Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

AL-ADATU MUHAKKAMAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Qawaidul Fiqhiyyah


Dosen Pengampu : Bapak H. Mohammad Zubaidi Sujiman, L.C, M.Ag

Disusun Oleh kelompok 8 :

1. Ramaka Thufailul ‘Abduh (2120110012)


2. Ainu Nabila Ibriza (2120110030)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS SYARIAH

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

TAHUN PELAJARAN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Al-
adatu Muhakamah” ini tepat pada waktunya. Sholawat dan salam tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang kami harapkan syafa’atnya di hari kiamat kelak.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh Bapak Zubaidi Sujiman pada mata kuliah Qawaidul Fiqhiyah. Selain
itu, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan
kita semua. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik.
Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyusun makalah ini masih
jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan, seperti dalam pepatah “Tiada
gading yang tak retak”. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami maupun
pembaca.

Kudus, 16 Novemer2022

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully (menyeluruh)
yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa’id fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah,
diantaranya adalah seperti pembahasan dalam makalah ini yaitu al-adah al-muhakkamah
(adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil
dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga
dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang
berkembang di dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan
mengetahui segala permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan hukum fiqih dalam waktu,
tepat, situasi dan kondisi yang seringkali berubah-ubah.

Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya budaya (adat atau kebiasaan )
serta lebih mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus muncul dan
berkembang dalam masyarakat. Didasari itulah pemakalah merasa tertarik untuk mengkaji
salah satu kaidah fiqih khususnya berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari atau yang
sering kita jumpai yaitu tentang adat (kebiasaan) dengan kaidah, al-adah al-muhakkamah
dengan arti adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum.

B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang di atas, agar dalam penulisan makalah ini
pemakalah memperoleh hasil yang diinginkan, maka pemakalah mengemukakan beberapa
rumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah:
1. Bagaimana pengertian kaidah Al-adah Muhakkamah?
2. Bagaimana implementasi dan apa saja cabang kaidah Al-adah Muhakkamah?
3. Apa perbedaan antara Al-adah dan urf?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui pengertian kaidah Al-adah Muhakkamah
2. Untuk Mengetahui implementasi dan apa saja cabang kaidah Al-adah Muhakkamah
3. Untuk Mengetahui perbedaan antara Al-adah dan urf

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kaidah Al-adah Muhakkamah
Secara etimologi, kata al-adah berarti (‫تمرارعلي شئ‬66‫دءب واالس‬66‫ )ال‬baik berupa
perkataan atau perbuatan. Al-adah diambil dari kata al-‘aud ( ‫ود‬66‫ ) الع‬atau al-
mu’awadah ( ‫ ) المعاودة‬yang artinya berulang (‫) التكرار‬.
Secara terminologi, Al-adah adalah sebuah kecenderungan (berupa ungkapan
atau pekerjaan) pada satu obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada
obyek pekerjaan dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau kelompok. Akibat
pengulangan itu, ia kemudian dinilai sebagai hal yang lumrah dan mudah dikerjakan.
Aktifitas itu telah mendarah daging dan hampir menjadi watak pelakunya1.
Abdul Karim Zaidan mendefinisikan al-adah sebagai pengulangan sesuatu dan
kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang hingga dia melekat dan diterima dalam
benak orang-orang. Dalam pengertian dan substansi yang sama, terdapat istilah lain
dari al-adah, yaitu al-urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan,
perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya. Definisi ‘Urf secara terminologi
sebagaimana diutarakan Abu Zahrah adalah:
‫العرف هو ما اعتاده الناس من معامالة واستقامت عليه امورهم‬
“Urf adalah segala sesuatu yang dibiasakan manusia dalam pergaulanya dan
telah mantap dalam urusan-urusanya”.
Sedangkan definisi ‘Urf secara terminologi menurut Abdu al-Wahhab Khalaf
adalah:
‫ او ترك‬,‫ او فعل‬,‫ من قول‬,‫العرف هو ما تعرفه الناس وساروا عليه‬
“Segala sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia yang telah
menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitanya
dengan meninggalkan perbuatan tertentu”
Sedangkan ‘Urf secara terminologi menurut Badran sebagimana yang dikutip
Amir Syaifuddin dalam bukunya Ushul Fiqh adalah:
‫العرف هو ما اعتاده جمهور الناس والقوه من قول او فعل تكرر مرة بعد اخرى حتى تمكن اثره في‬
‫نفوسهم وصارت تتلقاه عقولهم بالقبول‬
“Urf adalah apa-apa yang dibiasakan dan diikuti orang banyak, baik dalam
bentuk ucapan atau perbuatan yang berulang-ulang dilakukan sehingga membekas
1
Saiful Jazil, “‘A>dah dan ‘Urf sebagai Metode Istinba<t Hukum Islam,” t.t., 320.

