dan tujuan saya merangkum setiap bab ilmu nahwu di buku ini yaitu untuk belajar agar
dengan mudah dan bisa menghafalkan dengan serta memahami Ilmu Nahwu.
Saya mempunyai cita-cita yang mungkin sangat sulit untuk di capai yaitu menjadi anak yang
Sholih serta menjadi orang ‘Alim agar bisa meneruskan kainginan kedua orang tua saya yaitu
mempunyai anak yang Sholih.
PENJELASAN TENTANG JUMLAH YANG TIDAK MEMPUNYAI MAHAL I’ROB
ْ َ لِ ُج ْملَ ٍة ِمنَ ْال َم َح ِّل قَ ْد خَ ل# ت
ت ْ ََوا ْمنَ ْع ِمنَ ْال َم َح ِّل َما قَ ْد ُع ِطف
Tercegah dari mahal jumlah yang di’atafkan pada jumlah yang sepi (tidak mempunyai) mahal
َ نَحْ ُو َح َمانِ َى هللاُ ِم ْن َشرِّ ْالِعدَا# Wات ْا ِال ْبتِ َدا
ُ و ِم ْثلُهَا فِى ْال ُح ْك ِم َذ
Adapun Contohnya di dalam hukum adalah jumlah yang berada pada permulaan. Seperti lafal
hamaniyallohu min syarril ‘ida.
ْاز ٍم َكلَو ٍ ات تَ ْف ِسي ٍْر اَ ِو ا ْعتِ َر
ِ َج َوا# ْاض اَو
ِ ب شَرْ ٍط َغي ِْر َج ُ َو َذ
Dan jumlah yang menjadi tafsir atau jumlah mu’taridloh atau jumlah yang menjadi jawab
syarat yang tidak menjazemkan seperti lau
صلَ ْة
ِّّ ق ال ْ َت لِ ُم
ِ َ طل ْ َكاْل َعصْ ِر اَوْ اَت# اَوْ َع ْك ِس ِه اَوْ لِيَ ِمي ٍْن ُم ْك ِملَ ْة
Atau sebaliknya atau sumpah yang menyempurnakan seperti lafald wal asri atau jumlah yang
menjadi silah mausul
Untuk jumlah yang tidak mempunyai mahal I’rob itu dibagi menjadi delapan bagian. Yaitu:
jumlah yang mengikuti jumlah yang tidak mempunyai mahal I’rob.
Contoh َوقَ َع َد َع ْمرٌو قَا َم َز ْي ٌد
jumlah yang jatuh pada permulaan kalam (Wاستئنافية/)إبتدائية .
َ َق
Contoh ِال َرسُوْ ُل هللا
jumlah yang menjadi tafsir atas lafal sebelumnya, baik disertai dengan huruf tafsir atau tidak.
ٍ َخلَقَهُ ِم ْن تُ َرا اِ َّن َمثَ َل ِع َسى ِع ْن َد هللاِ َك َمثَ ِل اَ َد َم
Contoh ب
jumlah yang berada pada pertengahan jumlah. Seperti anatara fi’il dan fa’il, antara mubtada’
dan khobar atau syarat dan jawab, maka jumlah ini disebut dengan jumlah mu’taridloh.
Contoh قَاِئ ٌم اَظُ ُّن زَ ْي ٌد
jumlah yang menjadi jawab syarat yang tidak beramal jazem. Contoh ُفَا َ ْك ِر ْمه اِ َذا َجا َء َز ْي ٌد
jumlah yang menjadi jawab dan menjazemkan tetapi tidak disertai dengan fa’ fuja’iyah.
Contoh ْاَضْ ِرب ْان تَضْ ِرب
ْ
jumlah yang menyempurnakan qosam (jawab qosam).
Tabel Rangkuman
Keterangan Contoh Kedudukan جملة التى ال محللها من اإلعراب
- َ َق
ِال َرسُوْ ُل هللا إبتدائية
خَ لَقَهُ ِم ْن اِ َّن َمثَ َل ِع َسى ِع ْن َد هللاِ َك َمثَ ِل اَدَم
- ٍ تُ َرا
ب تفسير
- قَاِئ ٌم اَظُ ُّن زَ ْي ٌد معترتضة
- ُقَا َم اَبُوْ ه َجا َء الَّ ِذى صلة الموصول
Huruf syarat
Tidak beramal
menjazemkan ُفَا َ ْك ِر ْمه اِ َذا َجا َء زَ ْي ٌد جواب شرط
Jawab syarat
tidak didahului
oleh fa’ fujaiyah اَضْ ِرب ْاِ ْن تَضْ ِرب جواب شرط
Menyempurnakan
qosam ٍ اِ َّن ا ِال ْن َسانَ لَفِى ُحس َو ْال َعصْ ِر
ْر جواب فسم
- َوقَ َع َد َع ْمرٌو قَا َم َز ْْي ٌد تابع
َع َم َل ِإ َّن اجْ َعلْ لِال فِي نَ ِك َر ْه ُم ْف َر َدةً َجاء ْتكَ َأوْ ُم َكر ََّر ْه
Jadikanlah seperti amal INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya) untuk
LAA yg beramal pada isim nakirah, baik LAA itu datang kepadamu secara Mufrod (satu kali)
atau secara Mukarror (berulang-ulang).
KETERANGAN BAIT KE 1:
“LAA LI NAFYIL JINSI” termasuk bagian dari huruf-huruf nawasikh yg masuk pada
mubtada’-khobar dan merusak I’robnya, beramal seperti INNA (menashabkan isimnya dan
merofa’kan khobarnya). Baik diucapkan dengan satu kali (Mufrod), contoh : “LAA
ROJULA” FID-DAARI. Atau diucapkan dengan berulang-ulang (Takrir), contoh: “LAA
ROJULA” WA “LAA IMRO’ATA” FID-DAARI. Secara khusus berfungsi meniadakan jenis
secara keseluruhan, ini membedakan dengan “LAA LI NAFYIL WAHID” yg beramal seperti
LAISA (merofa’kan isimnya dan menashabkan khobarnya).
Syarat pengamalan “LAA LI NAFYIL JINSI” adalah :
1. isim dan khobarnya harus nakiroh.
