Anda di halaman 1dari 12

SADDU AL-DZARI’AH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh

Dosen Pembimbing:

Dr. H. Mif Rohim, MA.

Penyusun :

Ahmad Fauzul Adhim


Moh. Ahmadi
Faqih Jalaluddin AS.

PASCASARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI JOMBANG

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar

Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh manusia pasti mempunyai tujuan
tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau
buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mafsadat. Sebelum sampai pada
pelaksanaan hal yang dituju tersebut ada serangkain perbuatan yang mendahukuinya yang
harus dilaluinya.

Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan misalnnya, maka ia harus


belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti
mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiatan pokok dalam hal ini
adalah belajar dan mencari ilmu, sedangkan kegiatan yang lain disebut dengan perantara,
jalan atau pendahuluan.

Contoh lain misalnya seseorang sebelum melakukan zina, ada hal yang
mendahuluinya, seperti rangsangan yang mendorong berbuat zina dan penyedian
kesempatan untuk melakukan zina (ber khalwat). Dalam hal ini, zina disebut dengan
perbuatan pokok yang dituju, sedangkan hal-hal yang mendahuluinya disebut perantara
atau pendahuluan.1

Perbuatan pokok yang dituju oleh seseorang telah diatur sedemikian bagusnya oleh
syara‟ dan termasuk kedalam hukum taklifi yang lima yang dikenal dengan al-ahkam al-
khamsah,untuk dapat melakukan perbuatan pokok yang bersifat perintah atau yang
bersifat larangan, harus terlebih dahulu melakukan perbuatan yang mendahuluinya.

Perbutan perantara itu disebut oleh ahli ushul dengan al-dzari‟ah (‫)الذريعة‬.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertia saadu al-dzari‟ah?
2. Bagaimana pandangan ulama tentang saadu al-dzari‟ah?
3. Bagaimana aplikasi saadu al-dzari‟ah pada permasalahan kontemporer?

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 447.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Saddu al-Dzari’ah

Kalimat saddiu al-dzari‟ah berasal dari dua kata (frase/idhofah), yaitu sadd dan
dzari‟ah. Kata sadd, berarti:

‫ ومبعىن املْن ُع‬،‫الس ّد مبعىن إِ ْغالَ ُق اخلَلَل َوَرْدم الثـَّْلم‬

“Menutup cela, dan menutup kerusakan, dan juga berarti mencegah atau melarang.”2

Sedangkan al-dzar‟iah berarti :

‫الوسيلة اليت يتوسل هبا ايل الشيئ سواء كان حسيا او معنواي‬

“Jalan yang mmebawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma‟nawi, baik dan buruk).3

Arti secara bahasa ini mengandung konotasi yang netral tanpa memeberikan
penilaian kepada hasil perbuatan. Pengertian netral inilah yang diangkat ole Ibnu
Qayyim al-Jauziyah kedalam rumusan definisi tentang al-dzari‟ah, yaitu:

‫ما كان وسيلة وطريقا اىل الشيئ‬

(Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu.)4

Selanjutnya Badran dan Imam Asy-Syatibi memberikan definisi yang tidak netral
terhadap dzari‟ah itu sebagai berikut:

‫ىو املوصول اىل الشيئ املمنوع املشتمل على مفسدة‬

2
Su‟ud bin Mulluh Sultan al „Anzi, Saddu Dzarai‟ „inda al- Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyya wa Atsaruhu
fi Ikhtiyaratihi Alfiqhiyyahh, (Omman, Urdun:Daru al-Atsariyyah, 2007), 37.
3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh..., 449.
4
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islami, (Damaskus: Darr al-Fikr), 173.
(Apa-apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang mengandung
kerusakan.)

Untuk menempatkan pembahasan yang sesuai dengan yang dituju, kata dzari‟ah
itu didahului dengan saddu yang artinya “menutup”: maksudnya adalah “menutup jalan
terjadinya kerusakan”.5

Wahbah Zuhaili menginginkan definisi yang netral, karena itu ia memilih definisi
yang dikemukakan Ibnu Qayyim.6