4
dalam jiwa mereka dan diterima baik oleh akal mereka”.
Ketiga pengertian di atas mempunyai titik tekan sama, yaitu adanya sesuatu
yang sudah dibiasakan dan diakui serta dikenal orang banyak dan dilakukan berulang-
ulang kali sehingga sudah tidak ada keraguan dalam melakukanya.
Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja, karena
suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah .
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.2
B. Dasar-Dasar Kaidah Al’Aadah Muhakkamah
1. Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:
a. Al-Quran Surat Al-Baqarah [2] Ayat 233
۞ َّ‫ضا َعةَ ۚ َو َعلَى ٱ ْل َم ْولُو ِد لَهۥُ ِر ْزقُ ُهن‬ َ ‫ضعْنَ َأ ْو ٰلَ َدهُنَّ َح ْولَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن ۖ لِ َمنْ َأ َرا َد َأن يُتِ َّم ٱل َّر‬
ِ ‫َوٱ ْل ٰ َولِ ٰ َدتُ يُ ْر‬
ۢ
ِ ‫ضٓا َّر ٰ َولِ َدةٌ بِ َولَ ِدهَا َواَل َم ْولُو ٌد لَّهۥُ ِب َولَ ِد ِهۦ ۚ َو َعلَى ٱ ْل َوا ِر‬
‫ث‬ َ ُ‫س َع َها ۚ اَل ت‬ْ ‫س ِإاَّل ُو‬ ٌ ‫وف ۚ اَل تُ َكلَّفُ نَ ْف‬ِ ‫س َوتُ ُهنَّ بِٱ ْل َم ْع ُر‬ ْ ‫َو ِك‬
‫ض ُع ٓو ۟ا َأ ْو ٰلَ َد ُك ْم فَاَل‬ ٰ
ْ َ‫اح َعلَ ْي ِه َما ۗ َوِإنْ َأ َردتُّ ْم َأن ت‬
ِ ‫ست َْر‬ َ َ‫ض ِّم ْن ُه َما َوتَشَا ُو ٍر فَاَل ُجن‬ ٍ ‫صااًل عَن تَ َرا‬ َ ِ‫ِم ْث ُل َذلِ َك ۗ فَِإنْ َأ َرادَا ف‬
ِ َ‫وا ٱهَّلل َ َوٱ ْعلَ ُم ٓو ۟ا َأنَّ ٱهَّلل َ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬
‫صي ٌر‬ ۟ ُ‫وف ۗ َوٱتَّق‬ َ ‫اح َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا‬
ِ ‫سلَّ ْمتُم َّمٓا َءاتَ ْيتُم بِٱ ْل َم ْع ُر‬ َ َ‫ُجن‬
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah
dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
b. Al-Quran Surat Al-A’raaf [7] ayat 199

ِ ‫ُخ ِذ ٱ ْل َع ْف َو َوْأ ُم ْر بِٱ ْل ُع ْر‬


ْ ‫ف َوَأ ْع ِر‬
َ‫ض َع ِن ٱ ْل ٰ َج ِهلِين‬
Artinya : “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,

2
“KAIDAH AL-’AADAH MUHAKKAMAH | Imas Nurul F - Academia.edu,” 4, diakses 11 November 2022,
https://www.academia.edu/24930870/KAIDAH_AL_AADAH_MUHAKKAMAH.