2. tidak boleh ada fashl/pemisah antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMnya.
3. tidak boleh ada huruf jar masuk pada “LAA LI NAFYIL JINSI”.
ك ْالخَ بَ َر ْاذ ُكرْ َرافِ َع ْه
َ د َذاWَ ار َع ْه َوبَ ْع
ِ ضَ ضافَا ً َأوْ ُم ِ فَا ْن
َ صبْ بِهَا ُم
Nashabkanlah olehmu sebab “LAA” terhadap isimnya yg Mudhaf atau yg menyerupai
Mudhaf . setelah itu sebutkanlah khobarnya dengan merofa’kannya.
ِ َمرْ فُوْ َعا ً أوْ َم ْنصُوبا ً أوْ ُم َر َّكبا ً َوِإ ْن َرفَعْتَ َأ َّوالً الَ تَ ْن
صبَا
..dirofa’kan atau dinashabkan atau ditarkib, jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka
janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua.
KETERANGAN BAIT 2-3-4:
Ada tiga poin yg menyangkut tentang isimnya “LAA LI NAFYIL JINSI”:
1. berupa Mudhaf (tersusun dari susunan idhafah, mudhaf dan mudahf ilaih)
2. berupa Syabihul-Mudhaf (tersusun dengan kalimah lain baik
makmulnya/ta’alluqnya/ma’thufnya dll)
3. berupa Mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf, baik isim mufrod, mutsanna, atau
jamak)
> Poin yg no 1 dan 2, dihukumi nashab dengan tanda nashabnya secara zhahir, dinashabkan
oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs.
> Poin yg no 3 dihukumi mabni atas tanda I’rab nashabnya, menempati mahal nashab,
dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs . Dihukumi mabni
karena dijadikan satu tarkib antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan Isimnya.
Apabila setelah “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMNYA terdapat isim ma’thuf yg berupa
isim nakirah dan mufrodah, maka hal seperti ini kadangkala LAA tidak diulang dan
kadangkala penyebutan LAA diulang pada isim ma’thufnya, contoh ( ال حول وال قوة إال باهللLAA
HAWLA WA LAA QUWWATA)
Apabila terdapat ma’thuf dan LAA diulang-ulang seperti itu, maka mencakup tiga bacaan:
BACAAN KE SATU : lafazh yg pertama (ma’thuf alaih) dibaca mabni (apabila mufrodah),
maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 3 jalan:
1. MABNI, LAA yg kedua juga beramal spt INNA, athaf secara jumlah. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATA
2. NASHAB, Athaf kepada mahal nashab isim LAA, dan LAA yg kedua tidak beramal
dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATAN
3. ROFA’, athaf kepada mubtada’ karena “TARKIB LAA DAN ISIMNYA” posisinya
sebagai mubtada’, LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Atau
LAA yg kedua beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya) yg mempunyai faidah sebagai
nafi jenis. Atau lafazh yg kedua itu sendiri sebagai Mubtada’ dan LAA yg kedua tidak
beramal. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATUN
BACAAN KE DUA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca nashab (apabila mudhaf atau
yg menyerupai mudhaf), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) juga boleh dibaca 3 jalan
sebagaimana hukum BACAAN KE SATU diatas, yaitu : MABNI, NASHAB dan ROFA’
(untuk rofa’ tidak boleh untuk alasan athaf kepada mubtada’ sebab isimnya berupa
mudhaf/syabih mudhaf).
BACAAN KE TIGA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca Rofa’ (apabila LAA
diamalkan seperti LAISA atau karena ada illah yg membuat LAA menjadi Muhmal), maka
lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 2 jalan: 1. MABNI, karena mufrodah. 2. ROFA’,
karena athaf pada isim marfu’, atau karena menjadi mubtada dan LAA dihukumi Zaidah, atau
sebagai isimnya LAA yg juga diamalkan seperti LAISA.
Untuk BACAAN KE TIGA ini tidak boleh lafazh yg kedua (ma’thuf) dibaca Nashab sebab
status LAA pertama disini bukan sebagai Amil nashab, oleh karenanya dalam bait disebutkan
“WA IN ROFA’TA AWWALAN LAA TANSHIBAA” (jika kamu mefofa’kan lafazh yg
pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua).
صبَ ْن َأ ِو ارْ فَ ْع تَ ْع ِد ِل
ِ َو ُم ْف َر َداً نَ ْعتَا ً لِ َم ْبنِ ّي يَلِي فَا ْفتَحْ َأ ِو ا ْن
Terhadap mufrod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yang na’at secara langsung (tanpa ada
pemisah) pada isim LAA yg mabni maka fathahkanlah atau nashabkanlah atau rofa’kanlah
demikian kamu adil.
KETERANGAN BAIT KE 5
Apabila ada Isim murfod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yg na’at pada isimnya LAA nafi
jenis yg mabni, dimana na’atnya mengiringi langsung tanpa pemisah, maka boleh Na’at tsb
dibaca tiga wajah:
1. MABNI FATHAH, karena dijadikan satu tarkib berikut berbarengan dengan isimnya LAA.
Contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFA
2. NASHAB, karena melihat pada mahal nashab isimnya LAA, contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFAN
3. ROFA’, karena melihat pada mahal rofa tarkib LAA + ISIMnya yg menempati posisi
sebagai mubtada. Contoh:
LAA+ROJULA ZHORIIFUN
*lafadz مذdan منذdilakukan sebagai kalimat isim apabila keduanya merofa’kan (isim
ُ ِجْئ
mufrod) atau setelahnya berupa fiil , seperti lafadz ت مذ َدعَا
PEMBAHASAN Lafadz مذdan منذismiyah. Dua lafadz ini dilakukan sebagai kalimah isim
apabila : · Merofa’kan isim, · Setelahnya berupa fiil.