Dalam pembahasan dzari‟ah bahwa ketentuan hukum yang dikenakan pada


dzariah selalu mengikuti ketentuan hukum yamg terdapat pada perbuatan yang menjadi
sasarannya. Jelasnya, perbuatan yang membawa kearah mubah adalah mubah, perbuatan
yang membawa kearah haram adalah haram, dan perbuatan yang menjadi terlaksananya
perbuatan wajib adalah wajaib. Misalnya, zina adalah haram. Maka, melihat aurat wanita
yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina adalah haram juga. Shalat jumat
adalah fardhu (wajib). Maka meninggalkan jual beli guna memenuhi kewajiban
menjalankan ibadah shalat jumat adalah wajib, karena hal ini merupakan dzariah.7 Untuk
itu maka berlakulah kaidah:

‫للوسائل كحكم املقاصد‬

(Bagi wasilah (perantara) itu hukumnya adalah sebagaimana hukum yang berlaku pada
apa yang dituju).8

B. Rukun al-Dzari’ah
Muhammad Hasyim Al burhani menetapkan rukun dzari‟ah kepada tiga, yaitu:
1. Perkara yang tidak dilarang dengan sendirinya (sebagai perantara washilah, sarana,
atau jalan). Dalam hal ini dibagi menjadi tiga keadaan:

5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh..., 449.
6
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami..., 173.
7
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2017), 467.
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh..., 448.
a. Maksud dan tujuan perbuatan itu adalah untuk perbuatan yang lain, seperti bai‟ul
ajal.
b. Maksud dan tujuan perbuatan itu adalah untuk perbuatan itu sendiri seperti mencaci
dan mencela sembahan orang lain.
c. Perbuatan itu menjadi asas menjadikannya sebagai perantara atau washilah seperti
larangan menghentakkan kaki bagi seorang wanita yang ditakutkan akan
menampakkan perhiasannya yang tersembunyi.
2. Kuatnya tuduhan kepadanya. Inilah yang menjadi penghubung antara washilah kepada
perbuatan yang dilarang (al mutawashil ilaih), yaitu adanya tuduhan dan dugaan yang
kuat bahwa perbuatan tersebut akan membawa kepada mafsadah.
3. Kepada perbuatan yang dilarang (al mutawashil ilaih). Ulama mengatakan rukun
ketiga ini sebagai al mamnu‟ (perbuatan yang dilarang). Maka, jika perbuatan tersebut
tidak dilarang, atau mubah, maka was}ilah atau dzari‟ah tersebut hukumnya tidak
dilarang.9

C. Kehujjahan Saddu al-Dzariah

Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan


kehujjahan saddu al-dzari‟ah sebagai dalil syara‟. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat
menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara‟. Alasan meereka antara lain:

1. Firman allah, dalam surat al-an‟am: 108

َّ ‫اَّللِ فَـيَ ُسبُّوا‬


‫اَّللَ َع ْد ًوا بِغَ ِْْي ِع ْلم‬ َّ ‫ون‬ِ ‫وَل تَسبُّوا الَّ ِذين ي ْدعو َن ِمن د‬
ُ ْ ُ ََ ُ َ

Artinya:

“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain allah,
karena nanti mereka akan memaki allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”10

9
Muhammad Hisyam Al Burhani, Sadd al Dzari‟ah fi Al Syari‟ah Al Islamiyyah, (Damaskus: Dar-l- Fikr,
1985), 103-122.
10
Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 136.
Asbabun nuzul dari ayat ini seperti yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq dari
Qatadah, bahwa dulu kaum muslimin memaki berhala-berhala orang kafir, sehingga
orang kafir memaki allah swt. Maka turunlah ayat ini.11

Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja,
bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena mencaci dan menghina itu akan
menyebabkan penyembah selain allah itu akan mencaci allah, maka perbuatan mencaci
dan menghina itu menjadi dilarang.12

2. Hadist rasulullah SAW. Antara lain:

‫ َع ْن َعْب ِد‬،‫الر ْْحَ ِن‬


َّ ‫ َع ْن ُْحَْي ِد بْ ِن َعْب ِد‬،‫ َع ْن أَبِ ِيو‬،‫ َح َّدثـَنَا إِبْـَر ِاى ُيم بْ ُن َس ْع ٍد‬،‫س‬ ْ ‫َح َّدثـَنَا أ‬
َ ُ‫َْحَ ُد بْ ُن يُون‬
‫ إِ َّن ِم ْن أَ ْك ََِب ال َكبَائِِر‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ َِّ ‫ول‬ َّ ‫ َر ِض َي‬،‫اَّللِ بْ ِن َع ْم ٍرو‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬:‫اَّللُ َعْنـ ُه َما قَ َال‬ َّ

