Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

QOWA’ID FIQHIYAH (KAEDAH KELIMA)

Dosen Pembimbing

Ust. Ali Mahfudz, Lc, M.H.I

Disusun Oleh

Asyiah S

Devi SM

Fitri

Program Study Perbandingan Mazhab


SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH (STIS) AL-MANAR
Tahun Akademik 2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Panyayang, Segenap puja dan puji hanya milik Allah,. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan untuk Rasulullah,keluarga dan para sahabatnya
serta pengikutnya hingga Hari Kiamat. Alhamdulillah Allah juga telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini.

Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Kaedah Kubro Qowa’id
Fiqhiyah Kelima. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas dan juga sebagai salah
satu objek untuk membantu mahasiswa memahami mata kuliah Qowa’id Fiqhiyah.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.

Tasikmalaya, 18 Desember 2020


DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi


BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

Pengertian Kaidah
Dalil Kaidah Kelima
contoh aplikasi kaidah
Kaidah-kaidah cabang dari kaidah kubro yang kelima

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Daftar Pustaka

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Kaidah Fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat islam
untuk menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi di dalam kehidupan.

Permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari sangat beragam.


Tentunya mengharuskan mencari jalan keluar untuk menyelesaikannya, maka kaedah
kubro kelima ini membantu untuk menyelesaikan permasalahan permasalahan yang
sesuai dengan kaedah ini.
Contoh penerapan kaidah ini adalah diantaranya: penetapan masa haidh, kadar
nafkah dll. ini tentunya bersumber dari Al Qura’an dan As sunnah yang merupakan
terciptanya hukum-hukum islam. Dengan adanya kaedah kelima ini tentunya
mempermudah kita dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perbuatan
manusia.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian Kaidah ?

2. Apa saja dalil kaidah kelima ?

3. Contoh aplikasi kaidah kelima Dan cabang-cabang kaidah kelima?


BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KAIDAH

Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab al-qawa‟id al-fiqhiyah.
Al-qawa’id merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa’idah yang secara
kebahasaan berarti dasar, aturan atau patokan umum.
Pengertian ini sejalan dengan Al-Ashfihani yang mengatakan bahwa qa`idah secara
kebahasaan berarti fondasi atau dasar (al-Ashfihani, 1961: 409). Kata alqawa`id dalam
Al-Qur`an ditemukan dalam surat Al- Baqarah ayat 127 dan surat An-Nahl ayat 26 juga
berarti tiang, dasar atau fondasi, yang menopang suatu bangunan.

Sedangkan kata al-fiqhiyah berasal dari kata al-fiqh yang berarti paham atau
pemahaman yang mendalam (al-fahmal-„amiq) yang dibubuhi ya‟ an-nisbah untuk
menunjukan penjenisan atau pembangsaan atau pengkategorian. Dengan demikian, secara
kebahasaan, kaidah-kaidah fiqh adalah dasar-dasar, aturan-aturan atau patokan-patokan
yang bersifat umum mengenai jenis-jenis atau masalah masalah yang masuk dalam
kategori fiqh.

B. DALIL/ DASAR KAIDAH KELIMA

‫العادة محكمة‬
Artinya: Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum
Dalil Kaidah tersebut diambil dari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw
Dari Al-Qur’an berbunyi sebagai berikut:

‫ ٍة‬E‫أْتِينَ بِ ٰفَ ِح َش‬EEَ‫وه َُّن إِٓال أَن ي‬EE‫ٓا َءاتَ ْيتُ ُم‬EE‫ْض َم‬ ۟
ِ ‫ذهَبُوا بِبَع‬Eْ Eَ‫ضلُوه َُّن لِت‬
۟ ُ‫وا اَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم أَن تَرث‬
ُ ‫وا ٱلنِّ َسٓا َء كَرْ هًا ۖ َواَل تَ ْع‬ ِ
۟ ُ‫أَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
َ
۟ ‫ُوف ۚ فَإن َكر ْهتُ ُموه َُّن فَ َع َس ٰ ٓى أَن تَ ْك َره‬
‫ا َويَجْ َع َل ٱهَّلل ُ فِي ِه َخ ْيرًا َكثِيرًا‬Eًًٔ‫ُوا َش ْئـ‬ ِ ِ ِ ‫ة ۚ َوعَا ِشرُوه َُّن بِ ْٱل َم ْعر‬Eٍ َ‫ُّمبَيِّن‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka
secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.(Q.S An-Nisa: 19)

