Anda di halaman 1dari 36

Nama saya Muhammad Alfatih yang status saya menjadi santri di pesanten At-tahdzib

dan tujuan saya merangkum setiap bab ilmu nahwu di buku ini yaitu untuk belajar agar
dengan mudah dan bisa menghafalkan dengan serta memahami Ilmu Nahwu.
Saya mempunyai cita-cita yang mungkin sangat sulit untuk di capai yaitu menjadi anak yang
Sholih serta menjadi orang ‘Alim agar bisa meneruskan kainginan kedua orang tua saya yaitu
mempunyai anak yang Sholih.
PENJELASAN TENTANG JUMLAH YANG TIDAK MEMPUNYAI MAHAL I’ROB
ْ َ‫ لِ ُج ْملَ ٍة ِمنَ ْال َم َح ِّل قَ ْد خَ ل‬#  ‫ت‬
‫ت‬ ْ َ‫َوا ْمنَ ْع ِمنَ ْال َم َح ِّل َما قَ ْد ُع ِطف‬

Tercegah dari mahal jumlah yang di’atafkan pada jumlah yang sepi (tidak mempunyai) mahal
َ‫ نَحْ ُو َح َمانِ َى هللاُ ِم ْن َشرِّ ْالِعدَا‬# W‫ات ْا ِال ْبتِ َدا‬
ُ ‫و ِم ْثلُهَا فِى ْال ُح ْك ِم َذ‬

Adapun Contohnya di dalam hukum adalah jumlah yang berada pada permulaan. Seperti lafal
hamaniyallohu min syarril ‘ida.
ْ‫از ٍم َكلَو‬ ٍ ‫ات تَ ْف ِسي ٍْر اَ ِو ا ْعتِ َر‬
ِ ‫ َج َوا‬# ْ‫اض اَو‬
ِ ‫ب شَرْ ٍط َغي ِْر َج‬ ُ ‫َو َذ‬

Dan jumlah yang menjadi tafsir atau jumlah mu’taridloh atau jumlah yang menjadi jawab
syarat yang tidak menjazemkan seperti lau
‫صلَ ْة‬
ِّّ ‫ق ال‬ ْ ‫َت لِ ُم‬
ِ َ ‫طل‬ ْ ‫ َكاْل َعصْ ِر اَوْ اَت‬# ‫اَوْ َع ْك ِس ِه اَوْ لِيَ ِمي ٍْن ُم ْك ِملَ ْة‬

Atau sebaliknya atau sumpah yang menyempurnakan seperti lafald wal asri atau jumlah yang
menjadi silah mausul
Untuk jumlah yang tidak mempunyai mahal I’rob itu dibagi menjadi delapan bagian. Yaitu:
jumlah yang mengikuti jumlah yang tidak mempunyai mahal I’rob.
Contoh ‫ َوقَ َع َد َع ْمرٌو‬ ‫قَا َم َز ْي ٌد‬
jumlah yang jatuh pada permulaan kalam (W‫استئنافية‬/‫)إبتدائية‬ .
َ َ‫ق‬
Contoh    ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬
jumlah yang menjadi tafsir atas lafal sebelumnya, baik disertai dengan huruf tafsir atau tidak.
ٍ ‫ َخلَقَهُ ِم ْن تُ َرا‬  ‫اِ َّن َمثَ َل ِع َسى ِع ْن َد هللاِ َك َمثَ ِل اَ َد َم‬  
Contoh ‫ب‬
jumlah yang berada pada pertengahan jumlah. Seperti anatara  fi’il dan fa’il, antara mubtada’
dan khobar atau syarat dan jawab, maka jumlah ini disebut dengan jumlah mu’taridloh.
Contoh  ‫قَاِئ ٌم‬ ‫اَظُ ُّن‬ ‫زَ ْي ٌد‬
jumlah yang menjadi jawab syarat yang tidak beramal jazem. Contoh ُ‫فَا َ ْك ِر ْمه‬ ‫اِ َذا َجا َء َز ْي ٌد‬
jumlah yang menjadi jawab dan menjazemkan tetapi tidak disertai dengan fa’ fuja’iyah.
Contoh ْ‫اَضْ ِرب‬  ْ‫ان تَضْ ِرب‬
ْ
jumlah yang menyempurnakan qosam (jawab qosam).

ٍ ‫اال ْن َسانَ لَفِى حُ س‬


Contoh ‫ْر‬ ِ ‫اِ َّن‬ ‫َو ْال َعصْ ِر‬
jumlah yang menjadi silah mausul baik berupa isim atau huruf mausul.
Contoh ُ‫قَا َم اَبُوْ ه‬ ‫َجا َء الَّ ِذى‬

Tabel Rangkuman
Keterangan Contoh Kedudukan ‫جملة التى ال محللها من اإلعراب‬
- َ َ‫ق‬
ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬ ‫إبتدائية‬
‫خَ لَقَهُ ِم ْن‬ ‫اِ َّن َمثَ َل ِع َسى ِع ْن َد هللاِ َك َمثَ ِل اَدَم‬
- ٍ ‫تُ َرا‬
‫ب‬ ‫تفسير‬
- ‫قَاِئ ٌم‬ ‫اَظُ ُّن‬ ‫زَ ْي ٌد‬ ‫معترتضة‬
- ُ‫قَا َم اَبُوْ ه‬ ‫َجا َء الَّ ِذى‬ ‫صلة الموصول‬
Huruf syarat
Tidak beramal
menjazemkan ُ‫فَا َ ْك ِر ْمه‬ ‫اِ َذا َجا َء زَ ْي ٌد‬ ‫جواب شرط‬
Jawab syarat
tidak didahului
oleh fa’ fujaiyah ‫اَضْ ِرب‬  ْ‫اِ ْن تَضْ ِرب‬ ‫جواب شرط‬
Menyempurnakan
qosam ٍ ‫اِ َّن ا ِال ْن َسانَ لَفِى ُحس‬ ‫َو ْال َعصْ ِر‬
‫ْر‬ ‫جواب فسم‬
- ‫ َوقَ َع َد َع ْمرٌو‬ ‫قَا َم َز ْْي ٌد‬ ‫تابع‬
‫َع َم َل ِإ َّن اجْ َعلْ لِال فِي نَ ِك َر ْه ُم ْف َر َدةً َجاء ْتكَ َأوْ ُم َكر ََّر ْه‬
Jadikanlah seperti amal INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya) untuk
LAA yg beramal pada isim nakirah, baik LAA itu datang kepadamu secara Mufrod (satu kali)
atau secara Mukarror (berulang-ulang).
KETERANGAN BAIT KE 1:
“LAA LI NAFYIL JINSI” termasuk bagian dari huruf-huruf nawasikh yg masuk pada
mubtada’-khobar dan merusak I’robnya, beramal seperti INNA (menashabkan isimnya dan
merofa’kan khobarnya). Baik diucapkan dengan satu kali (Mufrod), contoh : “LAA
ROJULA” FID-DAARI. Atau diucapkan dengan berulang-ulang (Takrir), contoh: “LAA
ROJULA” WA “LAA IMRO’ATA” FID-DAARI. Secara khusus berfungsi meniadakan jenis
secara keseluruhan, ini membedakan dengan “LAA LI NAFYIL WAHID” yg beramal seperti
LAISA (merofa’kan isimnya dan menashabkan khobarnya).
Syarat pengamalan “LAA LI NAFYIL JINSI” adalah :
1. isim dan khobarnya harus nakiroh.
2. tidak boleh ada fashl/pemisah antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMnya.
3. tidak boleh ada huruf jar masuk pada “LAA LI NAFYIL JINSI”.
‫ك ْالخَ بَ َر ْاذ ُكرْ َرافِ َع ْه‬
َ ‫د َذا‬Wَ ‫ار َع ْه َوبَ ْع‬
ِ ‫ض‬َ ‫ضافَا ً َأوْ ُم‬ ِ ‫فَا ْن‬
َ ‫صبْ بِهَا ُم‬
Nashabkanlah olehmu sebab “LAA” terhadap isimnya yg Mudhaf atau yg menyerupai
Mudhaf . setelah itu sebutkanlah khobarnya dengan merofa’kannya.

ِ َّ‫ب ْال ُم ْف َر َد فَاتِ َحا ً َكالَ َحوْ َل َوالَ قُ َّوةَ َو ْالث‬


َ‫ان اجْ َعال‬ ِ ‫َو َر ّك‬
Tarkibkanlah olehmu (menjadikan satu tarkib antara LAA dan Isimnya) terhadap isimnya yg
mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf) dengan menfat-hahkannya (menghukumi mabni
fathah karena satu tarkib dengan LAA). Seperti: “LAA-HAULA” wa “LAA-QUWWATA”,
Dan terhadap lafazh yg kedua (dari contoh LAA yg diulang-ulang: (1) “LAA-HAULA” wa
(2) “LAA-QUWWATA”) boleh kamu jadikan ia.. (lanjut ke bait 4)

ِ ‫َمرْ فُوْ َعا ً أوْ َم ْنصُوبا ً أوْ ُم َر َّكبا ً َوِإ ْن َرفَعْتَ َأ َّوالً الَ تَ ْن‬
‫صبَا‬
..dirofa’kan atau dinashabkan atau ditarkib, jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka
janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua.
KETERANGAN BAIT 2-3-4:
Ada tiga poin yg menyangkut tentang isimnya “LAA LI NAFYIL JINSI”:
1. berupa Mudhaf (tersusun dari susunan idhafah, mudhaf dan mudahf ilaih)
2. berupa Syabihul-Mudhaf (tersusun dengan kalimah lain baik
makmulnya/ta’alluqnya/ma’thufnya dll)
3. berupa Mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf, baik isim mufrod, mutsanna, atau
jamak)
> Poin yg no 1 dan 2, dihukumi nashab dengan tanda nashabnya secara zhahir, dinashabkan
oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs.
> Poin yg no 3 dihukumi mabni atas tanda I’rab nashabnya, menempati mahal nashab,
dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs . Dihukumi mabni
karena dijadikan satu tarkib antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan Isimnya.
Apabila setelah “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMNYA terdapat isim ma’thuf yg berupa
isim nakirah dan mufrodah, maka hal seperti ini kadangkala LAA tidak diulang dan
kadangkala penyebutan LAA diulang pada isim ma’thufnya, contoh ‫( ال حول وال قوة إال باهلل‬LAA
HAWLA WA LAA QUWWATA)
Apabila terdapat ma’thuf dan LAA diulang-ulang seperti itu, maka mencakup tiga bacaan:
BACAAN KE SATU : lafazh yg pertama (ma’thuf alaih) dibaca mabni (apabila mufrodah),
maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 3 jalan:
1. MABNI, LAA yg kedua juga beramal spt INNA, athaf secara jumlah. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATA
2. NASHAB, Athaf kepada mahal nashab isim LAA, dan LAA yg kedua tidak beramal
dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATAN
3. ROFA’, athaf kepada mubtada’ karena “TARKIB LAA DAN ISIMNYA” posisinya
sebagai mubtada’, LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Atau
LAA yg kedua beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya) yg mempunyai faidah sebagai
nafi jenis. Atau lafazh yg kedua itu sendiri sebagai Mubtada’ dan LAA yg kedua tidak
beramal. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATUN
BACAAN KE DUA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca nashab (apabila mudhaf atau
yg menyerupai mudhaf), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) juga boleh dibaca 3 jalan
sebagaimana hukum BACAAN KE SATU diatas, yaitu : MABNI, NASHAB dan ROFA’
(untuk rofa’ tidak boleh untuk alasan athaf kepada mubtada’ sebab isimnya berupa
mudhaf/syabih mudhaf).
BACAAN KE TIGA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca Rofa’ (apabila LAA
diamalkan seperti LAISA atau karena ada illah yg membuat LAA menjadi Muhmal), maka
lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 2 jalan: 1. MABNI, karena mufrodah. 2. ROFA’,
karena athaf pada isim marfu’, atau karena menjadi mubtada dan LAA dihukumi Zaidah, atau
sebagai isimnya LAA yg juga diamalkan seperti LAISA.
Untuk BACAAN KE TIGA ini tidak boleh lafazh yg kedua (ma’thuf) dibaca Nashab sebab
status LAA pertama disini bukan sebagai Amil nashab, oleh karenanya dalam bait disebutkan
“WA IN ROFA’TA AWWALAN LAA TANSHIBAA” (jika kamu mefofa’kan lafazh yg
pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua).
‫صبَ ْن َأ ِو ارْ فَ ْع تَ ْع ِد ِل‬
ِ ‫َو ُم ْف َر َداً نَ ْعتَا ً لِ َم ْبنِ ّي يَلِي فَا ْفتَحْ َأ ِو ا ْن‬
Terhadap mufrod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yang na’at secara langsung (tanpa ada
pemisah) pada isim LAA yg mabni maka fathahkanlah atau nashabkanlah atau rofa’kanlah
demikian kamu adil.
KETERANGAN BAIT KE 5
Apabila ada Isim murfod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yg na’at pada isimnya LAA nafi
jenis yg mabni, dimana na’atnya mengiringi langsung tanpa pemisah, maka boleh Na’at tsb
dibaca tiga wajah:
1. MABNI FATHAH, karena dijadikan satu tarkib berikut berbarengan dengan isimnya LAA.
Contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFA
2. NASHAB, karena melihat pada mahal nashab isimnya LAA, contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFAN
3. ROFA’, karena melihat pada mahal rofa tarkib LAA + ISIMnya yg menempati posisi
sebagai mubtada. Contoh:
LAA+ROJULA ZHORIIFUN

