Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui, sumber hukum Islam adalah Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah. Keduanya juga disebut dalil—dalil pokok hukum Islam
karena merupakan petunjuk (dalil) utama hukum Allah. Ada pula dalil yang lain
seperti qiyas, istihsan, istishab, dll, namun dalil tersebut hanya sebagai dalil
pendukung yang merupakan alat bantu untuk sampai pada hukum-hukum yang
dikandung Al-Quran dan sunnah, sehingga disebut pula sebagai metode ijtihad.
Salah satu metode ijtihad yaitu Saddu Adz-Dzariah.

Saddu adz-Dzariah merupakan pembahasan seputar zari’ah (perantara)


untuk mencapai pada suatu tujuan yang mendatangkan mudharat, karena setiap
perbuatan yang secara sadar dilakukan manusia pasti mempunyai tujuan yang
jelas. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju ada serentetan
perbuatan yang mendahuluinya.

Makalah ini akan membahas tentang Saddu adz-dzariah,


pengelompokannya, beberapa pandangan ulama, serta aplikasinya dalam ekonomi
Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan sadd Adz-Dzari’ah?
2. Bagaimana pengelompokkan dzari’ah?
3. Bagaimana pandangan ulama tentang sadd adz-dzariah?
4. Bagaimana aplikasi sadd adz-dzariah dalam ekonomi Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi sadd adz-dzari’ah
2. Mengetahui pengelompokkan dzari’ah
3. Mengetahui pandangan ulama tentang saad adz-dzariah
4. Mengetahui aplikasi sadd adz-dzariah dalam ekonomi Islam
2

BAB II

Pembahasan

A. Definisi Dzari’ah dan Sadd adz-Dzariah


1. Dzari’ah

Secara etimologi (lughawi) al-dzari’ah berarti:

‫الوسيلة اليت يتوصل هبا إىل الشيء سواء كان حسيا أو معنويا‬

“Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik atau
buruk”. Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “ sesuatu yang
membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan.” Akan tetapi
Ibn Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah
kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzariah yang
bertujuan kepada yang dianjurkan. 1

Badran dan Zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib dengan


dzari’ah. Perbedaannya terletak pada ketergantungan perbuatan pokok yang dituju
kepada wasilah atau perantara. Pada dzari’ah, hukum perbuatan pokok tidak
tergantung pada perantara. Misalnya zina adalah perbuatan pokok dan khalwat
adalah perantara. Maka terjadinya zina tidak tergantung pada terjadinya khlawat.
Sedangkan pada muqaddimah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara,
misalnya wudhu yang menjadi perantara shalat.

Perbedaan kedua, dilihat dari segi bentuk perbuatan pokok yang ada di
balik perantara itu. Bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang
diperintahkan, maka wasilahnya disebut muqaddimah, sedangkan bila perbuatan
pokok yang dituju adalah perbuatan yang dilarang, maka wasilahnya disebut
dzari’ah.2

1
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997, hal. 160
2
Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 2001, hal. 400
3

2. Saddu adz—Dzari’ah

Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata adz-zari’ah


berarti wasilah atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd adz-
dzari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”.3

Sedangkan menurut istilah, Imam al-Syathibi mendefinisikan dzari’ah


dengan:

‫التوسل مبا هو مصلحة إىل مفسدة‬

“melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan untuk


menuju kepada suatu kemafsadatan”4

Sedangkan al-Syaukani memberi definisi dzari’ah dengan :

‫ اليت ظاهرها اإلباحة ويتوصل هبا إىل فعل احملظور‬-‫املسألة‬


“masalah (sesuatu) yang dilihat secara lahir adalah mubah (boleh), tetapi
membawa kepada perbuatan yang terlarang”. Maksudnya, seseorang yang
melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena
mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir
pada suatu kemafsadatan.5

B. Pengelompokan Dzari’ah

Ada dua pembagian dzari’ah yang dikemukakakn para ulama Ushul


Fiqh. Dzari’ah dilihat dari dampak (akibat) yang ditimbulkannya dan dari segi
tingkat kerusakan yang ditimbulkan.