هُ َما َوفِى ْال ُحضُوْ ِر َم ْعنَى فِى استَبِن# ض َي فَ َك ِمن
ِ وِإن يُ َجرَّا فِى ُم
*lafadz مذdan منذapabila mengejarkan pada kalimah isim yang menunjukkan zaman madly,
maka bermakna منdan apabila mengejarkan kalimah isim yang menunjukkan zaman hal,
maka keduanya bermaknaفى
PENBAHASAN Maknanya مذdan ُم ُذhuruf jer · Apabila keduanya mengejarkan
keduanya isim yang zamannya telah lewat (zaman madli) maka keduanya bermakna من
(ibtida’iyyah). ·
Apabila mengejarkan isim yang zamannya yang sedang dilakukan (hadlir / hal), maka
keduanya bermakna (فِىdzorfiyah). Catatan: Perincian makna seperti diatas adalah apabila
lafadz yang dijerkan berupa isim ma’rifat, sedang apabila majrurnya berupa isim nakiroh
maka kedua huruf tersebut bemakna من danإلى secara bersamaan, seperti yang terjadi pada
ma’dud (bilangan).
فَلَ ْم يَ ُع ْق ع َْن َع َم ٍل قَ ْد ُعلِ َما# * َوب ْع َد ِم ْن َوعَن َوبَا ٍء ِز ْي َد ِم
huruf ماdilakukan sebagai huruf ziyadah (huruf tambahan) yang terletak setelah huruf jer
من,عنba’ serta tidak mencegah pengamalannya. PEMBAHASAN Huruf ربyang dibuang
yang beramal. Huruf َّ ربyang dibuang secara lafadz dan masih tetap beramal mengejarkan
terletak setelah tiga huruf yaitu: 1). Setelahnya wawu Dan masyhur dan lebih banyak
dibandingkan lainnya. 2). Setelahnya بَلHukumnya qolil, seperti syairnya ru’bah bin ujaj
. بل بلد ملء الفجاح قتمه * اليشتر كتانه وجهرمه
Banyak sekali negeri yang jalan rayanya penuh dengan debu, yang tenunan sutera dan alas
halunya tidak mampu dibeli. 3) .Setelahnya fa’ Hukumnya juga qolil seperti syairnya imri’il
qois Al-Kindi :
فمثلك حبلى ثد طرقت ومرضع * فألهيتها عن دي تمائم محول
Maka banyak sekali wanita hamil dan menyusui yang aku datangi pada waktu malam, lalu
mereka tergoda hingga melalaikan anaknya yang masih umur setahun (yang banyak
rewelnya) yang menganakan jimat yang digantungkan dilehernya untuk menolak sihir. َُّوقَ ْد يُ َجر
ضهُ يُ َرى ُمطَّ َردَا ٍ َح ْد# بِ ِس َوى رُبَّ لَدَىDan terkadang huruf-huruf jar yang selainnya ربyang
ُ ف َوبَ ْع
telah dibuang masih tetap beramal mengejarkan, dan sebagian ada yang hukumnya muttorid
(terlaku).
َما َل ْم ُت ِفدْ َك ِع ْن َد زَ ْي ٍد َن ِم َر ْه ¤ َو َال َي ُج ْوزُ اال ْب ِتدَا ِبا ْل َّن ِك َر ْه
Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah, (yakni,
boleh dengan persyaratan ada faidah) seperti contoh: ُنَ ِم َرة ِع ْن َد َز ْي ٍد “adalah disisi Zaid pakaian
Namirah (jenis pakaian bergaris-garis yg biasa dipakai oleh orang A’rab
Badwi)” (khabarnya terdiri dari zharaf atau jar-majrur yg dikedepankan dari mubtada’nya).
َو َر ُجــ ٌل ِم َن ا ْل ِك َـر ِام ِع ْندَ َنا ¤ َوه َْل َفت ًَى ِف ْي ُك ْم َف َما ِخ ٌّل َل َنا
(dan disyaratkan juga: ) seperti contoh فِي ُكم فَتَ ًى ْلWWَه “adakah seorang pemuda diantara
kalian?” (diawali dengan Istifham/kata tanya), dan contoh: لَنَا ِخ ٌّل َما “tidak ada teman yang
menemani kami” (diawali dengan Nafi), dan contoh: َدنَاW ِمنَ ال ِك َر ِام ِع ْن َر ُج ٌل “seorang lelaki yg
mulia ada disisi kami” (disifati)
ــر َرا
َ ض َ زُوا ا ْل َّت ْقــ ِد ْي َم ِإ ْذ َال َّ ص ُل ِفي اَأل ْخ َبا ِر َأ ْن ت
َ َو َج َّـو¤ُؤخ َرا ْ َواَأل
Asal penyebutan Khabar tentunya harus di-akhirkan (setelah penyebutan mubtada’), dan
mereka (orang arab/ahli nahwu) memperbolehkan mendahulukan khabar bilamana tidak ada
kemudharatan (aman dari ketidakjelasan antara khabar dan mubtada’nya).
PELARANGAN MENDAHULUKAN KHABAR DARI MUBTADA’NYA
Sama Nakirah atau Ma’rifat
ــيرا
َ ص ِ َكـَأيْــنَ َم ْـن عَـ ِل ْمــ َت ُه َن¤ َك َذا ِإ َذا َي ْست َْو ِج ُب الت َّْصديرا
Demikian juga wajib khabar didahulukan dari mubtada’, bilamana khabar tsb sepantasnya
ْ َأ ْيــنَ َم “dimanakah ia
ِ َـن عَـلِ ْمــتَهُ ن
ditashdirkan/dijadikan pembuka kalimat. Seperti contoh: صــي َرا
yang kamu yakini sebagai penolong?” (khabarnya terdiri dari Isim Istifham).
َك َما َل َنـــا إ َّالا ِّت َبـــا ُع ْأح َمــدَا ¤ صو ِر َقد ِّْم أ َبدَا
ُ َو َخ َب َر ا ْل َم ْح
Dahulukanlah…! Selamanya terhadap Khabar yang dimahshur (dengan انماatau ) االcontoh:
ُ َمالَنَا إالَّ اتِّبَا “tidaklah kami mengikuti kecuali ikut kepada Ahmad”
ع أحْ َمدَا
PERIHAL KEBOLEHAN MEMBUANG KHABAR ATAU MUBTADA
contoh boleh membuang Khabar
ْ ص َن
ــع َ َك ِم ْث ِل ُك ُّل ¤ َو َبعْدَ َوا ٍو عَ َّي َن ْت َم ْف ُه ْو َم َم ْع
َ صــا ِن ٍع َو َمــا
juga (tetap berlaku wajib membuang khabar) yaitu setelah Wawu yang menentukan mafhum
makna Ma’a “beserta“. sebagaimana contoh: صنَــ ْع َ ُّلWW ُك “Setiap yang berbuat
َ صــانِ ٍع َو َمــا
beserta perbuatannya”.