ِ ‫ص ْبهُ َأ ِو ْال َّر ْف َع ا ْق‬


‫ص ِد‬ ِ ‫َو َغ ْي َر َما يَلِي َو َغ ْي َر ْال ُم ْف َر ِد الَ تَ ْب ِن َوا ْن‬
Na’at yg tidak mengiringi langsung (ada pemisah) dan na’at yg tidak mufrad (mudhaf/syabih
mudhaf) janganlah kamu memabnikannya, tapi nashabkanlah atau kehendakilah dengan
merofa’kannya.
KETERANGAN BAIT KE 6
Isim yg NA’AT pada isimnya LAA NAFI JINSI yg dimabnikan, boleh dibaca 3 wajah
(MABNI, NASHAB, ROFA’) demikian ini apabila NA’AT dan ISIM LAA sama-sama
mufrodah dan tidak ada pemisah (lihat bait ke 5)
Kemudian, apabila ada pemisah antara NA’AT dan ISIM LAA yg mabni, atau tidak ada
pemisah tapi NA’ATnya tidak mufrodah maka boleh dibaca 2 wajah (NASHAB dan ROFA’)
dan tidak boleh MABNI. Contoh:
1. LAA ROJULA FIIHAA ZHARIIFAN/ZHARIIFUN (terdapat fashl)
2. LAA ROJULA SHAAHIBA BIRRIN/SHAAHIBU BIRRIN (tdk terdapat fashl tapi na’at
tidak mufrodah)
‫ت ِذي ْالفَصْ ِل ا ْنتَ َمى‬ ْ ‫َو ْال َع‬
ِ ‫طفُ ِإ ْن لَ ْم تَتَ َكرَّرْ الَ احْ ُك َما لَهُ بِ َما لِ ْلنَّ ْع‬
Adapun ‘Athaf, jika LAA tidak diulang-ulang maka hukumilah ma’thufnya dengan hukum yg
dinisbatkan pada Na’at yg Fashl (boleh nashab dan rofa’ tidak boleh mabni, lihat bait ke 6).
KETERANGAN BAIT KE 7
Pada bait dahulu dijelaskan (bait ke2-3-4) bahwa apabila setelah isim laa ada isim ma’thuf yg
nakirah dan mufrodah, maka penyebutan LAA kadang diulang-ulang kadang tidak.
Nah dalam bait ke 7 ini menerangkan tentang hokum ma’thuf pada isim LAA yg mana LAA
tidak diulang-ulang.:
Boleh Ma’thuf disini dihukumi dengan bacaan sebagaimana yg terjadi pada hukum isim yg
Na’at pada isim LAA yg terdapat Fashl/pemisah (lihat bait ke 6) yaitu NASHAB dan ROFA,
tidak boleh MABNI. Salahsatu contoh:
LAA MUDARRISA WA THOOLIBUN/THOOLIBAN FIL MADROSATI
(rofa = athaf pada mahal rofa tarkib LAA+ISIMNYA sebagai mubtada’| nashab = athaf pada
mahal nashab isim LAA)
ُّ ‫َوَأ ْع ِط الَ َم ْع هَ ْمزَ ِة ا ْستِ ْفهَ ِام َما تَ ْست َِح‬
‫ق ُدوْ نَ اال ْستِ ْفهَ ِام‬
Beikanlah pada LAA NAFI JINSI yg menyertai HAMZAH ISTIFHAM, dengan hukum yg
menhakinya ketika tanpa adanya HAMAZAH ISTIFHAM.
KETERANGAN BAIT KE 8
HAMZAH ISTIFHAM yg masuk pada LAA NFYIL JINSI (A LAA) maka hukumnya
berlaku sama sebagaimana ketika belum dimasuki HAMZAH ISTIFHAM seperti hukum
Isimnya, khobarnya, Na’at, Ma’thuf, Muhmal ketida LAA diulang-ulang dan sebagainya
(lihat bait-bait sebelumnya).
Fungsi utama HAMZAH ISTIFHAM (A) disini adalah: mempertanyakan Nafi, yakni sumber
khabar nafi tsb benar atau tidak?. Contoh:
A LAA TAAJIRO SHOODIQUN?
Apakah tidak ada pedagang itu jujur?
Atau HAMZAH ISTIFHAM difungsikan sebagai taubikh (teguran) contoh:
A LAA IHSAANA MINKA WA ANTA GHINIYYUN?
Apakah tidak ada kemurahan darimu sedang kamu adalah orang kaya?
َ ‫ب ِإ ْسقَاطُ ْال َخبَرْ ِإ َذا ْال ُم َرا ُد َم ْع ُسقُوْ ِط ِه‬
ْ‫ظهَر‬ ِ ‫َو َشا َع فِي َذا ْالبَا‬
Mayoritas penggunaan LAA NAFI JENIS dalam bab ini membuang KHOBAR, bilamamana
pengertian yg menyertai pembuangan khobar tsb sudah jelas.
KETERANGAN BAIT KE 9
Apabila ada dalil tentang khobar dari LAA NAFI JENIS maka khobarnya cukup dibuang,
pembuangan khobar dalah hal ini mayoritas digunakan. Baik dalil tersebut berupa Maqol
(perkataan) contoh orang berkata “HAL MIN ROJULIN HAADHIRIN?” maka cukup
dijawab “LAA ROJULA”. (TIDAK SORANG PUN = membuang khobar MUJUUDUN =
ADA). Atau dalil tsb berupa hal keadaan contoh seseorang berkata pada orang yg keadaan
sakit: “LAA BA’SA” (TIDAK APA-APA, membuang khobar ‘ALAIKA = BUAT MU) .
KESIMPULAN:
Mayoritas penggunaan khobar LAA NAFI JINSI adalah dibuang, demikian ini karena
maksud/pengertian dari khobar yg terbuang tsb sudah jelas, dan kejelasan suatu khobar
takkan terjadi kecuali adanya dalil.
ah Yang Pertama Kita Akan Membahas Mengenai Huruf jer Di dalam kitab Al-
fiyyah:                           ‫ َحتَّى خَ الَ َحا َشا َعدَا فِ ْي ع َْن َعلَى ُم ْذ ُم ْن ُذ رُبَّ الالَّ ُم َك ْي َوا ُو‬# ‫ك ُح ُروفُ الج ِّر َو ْه َي ِم ْن اِلَى‬
َ َ ‫ها‬
َ ْ ْ
‫ والكَافُ َوالبَا َول َع َّل َو َمتَى‬# ‫ َوتَا‬Huruf –huruf jar yaitu: (1. ‫ فِ ْي‬.7( ‫ َعدَا‬.6( ‫ َح َشا‬.5( َ‫ خَ ال‬.4( ‫ َحتى‬.3( ‫ ِإلى‬.2( ‫ِم ْن‬ َّ َ
( ‫ بَاء‬.19( ‫بء‬ َ .18( ‫ َكاف‬.17( ‫ تَا ٌء‬.16( ‫ َوا ٌو‬.15( ‫ َك ْي‬.14( ‫ الَم‬.13( َّ‫ رُب‬.12( ‫ ُم ْن ُذ‬.11( ‫ ُم ْذ‬.10( ‫ َعلَى‬.9( ‫ ع َْن‬.8(
‫ َمتَى‬.21( ‫ لَ َع َّل‬.20 PEMBAHASAN Huruf-huruf jer yang dua puluh diatas seluruhnya masuk
pada kalimat isim, dan mengejarkannya. untuk huruf, ‫ َعدَا‬,َ‫ خَ ال‬,‫ حاثا‬sudah dijelaskan dalam bab
istisna’, dan sedikit sekali ulama’ yang menyebutkan huruf ‫ َكى‬,َّ‫ لَ َعل‬,‫ َمتَى‬sebagai huruf jar,
karena langkanya mengejarkan dengan huruf tersebut.
1). Huruf    ‫ َكى‬  Huruf ini mengejarkan pada tiga tempat, yaitu :
a.       Pada  ‫ َما‬istifhamiyyah Yang digunakan bertannya dari alasan suatu perkara  Seperti ‫َك ْي َم ْه‬
karena apa? Bermakna ‫لِ َما‬  Alifnya‫ َما‬ dibuang karena kemasukan huruf jer dan didatangkan
Ha’ untuk diam (ha’ sakat).                   
b. Pada‫ َما‬ masdariyyah bersamaan shilahnya Seperti ucapan syair. ‫ض َّر فَِإنَّ َما * يُ َرا ُد‬ ُ َ‫ِإ َذا َأ ْنتَ لَ ْم تَ ْنفَ ْع ف‬
‫ ْالفَتَى َك ْي َما يَضُرُّ َو يَ ْنفَ ُع‬Ketika kamu tidak bermanfaat maka mendapatkan bahaya, sesungguhnya
yang dikehendaki dari anak muda adalah supaya membahayakan dan bermanfaat. (nabigoh)
Ta’wilnya: ِّ‫ لِلنَّ ْف ِع لِ ْلضُر‬       
c. Pada ‫ أن‬masdariyyah bersamaan shilahnya. Seperti ‫ت َكى اُ ْك ِر َم َز ْيدًا‬
ُ ‫ ِجْئ‬saya datang untuk
memuliyahkan zaid . Dengan mentaqdirkan ‫ أن‬setelah  ‫كى‬yang antara ‫ َأن‬dan fi’ilnya dita’wil
َ
masdar yang dijerkan dengan‫ َكى‬ .
2Huruf  َّ‫ لَ َعل‬Mengejerkan dengan huruf ini merupakan lughotnya bani uqoil. Contoh:  ‫لَ َع َّل هلّلا‬
‫ضلَ ُك ْم علينا * بِ َش ْيٍئ ِإن ُأ َّمتُ ُك ْم َش ِري ٌم‬
َّ َ‫ ف‬Semoga Allah mengutamakan kamu semuannya atas kita dengan
diberi sesuatu, Sesungguhnya ibi kamu semua adalah orang yang telah hilang
keperawanannya. Lafadz ‫ هلَّلا‬ dibaca jer dengan ‫ لَ َع َّل‬.
3Huruf ‫ َمتَى‬Mengejerkan dengan huruf ini adalah lughot hudzail, dan bermakna ‫من‬
ibtidaiyyah: Seperti syairnya abu dzu’aib al-hadzali yang mensifati mendung: ‫َش ِر ْبنَ بِ َما ِء البَحر ثم‬
‫ج ُخضْ ٍر لَه َُّن نَِئ ْي ُج‬ ِ ‫ت * َمتَى لُ َج‬ْ ‫ ت ََرفَّ َع‬Awan-awan (pelangi) itu meminum air lautan, lalu naik dari laut
yang luas dan biri dengan diiringi suara yang keras. Lafadz ‫ َمتَى‬ mengejerkan lafadz   ‫ج‬ ِ ‫لُ َج‬
ْ ْ
ْ‫وحتَّى * وال َكافَ وال َوا ُو َورُبَّ َوالتَّا َواخصُص‬ ْ ُ ْ ْ
َ ‫بِاالظا ِه ِر اخصُصْ ُمنذ ُمذ‬
َّ‫بِ ُم ْذ َو ُم ْن ُذ َو ْقتًا َوبِرُبّ * ُمنَ َكرًا َوالتَّا ُء هَّلِل َو َرب‬
‫َحو ُربَّهُ فَتَى * ن َْز ٌر َك َذا َكهَا َونَحْ ُوهُ أتَى‬
ِ ‫ َو َما َر َووْ ا ِم ْن ن‬                                                 ·        
Ada beberapa huruf jer yang dikususkan masuk pada isim dhohir, yaitu:  ‫ ُم ْذ‬,‫ ُم ْن ُذ‬,‫َحتَى‬
kaf,wawu, َّ‫ رُب‬ dan ta’ · Huruf jer‫ ُم ْن ُذ‬,  ‫ ُم ْذ‬dikhususkan mengejerkan lafadz yang menunjukkan
arti waktu, dan hurf jer َّ‫ رُب‬ dikhususkan masuk pada isim nakiroh, huruf jer ta’ dikhususkan
masuk pada lafadz ‫ هلَّلا‬ dan َّ‫· رُب‬ edang tarkib yang diriwayatkan oleh para ulama’ dari
semuannya lafadz     ‫فَتَى‬    (lafadz َّ‫ رُب‬masuk pada isim ma’rifat) itu dihukumi langka, begitu
pula lafadz‫ َكهَا‬ (kaf mengejerkan isim dhomir) dan sesamanya.
PEMBAHASAN (4)
(5) Huruf ‫ ُم ْن ُذ‬,‫ ُم ْذ‬Kedua huruf ini khususnya masuk pada isim dhohir, yang menunjukkan
makna zaman. Contoh :
a. apabila zamannya hal maka keduannya bermakna  ‫فِى‬
b. apabila zamannya madhi maka keduannya bermakna  ‫ِم ْن‬
c. bermakna‫ ِمن‬ dan ‫ ِإلَى‬apabila majrurnya ma’dud (berbilangan).
Syarat-syarat majrurnya.
1. Menunjukkan makna waktu atau zaman.
2. Waktunya tertentu (tidak mubham)maka tidak boleh mengucapkan: ‫َما َرَأ ْيتُهُ ُم ْذ يَو ٍم‬
3. Waktunya berupa zaman hal atau madhi, tidak boleh berupa zaman istiqbal. Maka  tidak
boleh mengucapkan:  ‫ (الََأ َراهُ ُم ْذ َغ ٍد‬saya tidak melihatnya mulai besok)
4. Lafadz muttashorrif ( tidak menepati 1 tarkib).     
Syarat-syarat amilnya.
1. berupa fi’il madhi yang dinafikan atau fi’il madhi yang maknanya memenjang
( mutatowwal ) 6). Huruf wawu qosham. Wawu qosam apabila setelahnya terdapat wawu
yang lain, maka wawu setelahnya adalah wawu athof, karena kalau tidak begitu masing-
masing akan membutuhkan jawab, seperti: ‫َوالتِّ ْي ِن َوال َز ْيتُوْ ن‬
7). Huruf ta’ qosam Huruf ta’ yang merupakan huruf yang bermakna qosham ( sumpah dan
masuknya tertentu pada isim dhohir yang berupa lafadzُ ‫ أهَّلل‬ atau lafadz ٌّ‫ َرب‬yang di idhofahkan
pada lafadz ٌ‫ َك َعبَة‬ atau ya’ muttakallim.
8). Huruf َّ‫ َرب‬ Huruf ini memiliki dua makna yaitu: a. taksir (menunjukkan arti bannyak)
makna ini merupakan yang paling banyak digunakan. Contoh: ُ‫ َربَّ َر ُج ِل َك ِري ٍْم لَقَ ْيتُه‬,banyak sekali
lelaki mulia yang kutemui
b. taqlil (menunjukkan makna sedikit). Syarat-syarat َّ‫ رُب‬ bisa mengejerkan. ·         dijadikan
permulaan dalam awalnya kalam. ·        
majrur( lafadz yang dijerkan) rubba berupa isim nakiroh. ·        
majrurnya harus disifati dengan jumlah atau mufrad. ·        
amilnya rubba harus diakhirkan. ·        
amilnya harus berupa fi’il madhi
‫ بِ ِم ْن َوقَ ْد تََأتِى ِلبَ ْد ِء اَْأل ْز ِم ْن ٍة‬# ‫بَعِّضْ َوبَي ِّْن َوا ْبتَ ِدْئ فِي االَ ْم ِكنَ ِة‬
*buatlah makna tab’idliyyah (sebagian), makna bayaniyah ( menjelaskan ) dan makna ibtida’
(memulai) didalam tempat dengan menggunaka huruf jer.
PEMBAHASAN 9).
Huruf jer ‫ ِم ْن‬Huruf min adalah paling kuatnya huruf jer, dengan bukti bisa masuk pada
kalimat yang tidak bisa dimasuki huruf jer yang lain selain min, seperti lafadzَ‫ َو ِع ْند‬, ‫ لَدَى‬ dan
bisa masuk pada isim dohir dan dhomir.
10). Huruf jer ‫ إلَى‬Makna yang banyak digunakan pada huruf ini adalah makna intiha’ul
ghoyah ( batas akhir ), baik pada zaman atau makan. Majrurnya‫ الى‬ didalam masuk dan
tidaknya dalam hukum terdapat tiga qoul, yaitu:
1. jika majrurnya‫ الى‬ merupakan jenis dari lafadz sebelumnya, maka masuk didalam
hukumnya lafadz sebelumnya
2. pendapat kedua mengatakan bahwa hukum majrurnya‫ الى‬ masuk pada lafadz sebelumnya
cara mutlaq, baik berupa jenis dari lafadz sebelumnya atau tidak
3. hukumnya tidak masuk pada lafadz sebelumnya secara mutlaq, dan pendapat ini
merupakan qoul shohih.
11). Huruf ‫ َحتَى‬Huruf ‫ َحتَى‬yang dilakukan sebagai huruf jer menyamai huruf, didalam makna
dan amal, yaitu bermakna intihaul ghoyah, namun berbeda dengan‫ إلى‬ didalam 4 hal, yaitu :
1. majrurnya harus berupa isim dhohir
2. majrurnya merupakan akhir dari suatu perkara atau perkara yang bertemu dengan perkara
yang akhir.
3. apabila huruf  ‫ َحتَى‬tidak bersamaan dengan qorinah yang menetapkan bahwa lafadz yang
setelahnya masuk didalam hukum atau keluar dari hukum, maka diarahkan masuk pada
hukum, sedang kalau dalam  ‫إلى‬diarahkan keluar dari hukum.
12). Huruf jar ‫ َحتّى‬Huruf ‫ َحتَّى‬ yang dilakukan sebagai huruf jar menyamai huruf ... didalam
makna dan amal, yaitu bermakna intihaul ghoyah, namun berbeda dengan .... didalam empat
hal, yaitu:
1). Majrurnya harus berupa isim dhohir
2). Majrurnya merupakan akhir dari suatu perkara atau perkara yang bertemu dengan perkara
yang akhir.
3). Apabila huruf‫ َحتَّى‬ tidak bersamaan qorinah yang menetapkan bahwa lafadz yang
setelahnya masuk didalam hukum atau keluar dari hukum, maka diarahkan masuk pada
hukum, sedang kalau dalam  ‫إلى‬diarahkan keluar dari hukum.
13). Huruf jar lam Makna keseluruhan yang dimiliki lam ada 21, diantaranya: 1. Istihqoq
(berhak) 2. milik 3. ikhtisor / sibih milik dan lain-lain .