3
Satria Effendi, M. Zain, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta: 2005, hal.172
4
Nasroen Haroen, Ushul......Op.Cit, hal. 161
5
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam
di Indonesia, PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1999, hal. 142
4

1. Dengan melihat dari dampak yang ditimbulkannya, Ibn Qoyyim


membagi dzari’ah menjadi empat, yaitu:
a. Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti
meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk
merupakan suatu kemafsadatan.
b. Perbuatan yang pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau
dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan
yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak.
Perbuatan yang mengandung tujuan yang disengaja misalnya
seseorang yang menikahi seorang wanita yang ditalak tiga
suaminya dengan tujuan agar suami pertamanya itu bisa
menikahinya kembali (nikah at-tahlil). Perbuatan yang dilakukan
tanpa tujuan semula adalah mencaci sesembahan orang musyrik
yang diduga keras akan menyebabkan munculnya cacian yang
sama terhadap Allah Swt.6 Dzari’ah macam ini dibagi lagi menjadi
dua:
1. Perbuatan yang dibolehkan, tidak ditujukan untuk kerusakan
namun biasanya sampai juga pada kerusakan, dan kerusakan
tersebut lebih besar daripada maslahahnya. Contohnya adalah
berhiasnya seorang wanita yang baru kematian suaminya dalam
masa iddah.
2. Perbuatan yang dibolehkan namun terkadang membawa pada
kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dari
maslahahnya. Contohnya melihat wajah perempuan yang akan
dipinang.7
2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syathibi
membagi dzari’ah kepada empat macam:
a. Dzari’ah yang membawa kepada kemafsadatan secara pasti
(qath’i). Artinya, bila perbuatan itu tidak dihindarkan pasti akan

6
Nasroen Haroen, Ushul......Op.Cit, hal. 166
7
Amir Syarifuddin, Ushul.....Op. Cit, hal.402
5

terjadi kerusakan. Misalnya menggali lubang didepan pintu rumah


orang lain di malam hari, sehingga orang yang keluar dari rumah
tersebut pasti akan jatuh. Walaupun penggalian lubang
diperbolehkan, namun penggalian semacam ini akan
mendatangkan kerusakan8
b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya,
dengan arti kalau dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar
akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan yang
dilarang. Contohnya menjual senjata api kepada penjahat dan
menjual anggur kepada produsen minuman keras.9.
c. Dzari’ah yang boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada
kemafsadatan misalnya menggali lubang di kebun sendiri yang
jarang dilalui orang. Perbuatan seperti ini tetap pada hukum
asalnya, yaitu mubah, karena yang dilarang itu apabila diduga
keras perbuatan tersebut membawa kerusakan.
d. Dzari’ah yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa
kepada kemafsadatan. Misalnya bay’u al- ‘ajal (jual beli kredit).
Jual beli seperti itu cenderung berimplikasi pada riba.10
C. Pandangan Ulama tentang Sadd adz-Dzariah

Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode


dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut
bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima
sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak
sepenuhnya.

1. Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode


dalam menetapkan hukum. Jumhur ulama yang pada dasarnya

8
_______, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta:1996, Hal. 2006
9
Amir Syarifuddin, Ushul.....Op. Cit, hal. 403
10
Nasroen Haroen, Ushul.....Op.Cit, hal.163
6

menempatkan faktor manfaat dan mudarat sebagai bahan pertimbangan


dalam menetapkan hukum, juga menerima metode sadd adz-dzari’ah,
meskipun berbeda dalam kadar penerimaannya. 11
Ulama yang menyatakan bahwa sadd adz-dzariah dapat
menjadi dalil dalam menetapkan hukum syara’ diantaranya adalah para
ulama Malikiyah dan Hanabilah. Para ulama di kalangan Mazhab
Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan
lebih luas. Hal itu disebabkan banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang
mengisyaratkan hal tersebut. Contohnya dalam surat AL-An’am: 08
          
 
“dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan.”12
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah
dibolehkan, bahkan jika perlu memeranginya. Namun karena
perbuatan mencaci dan menghina akan menyebabkan orang tersebut
mencaci Allah maka perbuatan tersebut dilarang. Contoh lain adalah
surat an-Nur: 31
         
“dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan.”13
Menghentakkan kaki bagi perempuan adalah hal yang
dibolehkan, namun karena menyebabkan perhiasan yang tersembunyi
dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi
yang mendengar, maka menghentakkan kaki menjadi dilarang.