ُ س َرا ٌة
ش َع َـرا َ اح ٍد َك ُه ْـم ْ ¤ َوَأ ْخ َب ُروا ِبا ْث َن ْي ِن َأ ْو ِبَأ ْك َث َرا
ِ عَن َو
Mereka (ulama nuhat/orang arab) menggunakan khabar dengan dua khobar atau lebih dari
satu mubtada’, contoh “Hum Saraatun Syu’aroo-un” = mereka adalah orang-orang luhur para
penyair.
ض ِم ْي ِر ِذي ا ْل َم َجا ِز ِفي ِش ْع ٍر َو َق ْع ْ َوا ْل َح ْذفُ َقدْ َيْأ ِتي ِب َال َف
َ ص ٍل َو َم ْع
Pembuangan TA’ tanits (pada kalimah fi’il yg mempunyai Faa’il Muannats Haqiqi) kadang
terjadi dengan tanpa adanya Fashl (lafazh pemisah antara fi’il dan faa’ilnya). Dan
pembuangan ini juga pernah terjadi pada sebuah syair, beserta Faa’ilnya berupa Dhamir
muannats Majazy.
KET:
Pernah terjadi pada Kalam Arab membuang TA ta’nits tanda muannats pada Kalimah Fi’il yg
bersambung langsung tanpa Fashl pada faa’il isim zhahir muannats hakiki. Demikian adalah
Syadz dan jarang adanya. Contoh hikayah orang arab yg mengatakan: “QOOLA
FULAANATUN” = Si Fulan (Pr) berkata”.
Juga pernah terjadi hanya khusus pada sebuah syair, membuang TA ta’nits tanda muannats
pada Kalimah Fi’il yg mempunyai faa’il dhamir muannats Majazy. Contoh ” WA LAA
ARDHA ABQOLA” = “tidak ada bumi yg menumbuhkan tunas” pada sebuah Syair Jahiliyah
oleh Amir Bin Juwain At-tho-iy yg menggambarkan keadaan suatu daerah yg sangat subur
gemah ripah loh jinawi:
َ ْ وال َأر# ت َو ْدقَها
ض أبقَ َل إبْقالَها ْ َفال ُم ْزنَةٌ َو َدق
“tidak ada awan yg mencurahkan curahan hujannya dan tidak ada bumi pun yg
menumbuhkan tumbuhan tunasnya (seperti daerah ini).
ِ ول َأ ْن َي ْن
فصاَل ْ اع ِل َأ ْن َيت َِّص َال َواَأل
ِ ص ُل ِفي ا ْل َم ْف ُع ْ َواَأل
ِ ص ُل ِفي ا ْل َف
Asal penyebutan Faa’il harus Ittishal/bersambung (antara Fi’il dan Faa’ilnya tanpa ada
pemisah). Dan asal penyebutan Maf’ul harus Infishal/berpisah (antara Fi’il dan Maf’ulnya
dgn dipisah oleh Faa’ilnya).
ْ الف اَأل
صل َو َقدْ َي ِجي ا ْل َم ْف ُع ْو ُل َق ْب َل ا ْل ِف ْع ِل ُ َو َقدْ ُي َج
ِ اء ِب ِخ
Terkadang juga didatangkannya dengan Hukum yg menyalaihi Asal, dan terkadang juga
Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya.
KETERANGAN:
hukum asal Faa’il ada setelah Fi’ilnya. Dan hukum asal Maf’ul berpisah dengan Fi’ilnya
yakni berada setelah Faa’il. (FI’IL > FAA’IL > MAF’UL) contoh:
ث ُسلَ ْي َمانُ دَا ُوو َد
َ َو َو ِر
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud (An-Naml : 16)
Terkadang membedakan dengan hukum asal, yakni Maf’ul disebut sebelum Faa’ilnya.
Contoh:
ُ ْوب ْال َمو
ت َ ِإ ْذ َح
َ ُض َر يَ ْعق
ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut (Al-Baqarah : 133)
Atau Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya. Contoh:
َفَفَ ِريقًا َك َّذ ْبتُ ْم َوفَ ِريقًا تَ ْقتُلُون
maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu
bunuh? (Al-Baqarah : 87)
ِ اع ُل َغ ْي َر ُم ْن َح
ص ْر ْ س ُح ِذ ْر َأ ْو ُأ
ِ ض ِم َر ا ْل َف ٌ َوَأ ِّخر ا ْل َم ْف ُعو َل ِإ ْن َل ْب
Akhirkanlah Maf’ulnya! (wajib berada setelah Faa’il) jika ada kesamaran yg harus
dihindarkan (demi menjaga ketidakjelasan antara faa’il dan mafulnya) atau Faa’ilnya berupa
Dhamir selain yg dimahshur (yg diperkecualikan).
KETERANGAN :
Faa’il wajib dikedepankan dan Maf’ul di belakangnya, demikian apabila ditakutkan ada
ketidakjelasan antara Faa’il dan Maf’ul, misalkan apabila i’rob antara keduanya samar.
Contoh “DHARABA MUSA ‘ISA”. Atau faa’ilnya berupa dhamir selain yg dimahshur
contoh: “DHARABTU ZAIDAN” apabila faa’ilnya berupa dhamir yg dimahshur maka wajib
diakhirkan, contoh: “MAA DHARABA ZAIDAN ILLA ANA”
AMAL MASDAR
ALFIYAH IBNU MALIK BAB I'MAALUL-MASHDAR
ِ إ ْع َما ُل ْال َمصْ د
َر
Pengamalan Mashdar
َ ُم... ْبِفِ ْعلِ ِه ْال َمصْ د ََر ْأل ِح ْق فِي ْال َع َمل
ضافا ً أوْ ُم َجرَّداً أوْ َم َع ا َل
Ikutkanlah Mashdar kepada Fi'ilnya di dalam pengamalan. Baik Mashdar tersebut Mudhaf
atau Mujarrad (tidak mudhof dan tanpa AL), atau bersamaan dengan AL.