ِ ‫ َو ِم ْث ِل َم َع َو ِم ْن َوع َْن بِهَا ا ْن ِط‬# ‫ص ْق‬


 ‫ق‬ ِ ‫· بِالبَا ا ْستَ ِع ْن َع َّد ِع َّوضْ َأ ْل‬        
Huruf jer ba’ itu bermakna isti’anah,menguta’adikan, iwad (mengganti), ilshoq (bertemu),
menyamain makna‫ َم َع‬ (.mushohabah)maknanya‫ من‬ dan maknanya‫ عن‬ PEMBAHASAN 14).
Huruf Jar Ba’ Huruf ini memiliki 14 makna diantaranya:
1. Ilshoq haqiqi seperti contoh: saya memegang zaid     Ilshoq majazi seperti contoh: saya
berjalan bertemu zaid
2. Ta’diyah
3. isti’anah (pertolongan)
4. sababiyah
5. Mushohabah, dan lail-lain
َ‫ بِعنَ تَ َجا ُو ًزا َعنَى َم ْن قَ ْد فَطَن‬# ‫َعلَى لِِإل ْستِ َعالَ َو َم ْعنَى فِى َوعَن‬
ِ ‫ َك َما َعلَى َمو‬# ‫ض ِع بَ ْع ٍد َو َعلَى‬
َ‫ض َع ع َْن قَ ْد ج ُِعال‬ ِ ْ‫َوقَ ْد تَ ِجى َمو‬
Huruf jer  ‫ َعلَى‬itu berma’na isti’la ,bermakna ‫ فى‬dan ‫ عَن‬huruf jar,‫ عَن‬itu di kehendaki untuk
makna mujawazah . dan terkadang huruf jar ‫ عَن‬itu menempati (bermakna)‫ بَعد‬dan‫َعلَى‬
sebagaimana huruf jer ‫ َعلَى‬menempati (bermakna)  ‫عَن‬
PEMBAHASAN 15).
Huruf Jar  ‫ َعلَى‬Diantara maknanya yaitu:
1.Isti’la’ Isti’la’ di bagi menjadi dua yaitu:
a. Isti’la’ Haqiqi (sebenarnya) contoh: ‫ح‬ ْ ‫ َز ْي ٌد َعلَى س‬,Zaid diatas loteng b. Isti’la’ Majazi
ٍ ‫ُط‬
contoh:‫ َعلَى زَ ْي ٌد د ٍَن‬ Zaid berhutang .
16). Huruf Jar ‫ ع َْن‬a. Al-Mujawajah (menjauhkan) yaitu: menjauhnya perkara yang disebutkan
atau tidak disebutkan dari majrurnya (lafadz yang diajarkan) disebabkan pekerjaan perkara
sebelumnya.
‫ يُ ْعنَى َوزَ اِئدًا لِتَوْ ِك ِد َو َر ْد‬# ‫ف َوبِهَا التَعلِي ُل قَ ْد‬
ٍ ‫َشبَّهُ بِ َكا‬
Huruf jar kaf itu memiliki makna tasybih ( menyerupakan), bermakna ta’lil dan sebagai huruf
ziyadah yang berfaidah mentaukidi kalam.
17). Huruf Jar Kaf. Huruf ini memiliki lima makna, yaitu: ·        
Tasybih (menyerupakan)   yaitu menyamarkan perkara yang kurang, dalam kemuliaan atau
kerendahannya,   dengan perkara yang sempurna. ·         .
Ta’lil yaitu menjelaskan sebabnya fi’il. ·Taukid Yaitu Kaf yang sebagai huruf ziyadah yang
tidak memiliki makna namun    berfaidah menguatkan pada kalam. ·        
Isti’la’ seperti ketika ditanyakan pada seseorang: َ‫ َكيفَ َأصْ بَحْ ت‬.( bagaimana keadaanmu pagi
ٍ ‫ َكخ‬yang bermakna ‫ َعلَى َخ ْيرًا‬makna ini sedikit sekali terjadi
ini), lalu dijawab: ‫َير‬
Mubadaroh(segera)
‫ ِم ْن اَجْ ِل َذا َعلَ ْي ِه َما ِم ْن َد َخ َل‬# ‫· َوا ْستُ ْع ِم َل ا ْس ًما َو َك َذا ع َْن َو َعلَى‬        
Kaf bisa dilakukan sebagai kalimat isim, begitu pula huruf ‫ ع َْن‬dan  ‫ َعلَى‬oleh karenanya 
keduanya bias dimasuki huruf jer ‫ ِمن‬PEMBAHASAN Kaf ismiyah    Huruf jer kaf bisa
dilakukan sebagai kalimat isim (dinamakan kaf ismiyah) yang bermakna     ُ‫( ِم ْثل‬menyamai)
Kaf dilakukan ismiyah menurut imam sibaweh ditentukan  dalam keadaan dlorurot syair,
sedang mengikuti kebanyakan ulama ‘,termasuk Imam Al-Farisi dan Imam Ibnu Malik, boleh
dilakukan ismiyah dalam keadaan ihtiyar.
‫ت ُم ْذ َدعَا‬ َ ‫ َأوْ ُأو لِيَا ْالفِع‬# ‫ْث َرفَ َع‬
ُ ‫ْل َك ِجْئ‬ ُ ‫َو ُم ْذ و ُم ْن ُذ ا ْس َمان َحي‬

*lafadz  ‫مذ‬dan  ‫منذ‬dilakukan sebagai kalimat isim apabila keduanya merofa’kan (isim
ُ ‫ِجْئ‬
mufrod) atau setelahnya berupa fiil , seperti lafadz ‫ت مذ َدعَا‬
PEMBAHASAN Lafadz ‫ مذ‬dan  ‫منذ‬ismiyah. Dua lafadz ini dilakukan sebagai kalimah isim
apabila : ·         Merofa’kan isim, ·         Setelahnya berupa fiil.
‫ هُ َما َوفِى ْال ُحضُوْ ِر َم ْعنَى فِى استَبِن‬# ‫ض َي فَ َك ِمن‬
ِ ‫وِإن يُ َجرَّا فِى ُم‬
*lafadz ‫ مذ‬dan ‫ منذ‬apabila mengejarkan pada kalimah isim yang menunjukkan zaman madly,
maka  bermakna  ‫من‬dan apabila mengejarkan kalimah isim yang menunjukkan zaman hal,
maka keduanya bermakna‫فى‬   
PENBAHASAN Maknanya ‫ مذ‬dan ‫ ُم ُذ‬huruf jer ·         Apabila keduanya mengejarkan
keduanya isim yang zamannya telah lewat (zaman madli) maka keduanya bermakna ‫من‬
(ibtida’iyyah). ·        
Apabila mengejarkan isim yang zamannya yang sedang dilakukan (hadlir / hal), maka
keduanya bermakna  ‫(فِى‬dzorfiyah). Catatan: Perincian makna seperti diatas adalah apabila
lafadz yang dijerkan berupa isim ma’rifat, sedang apabila majrurnya berupa isim nakiroh
maka kedua huruf tersebut bemakna ‫من‬  dan‫إلى‬  secara bersamaan, seperti yang terjadi  pada
ma’dud (bilangan).
‫ فَلَ ْم يَ ُع ْق ع َْن َع َم ٍل قَ ْد ُعلِ َما‬# ‫* َوب ْع َد ِم ْن َوعَن َوبَا ٍء ِز ْي َد ِم‬
huruf ‫ ما‬dilakukan sebagai huruf ziyadah (huruf tambahan) yang terletak setelah huruf jer      
‫ من‬,‫عن‬ba’ serta tidak mencegah pengamalannya. PEMBAHASAN Huruf  ‫ رب‬yang dibuang
yang beramal. Huruf   َّ‫ رب‬yang dibuang secara lafadz dan masih tetap beramal mengejarkan
terletak setelah tiga huruf yaitu: 1). Setelahnya wawu Dan masyhur dan lebih banyak
dibandingkan lainnya. 2). Setelahnya  ‫ بَل‬Hukumnya qolil, seperti syairnya ru’bah bin ujaj
. ‫بل بلد ملء الفجاح قتمه * اليشتر كتانه وجهرمه‬
Banyak sekali negeri yang jalan rayanya penuh  dengan debu, yang tenunan sutera dan alas
halunya tidak mampu dibeli. 3) .Setelahnya fa’ Hukumnya juga qolil seperti syairnya imri’il
qois Al-Kindi :
‫فمثلك حبلى ثد طرقت ومرضع * فألهيتها عن دي تمائم محول‬
Maka banyak sekali wanita hamil dan menyusui yang aku datangi pada waktu malam, lalu
mereka tergoda hingga melalaikan anaknya yang masih umur setahun (yang banyak
rewelnya) yang menganakan jimat yang digantungkan dilehernya untuk menolak sihir. ُّ‫َوقَ ْد يُ َجر‬
‫ضهُ يُ َرى ُمطَّ َردَا‬ ٍ ‫ َح ْد‬# ‫ بِ ِس َوى رُبَّ لَدَى‬Dan terkadang huruf-huruf jar yang selainnya  ‫رب‬yang
ُ ‫ف َوبَ ْع‬
telah dibuang masih tetap beramal mengejarkan, dan sebagian ada yang hukumnya muttorid
(terlaku).

DASAR-DASAR KALIMAT SUSUNAN JUMLAH ISMIYAH


 Mubtada’ dan Khabar

‫عَاذ ٌر َم ِن اعْ ت ََذ ْر‬


ِ ‫ ِإ ْن ُق ْل َت زَ ْي ٌد‬¤ ‫ـــــر‬
ْ ‫عَـــاذ ٌر َخ َب‬
ِ ‫ُم ْبتَـدَأ زَ ْي ٌد َو‬
Adalah Mubtada’ yaitu lafadz ‫ زيد‬,  dan lafazh ‫اذر‬WWW‫ ع‬adalah Khabar, apabila kamu
mengucapkan kalimat: ‫ذر‬WW‫اذر من اعت‬WW‫د ع‬WW‫زي‬. “Zaid adalah penerima alasan bagi orang yang
mengemukakan alasan”
 Mubtada’ dan Fa’il

َ ‫اغ َنى ِفي َأ‬


ِ ‫سا ٍر َذ‬
‫ان‬ ِ ‫ َف‬¤ ‫َوَأ َّو ٌل ُم ْبـــ َتدَأ َوا ْل َّثـــــا ِني‬
ْ ‫اع ٌل‬
Kalimah yang pertama adalah Mubtada’, dan kalimah yang kedua adalah Fa’il yang
mencukupi (tanpa Khabar), didalam contoh kalimat: ‫أ سار ذان‬ “apakah yang berjalan malam,
keduanya ini?” (‫ = أ‬Huruf Istifham, ‫ = سار‬Isim Sifat sebagai Mubtada’, ‫ = ذان‬sebagai Fa’il yg
menempati posisi Khabar)

َّ ‫ َي ُج ْوزُ َن ْح ُو َفاِئ ٌز أو ُلو‬¤ ْ‫اس ِت ْف َه ٍام ال َّن ْف ُي َو َقد‬


ْ‫الرشَد‬ ْ ‫س َو َك‬
ْ ‫َو ِق‬
Dan kiaskanlah! (untuk contoh lain serupa ‫ = أ سار ذان‬yakni, Mubtada’ dari Isim sifat (isim
fa’il/isim maf’ul/isim musyabbah) yang diawali Istifham/kata tanya ( ‫) أ – هَلْ – َك ْيفَ – َم ْن – َما‬
dan Fa’ilnya bisa isim Zhahir atau isim Dhamir). Juga seperti Istifham yaitu Nafi ( semua nafi
yang pantas masuk pada isim ( ‫ْس‬ َ ‫ ) َما – الَ – ِإ ْن – َغ ْي ُر – لَي‬dan terkadang boleh (tanpa awalan
Istifham atau Nafi tapi jarang) seperti contoh lafazh: ‫فَاِئ ٌز ُأولُو ال َّر َش ْد‬ “Yang beruntung mereka
yg mendapat petunjuk”

ْ ‫ ِإ ْن ِفي ِس َوى اِإل ْف َر ِاد ِط ْبق ًا‬¤ ‫ف َخــ َب ْر‬


‫اس َت َق ْر‬ ْ ‫ان ُم ْب َتدَا َو َذا ا ْل َـو‬
ُ ‫ص‬ ِ ‫َوا ْل َّث‬
Kalimah yg kedua adalah mubtada’ (menjadi Mubtada’ muakhkhar). Dan Isim Sifatnya ini
(kalimah yg pertama) adalah Khabar (menjadi Khabar Muqaddam), apabila pada selain
bentuk mufradnya ia menetapi kecocokan (yakni, sama-sama berbentuk Mutsanna atau jama’
misal: ‫)أ ساران ذان‬.
I’RAB MUBTADA’ DAN KHABAR

ُ ‫ َك َذاكَ َر ْف ُع َخ َب ٍر ب ْا‬¤‫َو َر َف ُعـــوا ُم ْب َتدَأ باال ْبــ َت ِدا‬


‫لم ْب َتدَأ‬
Mereka (orang arab) me-rofa’kan Mubtada’ karena sebab Ibtida’ (‘Amil secara Ma’nawi,
yakni menjadikan isim sebagai Pokok/Subjek kalimat, dikedepankan sebagai sandaran bagi
kalimah lain sekalipun secara Lafzhi ada di belakang (mubtada’ muakhkhar)). Demikian juga
rofa’-nya Khobar disebabkan oleh Mubtada’.
KHABAR DAN BENTUK-BENTUKNYA
 Pengertian Khabar

ِ ‫ َكاهَّلل َب ُّر َواَأل َي‬¤ ‫َوا ْل َخ َب ُر ا ْل ُج ْزء ا ْل ُم ِت ُّم ا ْل َفاِئ َد ْه‬


‫ـادي شَـا ِهدَ ْه‬
Pengertian Khabar adalah juz/bagian penyempurna faidah, yang seperti kalimat: ‫هللاُ بَ ٌّر َواَأليَا ِدي‬
ٌ‫ َشا ِه َدة‬ “Allah adalah maha pemberi kabajikan. Dan kejadian-kejadian besar adalah sebagai
saksi”.
 Khabar Jumlah

‫ َحا ِو َي ًة َم ْع َنى ا َّل ِذي ِس ْي َق ْت َل ْه‬¤ ‫ــم َل ْه‬ َ ‫َو ُم ْف‬


ْ ‫ــر َد ًا َيأ ِتي َو َيأ ِتـي ُج‬
Khabar ada yang datang berbentuk Mufrad (Khabar Mufrad, tidak terdiri dari susunan kata).
Dan ada yang datang berbentuk Jumlah (Khabar Jumlah, tersusun dari beberapa kata) yg
mencakup ada makna mubtada’(ada Robit/pengikat antara Mubtada’ dan Khabar jumlahnya),
dimana Jumlah tsb telah terhubung (sebagai khobar) bagi Mubtada’nya.

ُ ‫ ِب َها َك ُن ْط ِقي‬¤ ‫وَِإ ْن َت ُك ْـن إ َّيـا ُه َم ْع َنى ْاكتَـــ َفى‬


‫هَّللا َح ْس ِبي َو َك َفى‬
Dan apabilah Jumlah tsb sudah berupa makna mubtada’, maka menjadi cukuplah Khabar
ْ ُ‫ن‬ “adapun ucapanku: “Allah
dengannya (tanpa Robit) seperti contoh : ‫بِي َو َكفَى‬WW‫طقِى هللاُ َح ْس‬
memadai dan cukup bagiku””
 Khabar Mufrad
َ ‫ق َف ْه َو ُذو‬
ّ‫ض ِم ْي ٍر ُم ْس َت ِكن‬ َّ ‫ ُيشْ َت‬¤ ‫ــام ُد َفا ِر ٌغ وَِإ ْن‬ َ ‫َوا ْل ُم ْف‬
ِ ‫ــر ُد ا ْل َج‬
Adapun khabar mufrad yang terbuat dari isim jamid (isim yang tidak bisa ditashrif ishtilahi)
adalah kosong (dari dhamir) dan apabila terdiri dari isim yang di-musytaq-kan (isim musytaq
hasil pecahan dari tashrif istilahi) maka ia mengandung dhamir yang tersembunyi (ada
dhamir mustatir kembali kepada mubtada’/sebagai robit).