11
Amir Syarifuddin, Ushul.....Op. Cit, hal. 404
12
Q.S. Al-An’am: 8
13
Q.S. An-Nuur: 31
7

Sedangkan menurut sunnah, dalam sebuah kasus Rasulullah


saw melarang pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh
ayahnya (H.R Bukhari dan Muslim), untuk menghambat terjadinya
pembunuhan orang tua oleh anak-anak yang ingin mendapatkan harta
warisan.14 Contoh lain adalah haramnya berkhlawat bagi seorang
wanita dan pria yang buakn mahramnya serta larangan bagi wanita
untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi mahramnya (HR
Bukhari dan Muslaim), larangan menikahi wanita sekaligus dengan
bibinya karena hal ini akan membuat putusnya hubungan kekerabatan
antara wanita-wanita tersebit (HR. Ahmad bin Hanbal, Muslim, dan
Abu dawud)15
Dari beberapa contoh di atas terlihat adanya larangan bagi
perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun
semula pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya. Ditempatkannya
adz-dzari’ah sebagai dalil dalam menetapkan hukum meskipun
diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa meskipun
syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan,
namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai wasilah bagi suatu
perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk
atau dalil bahwa hukum wasilah itu adalah sebagaimana hukum yang
ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok.16
2. Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i.
Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai
metode istinbath pada kasus tertentu. Akan tetapi Wahbah Zuhaili
menyebutkan bahwa Abu Hanifah dan al-Syafi’i dalam kondisi—
17
kondisi tertentu juga menggunakan sadd adz-dzariah. Contoh kasus
14
Nasroen Haroen, Ushul.....Op.cit, hal. 167-168
15
_______, Ensiklopedi.....Op.Cit, pg. 2006
16
Amir Syarifuddin, Ushul....Op.Cit, hal. 400
17
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 2, Daar al-Fikr, Beirut: 1986, hal. 888-
889
8

Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau


melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau
sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada
tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah
dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang
dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh
diakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab
Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal
mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan
wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan
berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan
tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd
adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu
pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.18
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan
penolakan kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah
transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal).
3. Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan
prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna
tekstual (zahir al-lafzh). Oleh sebab itu mereka menolak sadd adz-
dzari’ah dengan berbagai alasan berikut:
a. Dasar pemikiran sadd adz-dzari’ah itu adalah ijtihad dengan
berpatokan kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama
zhahiriyah menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (nalar)
seperti ini.
b. Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah
dalam Al-Quran atau sunnah dan Ijma’ ulama. Adapun yang

18
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, Al-Lubab Fi Syarh Al-Kitab, , juz 1,
Dar al-Ma’rifah, Beirut: 1997, hal. 465.
9

ditetapkan di luar ketiga sumber tersebut bukanlah hukum syara’.


Dalam hubungannya dengan sadd adz-dzari’ah dalam bentuk
kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya dengan nash atau ijma’
hanyalah hukum pokok atau mawashid, sedangkan hukum pada
wasilah atau dzari’ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau
ijma’.19

D. Beberapa Aplikasi Sadd adz-Dzari’ah dalam Ekonomi Islam


1. Bay’u al-‘inah
a. Definisi Bay’u al-‘Inah

‘Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Menurut terminologi


ilmu fiqih artinya: jual beli manipulatif untuk digunakan alasan
peminjaman uang yang dibayar lebih adri jumlahnya. Yakni dengan cara
menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya kembali
secara kontan dengan harga lebih murah. 20 Jual beli ‘inah adalah pinjaman
ribawi yang direkayasa denga n praktik jual beli.