ٍ َم َحلَّهُ وَاِل س ِْم َمصْ د...ّأن أوْ َما ي ِحل
َْر َع َمل ْ إن َكانَ ف ْع ٌل َم َع ْ
Demikian apabila Fi'il bersamaan dengan IN atau MAA dapat menempati tempat Masdar yg
mengamalinya. Pengamalan ini juga berlaku untuk Isim Mashdar
Di dalam Bahasa Arab, Isim banyak yang beramal seperti pengamalan Fi'il dengan beberapa
persyaratan. Di dalam Kitab Alfiyah ini Mushonnif Ibnu Malik telah menyebutnya
diantaranya:
1. Mashdar
2. Isim Mashdar
3. Isim Fa'il
4. Shighat Mubalaghah
5. Isim Maf'ul
6. Shifat Musyabbahah
7. Isim Tafdhil.
Dalam Bab ini khusus mengenai pengamalan Mashdar dan Isim Mashdar. Pembahasan ini
oleh Ibnu Malik didahulukan dari pembahasan Bentuk-bentuk Mashdar itu sendiri (Bab
Abniyatul Mashaadir), karena pengamalan Mashdar masuk kategori Ilmu Nahwu yang sangat
erat kaitannya dengan Bab-bab terdahulu. Sedangkan pembahasan mengenai Bentuk-bentuk
Masdar masuk dalam Ilmu Shorof demikian dibelangkan.
Definisi Mashdar adalah: Isim yang menunjukkan kejadian (huduts) yang sepi dari zaman
dan mencukupi atas huruf-huruf Fi'ilnya atau melebihinya.
Contoh dinamakan Mashdar :
بذ ُل المال في الخير نفع لصاحبه
BADZLUL-MAALI FIL-KHOIRI NAF'UN LI SHOOHIBIHII = mendermakan harta di
dalam kebaikan bermanfaat bagi si empunya.
Lafazh BADZLU adalah mashdar dari : BADZALA-YABDZALU-BADZLAN.
Badzlan adalah Mashdar bermakna menunjukkan atas kejadian pendermaan tanpa penyertaan
zaman. Dan juga mencukupi semua huruf-huruf Fi'ilnya yaitu huruf BA', DZAL dan LAM.
Contoh lagi dinamakan Mashdar:
إكرام الضيف من آداب اإلسالم
IKROOMUDH-DHOIFI MIN AADAABIL-ISLAAMI = menghormati tamu termasuk dari
adab-adab dalam Islam.
Huruf pada lafazh IKROOMUN mencukupi atas huruf-huruf Fi'ilnya (AKROMA) berikut
melebihinya yaitu ada tambahan Alif sebelum huruf terakhir.
Adapun yang disebut Isim Mashdar berbeda dengan Mashdar. Sekalipun keduanya sama
mencocoki dalam hal menunukkan huduts/kejadian.
Bedanya Mashdar tidak akan berkurang hurufnya dari bentuk huruf Fi'ilnya. Sedangkan
disebut Isim Mashdar huruf-hurufnya berkurang dari bentuk huruf Fi'ilnya secara lafazhan
atau Takdiran dan tanpa ada pergantian huruf.
Contoh dinamakan Isim Masdar
عطاء
'ATHOO'UN = Pemberian
Contoh dinamakan Masdar
إعطاء
I'THOO'AN = Pemberian
Persamaannya Lafazh 'ATHOO'UN dan I'THOO'AN yaitu sama dalam hal penunjukan
kejadian. Perbedaannya adalah lafazh 'ATHOO'AN tidak terdapat huruf Hamzah yang
terdapat pada bentuk Fi'ilnya yang berupa lafazh :
أعطى
A'THOO = Memberikan
Tidak terdapatnya huruf Fi'ilnya tersebut baik secara Lafzhan atau secara Takdiran, demikan
ini syarat disebut Isim Mashdar.
Beda jika tidak terdapat huruf Fi'ilnya secara Lafzhan, tapi ada secara Taqdiran, demikian
tetap dinamakan Mashdar. contoh:
قتال
QITAALUN = peperangan
Mashdar dari Fi'il
قاتل
QOOTALA.= berperang
Lafazh QITAALUN tidak ada huruf Alif sebelum huruf TA' sebagaimana pada bentuk
Fi'ilnya. Dalam contoh tidak terdapat huruf Fi'ilnya secara Lafzhan tapi ada secara Takdiran.
Sebab dalam beberapa tempat ia diucapkan dengan lafazh:
قيتال
QIITAALAN = Peperangan
Alif diganti dengan Ya' untuk menyesuaikan harkat kasroh huruf sebelumnya. Adapun dibaca
QITAALAN dengan membuang Ya' untuk litakhfif/memudahkan dan
likatsrotil-isti'mal/banyak dipakai.
Beda juga jika ada pengganti dari huruf yg tidak ada, demikian tetap dinamakan Mashdar.
contoh:
عدة
'IDATAN = Janji
Mashdar dari Fi'il WA'ADA. Tidak ada huruf wawu seperti yang terdapat pada Fi'ilnya baik
secara Lafzhan dan Taqdiran. Tapi ada penggantinya yaitu huruf TA'.
Mashdar beramal seperti pada pengamalan Fi'il Merofa'kan Faa'il dan menashobkan Maf'ul.
Mashdar yang beramal seperti Amal Fi'il ada dua macam:
1. Sebagaimana telah disebutkan pada Bab Maf'ul Muthlaq yaitu:
Mashdar yang menggantikan Fi'il atau Mashdar yang bermakna seperti Fi'il. Yakni,
membuang Fiil dan menggantikannya dengan Mashdar sebagai pengganti tugas pemaknaan
Fi'il baik Fi'il itu lazim atau Fi'il muta'addi. contoh:
إكراما ً المسكين
IKROOMAN AL-MISKIINA = hormatilah orang miskin.