َ ‫ َما َل ْي‬¤ ‫َوَأ ْب ِرزَ ْن ُه ُم ْط َل َقـ ًا َح ْي ُث َت َال‬


َّ ‫س َم ْع َنا ُه َل ُه ُم َح‬
‫ص َال‬
Dan sungguh Bariz-kanlah! (gunakan Dhamir Bariz, bukan Mustatir) pada khabar mufrad
musytaq tsb secara mutlak (baik Dhamirnya jelas tanpa kemiripan, apalagi tidak), ini
sekiranya khabar tsb mengiringi mubtada’ yang mana makna khabar tidak dihasilkan untuk
mubtada’ (khabar bukan makna mubtada’).
 Khabar dari Zharaf dan Jar-Majrur

ْ ‫ َنا ِو ْي َن َم ْع َنى َكاِئ ٍن َأ ِو‬¤ ‫ف َج ّر‬


ْ ‫اس َت َق‬
‫ــر‬ ٍ ‫َوَأ ْخ َب ُر َوا ِب َظ ْر‬
ِ ‫ف ْأو ِب َح ْر‬
Mereka (ahli Nuhat dan orang Arab) menggunakan Khabar dengan Zharaf atau Jar-Majrur,
dengan niatan menyimpan makna ‫ َكاِئ ٍن‬atau ْ‫ا ْستَقَر‬.

‫عَن ُج َّث ٍة وَِإ ْن ُي ِفدْ َفَأ ْخ ِب َرا‬


ْ ¤ ‫ان َخ َب َرا‬
ٍ ‫زَم‬ ْ ُ‫َو َال َي ُك ْون‬
َ ‫اسـ ُم‬
Tidak boleh ada Isim Zaman (Zharaf Zaman) dibuat Khabar untuk Mubtada’ dari Isim dzat.
Dan apabila terdapat faidah, maka sungguh jadikan ia Khabar…!.
SYARAT KEBOLEHAN MUBTADA’ DARI ISIM NAKIRAH

‫ َما َل ْم ُت ِفدْ َك ِع ْن َد زَ ْي ٍد َن ِم َر ْه‬ ¤ ‫َو َال َي ُج ْوزُ اال ْب ِتدَا ِبا ْل َّن ِك َر ْه‬
Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah, (yakni,
boleh dengan persyaratan ada faidah) seperti contoh: ُ‫نَ ِم َرة‬ ‫ ِع ْن َد َز ْي ٍد‬ “adalah disisi Zaid pakaian
Namirah (jenis pakaian bergaris-garis yg biasa dipakai oleh orang A’rab
Badwi)” (khabarnya terdiri dari zharaf atau jar-majrur yg dikedepankan dari mubtada’nya).

‫ َو َر ُجــ ٌل ِم َن ا ْل ِك َـر ِام ِع ْندَ َنا‬ ¤ ‫َوه َْل َفت ًَى ِف ْي ُك ْم َف َما ِخ ٌّل َل َنا‬
(dan disyaratkan juga: ) seperti contoh ‫فِي ُكم‬ ‫فَتَ ًى‬  ْ‫ل‬WWَ‫ه‬ “adakah seorang pemuda diantara
kalian?” (diawali dengan Istifham/kata tanya), dan contoh: ‫لَنَا‬ ‫ ِخ ٌّل‬ ‫ َما‬ “tidak ada teman yang
menemani kami” (diawali dengan Nafi), dan contoh: ‫ َدنَا‬W‫ ِمنَ ال ِك َر ِام ِع ْن‬ ‫ َر ُج ٌل‬ “seorang lelaki yg
mulia ada disisi kami” (disifati)

َ ‫َو َر ْغ َب ٌة ِفي ا ْل َخ ْير َخ ْي ٌر َو‬


ْ ‫ ِب َر َي ِزيْنُ َو ْل ُي َق‬ ¤ ‫عَم ْل‬
‫س َما َل ْم ُي َق ْـل‬
dan contoh: ‫ ٌر‬WWWْ‫ر خَ ي‬WWWْ ِ ‫فِي الخَ ي‬ ٌ‫ة‬WWWَ‫ َر ْغب‬ “gemar dalam kebaikan adalah baik” (mengamal), dan
contoh:  ُ‫بِرٍّ يَ ِزين‬ ‫ َع َم ُل‬ “berbuat kebajikan menghiasi (hidupnya)” (mudhaf). Dan dikiaskan saja!
contoh lain yang belum disebut.
PERIHAL KEBOLEHAN MENDAHULUKAN KHABAR DARI MUBTADA’

‫ــر َرا‬
َ ‫ض‬ َ ‫زُوا ا ْل َّت ْقــ ِد ْي َم ِإ ْذ َال‬ َّ ‫ص ُل ِفي اَأل ْخ َبا ِر َأ ْن ت‬
َ ‫ َو َج َّـو‬¤‫ُؤخ َرا‬ ْ ‫َواَأل‬
Asal penyebutan Khabar tentunya harus di-akhirkan (setelah penyebutan mubtada’), dan
mereka (orang arab/ahli nahwu)  memperbolehkan mendahulukan khabar bilamana tidak ada
kemudharatan (aman dari ketidakjelasan antara khabar dan mubtada’nya).
PELARANGAN MENDAHULUKAN KHABAR DARI MUBTADA’NYA
 Sama Nakirah atau Ma’rifat

َ ‫عُر َفــــ ًا َو ُن ْك‬


ِ ‫ـــر ًا عَــا ِد َم ْي َب َي‬
‫ـــان‬ ِ ‫َف ْام َن ْع ُه ِحيْنَ َي ْس َت ِوى ا ْل ُج ْز‬
ْ ¤ ‫ءآن‬
Maka cegahlah mendahulukan Khabar…!  ketika  kedua juz (khabar & mubtada’) serupa
ma’rifah-nya atau nakirah-nya, dalam situasi keduanya tidak ada kejelasan. (karena dalam hal
ini, pendengar atau pembaca tetap menganggap khabarlah yang dibelakang)
 Khabar dari kalimah Fi’il atau Khabar yg di-mahshur

ِ ‫اس ِت َع َمــا ُل ُه ُم ْن َح‬


‫ص َرا‬ ِ ‫ َأ ْو ُق‬¤ ‫َك َذا َإذا َما ا ْل ِف ْع ُل َكانَ ا ْل َخ َب َرا‬
ْ َ‫ــصد‬
Demikian juga dilarang khabar didahulukan, bilamana ia berupa kalimah Fi’il sebagai
khabarnya (karena akan merubah susunan kalimat menjadi jumlah Fi’liyah/fi’il dan fa’il).
Atau dilarang juga (menjadikan Khabar muqaddam) yaitu penggunaan khabar dengan
maksud dimahshur/dipatoki (dengan ‫ اِنَّ َما‬atau َّ‫)اِال‬.(karena fungsi me-mahshur-kan khabar
adalah untuk meng-akhirkannya).
 Khabar bagi Mubtada’ yg ber-Lam Ibtida’ atau Mubtada’ dari Isim Shadar
Kalam

َّ ‫ َأ ْو َال ِزم ا ْل‬¤ ‫َأ ْو َكانَ ُم ْس َن َد ًا ِل ِذي َال ِم ا ْب ِتدَا‬


‫صدْ ِر َك َم ْن ِلي ُم ْن ِجدَا‬
Atau dilarang juga (khabar didahukukan) yaitu menjadikan Khabar disandarkan pada
Mubtada’ yg mempunyai lam ibtida’ (karena kedudukan Lam Ibtida’ adalah sebagai Shadar
Kalam/permulaan kalimat). Atau disandarkan kepada mubtada’ yang semestinya berada di
awal kalimat seperti contoh: ‫ َمنْ لِي ُم ْن ِجدَا‬ “siapakah sang penolong untuk ku?” (mubtada’ dari
isim istifham).
KHABAR WAJIB DIDAHULUKAN DARI MUBTADA’NYA (KHABAR
MUQADDAM & MUBTADA’ MUAKHKHAR)

َ ‫ ُملتـــزَ ٌم ِفيـــــ ِه َت َقــــدُّ ُم‬¤ ‫َو َن ْح ُو ِع ْن ِدي ِد ْره ٌَم َو ِلي َو َط ْر‬


‫الخـــ َب ْر‬
Contoh seperti ‫ ِدي ِدرْ هَ ٌم‬W ‫ع ْن‬ “aku
ِ punya dirham” (yakni, khabarnya terdiri dari Zharaf dan
Mubtada’nya terdiri dari isim Nakirah) dan ْ‫لِي َوطَر‬   “aku ada keperluan” (yakni, khabarnya
terdiri dari Jar-majrur dan Mubtada’nya terdiri dari isim Nakirah) adalah diwajibkan pada
contoh ini mendahulukan Khabar.

ْ ‫َك َذا ِإ َذا عَادَ عَ َل ْي ِه ُم‬


‫ ِم َّمــا ِب ِه عَ ْن ُه ُم ِبينــ ًا ُي ْخــ َب ُر‬ ¤ ‫ض َم ُر‬
Seperti itu juga wajib mendahulukan khabar, bilamana ada Dhamir yang tertuju kepada
Khabar, tepatnya dhamir yang ada pada Mubtada’ yang  dikhabari oleh Khobanya, sebagai
penjelasan baginya (contoh: ‫احبُهَا‬
ِ ‫ص‬ ِ ‫ فِي ال َّد‬ “penghuni rumah ada di dalam rumah”)
َ ‫ار‬

‫ــيرا‬
َ ‫ص‬ ِ ‫ َكـَأيْــنَ َم ْـن عَـ ِل ْمــ َت ُه َن‬¤ ‫َك َذا ِإ َذا َي ْست َْو ِج ُب الت َّْصديرا‬
Demikian juga wajib khabar didahulukan dari mubtada’, bilamana khabar tsb sepantasnya
ْ ‫َأ ْيــنَ َم‬ “dimanakah ia
ِ َ‫ـن عَـلِ ْمــتَهُ ن‬
ditashdirkan/dijadikan pembuka kalimat. Seperti contoh: ‫صــي َرا‬
yang kamu yakini sebagai penolong?” (khabarnya terdiri dari Isim Istifham).

‫ َك َما َل َنـــا إ َّالا ِّت َبـــا ُع ْأح َمــدَا‬ ¤ ‫صو ِر َقد ِّْم أ َبدَا‬
ُ ‫َو َخ َب َر ا ْل َم ْح‬
Dahulukanlah…! Selamanya terhadap Khabar yang dimahshur (dengan ‫ انما‬atau ‫ ) اال‬contoh:
ُ ‫ َمالَنَا إالَّ اتِّبَا‬ “tidaklah kami mengikuti kecuali ikut kepada Ahmad”
‫ع أحْ َمدَا‬
PERIHAL KEBOLEHAN MEMBUANG KHABAR ATAU MUBTADA
 contoh boleh membuang Khabar

‫ َت ُق ْو ُل زَ ْي ٌد َب ْع َد َم ْن ِع ْن َد ُك َما‬ ¤ ‫َو َحذفُ َما ُي ْع َل ُم َجاِئ ٌز َك َما‬


Membuang suatu yang sudah dimaklumi adalah boleh,  sebagaimana kamu menjawab: ‫زَ ْي ٌد‬
“Zaid” setelah pertanyaan: ‫“ َم ْن ِع ْن َد ُك َما‬Siapakah yg bersama kalian?“
 contoh boleh membuang mubtada’

ْ ‫اس ُت ْغــ ِن َي عَـ ْن ُه ِإ ْذ عُـ ِر‬


‫ف‬ ْ ‫ َفــزَ ْي ٌد‬ ¤ ‫ف‬
ْ ‫ف زَ ْي ٌد ُق ْل َد ِن‬
َ ‫ب َك ْي‬
ِ ‫َو ِفي َج َوا‬
ْ Wِ‫َدن‬
juga didalam jawaban pertanyaan contoh: ‫ ٌد‬W‫فَ َز ْي‬WW‫“ َك ْي‬Bagaimana Zaid?”, jawab saja! ‫ف‬W
“Sakit“. maka dicukupkan tanpa perkataan zaid, karena sudah diketahui.
KHABAR YANG WAJIB DIBUANG

ِّ ‫ َح ْت ٌم َو ِفي َن‬ ¤ ‫َو َب ْع َد َل ْو َال َغا ِل َب ًا َح ْذفُ ا ْل َخ َب ْر‬


ْ ‫ص َي ِم ْي ٍن َذا‬
‫اس َت َق ْر‬
Lazimnya setelah lafazh LAULAA, membuang khabar adalah wajib (contohnya: ‫ك‬ َ ُ‫لوال زي ٌد ألتيت‬
“andaikata tidak ada Zaid, sungguh aku telah mendatangimu“). Juga didalam penggunaan
Mubtada’ nash sumpah, demikian ini (hukum wajib membuang khabar) tetap berlaku
(contohnya: ‫ك أل ْف َعلَ َّن‬
َ ‫“ لَ َع ْم ُر‬demi hidupmu… sungguh akan kukerjakan“).

ْ ‫ص َن‬
‫ــع‬ َ ‫ َك ِم ْث ِل ُك ُّل‬ ¤ ‫َو َبعْدَ َوا ٍو عَ َّي َن ْت َم ْف ُه ْو َم َم ْع‬
َ ‫صــا ِن ٍع َو َمــا‬
juga (tetap berlaku wajib membuang khabar) yaitu setelah Wawu yang menentukan mafhum
makna Ma’a “beserta“.  sebagaimana contoh: ‫صنَــ ْع‬ َ ُّ‫ل‬WW‫ ُك‬ “Setiap yang berbuat
َ ‫صــانِ ٍع َو َمــا‬
beserta perbuatannya”.

ْ ‫عَن ا َّل ِذي َخـ َب ُر ُه َقدْ ُأ‬


‫ض ِم َرا‬ ِ  ¤ ‫َو َق ْب َل َح ٍال َال َي ُك ْونُ َخ َب َرا‬
juga (tetap berlaku wajib membuang khabar) yaitu sebelum haal yang tidak bisa menjadi
khobar (tapi sebagai sadda masaddal-khobar/menempati kedudukan khobar) dari mubtada’
yang khobarnya benar-benar disamarkan

َّ ‫ َت ْب ِييني ا ْل َحــ‬ ¤ ‫ض ْر ِب َي ا ْل َع ْب َد ُم ِس ْيئ ًا َوَأت َّـم‬


‫ق َم ُن ْـو َط ًا ِبا ْل ِح َـك ْم‬ َ ‫َك‬
Seperti contoh : “Dhorbiyal ‘Abda Masii-an” = pukulanku pada hamba bilamana ia berbuat
tidak baik (yakni, mubtada’ dari isim masdar dan sesudahnya ada haal menempati kedudukan
khobar) dan contoh “Atammu Tabyiiniy al-haqqa manuuthon bil-hikam” = paling finalnya
penjelasanku bilamana sudah manut/sesuai dengan hukum.
KEBOLEHAN MENJADIKAN BANYAK KHOBAR DENGAN SATU MUBTADA‘

ُ ‫س َرا ٌة‬
‫ش َع َـرا‬ َ ‫اح ٍد َك ُه ْـم‬ ْ  ¤ ‫َوَأ ْخ َب ُروا ِبا ْث َن ْي ِن َأ ْو ِبَأ ْك َث َرا‬
ِ ‫عَن َو‬
Mereka (ulama nuhat/orang arab) menggunakan khabar dengan dua khobar atau lebih dari
satu mubtada’, contoh “Hum Saraatun Syu’aroo-un” =  mereka adalah orang-orang luhur para
penyair.