5
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
2. Dasar Hukum Dalam Hadits
Dasar hukum didalam Hadits yaitu:
‫ما رءاه المسلمون حسنا فهو عند هلال حسن وما رءاه المسلمون سيئا فهو عنداهلال سيء‬
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi
Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka menurut Allah-
pun digolongkan sebagai perkara yang buruk” (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam
Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
C. Makna Kaidah
Berdasarkan dalil di atas kita menemukan dua kata kunci yakni Al-Aadah dan
Al-Urf. Para ulama ushul fikih (ushuliyyun) menggunakan dua kata ini secara
bergantian untuk menjelaskan kebiasaan. Al-aadah (adat) di definisikan suatu
perbuatan yang dikerjakan secara berulang tanpa hubungan rasional Sedangkan al-urf
didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas umat, baik dalam perkataan maupun
perbuatan. Jadi makna kaidah al-aadah wa al-urf itu sesuatu yang telah biasa berlaku,
diterima dan dianggap baik oleh masyarakat.
Al-aadah dan al-urf yang menjadi salah satu aspek penting dalam penetapan
hukum Islam itu bukan merupakan prilaku individual tetapi sudah berlaku pada
kebanyakan masyarakat di daerah tertentu. Misalnya di daerah tertentu dalam
menetapkan keperluan rumah tangga, diambil dari mahar yang diberikan suami. Jika
kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari cara kehidupan masyarakat tertentu maka
kebiasaan seperti ini dapat dijadikan sebagai kaidah untuk menetapkan kebolehan
penggunaan mahar yang seharusnya milik istri.
D. Kaidah-Kaidah Cabang Dari Al-adah Muhakkamah serta Implementasinya
Pada dasarnya al-aadah muhakkamah termasuk salah satu dari kaidah asasi
yang jumlahnya 5 (lima) kaidah, atau menurut jumhur ulama al-Syafi'i disebut al-
qowa'idul khomsah, yaitu: 1). Al-umur bi maqaashidiha; 2). Al-yaqin la yuzalu bis-
syaak; 3). Al-masyaqah tajlibu al-taisyir; 4). Al-dlararu yuzalu; dan 5). Al-aadah
muhakkamah.
Kaidah cabang adalah kaidah turunan yang lebih sepesifik dari pada kaidah
asasi yang lebih umum.
‫المعروف عرفا كالمشروط شرطا‬
“Semua yang telah dikenal karena urf seperti yang disyaratkan karena suatu

6
syarat”3
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya ikat seperti
suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan, dan sesuatu yang
telah dikenal (masyhur) secara urf (adat) dalam sebuah komunitas masyarakat adalah
menempati posisi (hukumnya) sama dengan sebuah syarat yang disyaratkan
(disebutkan dengan jelas), walau sesuatu itu tidak disebut dalam sebuah akad
(tsansaksi) atau ucapan, sehingga sesuatu itu harus diposisikan (dihukumi) ada,
sebagaimana sebuah syarat yang telah disebut dalam sebuah akad haruslah ada atau
dilakukan. Namun dengan syarat sesuatu yang makruf atau masyhur itu tidak
bertentangan dengan syariat Islam.
Contoh: jika menurut kebiasaan umum seorang penjual AC bertanggung
jawab atas pemasangannya dan dianggap sebagai syarat dalam kontrak jual beli, maka
itu merupakan tanggung jawabnnya walaupun tak ada dalam kontrak.
Contoh selanjutnya yaitu kasus menjual buah dipohon, menurut qiyas,
hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya tidak jelas (majhul), tetapi
karena sudah menjadi kebiasaan yang umum dilakukan ditengan masyarakat , maka
ulama membolehkannya.
‫كل ما ورد به الشرع مطاقا وال ضابط له فيه وال اللغة يرجع فيه الى العرف‬
“Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara’ secara mutlak dan tidak ada
pembatasannya dalam syara’ dan dalam ketentuan bahasa, dikembalikan kepada urf”
Banyak ulama fiqh mengartikan „uruf sebagai kebiasaan yang dilakukan
banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreatif-imajenatif manusia dalam
membangun nilai-nilai budaya.
‫المعرفُ بينَ تُجا ِر كالمشروطُ بينهم‬
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di
antara mereka”
Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti
disyaratkan dalam transaksi. Kaidah ini lebih mengkhususkan adat atau urf yang ada
(terbiasa) diantara para pedagang saja, dimasukan disini dikarenakan masih dalam
kaitannya dengan kaidah al-adah muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini adalah
segala sesuatu yang sudah umum (biasa) dikenal dikalangan para pedagang, maka
posisi (status hukum) sesuatu ini adalah sama dengan seperti sebuah ketetapan syarat
yang berlaku diantara mereka, walau sesuatu itu tidak disebutkan dengan jelas dalam
3
Maulana Hamzah, “AL-’AADAH MUHAKKAMAH,” 1 November 2014, 25.