Lafazh IKROOMAN adalah mashdar menggantikan tugas lafazh AKRIM! Fiil Amar.
terdapat dhamir mustatir wujuuban takdirannya ANTA sebagai Faa'ilnya. Lafazh AL-
MISKIINA adalah Maf'ul Bihnya dinashobkan oleh Mashdar.
2. Inilah yang dibahas dalam Bab I'maalul-Mashdar yaitu:
Apabilah layak Mashdar tersebut ditempati AN + Fi'il, atau MAA + Fi'il.
Contoh:
يسرني أداؤك الواجب
YASURRUNIY ADAA'UKAL-WAAJIBA = Pelaksanaanmu akan kewajiban
menggembirakanku.
lafazh ADAA'U = Adalah Mashdar yang mengamalkan amalan Fi'ilnya. Dimudhafkan
kepada Fa'ilnya yang berupa dhamir KAF dan menashobkan kepada Maf'ul Bih yaitu lafazh
AL-WAAJIBA. Dan dimungkinkan posisinya ditempati oleh AN+FI'IL atau MAA+FI'IL
Menempatkan AN+FIIL pada posisi Masdar, jiika yang dimaksud pada waktu lampau atau
pada waktu akan datang. Contoh seperti mengatakan:
يسرني أن تؤدي الواجب
YASURRUNIY AN TU'ADDIYAL-WAAJIBA.
Menempatkan MAA+FIIL pada posisi Mashdar, jiika yang dimaksud pada waktu sekarang.
Contoh seperti mengatakan:
يسرني ما تؤدي الواجب
YASURRUNIY MAA TU'ADDIY AL-WAAJIBA.
Mashdar yang beramal seperti yg dibahas dalam Bab ini terdapat tiga penampakan:
1. Mashdar Mudhaf
Ini bagian Mashdar yang paling banyak digunakan dalam pengamalannya daripada dua
pembagian Mashdar yang lain. Contoh telah disebut diatas.
2. Mashdar bertanwin
Pengamalannya lebih mendekati pada Qiyas daripada Mashdar Mudhaf. sebab diserupakan
dengan kalimah Fi'il dalam hal kenakirahannya. Penggunaannya dalam pengamalannya lebih
sedikit dibawah pengamalan Mashdar Mudhaf. contoh:
Wواجب علينا تشجي ٌع ك ّل مجتهد
WAAJIBUN 'ALAINAA TASYJII'UN KULLA MUJTAHID = wajib atas kami
memotivasikan keberanian kepada tiap-tiap Mujtahid.
Contoh Ayat Al-Qur'an:
ْ َأوْ ِإ
ط َعا ٌم فِي يَوْ ٍم ِذي َم ْس َغبَ ٍة يَتِي ًما
AW ITH'AAMUN FIY YAUMIN DZII MASGHOBATIN YATIIMAN = atau memberi
makan pada hari kelaparan kepada anak Yatim (QS. Al-Balad : 14-15)
Lafazh ITH'AAMUN adalah Mashdar Tanwin yang menashobkan Maf'ul Bih lafazh
(YATIIMAN).
3. Mashdar dengan AL
Pengamalannya Syadz, dikarenakan jauh dari persamaan Fi'il sebab bersambung dengan AL.
Paling sedikit ditemukan daripada dua pembagian Masdar di atas, baik secara penggunaannya
atau secara balaghoh. Contoh:
المج ُّد سري ُع اإلنجاز أعمالَه
AL-MAJIDDU SARII'UL-INJAAZI A'MAALAHU = seorang yang giat sangat cepat dalam
penyelesaian pekerjaan-pekerjaannya.
Lafazh A'MAALAHU sebagai Maf'ul Bih dari Mashdar AL-INJAAZI.
نادم
NAADIMUN = yang menyesal
Atau dari bentuk asal Mashdar lebih dari tiga huruf menjadi bentuk Isim Fa’il, contoh:
مكرم
MUKRIMUN = yang menghormati
Menunjukkan kejadian : yakni hanya menunjukkan kejadian tanpa penunjukan zaman
semisal berdiri dan duduk.
Kejadian baru : yakni kejadian yang bersifat aridhi, sekali-kali berubah dan hilang. Demikian
ini membedakan dengan Shifat Musyabahah atau Isim Tafdhil, karena keduanya
menunjukkan kejadian yang bersifat tetap bukan sekali-kali atau bukan yang bersifat baru.
Sebagai Pelaku : yakni subjek yang mengerjakan pekerjaan yang mana pekerjaan timbul
darinya, contoh DHOORIBUN = yang memukul. Demikian ini berbeda dengan definisi Isim
Maf’ul yakni Isim Musytaq untuk menunjukkan sebagai objek pekerjaan atau sesuatu yang
dikenai pekerjaan.
Penampakan Isim Fa’il ada dua :
1. Isim Fa’il yang bersambung dengan AL: Hukumnya akan diterangkan pada Bait
selanjutnya.
2. Isim Fa’il yang tidak bersambung dengan AL, maka:
A. Beramal merofa’kan Fa’il secara mutlak tanpa syarat.
Contoh:
هللاعالم ببواطن األمور
ALLAHU ‘AALIMUN BI BAWAATHINIL-UMUURI = Allah Maha mengetahui terhadap
perkara yang tersembunyi.
lafazh AALIMUN = Isim Fa’il didalamnya terdapat Fa’il Dhamir Mustatir dirofa’kan sebagai
Fa’ilnya.
Contoh ayat dalam Al-Qur’an:
ف َأ ْل َوا ُن ُه
ٌ اب َوا َْأْلن َع ِام ُم ْخ َت ِل ِ َو ِم َن ال َّنا
ِّ س َوالد ََّو
WA MINANNAASI WAD-DAWAABI WAL-AN’AAMI MUKHTALIFUN AL-
WAANUHU = di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang
ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). (QS. Al-Faathir :28)
Lafazh AL-WAANU dirofa’kan menjadi Fa’il dari Isim Fa’il lafazh MUKHTALIFUN.