Perlu diketahui bahwa ternyata jual beli inah ini, menurut selain
madzhab Malikiyah disebut-sebut dengan jual beli ‘ajal, yaitu yang
mengandung siasat menjurus kepada riba, yaitu seseorang menjual barang
dengan pembayaran bertempo. Kemudian membelinya lagi pada saat itu
juga, Jual beli ini disebut‘inah karena si pemilik barang bukan
menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah ‘ain
(uang). Atau karena si penjual kembali memiliki ‘ain (benda) yang dia jual
pada waktu itu juga. Sedangkan menurut Malikiyah jual beli ajal adalah
jual beli yang diadakan oleh pembeli dari apa yang telah dia beli kepada
penjual atau wakilnya dengan pembayaran bertempo.21

19
Amir Syarifuddin, Ushul....Op.Cit, hal. 406
20
Abdullah al-Mushlih, dkk, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Darul Haq, Jakarta: 2004,
pg.125
21
http://sevensweet.wordpress.com/2011/12/01/jual-beli-shahih-dan-bathil/
10

Gambarannya adalah sebagai berikut: misalnya, Salwa menjual


mobilnya seharga 125.000.000 kepada Najwa secara tempo dengan jangka
waktu pembayaran 3 bulan mendatang. Sebelum waktu pembayaran tiba,
Salwa membelinya kembali dari Najwa dengan harga 100.000.000 secara
kontan.

Najwa menerima uang cash tersebut, tapi ia tetap harus membayar


125.000.000 kepada Salwa untuk jangka waktu 3 bulan mendatang. Selisih
25.000.000 dengan adanya perbedaan waktu merupakan tembahan ribawi
yang diharamkan.22

b. Hukum jual beli ‘Inah

Para ulama sepakat bahwa jual beli ‘inah ini diharamkan bila
terjadi melalui kesepakatan dan persetujuan bersama dalam perjanjian
pertama untuk memasukkan perjanjian kedua kedalamnya. Namun para
ulama berbeda pendapat bila tidak terjadi kesepakatan sebelumnya.23

Menurut Malikiyah, akad jual beli ini batil jika ditemukan indikasi
niatan yang tidak baik (dosa). Dengan alasan, untuk mencegah terjerumus
dalam kerusakan. Syafi’iyah dan zahhiriyah menyatakan keabsahan bai’
ajal karena rukunnya telah lengkap, adapun niatan yang kurang baik, hal
itu dikembalikan kepada Allah Swt. Menurut Abu Hanifah, secara dzahir
akad jual beli ini sah, dengan catatan terdapat seorang muhalil (pihak
ketiga yang melakukan pembelian hp dari pembeli pertama, kemudian ia
menjualnya kepada penjual pertama).24

Ulama malikiyah dan hanabilah dalam menilai perbuatan seseorang


berpegang kepada tujuan dan akibat hukum dari perbuatan itu, sedangkan
Hanafiyyah dan Syafi’iyah berpegang kepada bentuk akad dan perbuatan
yang dilakukan. Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan pandangan
22
Wahbah Zuhaili, Ushul......Op.Cit, hal. 467-480
23
Abdullah al-Mushlih, dkk, Fikih Ekonomi .....Op.Cit, hal. 125
24
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Mualamah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2008,
hal. 92-93
11

tentang niat dan lafal dalam masalah transaksi (akad). Ulama Hanafiyyah
dan Syafi’iyah mengetakan bahwa dalam suatu urusan transaksi yang
dilihat dan diukur adalah akadnya, bukan niat dari orang yang melakukan
akad. Apabila akad yang disepakati dua orang telah memenuhi rukun dan
syarat, maka akad itu sah. Adapun masalah niat yang tersembunyi dalam
akad, diserahkan sepenuhnya kepada Allah swt.25 Kesimpulan : jumhur
ulama selain Syafi’iyah menghukumi jual beli inah fasid, karena menjurus
pada riba, dan seakan-akan membolehkan apa yang Allah ta’ala larang,
maka tidak dishahihkan, dengan kata lain suaatu alasan yang mendorong
kepada kejelekan itulah yang merusak akad.26