‫الر ُج ُل أ َََب‬
َّ ‫ب‬ُّ ‫ يَ ُس‬:‫الر ُج ُل َوالِ َديْ ِو؟ قَ َال‬
َّ ‫ف يَـ ْل َع ُن‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫ َوَكْي‬،‫اَّلل‬ َ ‫ َاي َر ُس‬:‫يل‬ِ ِ ِ َّ ‫أَ ْن يَـ ْل َع َن‬
َ ‫الر ُج ُل َوال َديْو ق‬
13
ُ‫ب أ َُّمو‬ ُّ ‫ فَـيَ ُس‬،‫الر ُج ِل‬
ُّ ‫ َويَ ُس‬،ُ‫ب أ َََبه‬ َّ

Artinya:

“Dari Ahmad bin Yunus, dari Ibrahim bin Sa‟ad dari bapaknya, dari Humaid bin Abdur
Rahman, dari Abdullah bin Amr ra. Dia berkata: bahwa Rasulullah bersabda
sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang yang melaknat kedua orang
tuanya. Lalu rasulullah saw, ditanya, wahai rasulullah, bagaimana mungkin seseorang
akan melaknay ibu bapaknya. Rasulullah menjawab, “seseorang yang mencaci maki
ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dabn seseorang
mencaci maki ibu orang lain,maka oranglainpun akan mencaci maki ibunya”.
Ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah dapat menerima saddu al-dzari‟ah dalam
masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Sedangkan
Imam Syafi‟i menerimanya apabila dalam masalah udzur, misalnya seorang musafir atau
sakit dibolehkan meninggalkan shalat jum‟at dan dibolehkan menggantinya dengan shalat

11
Muhammad Yusuf, Asbabun Nuzul, (Jakarta: Widya Cahaya, 2014), 106.
12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh.., 451.
13
Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 3, 8.
dzuhur. Namun, shalat dzuhurnya harus dilakukan secara diam-didam, agar tidak diruduh
sengaja meninggalkan shalat jum‟at.14

Dengan demikian jelaslah bahwa dzari‟ah merupakan sumber pokok hukum islam
yang dipakai para ulama secara konsensus. Pemakaian dalil dzariah sebagaimana telah
diterangkan diatas, meskipun tidak secara terang-terangan, ditetapkan oleh semua
madzhab fiqh. Dalil ini banyak dipakai oleh Imam Malik dan Imam Ahmad. Sedangkan
Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah, walaupun relatif sedikit menggunakannya, namun tidak
menolak secara total. Hanya saja kedua imam yang terakhir ini tidak menganggapnya
sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, tapi secara implisit termasuk kedalam
sumber-sumber pokok lain yang diakui, seperti qiyas dan istihsan yang dipakai mazhab
hanafi dan tidak jauh berbeda dari sumber pokok yang dipakai mazhab syafi‟i.15

D. Pengelompokan Saddu al-Dzari’ah


Para ulama membagi dzari‟ah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemafsadatan dan
segi jenis kemafsadatan.
1. Dzari‟ah dari Segi Tingkat Kerusakan yang Ditimbulkan
Menurut Imam Asy-Syatibi, dari segi ini dzari‟ah terbagi dalam empat macam :
a. Perbuatan yang dilakukan membawa kemafsadatan yang pasti.
b. Perbuatan yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan
terlarang. Dalam hal ini, seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan
menimbulkan kerusakan.
c. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan
d. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung
kemashlatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan.16
2. Dzari‟ah dari Segi Akibat yang Ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim, dari segi ini dzari‟ah terbagi dalam empat macam :
a. Perbuatan yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.
b. Perbatan yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk
perbuatan buruk yang merusak, baik disengaja atau tidak.