FAA’IL (subjek pekerja)


HUKUM I’ROB FA’IL ROFA’

‫وعَي َأتَى زَ ْي ٌد ُم ِن ْي َر ًا َو ْج ُه ُه ِن ْع َم ا ْل َفتَى‬


ّ ‫اع ُل ا َّل ِذي َك َم ْر ُف‬
ِ ‫ا ْل َف‬
Yang disebut Fa’il adalah seperti kedua lafazh yg dirofa’kan dalam contoh: “ATAA
ZAIDUN MUNIIRON WAJHUHU NI’MAL FATAA = zaid datang dengan berseri-seri
wajahnya seorang pemuda yg beruntung”
Yakni, (1).  Fa’il yg dirofa’kan oleh fi’il mutashorrif atau oleh fi’il jamid seperti contoh
“ATAA ZAIDUN dan NI’MAL FATAA”. (2).  Fa’il yg dirofa’kan oleh syibhul fi’li/serupa
pengamalan fi’il seperti contoh: MUNIIRON WAJHU HU.
HUKUM POSISI FA’IL ADA SETELAH FI’IL

‫اس َتت َْر‬ َ ‫اع ٌل َفِإ ْن َظ َه ْر َف ْه َو وَِإ َّال َف‬


ْ ‫ض ِم ْي ٌر‬ ِ ‫َو َبعْدَ ِف ْعل َف‬
Faa’il adanya setelah Fi’il, maka jika nampak itulah Fa’ilnya (berupa Isim Zhahir atau
Dhamir Bariz) dan jika tidak nampak maka Fa’ilnya berupa Dhamir yg tersimpan (dhamir
mustatir).
HUKUM FA’IL ZHOHIR BENTUK DUAL ATAU JAMAK FI’ILNYA TETAP BENTUK
MUFROD

‫َو َج ِّر ِد ا ْل ِف ْع َل ِإ َذا َما ُأ ْس ِندَا ِال ْث َن ْي ِن َأ ْو َج ْم ٍع َك َفازَ ا ْلشُّ َهدَا‬


Kosongkanlah Kalimah Fi’ilnya (kosong tanpa tanda dhamir) apabila ia
dimusnadkan/disandarka pada Fa’il Zhohir Mutsanna ataupun Jamak, contohnya seperti:
“Faaza as-Syuhada = Jayalah para Syuhada”
FAA’IL DARI FI’IL YG DIBUANG

‫س ِعدُوا َوا ْل ِف ْع ُل ِل ْل َّظا ِه ِر َب ْع ُد ُم ْس َن ُد‬ َ ‫َو َقدْ ُي َقا ُل‬


َ ‫س ِعدَا َو‬
Dan terkadang diucapkan “SA’IDAA” juga “SA’IDUU” (menetapkan alif atau wawu sebagai
huruf tanda tatsniyah atau jamak, bukan sebagai fa’il isim dhamir) beserta Fi’ilnya tetap
menjadi Musnad bagi fa’il Isim Zhahir setelahnya. (contoh: “SA’IDAA AT-THALIBAANI =
dua siswa berbahagia” atau SA’IDUU AT-THULLAABU = para siswa berbahagia).
demikian menurut sebagian lahjah orang Arab alif atau wawu difungsikan sebagai huruf
tanda tatsniyah dan jamak seperti huruf TA’ tanda mu’annats. sebagaimana mereka
mengatakan AKALUUNII AL-BARAAGHITSU “kutu-kutu itu memakanku”. Dan lain lagi
menurut mayoritas, kalam seperti itu tetap menfungsikan alif dan wawu isim dhamir sebagai
Fa’ilnya, sedangkan isim zhahir setelahnya sebagai badal bagi isim dhamir atau pula sebagai
mubtada’ yg diakhirkan.
Contoh firman Allah:
‫ظلَ ُموا‬ َ َ‫َوَأ َسرُّ وا النَّجْ َوى الَّ ِذين‬
Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka (al-Anbiyaa’ : 3)
َ ‫ثُ َّم َع ُموا َو‬
‫ص ُّموا َكثِي ٌر ِم ْنهُ ْم‬
kemudian kebanyakan dari mereka buta dan tuli (lagi). (al-Maa-dah : 71)

ِ ‫أض ِم َرا َك ِم ْث ِل زَ ْي ٌد ِفي َج َوا‬


‫ب َم ْن َق َرا‬ ِ ‫َو َي ْر َف ُع ا ْل َف‬
ْ ‫اع َل ِف ْع ٌل‬
Kalimah Fi’il yg tersimpan merofa’kan Faa’il, adalah semisal contoh : “ZAIDUN”
(takdirannya QORO-A ZAIDUN = Zaid membaca) pada jawaban pertanyaan: MAN QORO-
A? = siapa yg membaca?
Faa’il ada yg dirofa’kan oleh Fi’il yg disimpan. Baik penyimpanan fi’il itu bersifat jawazan,
semisal menjadi jawab Istifham sebagaimana contoh yg diangkat oleh Mushannif dalam bait
diatas, atau menjadi jawab Nafi seperti contoh “MAA QORO-A HU AHADUN” (seorangpun
tidak membacanya) maka dijawab “BALAA ZAIDUN ” (takdirannya BALAA QORO’A HU
ZAIDUN = ya… zaid telah membacanya).
Contoh Firman Allah Swt:
ُ ‫َولَِئ ْن َسَأ ْلتَهُ ْم َم ْن خَ لَقَهُ ْم لَيَقُولُ َّن هَّللا‬
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka,
niscaya mereka menjawab: “Allah”, (az-Zukhruf : 87)
Atau penyimpanan fi’il itu bersifat wujuban, semisal faa’ilnya jatuh sesudah IN syarthiyyah
atau IDZA syarthiyyah. Contoh “IN DHO’IIFUN ISTANSHURUKA FANSHURHU!” (jika
seorang yg lemah yakni minta tolong kepadamu maka tolonglah!) lafazh DHO’IIFUN
manjadi faa’il dari fi’il yg wajib dibuang, takdirannya ISTANSHURUKA DHO’IIFUN.
Contoh Firman Allah:
َ‫ِإ ِن ا ْم ُرٌؤ هَلَك‬
jika seorang meninggal dunia …. (An-Nisaa’ 176)
‫ت‬ْ َّ‫ِإ َذا ال َّس َما ُء ا ْن َشق‬
Apabila langit terbelah (Al-Insyiqaaq :1)
PERIHAL TA TANITS SAKINAH/TA SUKUN TANDA MUANNATS PADA KALIMA FI’IL

‫ان أل ْن َثى َكَأ َب ْت ِه ْن ُد اَأل َذى‬


َ ‫اضي ِإ َذا َك‬ ٍ ‫َوت َُاء َتْأ ِن ْي‬
ِ ‫ث َت ِلي ا ْل َم‬
Huruf Ta’ tanda Muannats mengiringi Fi’il Madhi bilamana dimusnadkan kepada Muannats.
Seperti contoh: ABAT HINDUN AL-ADZAA = Hindun menghindari hal yg merugikan.
Apabila Fi’il Madhi dimusnadkan kepada Muannats, maka diberi Ta’ sukun tanda muannats
sebagai penujukan bahwa Faa’ilnya Muannats. Baik Muannats Hakiki sebagaimana contoh
dalam bait diatas oleh mushannif. Ataupun Muannats Majazi, contoh: THOLA’AT ASY-
SYAMSU = Matahari telah terbit.

َ ‫ض َم ِر ُمت َِّص ٍل َأ ْو ُم ْف ِه ٍم َذ‬


‫ات ِح ِر‬ ْ ‫وَِإ َّن َما َت ْلزَ ُم ِف ْع َل ُم‬
Sesungguhnya Ta’ Ta’nits tsb hanya diwajibkan pada kalimah Fi’il yg punya Faa’il Dhamir
Muttashil, atau Faa’il Zhahir Muttashil yg memberi pemahaman memiliki farji (Muannats
Haqiqi)
Perihal tanda muannats/TA ta’nits pada kalimah Fi’il tsb sebagaimana Bait diatas adalah
Lazim/wajib.
Contoh TA tanits lazim/wajib:
1. Faa’ilnya berupa DHAMIR muttashil / mustatir yg kembali pada muannats baik haqiqi
ataupun majazi.
Contoh faa’il dhamir kembali pada muannats Haqiqi :
HINDUN QOOMAT = Hindun berdiri, HINDAANI QOOMATAA = dua Hindun berdiri.
Contoh firman Allah:
‫ت‬ ْ َ‫ض َع ْتهَا قَال‬
َ ‫فَلَ َّما َو‬
Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: (Ali Imran : 36)
Contoh faa’il dhamir kembali pada muannats Majazi:
AS-SYAMSU THOLA’AT = matahari terbit. AL-‘AINAANI NAZHOROTAA = dua mata
melihat.
Contoh firman Allah:
ْ ‫َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة َأ ْنبَت‬
‫َت َس ْب َع َسنَابِ َل‬
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir (Al Baqarah 261)
2. Faa’ilnya berupa Isim Zhahir Muannats Haqiqi yg muttashil/b ersambung langsung.
Contoh:
QOOMAT HINDUN = Hindun berdiri, QOOMAT AL-HIDAANI = dua Hindun berdiri,
QOOMAT AL-HINDAATUN = banyak Hindung berdiri.
Contoh Firman Allah:
َ‫ت فِرْ عَوْ ن‬ُ ‫ت ا ْم َرَأ‬ِ َ‫َوقَال‬
Dan berkatalah isteri Fir’aun:… (alQashash : 9)
Selain dua parameter diatas maka ta ta’nits dihukumi Jawaz, contoh :
1. Faa’ilnya berupa DHAMIR munfashil
MAA QOOMA ILLA HIYA =Tidak berdiri kecuali dia (lebih baik tanpa ta’ ta’nits)
2. Faa’ilnya berupa Isim Zhahir Muannats Majazi, contoh:
THOLA’AT AS-SYAMSU = Matahari telah terbit. (boleh memakai ta’ ta’nits atau tidak).
Contoh Firman Allah :
Dengan memakai ta’ ta’nits:
‫ارتُهُ ْم‬
َ ‫ت تِ َج‬ْ ‫فَ َما َربِ َح‬
maka tidaklah beruntung perniagaan mereka (AlBaqarah:16)
Tanpa Ta’ ta’nits:
‫َو ُج ِم َع ال َّش ْمسُ َو ْالقَ َم ُر‬
dan matahari dan bulan dikumpulkan (al-Qiyaamah:9)

ِ ‫ص ُل تَرْكَ ا ْلت َِّاء ِفي َن ْح ِو َأتَى ا ْل َق‬


ِ ‫اض َي ِب ْنتُ ا ْل َوا ِق‬
‫ف‬ ْ ‫َو َقدْح ُي ِب ْي ُح ا ْل َف‬
Terkadang Fashl itu (pemisah antara fi’il dan Faa’il yg muannats haqiqi) membolehkan
meninggalkan TA tanda muannats (tanpa TA pada fi’ilnya) dalam contoh: “ATAA AL-
QAADHIYA BINTUL-WAAQIFI” = “putri seorang yg menetap itu mendatangi
qodhi/hakim” (yakni, lebih baik pakai TA manjadi “ATAT AL-QAADHIYA BINTUL-
WAAQIFI”)
KET: Apabila antara kalimah Fi’il dan Faa’ilnya yg muannats haqiqi tersebut terdapat
Fashl/pemisah yg selain lafazh ILLA. Maka kalimah Fi’ilnya boleh tanpa memakai TA tanda
muannats namun yg lebih baik dengan tetap memakai TA tanda muannats. Contoh
sebagaimana bait diatas: boleh “ATAA” yang terbaik: “ATAT”.

ْ ‫َوا ْل َح ْذفُ َم ْع َف‬


ِّ ‫ص ٍل ِبِإ َّال ُف‬
‫ض َال َك َما زَ َكا ِإ َّال َفتَا ُة ا ْب ِن ا ْل َع َال‬
Membuang TA tanda muannats bersamaan adanya Fashl dengan ILLA, adalah diutamakan.
Seperti contoh: MAA ZAKAA ILLA FATAATU IBNIL-ALAA” = “tidak seorang yg baik
kecuali gadis putri Ibnul-Alaa.
KET: Apabila antara kalimah Fi’il dan Faa’il muanntas tsb terdapat Fashl/pemisah yg berupa
ILLA, maka menurut Jumhur Nuhat tidak boleh menetapkan TA tanda muannats. Contoh
MAA QAAMA ILLA HINDUN dan MAA THALA’A ILLA AS-SYAMSU, maka tidak
boleh mengatakan MAA QAAMAT ILLA HINDUN atau MAA THALA’AT ILLA AS-
SYAMSU. Kecuali dalam hal ini ada syair arab yg menetapkan TA muannats tapi sangat
jarang sekali adanya

‫ض ِم ْي ِر ِذي ا ْل َم َجا ِز ِفي ِش ْع ٍر َو َق ْع‬ ْ ‫َوا ْل َح ْذفُ َقدْ َيْأ ِتي ِب َال َف‬
َ ‫ص ٍل َو َم ْع‬
Pembuangan TA’ tanits (pada kalimah fi’il yg mempunyai Faa’il Muannats Haqiqi) kadang
terjadi dengan tanpa adanya Fashl (lafazh pemisah antara fi’il dan faa’ilnya). Dan
pembuangan ini juga pernah terjadi pada sebuah syair, beserta Faa’ilnya berupa Dhamir
muannats Majazy.
KET:
Pernah terjadi pada Kalam Arab membuang TA ta’nits tanda muannats pada Kalimah Fi’il yg
bersambung langsung tanpa Fashl pada faa’il isim zhahir muannats hakiki. Demikian adalah
Syadz dan jarang adanya. Contoh hikayah orang arab yg mengatakan: “QOOLA
FULAANATUN” = Si Fulan (Pr) berkata”.
Juga pernah terjadi hanya khusus pada sebuah syair, membuang TA ta’nits tanda muannats
pada Kalimah Fi’il yg mempunyai faa’il dhamir muannats Majazy. Contoh ” WA LAA
ARDHA ABQOLA” = “tidak ada bumi yg menumbuhkan tunas” pada sebuah Syair Jahiliyah
oleh Amir Bin Juwain At-tho-iy yg menggambarkan keadaan suatu daerah yg sangat subur
gemah ripah loh jinawi:
َ ْ‫ وال َأر‬# ‫ت َو ْدقَها‬
‫ض أبقَ َل إبْقالَها‬ ْ َ‫فال ُم ْزنَةٌ َو َدق‬
“tidak ada awan yg mencurahkan curahan hujannya dan tidak ada bumi pun yg
menumbuhkan tumbuhan tunasnya (seperti daerah ini).