B. Beramal menashobkan Maf’ul Bih dengan dua syarat:
1. Diharuskan dalam penggunaannya untuk suatu yang Hal (yang sedang terjadi) atau Istiqbal
(yang akan terjadi). Alasan pengamalannya disini -menurut Ulama Nuhat- adalah karena
sejalan dengan kalimah Fi’il sebagai sandaran maknanya. yakni sejalan dengan FI’IL
MUDHARI’ yakni mencocoki dalam harkat dan sukunnya. dalam artian sukun atau harkat
pada Isim Fail sebanding/sehadapan dengan sukun atau harkat yang ada pada susunan huruf
Fi’il Mudhari’nya. contoh:
معلم
MU’ALLIMUN = pengajar
sehadapan/sebanding dengan susunan Fi’il Mudhari:
يعلم
YU’ALLIMU = sedang/akan mengajar.
Demikian juga contoh Isim Fa’il:
نادم
NAADIMUN = yang menyesal
sehadapan/sebanding dengan susunan Fi’il Mudhari:
يندم
YANDAMU = sedang/akan menyesal.
2. Harus ada penopang yakni lafazh yang menjadi awalannya :
a. Berawalan ISTIFHAM, contoh:
ب َع ِن ا ْلفَا ِع ِل
ُ ا ْلنَّاِئ
NAIBUL FA’IL
Maf’ul bih menggantikan Fa’il di dalam semua hukumnya. Seperti contoh: “NIILA
KHOURU NAA-ILI=anugerah terbaik telah diperoleh” .
KETERANGAN:
Naibul Fa’il adalah Isim yg dirofa’kan baik secara lafzhan atau mahallan, menggantikan dan
menempati tempatnya fa’il yg dibuang dan fi’ilnya dibina’ Majhul. Baik isim yg
menggantikan itu asalnya berupa Maf’ul bih atau serupanya semisal Zhorof, Masdar, Jar-
majru dll.
Dengan demikian pembuangan Fa’il dalam hal ini menimbulkan dua keputusan:
1. Merubah Fi’ilnya ke bentuk Majhul
2. Menempatkan Pengganti Fa’il pada posisi Fa’il beriku hukum2nya sebagaimana telah
disebutkan dalam Bab Faa’il– semisal harus Rofa’, harus berada setelah Fi’ilnya, sebagai
subjek pokok kalimat, hukum ta’nits pada fi’ilnya, dan lain-lain.
ِ ض َي َك ُو
ص ْل ِ س ْر فِي ُم ْ فََأ َّو َل ا ْلفِ ْع ِل
ِ َّاض ُم َمنْ َوا ْل ُمت
ِ بِاآل ِخ ِر ا ْك ¤ ص ْل
Dhommahkan huruf pertama Kalimah Fi’il (Mutlak, baik Madhi atau Mudhari yg dibentuk
Majhul). Dan kasrohkan huruf yg bersambung dengan akhir (yakni, huruf sebelum akhir)
pada Kalimah Fi’il Madhi seperti contoh: WUSHILA
َكيَ ْنتَ ِحي ا ْل َمقُول فِ ْي ِه يُ ْنت ََحى ¤ ع ُم ْنفَتِ َحا َ اج َع ْلهُ ِمنْ ُم
ٍ ضا ِر ْ َو
Dan jadikanlah huruf sebelum terakhir dari Fi’il Mudhari dengan berharkat Fathah, demikian
seperti YANTAHII diucapkan menjadi YUNTAHAA.
KETERANGAN:
Telah disebutkan bahwa syarat Naa’ibul Faa’il adalah Fi’ilnya harus dibentuk “Mabni
Majhul”. Caranya sebagai berikut:
1. Apabila Fi’il Madhi, maka huruf awal didhammahkan dan huruf sebelum akhir
dikasrahkan. Contoh :
فُتِ َح بابُ الرزق
َ ُش ِر
ب العس ُل
2. Apabila Fi’il Mudhari, maka maka huruf awal didhammahkan dan huruf sebelum akhir
difat-hahkan. Contoh:
ُحتر ُم العالم
َ ي
يُتَعلّم النحو
Huruf ketiga dari fi’il yg ber-hamzah washal, juga jadikanlah seperti huruf yg pertama (yakni
sama-sama dikarkati Dhommah) Seperti contoh: USTUHLIY.
KETERANGAN:
Apabila kalimah fi’il diawali dengan Ta’ Muthowa’ah atau Ta’ zaidah semisalnya, maka
huruf pertama dan kedua diharkati Dhommah. Contoh:
Dan Apabila kalimah fi’il diawali dengan Hamzah Washal, maka huruf pertama dan ketiga
diharkati Dhommah. Contoh:
ْ ُا
ست ُْحلي الشراب
USTUHLIY ASY-SYAROOBU = minuman didapati manis.
Harkatilah Kasroh atau dibaca Isymam terhadap FA’ Fi’il Tsulatsi Mu’tal ‘Ain. Adapun
Dhommah datang semisal “BUU’A” demikian dima’afkan.
KETERANGAN:
Apabila berupa Fi’il Madhi tiga huruf (Tsulatsi) yg ‘ain fi’ilnya terdiri dari huruf illat baik
wawu atau ya (Mu’tal ‘Ain), maka boleh dibaca tiga jalan:
صيم رمضان
SHIIMA ROMADHOONU = Bulan Ramadhan dipuasai (Bulan Ramadhan dijadikan waktu
berpuasa)
2. Dibaca Isymam, suara harkat antara Dhommah pendek dan Kasroh panjang dengan
berurutan secara cepat. Contoh “QUIILA” dan “GHUIIDHA” bacaan qiro’ah sab’ah pada
ayat berikut:
3. Dibaca Dhammah (bacaan paling dha’if), huruf illat diganti wawu seperti BUU’U. contoh
dalam syair:
Jika ditakuti ada kesamaran pada suatu syakal/corak, maka syakal demikian harus dihindari.
Dan corak yg ada pada lafal “BAA’A” terkadang dijadikan pertimbangan untuk lafazh
semisal “HABBA”.