14
Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih...,137.
15
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih..., 477-478.
16
Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih...,133.
c. Perbuatan yang semula ditentukan untuk perkara mubah, tidak ditujukan untuk
kerusakan, namun biasanya sampai padakerusakan yang lebih besar dari pada
kebaikannya.
d. Perbuatan yang ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada
kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. 17

E. Pandangan Ulama tentang Saddu al-Dzari’ah


Mustafa Syalabi mengelompokkan beberapa pendapat ulama tentang saddu al-
dzari‟ah ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Dzari‟ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti, atau berat dugaan akan
menimbulkan kerusakan. Dalam hal ini sepakat ulama untuk melarang dzari‟ah
tersebut.
2. Dzari‟ah yang kemungkinan mendatangkan kemudharatan atau larangan. Dalam hal
ini ulama juga sepakat untuk tidak melarangnya. Artinya pintu dzari‟ah tidak perlu
dilarang.
3. Dzari‟ah yang terletak di tengah-tengah antara kemungkinan membawa kerusakan
atau tidak. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Syalabi
mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal mengharuskan melarang
dzari‟ah tersebut, sedangkan al-Syafi‟i dan Abu Hanifah menyatakan tidak perlu
melarangnya.
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan saddu al-dzari‟ah adalah kehati-hatian
dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara mashlahat dan mafsadat. Bila
mashlahat yang dominan, maka boleh dilakukan. Akan tetapi jika mafsadat yang
dominan, maka harus ditinggalkan. Bila sama kuat di antara keduanya, maka untuk
menjaga kehati-hatian harus diambil prinsip yang berlaku, yaitu sebagaimana dirumuskan
dalam kaidah :

‫درأ املفاسد مقدم على جلب املصاحل‬


“Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemashlatan.”

17
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh.., 452-453.
F. Aplikasi Saddu al-Dzari’ah Pada Permasalahan Kontemporer
Diantara contoh permasalahan kontemporer adalah kloning. Majma` Buhus
Islamiyah Al-Azhar di Cairo Mesir telah mengeluarkan fatwa yang berisi bahwa "kloning
manusia itu haram dan harus diperangi serta dihalangi dengan berbagai cara.
Naskah fatwa yang dikeluarkan lembaga itu juga menguatkan bahwa kloning
manusia itu telah menjadikan manusia yang telah dimuliakan Allah menjadi objek
penelitian dan percobaan serta melahirkan beragam masalah pelik lainnya.
Fatwa itu menegaskan bahwa Islam tidak menentang ilmu pengetahuan yang
bermanfaat, bahkan sebaliknya, Islam justru mensupport bahkan memuliakan para
ilmuwan. Namun bila ilmu pengetahuan itu membahayakan serta tidak mengandung
manfaat atau lebih besar mudharatnya ketimbang manfaat, maka Islam
mengharamkannya demi melindungi manusia dari bahaya itu. Karena dalam qaidah
fiqhiyah dalam Islam dijelaskan bahwa menolak mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan
daripada mengambil mashlahat.
Dalam hal ini terutama masalah nasab dan hubungan famili Islam sangat
memperhatikan hubungan nasab dan famili, karena berkait dengan urusan yang lebih
jauh. Dengan proses kelahiran yang tidak wajar ini maka akan timbul kekacauan hukum
yang serius. Misalnya, seseorang bisa memesan sel telur pada sebuah bank sel telur yang
mungkin sudah dilengkapi dengan penyedia jasa rahim sewaan. Atau seseorang bisa saja
punya anak tanpa istri atau suami.18
Selanjutnya adalah masalah perkawinan beda agama. Secara historis perkawinan
antara dua lawan jenis yang berlainan agama sering terjadi, dan sejak awal Islam
persoalan ini menjadi salah satu yang diopinikan di kalangan fuqaha‟. Sebagian fuqaha‟
maupun mufassirin membolehkan dengan beberapa catatan dan sebagian yang lain
melarang dengan beberapa catatan pula. Di Indonesia, kasus perkawinan antar agama
yang berbeda cukup sering dijumpai, walaupun sering mendapat protes dari berbagai
kelompok Islam. Bahkan, secara legislasi Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya
sudah melarang praktek perkawinan ini.