‫سا ِل ِم ِم ْن ُم َذ َّك ٍر َكا ْلت َِّاء َم ْع ِإ ْحدَى ال َّل ِب ْن‬


َّ ‫َوالت َُّاء َم ْع َج ْم ٍع ِس َوى ا ْل‬
Hukum Ta ta’nits (pada kalimah Fi’il) yg menyertai Jamak selain Jamak Mudzakkar Salim
adalah seperti hukum Ta ta’nits (pada kalimah Fi’il) yg menyertai mufradnya lafazh
“LABINUN” (yaitu lafazh “LABINATUN”=batu bata. Yakni Muannats Majazy)
KET:
Hukum TA ta’nits pada kalimah Fi’il yg mempunyai Faa’il Isim Zhahir Jamak selain Jamak
Mudzakkar Salim adalah Jawaz (Boleh membuang ta’ ta’nist atau tidak), seperti hukum TA
ta’nits pada kalimah Fi’il yg mempunyai Faa’il isim Zhahir Mu’annats Majazi.
Contoh:
1- Faa’ilnya berupa Jamak Muannats Salim: “JAA-AT MUA’ALIMAATUN” atau “JAA-A
MU’ALLIMAATUN” =para pengajar (pr) telah datang.
2- Faa’ilnya berupa Jamak Taksir: “JAA-A RIJAALUN” atau “JAA-AT RIJAALUN”
Contoh dalam AL-Qur’an
memakai Ta’ Ta’nits:
ِّ ‫ت ُر ُس ُل َربِّنَا بِ ْال َح‬
‫ق‬ ْ ‫لَقَ ْد َجا َء‬
Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran (Al-A’rof : 43)
Tanpa Ta’ Ta’nits:
‫قُلْ قَ ْد َجا َء ُك ْم ُر ُس ٌل ِم ْن قَ ْبلِي‬
.” Katakanlah: “Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang rasul sebelumku
(Ali Imran : 183)
3. Termasuk juga Faa’ilnya berupa Ismu Jam’in (Isim Jama’): “JAA-A QOUMUN” atau
“JAA-AT QOUMUN” = Kaum telah datang.
Contoh dalam Al-Qur’an
Memakai ta’ ta’nits:
ٌ‫ت طَاِئفَة‬
ْ ‫يل َو َكفَ َر‬ َ ‫َت طَاِئفَةٌ ِم ْن بَنِي ِإس َْراِئ‬
ْ ‫فَآ َمن‬
lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir (ash-Shof:14)
Tanpa Ta’ Ta’nits:
‫طاِئفَةٌ ِم ْنهُ ْم َغي َْر الَّ ِذي تَقُو ُل‬
َ َ‫بَيَّت‬
segolongan dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang
telah mereka katakan tadi (An-Nisaa’ : 81)

ِ ‫س ُنوا َألنَّ َقصْدَ ا ْل ِج ْن‬


ُ‫س ِف ْي ِه َبيِّن‬ َ ‫َوا ْل َح ْذ‬
ْ ‫ف ِفي ِن ْع َم ا ْل َفتَا ُة‬
َ ‫است َْح‬
Ulama Nuhat memandang baik terhadap pembuangan Ta’ ta’nits dalam contoh: “NI’MAL-
FATAATU” karena bertujuan jenis nampak jelas didalamnya.
KET:
Demikian juga dihukumi Jawaz penggunaan TA ta’nits pada kalimah fi’il golongan NI’MA
cs (Af’aalul-Mad-hi aw Af’aaludz-zdimmi) yang Faa’ilnya berupa isim Zhahir Mu’annats
baik majazi atau haqiqi. Alasan hukum Jawaz karena Faa’ilnya dimaksudkan sebagai Jenis.
diserupakan fi’il yg musnad pada Faa’il Jamak dalam hal subjeknya berbilangan. Contoh:
NI’MA AL-FATAATU = sebaik-baiknya pemudi (AL dalam lafazh AL-FATAATU sebagai
AL jinsiyyah).
Boleh membuang ta’ ta’nits karena dipandang baik, namun menetapkan ta’ ta’nits adalah
pilihan yg terbaik.
POSISI FA’IL

ِ ‫ول َأ ْن َي ْن‬
‫فصاَل‬ ْ ‫اع ِل َأ ْن َيت َِّص َال َواَأل‬
ِ ‫ص ُل ِفي ا ْل َم ْف ُع‬ ْ ‫َواَأل‬
ِ ‫ص ُل ِفي ا ْل َف‬
Asal penyebutan Faa’il harus Ittishal/bersambung (antara Fi’il dan Faa’ilnya tanpa ada
pemisah). Dan asal penyebutan Maf’ul harus Infishal/berpisah (antara Fi’il dan Maf’ulnya
dgn dipisah oleh Faa’ilnya).

ْ ‫الف اَأل‬
‫صل َو َقدْ َي ِجي ا ْل َم ْف ُع ْو ُل َق ْب َل ا ْل ِف ْع ِل‬ ُ ‫َو َقدْ ُي َج‬
ِ ‫اء ِب ِخ‬
Terkadang juga didatangkannya dengan Hukum yg menyalaihi Asal, dan terkadang juga
Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya.
KETERANGAN:
hukum asal Faa’il ada setelah Fi’ilnya. Dan hukum asal Maf’ul berpisah dengan Fi’ilnya
yakni berada setelah Faa’il. (FI’IL > FAA’IL > MAF’UL) contoh:
‫ث ُسلَ ْي َمانُ دَا ُوو َد‬
َ ‫َو َو ِر‬
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud (An-Naml : 16)
Terkadang membedakan dengan hukum asal, yakni Maf’ul disebut sebelum Faa’ilnya.
Contoh:
ُ ْ‫وب ْال َمو‬
‫ت‬ َ ‫ِإ ْذ َح‬
َ ُ‫ض َر يَ ْعق‬
ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut (Al-Baqarah : 133)
Atau Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya. Contoh:
َ‫فَفَ ِريقًا َك َّذ ْبتُ ْم َوفَ ِريقًا تَ ْقتُلُون‬
maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu
bunuh? (Al-Baqarah : 87)

ِ ‫اع ُل َغ ْي َر ُم ْن َح‬
‫ص ْر‬ ْ ‫س ُح ِذ ْر َأ ْو ُأ‬
ِ ‫ض ِم َر ا ْل َف‬ ٌ ‫َوَأ ِّخر ا ْل َم ْف ُعو َل ِإ ْن َل ْب‬
Akhirkanlah Maf’ulnya! (wajib berada setelah Faa’il) jika ada kesamaran yg harus
dihindarkan (demi menjaga ketidakjelasan antara faa’il dan mafulnya) atau Faa’ilnya berupa
Dhamir selain yg dimahshur (yg diperkecualikan).
KETERANGAN :
Faa’il wajib dikedepankan dan Maf’ul di belakangnya, demikian apabila ditakutkan ada
ketidakjelasan antara Faa’il dan Maf’ul, misalkan apabila i’rob antara keduanya samar.
Contoh “DHARABA MUSA ‘ISA”. Atau faa’ilnya berupa dhamir selain yg dimahshur
contoh: “DHARABTU ZAIDAN” apabila faa’ilnya berupa dhamir yg dimahshur maka wajib
diakhirkan, contoh: “MAA DHARABA ZAIDAN ILLA ANA”

‫ص ٌد َظ َه ْر‬ ُ ‫ص ْر َأ ِّخ ْر َو َقدْ َي ْس ِب‬


ْ ‫ق ِإ ْن َق‬ َ ‫َو َما ِبِإ َّالَأ ْو ِبِإ َّن َما ا ْن َح‬
Terhadap suatu (Faa’il atau Maf’ul) yang dimahshur dengan ILLAA atau dengan
INNAMAA, akhirkanlah! (diakhirkan dari suatu yg tidak dimahshur). # Terkadang suatu
(Faa’il atau Maf’ul) yg dimahshur mendahului yg tidak dimahshur, jika maksudnya sudah
jelas.
KETERANGAN:
Salah satu dari Fa’il atau Maf’ul yang dimahshur harus diakhirkan dari bagian yg tidak
dimahshur, baik alat mahshurnya menggunakan INNAMA ataupun menggunakan ILLA.
Contoh mengakhirkan Fa’il yg dimahshur dan mengedepankan Maf’ulnya:
“MAA DHARABA AMRAN ILLA ZAIDUN” = tiada yg memukul Amr kecuali hanya Zaid
“INNAMA DHARABA AMRAN ZAIDUN” = hanya Zaid saja yg memukul Amr
Contoh dlm Al-Qur’an:
‫ِإنَّ َما يَ ْخ َشى هَّللا َ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ْال ُعلَ َما ُء‬
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama
(Faatihir :28)
Contoh mengakhirkan Maf’ul yg dimahshur dan mengedepankan Faa’ilnya:
“MAA DHARABA ZAIDUN ILLA AMRAN” = Zaid tidak memukul kecuali hanya kepada
Amr
“INNAMA DHARABA ZAIDUN AMRAN” = Zaid memukul hanya kepada Amr saja
Terkadang lafazh yg dimahshur -baik sebagai faa’il atau Maf’uul- dikedepankan dari lafazh
yg tidak dimahshur apabila sudah jelas dan nyata mana lafazh yg dimahshur dan mana yang
tidak. Demikian apabila alat mahshurnya berupa ILLA karena lafazh yg jatuh sesudah ILLA
tentunya yg dimahshur. Apabila alat mahshurnya menggunakan INNAMA, maka tidak boleh
mengedepankan lafazh yg dimahshur sebab tidak ada kejelasan.
Contoh boleh mengedepankan Maf’ul yg dimahshur dengan ILLA :
“MAA DHARABA ILLA AMRAN ZAIDUN” = Zaid tidak memukul kecuali hanya kepada
Amr

َ ‫اف َر َّب ُه ع َُم ْر َوش ََّذ َن ْح َو‬


‫زَان َن ْو ُر ُه ا ْلش ََّج ْر‬ َ ‫َوشَا َع َن ْح ُو َخ‬
Terkenal penggunaan kalimat seperti: “KHOOFA ROBBAHU ‘UMARU=Umar takut pada
Tuhannya” (yakni, mengedepankan Maf’ul yg memuat Dhamir merujuk pada Fa’il di
belakangnya). Dan Syadz penggunaan kalimat seperti: “ZAANA NAURUHU ASY-
SYAJARO=bunga-bungaan pada pepohonan menghiasi pepohonan” (yakni, mengedepankan
Fa’il yg memuat Dhamir merujuk pada Maf’ul di belakangnya).
KETERANGAN:
Apabila pada Maf’ul terdapat dhamir yg merujuk pada Fa’il, maka boleh maf’ul tsb
dikedepankan dari Fa’ilnya. Sebab dhamir tsb hanya merujuk ke belakang secara
lafzhan/lafazhnya bukan secara rutbatan/tingkatannya, karena status tingkatan/pangkat maf’ul
ada dibelakang/dibawah fa’il seperti yg telah dijelaskan pada bait lalu bahwa hukum asal fa’il
di depan dan maf’ul dibelakang.
Sebaliknya dilarang mengedepankan Fa’il yg memuat dhamir merujuk pada Maf’ul yg
dibelakang. sebab dhamir akan merujuk kebelakang secara Lafzhan wa Rutbatan.

AMAL MASDAR
ALFIYAH IBNU MALIK BAB I'MAALUL-MASHDAR
 
 
ِ ‫إ ْع َما ُل ْال َمصْ د‬
‫َر‬
Pengamalan Mashdar
 
َ ‫ ُم‬... ْ‫بِفِ ْعلِ ِه ْال َمصْ د ََر ْأل ِح ْق فِي ْال َع َمل‬
‫ضافا ً أوْ ُم َجرَّداً أوْ َم َع ا َل‬
Ikutkanlah Mashdar kepada Fi'ilnya di dalam pengamalan. Baik Mashdar tersebut Mudhaf
atau Mujarrad (tidak mudhof dan tanpa AL), atau bersamaan dengan AL. 
 
ٍ ‫ َم َحلَّهُ وَاِل س ِْم َمصْ د‬...ّ‫أن أوْ َما ي ِحل‬
ْ‫َر َع َمل‬ ْ ‫إن َكانَ ف ْع ٌل َم َع‬ ْ
Demikian apabila Fi'il bersamaan dengan IN atau MAA dapat menempati tempat Masdar yg
mengamalinya. Pengamalan ini juga berlaku untuk Isim Mashdar 
 
Di dalam Bahasa Arab, Isim banyak yang beramal seperti pengamalan Fi'il dengan beberapa
persyaratan. Di dalam Kitab Alfiyah ini Mushonnif Ibnu Malik telah menyebutnya
diantaranya: 
1. Mashdar 
2. Isim Mashdar 
3. Isim Fa'il 
4. Shighat Mubalaghah 
5. Isim Maf'ul 
6. Shifat Musyabbahah 
7. Isim Tafdhil.
 
Dalam Bab ini khusus mengenai pengamalan Mashdar dan Isim Mashdar. Pembahasan ini
oleh Ibnu Malik didahulukan dari pembahasan Bentuk-bentuk Mashdar itu sendiri (Bab
Abniyatul Mashaadir), karena pengamalan Mashdar masuk kategori Ilmu Nahwu yang sangat
erat kaitannya dengan Bab-bab terdahulu. Sedangkan pembahasan mengenai Bentuk-bentuk
Masdar masuk dalam Ilmu Shorof demikian dibelangkan.
 
Definisi Mashdar adalah: Isim yang menunjukkan kejadian (huduts) yang sepi dari zaman
dan mencukupi atas huruf-huruf Fi'ilnya atau melebihinya.
 
Contoh dinamakan Mashdar :
 
‫بذ ُل المال في الخير نفع لصاحبه‬
BADZLUL-MAALI FIL-KHOIRI NAF'UN LI SHOOHIBIHII = mendermakan harta di
dalam kebaikan bermanfaat bagi si empunya.
 
Lafazh BADZLU adalah mashdar dari : BADZALA-YABDZALU-BADZLAN.
Badzlan adalah Mashdar bermakna menunjukkan atas kejadian pendermaan tanpa penyertaan
zaman. Dan juga mencukupi semua huruf-huruf Fi'ilnya yaitu huruf BA', DZAL dan LAM.
 
Contoh lagi dinamakan Mashdar:
 
‫إكرام الضيف من آداب اإلسالم‬
IKROOMUDH-DHOIFI MIN AADAABIL-ISLAAMI = menghormati tamu termasuk dari
adab-adab dalam Islam.
 
Huruf pada lafazh IKROOMUN mencukupi atas huruf-huruf Fi'ilnya (AKROMA) berikut
melebihinya yaitu ada tambahan Alif sebelum huruf terakhir.
 
Adapun yang disebut Isim Mashdar berbeda dengan Mashdar. Sekalipun keduanya sama
mencocoki dalam hal menunukkan huduts/kejadian. 
Bedanya Mashdar tidak akan berkurang hurufnya dari bentuk huruf Fi'ilnya. Sedangkan
disebut Isim Mashdar huruf-hurufnya berkurang dari bentuk huruf Fi'ilnya secara lafazhan
atau Takdiran dan tanpa ada pergantian huruf.
 
Contoh dinamakan Isim Masdar
 
 ‫عطاء‬
'ATHOO'UN = Pemberian
 
Contoh dinamakan Masdar
 
 ‫إعطاء‬
I'THOO'AN = Pemberian
 
Persamaannya Lafazh 'ATHOO'UN dan I'THOO'AN yaitu sama dalam hal penunjukan
kejadian. Perbedaannya adalah lafazh 'ATHOO'AN tidak terdapat huruf Hamzah yang
terdapat pada bentuk Fi'ilnya yang berupa lafazh :
 
 ‫أعطى‬
A'THOO = Memberikan
Tidak terdapatnya huruf Fi'ilnya tersebut baik secara Lafzhan atau secara Takdiran, demikan
ini syarat disebut Isim Mashdar.
 
Beda jika tidak terdapat huruf Fi'ilnya secara Lafzhan, tapi ada secara Taqdiran, demikian
tetap dinamakan Mashdar. contoh:
 
‫قتال‬
QITAALUN = peperangan
 
Mashdar dari Fi'il 
‫قاتل‬
QOOTALA.= berperang
 
Lafazh QITAALUN tidak ada huruf Alif sebelum huruf TA' sebagaimana pada bentuk
Fi'ilnya. Dalam contoh tidak terdapat huruf Fi'ilnya secara Lafzhan tapi ada secara Takdiran.
Sebab dalam beberapa tempat ia diucapkan dengan lafazh:
 
‫قيتال‬
QIITAALAN = Peperangan
Alif diganti dengan Ya' untuk menyesuaikan harkat kasroh huruf sebelumnya. Adapun dibaca
QITAALAN dengan membuang Ya' untuk litakhfif/memudahkan dan
likatsrotil-isti'mal/banyak dipakai.
 
Beda juga jika ada pengganti dari huruf yg tidak ada, demikian tetap dinamakan Mashdar.
contoh:
 
‫عدة‬
'IDATAN = Janji
Mashdar dari Fi'il WA'ADA. Tidak ada huruf wawu seperti yang terdapat pada Fi'ilnya baik
secara Lafzhan dan Taqdiran. Tapi ada penggantinya yaitu huruf TA'.
 
Mashdar beramal seperti pada pengamalan Fi'il Merofa'kan Faa'il dan menashobkan Maf'ul.
 