KETERANGAN:
Perihal corak bacaan antara Isymam , Dhommah , dan Kasroh pada kalimah Fi’il Madhi
Tsulatsi Mu’tal ‘Ain yg musnad pada Dhamir TA’ Mutakallim, TA’ Mukhotob atau Nun
Niswah, ketika dibentuk MABNI MAJHUL.
Semisal “BI’TU” ketika dibentuk Mabni Majhul , huruf pertama boleh dibaca Dhommah atau
Isymam: “BU’TU” atau “BUI’TU”. Jangan dibaca Kasroh: “BI’TU” karena takut terjadi
kesamaran antara mana yg Mabni Ma’lum dan mana yang Mabni Majhul.
Dan semisal “SUMTU” ketika dibentuk Mabni Majhul , huruf pertama boleh dibaca Kasroh
atau Isymam: “SIMTU” atau “SUIMTU”. Jangan dibaca Dhommah : “SUMTU” karena takut
terjadi kesamaran antara mana yg Mabni Ma’lum dan mana yang Mabni Majhul.
Demikian menurut Mushannif tentang keharusan menghindari dari kesamaran syakal, dan
beliau menjelaskan dalam Syarah Al-Kafiyah bahwa pendapatnya tidaklah bertentangan
dengan pendapat Imam Sibawaihi yg membolehkan secara mutlak penggunaan tiga corak
bacaan diatas. Imam Sibawaihi berpendapat bahwa mereka dapat membedakannya secara
takdiran antara Mabni Fa’il dan Mabni Maf’ul baik Isim atau Fi’il seperti lafal
“MUKHTAARUN” dan “TUDHOORRO”. Oleh karenanya menghindari Iltibas/kesamaran
dalam hal ini tidaklah wajib.
Apabila kalimah Fi’il Madhi Tsulatsi berupa Bina’ Mudho’af, semisal ‘ADDA, maka ketika
dibentuk mabni Majhul boleh dibaca dengan tiga corak bacaan seperti BI’TU, yakni yang
paling rojih dibaca Dhommah menjadi ‘UDDA, atau dibaca Isymam UIDDA ,atau dibaca
kasroh ‘IDDA.
Hukum bacaan (Dhommah, Kasroh, Isymam) bagi Fa’ Fi’il lafaz BAA’A, berlaku juga bagi
Huruf sebelum ‘Ain Fi’il pada lafaz IKHTAARO dan INQAADA dan lafaz yg nampak
serupanya.
KETERANGAN:
Lanjutan dari bet sebelumnya – Apabila Fi’il Madhi yg mu’tal ‘Ain tsb mengikuti wazan
IFTA’ALA atau INFA’ALA, maka ketika dibentuk Mabni Majhul, huruf sebelum ‘Ain
Fi’ilnya boleh dibaca DHOMMAH, KASRAH dan ISYMAM. Lebih baik dibaca Kasrah
apabila Mu’tal ‘Ain Yaiy dan dibaca Dhommah apabil Mu’tal ‘Ain Wawiy.
انقود للمعلم
UNQUUDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi
انقيد للمعلم
INQIIDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi
انقود للمعلم
UNQUIIDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi
============
علي
ٌّ اختير
IKHTIIRO ‘ALIYYUN = Ali dipilih
علي
ٌّ اختور
UKHTUURO ALIYYUN = Ali dipilih
علي
ٌّ اختير
UKHTUIIRO ALIYYUN = Ali dipilih
Lafazh yang dapat menerima pergantian (sebagai Naibul Fa’il) yg berupa Zhorof, Masdar
atau Jar-Majrur, adalah layak (dijadikan Naibul Fa’il).
KETERANGAN:
Disebutkan pada bait pertama bahwa Maf’ul Bih menggantikan Fa’il yg tidak dihadirdkan,
yakni sebagai Naibul Fa’il. Selain Maf’ul Bih ada lagi lafazh serupanya yg layak dijadikan
Naibul Fa’il, yaitu Zhorof, Masdar dan Jar-Majrur, dengan ketentuan memenuhi syarat
sebagai pengganti:
Syarat lafazh ZHOROF yang layak dijadikan Naibul Fa’il adalah harus Mutashorrif dan
Mukhtash:
Contoh:
صيم يو ُم الخميس
SHIIMA YAUMUL KHOMIISI = hari kamis dipuasakan (puasa kamis)
Lafazh YAUMU mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab mudhaf.
ُجلس وقتٌ طويل
JULISA WAQTUN THOWIILUN = waktu yg panjang didudukkan (duduk lama)
Lafazh WAQTUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab disifati.
ُصيم رمضان
SHIIMA ROMADHOONU = bulah Ramadhan dipuasakan (puasa ramadhan)
Lafazh ROMADHOONU mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab ‘Alamiyyah/Isim ‘Alam.
=====
Syarat lafazh MASDAR yang layak dijadikan Naibul Fa’il, juga harus Mutashorrif dan
Mukhtash:
Contoh:
Syarat JAR-MAJRUR yang layak dijadikan Naibul Fa’il adalah huruf JAR
MUTASHORRIF, MAJRUR MUKHTASH dan JAR GHAIRU TA’LIL
1. JAR MUTASHORRIF (Dapat berubah-rubah). Yakni, bukan terdiri dari huruf Jar yg
khusus men-Jar-kan lafazh tertentu, semisal “MUDZ/MUNDZU” khusus menjarkan pada
isim zaman, “RUBBA” khusus menjarkan pada isim nakirah, “HURUF QOSAM” khusus
menjarkan pada lafaz sumpah. Dan sebagainya.
3. JAR GHAIRU TA’LIL (sebab/alasan), yakni bukan terdiri dari huruf Jar yg menunjukkan
ta’lil/sebab alasan, semisal “huruf LAM”, “huruf BA’”, “MIN” oleh karenanya menurut
jumhur nuhat Maf’ul Liajlih tidak layak dijadikan Naibul Fa’il.
Contoh:
Lafazh BI huruf jar yang mutashorrif, lafazh INTISHOORI mukhtash sebab mudhof. JAR-
MAJRUR mahal rofa’ sebab Naibul Fail, atau MAJRUR mahal rofa’ dan huruf JAR zaidah.