7
sebuah akad atau ucapan.
Namun aplikasi kaidah ini tidak hanya berlaku untuk transaksi antara sesama
pedagang saja, akan tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli, selama terkait
dalam bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli. Contoh lainnya yaitu antara
pedagang dan pembeli seperti biaya pengiriman barang menurut kebiasaan
perdagangan di Indonesia adalah menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga
walaupun dalam akad pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos)
pengiriman, maka hukumnya tetap ada dan menjadi tanggung jawab penjual.
Redaksi kaidah ini dalam sebagian referensi sedikit berbeda, namun arti dan
maksudnya tetap sama, yaitu kata ta’yin (ketentuan) diganti dengan kata thabit
(ketetapan), sehingga berbunyi al-thabit bi al-urf ka al-thabit bi al-nas. Maksud kaidah
ini tidak jauh berbeda dengan kaidah sebelumnya, hanya saja kaidah ini lebih
memperkuat aspek legalitasnya. Artinya posisi sebuah hukum yang didasarkan pada
adat (tradisi) dengan beberapa ketentuannya itu bisa sejajar kekuatan legalitas
hukumnya dengan nash syariat. Alhasil, sebuah ketetapan hukum atas dasar adat itu
sama seperti ketentuan hukum atas dasar nash syariat Islam. Sehinggga tidak ada
alasan bagi siapapun untuk menolaknya, terlebih jika telah diputuskan hakim dalam
sebuah sengketa misalnya perdata. Kaidah ini mirip atau searti dengan kaidah Tasbitu
al-Ma’ruf berikut:
‫التا بت باالمعرف كا لتا بت بالنص‬
“Yang ditetapkan oleh (adat) „urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash”
Contoh lainnya dalam kaidah ini yaitu, apabila orang memelihara sapi orang
lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak
pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah
selanjutnya secara beganti-ganti.
E. Perbedaan antara antara al-Aadah dengan al-Urf
Perbedaan antara kedua istilah ini sering kali menimbulkan perbedaan
pendapat, dimana terdapat sebagian kelompok ulama yang melihat adanya perbedaan
antara istilah adat dan urf.4
Amir Syarifuddin juga melihat perbedaan urf dan adat, dari segi kandungan
artinya. Adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dan tidak

4
Fatmah Taufik Hidayat dan Mohd Izhar Ariff bin Mohd Qasim, “Kaedah Adat Muhakkamah dalam Pandangan
Islam (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum),” Jurnal Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi) 9, no. 1 (17 Juni
2016): 70.

8
meliputi penilaian mengenai segi baik dan burunya perbuatan tersebut. Tegasnya, kata
adat, berkonotasi netral, sehingga ada adat yang baik dan ada pula yang buruk.5
Proses pembentukan adah adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang
berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa membuat tertanam
dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah muta’araf, adah berubah
menjadi urf (haqiqat al-urfiyyah), sehingga adah merupakan unsur yang muncul
pertama kali dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi
urf. Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa adah dan urf dilihat dari sisi
terminologisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah adah
dan urf tidak mengandung suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum
yang berbeda.
Sekalipun demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana ‟urf
dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan
muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Dari
pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan urgen,
selama dilakukan secara kolektif, dan hal seperti itu masuk dalam ketegori urf.
Sedangkan „aadah didefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat
apakah dilakukan oleh individu maupun kolektif.
Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah
adah dan urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
1. Urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan
harus dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan
pada posisi pelakunya.
2. Aadah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau
kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.
Sedangkan persamaannya, urf dan adah merupakan sebuah pekerjaan yang
sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta
sesuai dengan karakter pelakunya. Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah aladah
(adat) dan al-urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula.
Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan.
Sementara al-urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu, adat bisa dilakukan oleh

5
Azzarqa Azzarqa dan Addiarrahman Addiarrahman, “Kritik Nalar Perbankan Syari’ah: Perspektif Legal Maxim,”
Az-Zarqa’: Jurnal Hukum Bisnis Islam 5, no. 2 (1 Desember 2013): 9,
https://doi.org/10.14421/azzarqa.v5i2.1312.

9
pribadi maupun kelompok, sementara al-urf harus dijalani oleh komunitas tertentu.
Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf yang sering disebut dalam Al-Quran. Oleh
karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat
(kepantasan).
F. Kedudukan adah dan urf dalam pandangan fuqaha’
Untuk mengetahui masalah kedudukan adah atau urf sebagai salah satu
patokan hukum, fuqohah‟beragam pendapat dalam memeganginya sebagai dalil
hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Abu Hanifah : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, dan urf masyarakat.
2. Imam Malik : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishhab, maslahah
mursalah, syadduzdharai dan urf.
3. Malikiyyah, membagi adah kebiasaan atau urf menjadi tiga, yaitu:
a. Yang dapat ditetapkan sebagai hukum lantaran nash menunjukkan,
b. Jika mengamalkannya berarti mengamalkan yang dilarang atau
mengabaikan syara’
c. Yang tidak dilarang dan tidak diterima dan tidak diterima lantaran tidak ada
larangan.
d. Imam Syafi’i tidak mempergunakan urf atau adah sebagai dalil, karena
beliau berpegang pada al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan ijtihad yang hanya
dibatasi dengan qiyas saja. Karena itulah keputusan yang telah diambil oleh
imam syafi’i dalam wujud “qaul jadid” itu merupakan suatu imbangan
terhadap penetapan hukumnya di bagdad dalam wujud qaul qadim.
e. Cara pembagian waris dengan ahli waris pengganti
f. Cara pembagian waris secara kolektif

10

Anda mungkin juga menyukai