Mashdar yang beramal seperti Amal Fi'il ada dua macam:
 
1. Sebagaimana telah disebutkan pada Bab Maf'ul Muthlaq yaitu:
Mashdar yang menggantikan Fi'il atau Mashdar yang bermakna seperti Fi'il. Yakni,
membuang Fiil dan menggantikannya dengan Mashdar sebagai pengganti tugas pemaknaan
Fi'il baik Fi'il itu lazim atau Fi'il muta'addi. contoh:
 
‫إكراما ً المسكين‬
IKROOMAN AL-MISKIINA = hormatilah orang miskin.
Lafazh IKROOMAN adalah mashdar menggantikan tugas lafazh AKRIM! Fiil Amar.
terdapat dhamir mustatir wujuuban takdirannya ANTA sebagai Faa'ilnya. Lafazh AL-
MISKIINA adalah Maf'ul Bihnya dinashobkan oleh Mashdar. 
 
2. Inilah yang dibahas dalam Bab I'maalul-Mashdar yaitu:
Apabilah layak Mashdar tersebut ditempati AN + Fi'il, atau MAA + Fi'il.
Contoh:
 
‫يسرني أداؤك الواجب‬
YASURRUNIY ADAA'UKAL-WAAJIBA = Pelaksanaanmu akan kewajiban
menggembirakanku.
lafazh ADAA'U = Adalah Mashdar yang mengamalkan amalan Fi'ilnya. Dimudhafkan
kepada Fa'ilnya yang berupa dhamir KAF dan menashobkan kepada Maf'ul Bih yaitu lafazh
AL-WAAJIBA. Dan dimungkinkan posisinya ditempati oleh AN+FI'IL atau MAA+FI'IL 
 
Menempatkan AN+FIIL pada posisi Masdar, jiika yang dimaksud pada waktu lampau atau
pada waktu akan datang. Contoh seperti mengatakan:
 
‫يسرني أن تؤدي الواجب‬
YASURRUNIY AN TU'ADDIYAL-WAAJIBA.
 
Menempatkan MAA+FIIL pada posisi Mashdar, jiika yang dimaksud pada waktu sekarang.
Contoh seperti mengatakan:
 
‫يسرني ما تؤدي الواجب‬
YASURRUNIY MAA TU'ADDIY AL-WAAJIBA.
 
Mashdar yang beramal seperti yg dibahas dalam Bab ini terdapat tiga penampakan:
 
1. Mashdar Mudhaf
 
Ini bagian Mashdar yang paling banyak digunakan dalam pengamalannya daripada dua
pembagian Mashdar yang lain. Contoh telah disebut diatas.
 
2. Mashdar bertanwin
 
Pengamalannya lebih mendekati pada Qiyas daripada Mashdar Mudhaf. sebab diserupakan
dengan kalimah Fi'il dalam hal kenakirahannya. Penggunaannya dalam pengamalannya lebih
sedikit dibawah pengamalan Mashdar Mudhaf. contoh:
 
W‫واجب علينا تشجي ٌع ك ّل مجتهد‬
WAAJIBUN 'ALAINAA TASYJII'UN KULLA MUJTAHID = wajib atas kami
memotivasikan keberanian kepada tiap-tiap Mujtahid.
 
Contoh Ayat Al-Qur'an:
 
ْ ‫َأوْ ِإ‬
 ‫ط َعا ٌم فِي يَوْ ٍم ِذي َم ْس َغبَ ٍة يَتِي ًما‬
AW ITH'AAMUN FIY YAUMIN DZII MASGHOBATIN YATIIMAN = atau memberi
makan pada hari kelaparan kepada anak Yatim (QS. Al-Balad : 14-15)
Lafazh ITH'AAMUN adalah Mashdar Tanwin yang menashobkan Maf'ul Bih lafazh
(YATIIMAN).
 
3. Mashdar dengan AL
 
Pengamalannya Syadz, dikarenakan jauh dari persamaan Fi'il sebab bersambung dengan AL.
Paling sedikit ditemukan daripada dua pembagian Masdar di atas, baik secara penggunaannya
atau secara balaghoh. Contoh:
 
‫المج ُّد سري ُع اإلنجاز أعمالَه‬
AL-MAJIDDU SARII'UL-INJAAZI A'MAALAHU = seorang yang giat sangat cepat dalam
penyelesaian pekerjaan-pekerjaannya.
Lafazh A'MAALAHU sebagai Maf'ul Bih dari Mashdar AL-INJAAZI.

AMAL ISIM FAIL


Bab ini menerangkan bagian kedua dari bagian Isim-isim yang beramal seperti pengamalan
Fi’ilnya yaitu: ISIM FA’IL termasuk didalamnya SHIGHAT MUBALAGHAH.
Pengertian Isim Fa’il:
Adalah Isim musytaq untuk menunjukkan kejadian baru dan sebagai si pelaku.
Penjelasan definisi:
Isim Musytaq : yakni hasil bentukan secara tashrif dari bentuk asal Mashdar tiga huruf
menjadi bentuk Isim Fa’il, contoh:

‫نادم‬
NAADIMUN = yang menyesal
Atau dari bentuk asal Mashdar lebih dari tiga huruf menjadi bentuk Isim Fa’il, contoh:

‫مكرم‬
MUKRIMUN = yang menghormati
Menunjukkan kejadian : yakni hanya menunjukkan kejadian tanpa penunjukan zaman
semisal berdiri dan duduk.
Kejadian baru : yakni kejadian yang bersifat aridhi, sekali-kali berubah dan hilang. Demikian
ini membedakan dengan Shifat Musyabahah atau Isim Tafdhil, karena keduanya
menunjukkan kejadian yang bersifat tetap bukan sekali-kali atau bukan yang bersifat baru.
Sebagai Pelaku : yakni subjek yang mengerjakan pekerjaan yang mana pekerjaan timbul
darinya, contoh DHOORIBUN = yang memukul. Demikian ini berbeda dengan definisi Isim
Maf’ul yakni Isim Musytaq untuk menunjukkan sebagai objek pekerjaan atau sesuatu yang
dikenai pekerjaan.
Penampakan Isim Fa’il ada dua :
1. Isim Fa’il yang bersambung dengan AL: Hukumnya akan diterangkan pada Bait
selanjutnya.
2. Isim Fa’il yang tidak bersambung dengan AL, maka:
A. Beramal merofa’kan Fa’il secara mutlak tanpa syarat.
Contoh:
‫هللاعالم ببواطن األمور‬
ALLAHU ‘AALIMUN BI BAWAATHINIL-UMUURI = Allah Maha mengetahui terhadap
perkara yang tersembunyi.
lafazh AALIMUN = Isim Fa’il didalamnya terdapat Fa’il Dhamir Mustatir dirofa’kan sebagai
Fa’ilnya.
Contoh ayat dalam Al-Qur’an:

‫ف َأ ْل َوا ُن ُه‬
ٌ ‫اب َوا َْأْلن َع ِام ُم ْخ َت ِل‬ ِ ‫َو ِم َن ال َّنا‬
ِّ ‫س َوالد ََّو‬
WA MINANNAASI WAD-DAWAABI WAL-AN’AAMI MUKHTALIFUN AL-
WAANUHU = di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang
ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). (QS. Al-Faathir :28)
Lafazh AL-WAANU dirofa’kan menjadi Fa’il dari Isim Fa’il lafazh MUKHTALIFUN.
B. Beramal menashobkan Maf’ul Bih dengan dua syarat:
1. Diharuskan dalam penggunaannya untuk suatu yang Hal (yang sedang terjadi) atau Istiqbal
(yang akan terjadi). Alasan pengamalannya disini -menurut Ulama Nuhat- adalah karena
sejalan dengan kalimah Fi’il sebagai sandaran maknanya. yakni sejalan dengan FI’IL
MUDHARI’ yakni mencocoki dalam harkat dan sukunnya. dalam artian sukun atau harkat
pada Isim Fail sebanding/sehadapan dengan sukun atau harkat yang ada pada susunan huruf
Fi’il Mudhari’nya. contoh:

‫معلم‬
MU’ALLIMUN = pengajar
sehadapan/sebanding dengan susunan Fi’il Mudhari:

‫يعلم‬
YU’ALLIMU = sedang/akan mengajar.
Demikian juga contoh Isim Fa’il:

‫نادم‬
NAADIMUN = yang menyesal
sehadapan/sebanding dengan susunan Fi’il Mudhari:

‫يندم‬
YANDAMU = sedang/akan menyesal.
2. Harus ada penopang yakni lafazh yang menjadi awalannya :
a. Berawalan ISTIFHAM, contoh:

‫أبالغ أنت قصدك‬


A BAALIGHUN ANTA QOSDAKA? = apakah kamu sampai pada tujuanmu?
lafazh BAALIGHUN = Mubtada’
lafazh ANTA = Fa’il yg menempati kedudukan Khobar (Masaddal-khobar)
lafazh QOSDA = Maf’ul Bih
lafazh KA = Mudhaf Ilaih.
b. Berawalan NAFI, contoh:

‫ما حامد السوق إال من ربح‬


MAA HAAMIDUN AS-SAUQA ILLA MAN ROBIHA = tidak akan memuji pasar kecuali
dia yang telah mendapat keuntungan.
HAAMIDUN = menjadi Mubtada’
AS-SAUQA = menjadi Maf’ul Bih dari Isim Fa’il (Haamidun)
ILLA = Adat Istitsna’ Mulgha
MAN = Isim Maushul mabni sukun mahal Rofa’ menjadi Fa’il sadda-masaddal khobar.
ROBIHA = Shilah Maushul.
d. Berawalan NIDA’, contoh:

‫يا سائقا سيارة تمهل‬


YAA SAA’IQON SAYYAAROTAN TAMAHHAL! = wahai sopir mobil pelan-pelanlah.
YAA = Huruf Nida’
SAA’IQON = Munada Manshub Fa’ilnya berupa Dhamir Mustatir
SAYYAAROTAN = Maf’ul Bih dinashabkan oleh Isim Fa’il.
e. Menjadi NA’AT dari Man’ut yg disebut atau Man’ut yg dibuang
contoh Naat dari Man’ut yang disebut :

‫صحبت رجال عارفا آداب السفر‬


SHAHIBTU RAJULAN ‘AARIFAN AADAABAS-SAFARI = aku menemani seorang yang
mengerti adab-adab perjalanan.
RAJULAN = Man’ut
AARIFAN = Na’at
AADAABA = Maf’ul Bih dinashabkan oleh Isim Fa’il (Aarifan)
contoh Naat dari Man’ut yang dibuang karena ada qarinah:

‫كم معذب نفسه في طلب الدنيا يرى أنه أسعد الناس‬


KAM MU’ADZDZIBUN NAFSAHU FIY THOLABID-DUN-YAA YAROO ANNAHU
AS’ADAN-NAASA = betapa banyak orang yang menyiksa diri dalam mencari dunia dan
beranggapan bahwa dunia membahagiankan manusia.
MA’ADZDZIBUN = Isim Fa’il yg menjadi Na’at dari Man’ut yg dibuang.
NAFSAHU = Maf’ul Bihnya.
takdirannya adalah:

‫كم شخص معذب نفسه‬


KAM “SYAKHSHUN” MU’ADZDZIBUN NAFSAHU = banyak “orang/individu” yang
menyiksa dirinya.
f. Menjadi HAAL Contoh:
‫جاء خالد راكبا فرسا‬
JAA’A KHAALIDUN RAAKIBAN FAROSAN = Khalid datang dengan mengendarai
kuda
Contoh ayat Al-Qur’an:

‫فاعبد هللامخلصا له الدين‬


FA’BUDILLAAHA MUKHLISHON LAHUD-DIIN = Maka sembahlah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya (QS. Azzumar :2)
g. Menjadi KHABAR dari Mubtada’ atau Amil Nawasikh
Contoh Khabar dari Mubtada’:

‫أنت حافظ غيبة جارك‬


ANTA HAAFIZHUN GHAIBATA JAARIKA = kamu harus menjaga omongan tetangga
kamu.
Contoh Khabar dari Amil Nawasikh:

‫إنك حافظ غيبة جارك‬


INNAKA HAAFIZHUN GHAIBATA JAARIKA
Contoh Ayat dalam Al-Qur’an:

‫ما كنت قاطعة أمرا حتى تشهدون‬


MAA KUNTU QAATHI’ATAN AMRAN HATTAA TASYHADUUN = aku tidak pernah
memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku). (QS. An-
Naml :32).
o0o
Jika Isim Fa’il tersebut digunkan untuk suatu yang telah terjadi (Madhiy), maka ia tidak
beramal. Maka tidak dibenarkan mengatakan misal:

‫محمد كاتب واجبه أمس‬


MUHAMMADUN KAATIBUN “WAAJIBAHUU” AMSI
lafazh WAAJIBA tidak boleh dinashabkan sebagai Maf’ul Bih dari Isim Fa’il KAATIBUN.
Tapi wajib disusun secara Idhofah, maka yang benar mengatakannya adalah:

‫محمد كاتب واجبه أمس‬


MUHAMMADUN KAATIBU “WAAJIBIHII” AMSI = Muhammad mencatat
kewajibannya kemarin.
lafazh KAATIBU = mudhaf
lafazh WAAJIBI = mudhaf ilaih
Khilaf dalam hal ini :
1. Menurut Al-Kasa’i : Isim Fa’il tersebut boleh beramal sekalipun ditujukan untuk
zaman Madhiy.
2. Menurut Al-Akhfash : Isim Fa’il tersebut  sekalipun tidak ada penopang yang menjadi
awalannya tetap bisa beramal.

‫ب َع ِن ا ْلفَا ِع ِل‬
ُ ‫ا ْلنَّاِئ‬
NAIBUL FA’IL
 

‫فِ ْي َما لَهُ َكنِ ْي َل َخ ْي ُر نِاِئ ِل‬ ¤ ‫ب َم ْف ُع ْو ٌل بِ ِه عَنْ فَا ِع ِل‬


ُ ‫يَنُ ْو‬
 

Maf’ul bih menggantikan Fa’il di dalam semua hukumnya. Seperti contoh: “NIILA
KHOURU NAA-ILI=anugerah terbaik telah diperoleh” .

KETERANGAN:

Naibul Fa’il adalah Isim yg dirofa’kan baik secara lafzhan atau mahallan, menggantikan dan
menempati tempatnya fa’il yg dibuang dan fi’ilnya dibina’ Majhul. Baik isim yg
menggantikan itu asalnya berupa Maf’ul bih atau serupanya semisal Zhorof, Masdar, Jar-
majru dll.

Dengan demikian pembuangan Fa’il dalam hal ini menimbulkan dua keputusan:
1. Merubah Fi’ilnya ke bentuk Majhul
2. Menempatkan Pengganti Fa’il pada posisi Fa’il beriku hukum2nya sebagaimana telah
disebutkan dalam Bab Faa’il– semisal harus Rofa’, harus berada setelah Fi’ilnya, sebagai
subjek pokok kalimat, hukum ta’nits pada fi’ilnya, dan lain-lain.
 

ِ ‫ض َي َك ُو‬
‫ص ْل‬ ِ ‫س ْر فِي ُم‬ ْ ‫فََأ َّو َل ا ْلفِ ْع ِل‬
ِ َّ‫اض ُم َمنْ َوا ْل ُمت‬
ِ ‫بِاآل ِخ ِر ا ْك‬ ¤ ‫ص ْل‬
 

Dhommahkan huruf pertama Kalimah Fi’il (Mutlak, baik Madhi atau Mudhari yg dibentuk
Majhul). Dan kasrohkan huruf yg bersambung dengan akhir (yakni, huruf sebelum akhir)
pada Kalimah Fi’il Madhi seperti contoh: WUSHILA

‫ َكيَ ْنتَ ِحي ا ْل َمقُول فِ ْي ِه يُ ْنت ََحى‬ ¤ ‫ع ُم ْنفَتِ َحا‬ َ ‫اج َع ْلهُ ِمنْ ُم‬
ٍ ‫ضا ِر‬ ْ ‫َو‬
 

Dan jadikanlah huruf sebelum terakhir dari Fi’il Mudhari dengan berharkat Fathah, demikian
seperti YANTAHII diucapkan menjadi YUNTAHAA.