2. Kartu Kredit Bagi Orang Yang Belum Layak

Credit card/ kartu kredit adalah jenis kartu yang dapat digunakan
sebagai alat transaksi jual beli barang atau jasa, dimana pelunasan atau
pembayarannya kembali dapat dilaukan sekaligus atau dengan cara
mencicil sejumlah minimum tertentu. Jumlah cicilan tersebut dihitung dari
nilai saldo tagihan ditambah bunga bulanan. Tagihan pada bulan laluu
termasuk bunga (retail interest) merupakan pokok pinjaman pada bulan
berikutnya.27 Sedangkan akad yang digunakan pada kartu kredit syariah
adalah akad kafalah dan ijarah.28

Dewasa ini penggunaan kartu kredit telah umum di hampir semua


kalangan masyarakat karena kemudahan dan keefisienannya dalam
melakukan transaksi. Namun, kartu kredit juga memiliki beberapa
kerugian bagi pemegangnya. Biasanya nasabah agak boros dalam
berbelanja, hal ini karena nasabah merasa tidak mengeluarkan uang tunai
29
untuk belanja sehingga hal-hal yang tidak perlu dibeli juga. hal ini tentu
saja bertentangan dengan syariat Islam yang melarang untuk berfoya-foya

25
Nasroen Haroen, Ushul....Op.Cit, hal. 170
26
http://sevensweet.wordpress.com/2011/12/01/jual-beli-shahih-dan-bathil/
27
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh .....Op.Cit, hal. 280
28
Lihat At-Takyif asy-Syar’i li Bithaqah al-I’timan, Nawaf Batubara, hal. 143-146
12

(mubadzir). Dalam prosesnya, pihak yang mengeluarkan kartu kredit ini


menetapkan beberapa bentuk denda finansial karena keterlambatannya
penutupan hutang, karena penundaan, atau karena tersendatnya
pembayaran dana yang ditarik dari melalui kartu. Jika ia adalah orang
miskin yang kesulitan mengembalikan hutangnya, maka pihak yang
mengeluarkan kartu tersebut akan membatalkan keanggotaannya, menarik
kartu kreditnya, kemudian mengadukan persoalannya ke pengadilan, lalu
melimpahkan kepadanya semua biaya kemelut tersebut. Atau bisa juga
dengan mem-black list orang tersebut.30

Selain itu jika nasabah ternyata belum layak dan belum mampu
membayar tagihan kartu kredit. Maka pihak bank sebaiknya melakukan
penelitian langsung untuk melihat kredibilitas dan kapabilitas nasabah
tersebut.

BAB III
Penutup
A. Kesimpulan

Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah


sadd adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan upaya preventif agar
tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Dzari’ah adalah washilah
(jalan) yang menyampaikan kepada tujuan, baik yang halal ataupun yang haram.
Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya pun haram,

Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan, walaupun


sebagian tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Dzari’ah. Ulama hanafiyah

29
Kasmir, Bank dan lembaga Keuangan Lainnya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta:
2008, hal. 346
30
Abdullah Al-Mushlih, Fikih Keuangan....Op.Cit, hal. 315
13

dan hanabilah dapat menerima sebagai fath Az-Dzari’ah, sedangkan ulama


Syafi’iyah, Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah menyebutnya sebagai
Muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun mereka sepakat
bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah. Walaupun Golongan Zhahiriyyah
tidak mengakui kehujjahan sadduz dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara’.

B. Penutup

Sadd adz-dzari’ah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat
bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Metode
ini bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan
kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Karena memang salah
satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan
diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang
kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah.

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, Al-Lubab Fi Syarh Al-Kitab, ,


juz 1, Dar al-Ma’rifah, Beirut: 1997

Abdullah al-Mushlih, dkk, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Darul Haq, Jakarta:
2004

Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 2001

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Mualamah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta:


2008

Kasmir, Bank dan lembaga Keuangan Lainnya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta:


2008
14

Nasroen Haroen, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum


Islam di Indonesia, PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1999

Satria Effendi, M. Zain, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta: 2005

Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 2, Daar al-Fikr, Beirut: 1986

_______, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta:1996

http://sevensweet.wordpress.com/2011/12/01/jual-beli-shahih-dan-bathil/

Anda mungkin juga menyukai