18
Hifdhotul Munawaroh, Saad Al-Dzariat dan Aplikasinya pada Fiqih Kontemporer, (Ponorogo: Jurnal
Ijtihad, 2018), 78-79.
Dalam pasal 40 Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara jelas dirumuskan tentang
larangan melangsungkan perkawinan antara dua orang yang berlainan agama. Redaksi
pasal itu berbunyi: Dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang
tidak beragama Islam. Senada dengan pasal ini terdapat juga rumusan yang dijelaskan
pada pasal 44, yaitu: Seorang wanita Islam dilarang melakukan perkawinan dengan pria
yang tidak beragama Islam. Jika dihubungkan dengan perkawianan antar agama dalam
konteks ke-Indonesiaan, dapat diduga bahwa larangan baik MUI maupun KHI tersebut
lahir atas pertimbangan kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan. Terutama
melindungi akidah keturunan (anak). Sebab, secara psikologis ibu lebih dekat kepada
anak dan lebih berpengaruh terhadap mereka. Oleh karena itu, perkawinan antara pria
muslim dengan wanita nonmuslim, katakanlah ahl al-kitâb, yang semula dimaksudkan
untuk dakwah Islam, tidak dapat diharapkan. Bahkan justru sebaliknya yang akan terjadi,
yakni dapat menggoyahkan akidah khususnya keturunan mereka.Selain di atas,
perkawinan antara agama tersebut, agaknya, kurang dapat merealisasikan tujuan
perkawinan. Tujuan perkawinan menurut al-Qur`an adalah untuk mendapatkan
ketenangan.
Mengingat mafsadat di atas, agaknya, dapat dikatakan bahwa larangan MUI dan
KHI tentang perkawinan antar agama berasal dari: alnazhr fî almalat (analisis dampak
hukum) dari perkawinan muslim dengan nonmuslim. Dengan kata lain pelarangan di atas
bertujuan menghindari akibat buruk yang diduga akan terjadi jika perkawinan beda
agama dibolehkan. Pelarangan ini sesuai dengan prinsip ushul fiqh, menutup jalan pada
sesuatu yang membahayakan.19

19
Ibid, 81-82.
BAB III
KESIMPULAN
Secara bahasa, Dzarai‟ merupakan jama‟ dari Dzari‟ah yang artinya “jalan menuju
sesuatu”. Sedangkan menurut istilah dzari‟ah dikhususkan dengan “sesuatu yang
membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan”. Akan
pendapat ini ditentang oleh Ibnu Qayyim yang menyatakan bahwa dzari‟ah itu tidak
hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan
demikian lebih tepat kalu dzari‟ah itu dibagi menjadi dua, yakni saad dzari‟ah (yang
dilarang), dan fath dzari‟ah (yang dianjurkan).
Saddu Dzari‟ah adalah mencegah segala sesuatu yang menjadi jalan menuju
kerusakan. Oleh karena itu, apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan
terjadinya kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah agar tidak terjadi
kerusakan.
Pada umumnya semua ulama menerima metode sadd al-dzari‟ah, hanya saja
penerapannya yang berbeda. Perbedaan tentang ukuran kualifikasi dzari‟ah yang akan
menimbulkan kerusakan dan yang dilarang.
Dzari‟ah yang dimaksudkan sebagai dalil syara adalah dzari‟ah yang tidak
disinggung oleh nash tetapi mengarah kepada hukum yang dimaksud. Misalnya,
tindakan-tindakan yang dapat merangsang bangkitnya syahwat, merupakan dzari‟ah
terhadap perbuatan zina. Tetapi dalam hal ini tidak ada nash yang melarangnya.
Meskipun demikian, karena mengarah kepada hukum yang dilarang, maka larangan yang
berlaku pada yang dituju (zina) dapat diterapkan di sini didasarkan pada dalil sadd al-
dzarî`ah.
Penggunaan sadd al-dzari‟ah sangat efektif untuk mengantisipasi dampak-dampak
negatif dari perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. karena, metode ini tidak
hanya berfokus pada legal formal suatu tindakan, tetapi juga pada akibat suatu tindakan
DAFTAR PUSTAKA
Al Burhani, Muhammad Hisyam, Sadd al Dzari‟ah fi Al Syari‟ah Al Islamiyyah,
Damaskus: Dar-l- Fikr, 1985.
Al-Anzi, Su‟ud bin Mulluh Sultan, Saddu Dzarai‟ „inda al- Imam Ibnu Qayyim Al
Jauziyya wa Atsaruhu fi Ikhtiyaratihi Alfiqhiyyahh, Omman, Urdun:Daru al-
Atsariyyah, 2007.

Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh Al-Islami, Damaskus: Darr al-Fikr, 1999.

Munawaroh, Hifdhotul, Saad Al-Dzariat dan Aplikasinya pada Fiqih Kontemporer, Ponorogo:
Jurnal Ijtihad, 2018.

Syafe‟i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2015.


Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Yusuf, Muhammad, Asbabun Nuzul, Jakarta: Widya Cahaya, 2014.


Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2017.

Anda mungkin juga menyukai