KETERANGAN:

Telah disebutkan bahwa syarat Naa’ibul Faa’il adalah Fi’ilnya harus dibentuk “Mabni
Majhul”. Caranya sebagai berikut:

1. Apabila Fi’il Madhi, maka huruf awal didhammahkan dan huruf sebelum akhir
dikasrahkan. Contoh :
‫فُتِ َح بابُ الرزق‬

FUTIHA BAABUR-RIZQI = pintu rezki telah dibuka

َ ‫ُش ِر‬
‫ب العس ُل‬

SYURIBA AL-‘ASALU = madu telah diminum

2. Apabila Fi’il Mudhari, maka maka huruf awal didhammahkan dan huruf sebelum akhir
difat-hahkan. Contoh:

‫ُحتر ُم العالم‬
َ ‫ي‬

YUHTAROMU AL-‘AALIMU = orang alim dihormati

‫يُتَعلّم النحو‬

YUTA’ALLAMU ANNAHWU = ilmu Nahwu dipelajari

ْ ‫ َكاَأل َّو ِل‬ ¤ ‫َوا ْلثَّانِ َي ا ْلتَّالِي تَا ا ْل َمطَاو َع ْه‬


‫اج َع ْلهُ بِالَ ُمنَازَ َع ْه‬
Huruf kedua yang mengiringi Ta’ Muthowa’ah, jadikanlah seperti huruf yang pertama
dengan tanpa pertentangan (yakni sama-sama dikarkati Dhommah).

ْ ‫ َكاَأل َّو ِل‬ ¤ ‫ص ِل‬


ْ ‫اج َعلَنَّهُ َكا‬
‫ست ُْحلِي‬ ْ ‫َوثَالِ َث الَّ ِذي بِ َه ْم ِز ا ْل َو‬
 

Huruf ketiga dari fi’il yg ber-hamzah washal, juga jadikanlah seperti huruf yg pertama (yakni
sama-sama dikarkati Dhommah) Seperti contoh: USTUHLIY.

KETERANGAN:

Lanjutan dari bait sebelumnya tentang menjadikan Fi’il Mabni Majhul:

Apabila kalimah fi’il diawali dengan Ta’ Muthowa’ah atau Ta’ zaidah semisalnya, maka
huruf pertama dan kedua diharkati Dhommah. Contoh:

‫تُ ُعلّم النح ُو‬


TU’ULLIMA ANNAHWU = ilmu nahwu dipelajari

Dan Apabila kalimah fi’il diawali dengan Hamzah Washal, maka huruf pertama dan ketiga
diharkati Dhommah. Contoh:

ْ ُ‫ا‬
‫ست ُْحلي الشراب‬
USTUHLIY ASY-SYAROOBU = minuman didapati manis.

َ ‫ َع ْينا ً َو‬ ¤ ‫ش ِم ْم فَاثُالَثِ َي ُأ ِع ّل‬


ْ َ‫ض ٌّم َجا َكبُو َع ف‬
‫احتُ ِم ْل‬ ْ ‫س ْر َأ َو ا‬
ِ ‫َوا ْك‬
 

Harkatilah Kasroh atau dibaca Isymam terhadap FA’ Fi’il Tsulatsi Mu’tal ‘Ain. Adapun
Dhommah datang semisal “BUU’A” demikian dima’afkan.
KETERANGAN:

Kelanjutan dari bait sebelumnya perihal membuat Fi’il Mabni Majhul:

Apabila berupa Fi’il Madhi tiga huruf (Tsulatsi) yg ‘ain fi’ilnya terdiri dari huruf illat baik
wawu atau ya (Mu’tal ‘Ain), maka boleh dibaca tiga jalan:

1. Dibaca Kasrah, huruf illat digant ya’, contoh:

‫صيم رمضان‬
SHIIMA ROMADHOONU = Bulan Ramadhan dipuasai (Bulan Ramadhan dijadikan waktu
berpuasa)

2. Dibaca Isymam, suara harkat antara Dhommah pendek dan Kasroh panjang dengan
berurutan secara cepat. Contoh “QUIILA” dan “GHUIIDHA” bacaan qiro’ah sab’ah pada
ayat berikut:

َ ‫س َما ُء َأ ْقلِ ِعي َو ِغ‬


‫يض ا ْل َما ُء‬ ُ ‫َوقِي َل يَا َأ ْر‬
َ ‫ض ا ْبلَ ِعي َما َء ِك َويَا‬
Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun
disurutkan

3. Dibaca Dhammah (bacaan paling dha’if), huruf illat diganti wawu seperti BUU’U. contoh
dalam syair:

‫ ليتَ شبابا ً بوع فاشتريت‬# ُ‫ليتَ وهل ينفع شيئا ً ليت‬


ّ ‫س يُ ْجتَنَ ْب َو َما لِبَا َع قَ ْد يُ َرى لِنَ ْحو َح‬
‫ب‬ ٌ ‫ش ْك ٍل ِخيْفَ لَ ْب‬
َ ِ‫َوِإنْ ب‬
 

Jika ditakuti ada kesamaran pada suatu syakal/corak, maka syakal demikian harus dihindari.
Dan corak yg ada pada lafal “BAA’A” terkadang dijadikan pertimbangan untuk lafazh
semisal “HABBA”.

KETERANGAN:

Perihal corak bacaan antara Isymam , Dhommah , dan Kasroh pada kalimah Fi’il Madhi
Tsulatsi Mu’tal ‘Ain yg musnad pada Dhamir TA’ Mutakallim, TA’ Mukhotob atau Nun
Niswah, ketika dibentuk MABNI MAJHUL.

“JIKA DITAKUTI ADA KESAMARAN PADA SUATU SYAKAL, MAKA SYAKAL


DEMIKIAN HARUS DIHINDARI” (Ibnu Malik).

Semisal “BI’TU” ketika dibentuk Mabni Majhul , huruf pertama boleh dibaca Dhommah atau
Isymam: “BU’TU” atau “BUI’TU”. Jangan dibaca Kasroh: “BI’TU” karena takut terjadi
kesamaran antara mana yg Mabni Ma’lum dan mana yang Mabni Majhul.

Dan semisal “SUMTU” ketika dibentuk Mabni Majhul , huruf pertama boleh dibaca Kasroh
atau Isymam: “SIMTU” atau “SUIMTU”. Jangan dibaca Dhommah : “SUMTU” karena takut
terjadi kesamaran antara mana yg Mabni Ma’lum dan mana yang Mabni Majhul.

Demikian menurut Mushannif tentang keharusan menghindari dari kesamaran syakal, dan
beliau menjelaskan dalam Syarah Al-Kafiyah bahwa pendapatnya tidaklah bertentangan
dengan pendapat Imam Sibawaihi yg membolehkan secara mutlak penggunaan tiga corak
bacaan diatas. Imam Sibawaihi berpendapat bahwa mereka dapat membedakannya secara
takdiran antara Mabni Fa’il dan Mabni Maf’ul baik Isim atau Fi’il seperti lafal
“MUKHTAARUN” dan “TUDHOORRO”. Oleh karenanya menghindari Iltibas/kesamaran
dalam hal ini tidaklah wajib.

Apabila kalimah Fi’il Madhi Tsulatsi berupa Bina’ Mudho’af, semisal ‘ADDA, maka ketika
dibentuk mabni Majhul boleh dibaca dengan tiga corak bacaan seperti BI’TU, yakni yang
paling rojih dibaca Dhommah menjadi ‘UDDA, atau dibaca Isymam UIDDA ,atau dibaca
kasroh ‘IDDA.

‫ش ْب ٍه َي ْن َجلِي‬ ْ ‫َو َما لِفَا بَا َع لِ َما ا ْل َعيْنُ تَلِي فِي‬


ِ ‫اختَا َر َوا ْنقَا َد َو‬
 

Hukum bacaan (Dhommah, Kasroh, Isymam) bagi Fa’ Fi’il lafaz BAA’A, berlaku juga bagi
Huruf sebelum ‘Ain Fi’il pada lafaz IKHTAARO dan INQAADA dan lafaz yg nampak
serupanya.

KETERANGAN:

Lanjutan dari bet sebelumnya – Apabila Fi’il Madhi yg mu’tal ‘Ain tsb mengikuti wazan
IFTA’ALA atau INFA’ALA, maka ketika dibentuk Mabni Majhul, huruf sebelum ‘Ain
Fi’ilnya boleh dibaca DHOMMAH, KASRAH dan ISYMAM. Lebih baik dibaca Kasrah
apabila Mu’tal ‘Ain Yaiy dan dibaca Dhommah apabil Mu’tal ‘Ain Wawiy.

Contoh Mu’tal ‘Ain yang Wawiy:

‫انقاد الطالب للمعلم‬


INQAADA AT-THULLABU LIL MU’ALLIMI = murid-murid itu patuh pada gurunya

Dibentuk Mabni Majhul yg terbaik dibaca Dhommah :

‫انقود للمعلم‬
UNQUUDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi

atau dibaca Kasroh:

‫انقيد للمعلم‬
INQIIDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi

Atau dibaca Ismam

‫انقود للمعلم‬
UNQUIIDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi

============

Contoh Mu’tal ‘Ain yang Yaiy:

ً ‫اختار المعلم عليا‬


IKHTAARO AL-MU’ALLIMU ‘ALIYYAN = Guru itu memilih Ali
Dibentuk Mabni Majhul yg terbaik dibaca Kasroh :

‫علي‬
ٌّ ‫اختير‬
IKHTIIRO ‘ALIYYUN = Ali dipilih

atau dibaca Dhommah:

‫علي‬
ٌّ ‫اختور‬
UKHTUURO ALIYYUN = Ali dipilih

Atau dibaca Ismam

‫علي‬
ٌّ ‫اختير‬
UKHTUIIRO ALIYYUN = Ali dipilih

‫رف َج ٍّر بِنِيابَ ٍة َح ِري‬ ٍ َ‫وقابِ ٌل ِمن ظ‬


ِ ‫رف أو ِمن َمص َد ِر أو َح‬
 

Lafazh yang dapat menerima pergantian (sebagai Naibul Fa’il) yg berupa Zhorof, Masdar
atau Jar-Majrur, adalah layak (dijadikan Naibul Fa’il).

KETERANGAN:

Disebutkan pada bait pertama bahwa Maf’ul Bih menggantikan Fa’il yg tidak dihadirdkan,
yakni sebagai Naibul Fa’il. Selain Maf’ul Bih ada lagi lafazh serupanya yg layak dijadikan
Naibul Fa’il, yaitu Zhorof, Masdar dan Jar-Majrur, dengan ketentuan memenuhi syarat
sebagai pengganti:

Syarat lafazh ZHOROF yang layak dijadikan Naibul Fa’il adalah harus Mutashorrif dan
Mukhtash:

1. MUTASHORRIF (Dapat berubah-rubah). Yakni, bukan terdiri dari lafazh yg khusus


dinashobkan sebab Zhorfiyah saja semisal “SAHARO”, dan atau boleh majrur hanya oleh
huruf MIN saja semisal “‘INDAKA”.
Sebab kalau dijadikan Naibul-Fa’il, maka akan menjadi Rofa’ dan ini menyalahi ketentuan
Bahasa Arab yg telah memberlakukan khusus semisal pada dua lafazh tersebut diatas.
2. MUKHTASH (tertentu), yakni bukan terdiri dari lafazh MUBHAM/samar. Karena
mengakibatkan kalam menjadi tidak mufid, cara agar menjadi Mukhtash/tertentu adalah
dengan dimudhafkan, disifati, atau sebagainya.

Contoh:

‫صيم يو ُم الخميس‬
SHIIMA YAUMUL KHOMIISI = hari kamis dipuasakan (puasa kamis)
Lafazh YAUMU mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab mudhaf.
‫ُجلس وقتٌ طويل‬
JULISA WAQTUN THOWIILUN = waktu yg panjang didudukkan (duduk lama)
Lafazh WAQTUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab disifati.
ُ‫صيم رمضان‬
SHIIMA ROMADHOONU = bulah Ramadhan dipuasakan (puasa ramadhan)
Lafazh ROMADHOONU mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab ‘Alamiyyah/Isim ‘Alam.
=====

Syarat lafazh MASDAR yang layak dijadikan Naibul Fa’il, juga harus Mutashorrif dan
Mukhtash:

1. MUTASHORRIF (Dapat berubah-rubah). Yakni, bukan terdiri dari lafazh yg khusus


dinashobkan sebab Masdariyah saja semisal “SUBHAANALLAHI” dan
“MA’AADZALLAAHI”.
Sebab kalau dijadikan Naibul-Fa’il, maka akan menjadi Rofa’ dan ini menyalahi ketentuan
Bahasa Arab yg telah memberlakukan khusus semisal pada dua kalimat tersebut diatas.
2. MUKHTASH (tertentu), yakni bukan terdiri dari lafazh MUBHAM/samar. Karena
mengakibatkan kalam menjadi tidak mufid, cara agar menjadi Mukhtash/tertentu adalah
dengan dimudhafkan, disifati, atau sebagainya, yg dapat menunjukkan bilangannya atau
jenisnya.

Contoh:

‫قرئ قراءةٌ صحيحة‬


QURI’A QIROO’ATUN SHOHIIHATU = bacaan yg benar telah dibacakan
Lafazh QIROO’ATUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab disifati yg menunjukkan
jenisnya.
‫ضرب واحد‬
ٌ ‫ضرب‬ُ
DHURIBA DHORBUN WAAHIDUN = satu pukulan telah dipukulkan
Lafazh DHORBUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab disifati yg menunjukkan
bilangannya.
‫جلوس الخائف‬
ُ ‫ُجلس‬
JULISA JULUUSUL-KHOO’IF = duduknya orang takut telah didudukkan (duduk gelisah)
Lafazh JULUUSUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab mudhaf yg menunjukkan
jenisnya.
=====

Syarat JAR-MAJRUR yang layak dijadikan Naibul Fa’il adalah huruf JAR
MUTASHORRIF, MAJRUR MUKHTASH dan JAR GHAIRU TA’LIL

1. JAR MUTASHORRIF (Dapat berubah-rubah). Yakni, bukan terdiri dari huruf Jar yg
khusus men-Jar-kan lafazh tertentu, semisal “MUDZ/MUNDZU” khusus menjarkan pada
isim zaman, “RUBBA” khusus menjarkan pada isim nakirah, “HURUF QOSAM” khusus
menjarkan pada lafaz sumpah. Dan sebagainya.

2. MAJRUR MUKHTASH (tertentu), yakni bukan terdiri dari lafazh majrur yg


MUBHAM/samar. Karena mengakibatkan kalam menjadi tidak mufid, cara agar menjadi
Mukhtash/tertentu adalah dengan dimudhafkan, disifati, dimakrifatkan atau sebagainya.

3. JAR GHAIRU TA’LIL (sebab/alasan), yakni bukan terdiri dari huruf Jar yg menunjukkan
ta’lil/sebab alasan, semisal “huruf LAM”, “huruf BA’”, “MIN” oleh karenanya menurut
jumhur nuhat Maf’ul Liajlih tidak layak dijadikan Naibul Fa’il.

Contoh:

‫ُجلس في المسجد الجامع‬


JULISA FII AL-MASJIDIL-JAAMI’ = masjid jami’/masjid yg besar diduduki
Lafazh FII huruf jar yang mutashorrif, lafazh AL-MASJIDI mukhtash sebab disifati. JAR-
MAJRUR mahal rofa’ sebab Naibul Fail, atau MAJRUR mahal rofa’ dan huruf JAR zaidah.

‫فُرح بانتصار المسلمين‬


FURIHA BI INTISHOORI AL-MUSLIMIINA = kemenangan Muslimin digembirakan

Lafazh BI huruf jar yang mutashorrif, lafazh INTISHOORI mukhtash sebab mudhof. JAR-
MAJRUR mahal rofa’ sebab Naibul Fail, atau MAJRUR mahal rofa’ dan huruf JAR zaidah.

Anda mungkin juga menyukai