakatan bersama.25

Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksi- transaksi

perekonomian oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan tetapi pada

zaman itu riba yang berlaku merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat

penundaan pelunasan hutang.

Dengan demikian, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dalam

transaksi jual beli maupun hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan

kaidah syari'at Islam.

Riba tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain (non-

Islam) riba telah dikenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan

pelarangan riba telah ada sejak sebelum Islam datang.

24
Syeikh Abul A'la al-Maududi, Berbicara Tentang Bunga dan Riba, Alih Bahasa Isnando,
Pustaka Qalami, Jakarta, 2003, hal. 114.
25
Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, Op. Cit, hal. 351.
22

Sebenarnya praktek riba ini sudah ada sebelum Islam datang dan agama di

luar Islam tetap melarangnya walaupun kegiatan riba ini sangat popular di

masyarakat diantaranya:

1. Masa Yunani Kuno. Bangsa Yunani kuno mempunyai peradaban tinggi,

peminjaman uang dengan memungut bunga dilarang keras. Ini tergambar

pada beberapa pernyataan Aristoteles yang sangat membenci pembungaan

uang.26

2. Masa Romawi. Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga

atas uang dengan mengadakan peraturan-peraturan keras guna membatasi

besarnya suku bunga melalui undang-undang. Kerajaan Romawi adalah

kerajaan pertama yang menerapkan peraturan guna melindungi para

peminjam.27

3. Menurut Agama Yahudi Yahudi juga mengharamkan seperti termaktub

dalam kitab sucinya, menurut kitab suci agama Yahudi yang disebutkan

dalam Perjanjian Lama ayat 25 pasal 22: "Bila kamu menghutangi seseorang

diantara warga bangsamu uang, maka janganlah kamu berlaku laksana

seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk

pemilik uang"28 Dan pada pasal 36 disebutkan: " Supaya ia dapat hidup di

antaramu janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya,

melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup

diantaramu". Namun, orang Yahudi berpendapat bahwa riba itu hanyalah

26
Gedung Pusat Pengembangan Islam, Buku Pintar BMT Unit Simpan Pinjam dan Grosir,
Pinbuk Jawa Timur Surabaya, 122-124, hal. 11.
27
Ibid.
28
Karnaen Purwaatmaja, "Apakah Bunga sama dengan Riba"?, kertas kerja Seminar
Ekonomi Islam, LPPBS, Jakarta, 2007, dikutip oleh Muhammad, Manajemen Bank Syariah, hal. 37.
23

terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi, dan tidak dilarang

dilakukan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Mereka mengharamkan riba

sesama mereka tetapi menghalalkannya kalau pada pihak yang lain. Dan

inilah yangmenyebabkan bangsa Yahudi terkenal memakan riba dari pihak

selain kaumnya. Berkaitan dengan kezaliman kaum Yahudi inilah, Allah

dalam Al Qur'an surat an-Nisa': 160-161 secara tegas menyatakan bahwa

perbuatan kaum Yahudi ini adalah riba yaitu memakan harta orang lain

dengan jalan batil, dan Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang

pedih.

4. Menurut Agama Nasrani. Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani

memandang riba haram dilakukan bagi semua orang tidak terkecuali siapa

orang tersebut dan dari agama apapun, baik dari kalangan Nasrani sendiri

ataupun non-Nasrani. Menurut mereka (tokoh-tokoh Nasrani) dalam

perjanjian lama kitab Deuntoronomy pasal 23, pasal 19 disebutkan:

"Janganlah engkau membungakan uang terhadap saudaramu baik uang

maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan".Kemudian

dalam perjanjian baru di dalam Injil Lukas ayat 34 disebutkan: "Jika kamu

menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka di

mana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan

berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya, karena pahala

kamu sangat banyak"29.

Pengambilan bunga uang dilarang gereja sampai pada abad ke-13 M. pada

29
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Unit Penerbit dan Peretakan (UPP) AMP YKPN
Yogyakarta, 2002, hal. 39.
24

akhir abad ke-13 timbulbeberapa faktor yang menghancurkan pengaruh gereja yang

dianggap masih sangat konservatif dan bertambah meluasnya pengaruh mazhab baru,

maka piminjaman dengan dipungut bunga mulai diterima masyarakat. Para pedagang

berusaha menghilangkan pengaruh gereja untuk menjustifikasi beberapa keuntungan

yang dilarang oleh gereja.

Ada beberapa tokoh gereja yang beranggapan bahwa keuntungan yang

diberikan sebagai imbalan administrasi dan kelangsungan organisasi dibenarkan

karena bukan keuntungan dari hutang. Tetapi sikap pengharaman riba secara mutlak

dalam agama Nasrani dengan gigih ditegaskan oleh Martin Luther, tokoh gerakan

Protestan. Ia mengatakan keuntungan semacam itu baik sedikit atau banyak, jika

harganya lebih mahal dari harga tunai tetap riba.30

30
Gedung Pusat Pengembangan Islam, Op. Cit, hal. 12.

Anda mungkin juga menyukai