Kemudian dalil yang lain:


E‫ َن‬E‫ ي‬Eِ‫ ل‬E‫ ِه‬E‫ ا‬E‫ج‬Eَ E‫ ْل‬E‫ ا‬E‫ ِن‬E‫ َع‬E‫ض‬ Eِ E‫ر‬Eْ E‫ ُع‬E‫ ْل‬E‫ ا‬Eِ‫ ب‬E‫ر‬Eْ E‫ ُم‬E‫ ْأ‬E‫ َو‬E‫و‬Eَ E‫ ْف‬E‫ َع‬E‫ ْل‬E‫ ا‬E‫ ِذ‬E‫ُخ‬
Eْ E‫ ِر‬E‫ ْع‬Eَ‫ أ‬E‫ َو‬E‫ف‬
Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(Q.S Al-‘Araf: 199).

Kaidah ini diambil juga dari hadits Mauquf Nabi SAW.


Dasar kaidah ini adalah Hadis Mauquf yang artinya:
“Apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka baik pula di sisi Allah”
Setelah memperhatikan kaidah serta ayat-ayat dan hadist yang menjadi dasar
kaidah, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang Ta’rif dari Al-Adaah dan Al-Uruf
serta hubungannya dengan hadist.
Menurut Al-Jurjani:
‫العادة ما استمر الناس عليه على حكم المعقول وعادوا إليه مرة بعد أخرى‬
“Al-Adaah ialah sesuatu (Perbuataa atau Perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh
manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulangnya terus
menerus”
Sedangkan Al-Uruf, kebanyakan ulama Fiqih mengartikan sebagai kebiasaan yang
dilakukan banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreatifitas-imajenatif manusia dalam
membangun nilai-nilai budaya.
Sedangkan Al-Uruf, terbentuk dari akar kata Al-Muta’araf, yang mempunyai
makna “saling mengetahui”. Dengan demikian, proses terbentuknya adat, menurut
Muhammad Shidqi adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus
menerus. Proses pengulangan inilah yang disebut Al-‘awd wal mu’awadah. Ketika
pengulangan itu membuatnya tertanam dalam hati setiap prang, maka ia telah memasuki
stadium Al-Muta’araf.
Adapun “Uruf” menurut ulama Ushul Fiqih adalah:
‫عادة جمهور قوم فى قول او فعل‬
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”
Dari definisi-definis di atas dan juga ta’rif yang diberikan oleh ulama-ulama yang
lain, dapat dipahami bahwa Al-Uruf dan Al-Adah adalah searti, yang mungkin
merupakan perbuatan atau perkataan. Keduanya harus betul-betul berulang-ulang
dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal
dan pertimbangan yang sehat serta tabiat yang sejahtera.
Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan
dengan syara’, sehingga merupakan yang dimaksud oleh hadis di atas, yaitu apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin.
Dengan sendirinya tidak termasuk dalam pengertian “adaah dan uruf di sini, hal-
hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan, tidak ada faedahnya sama sekali. Misalnya:
Muamallah dengan riba, judi, saling daya memperdayakan, menyabung ayam dan
sebagainya. Meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan mungkin
bahkan tidak dirasa lagi keburukannya.
Suatu perbuatan dalam masyarakat, apabila sudah dapat dikategorikan dalam
definisi di atas, dapat ditetapkan sebagai hukum atau dapat dijadikan sebagai sumber
hukum.
Secara umum, terdapat empat syarat bagi sebuah hadis tradisi untuk dijadikan pijakan
hukum, yaitu:
1. Tidak bertentangan dengan salah satu nash syari’at. Artinya ada tersebut berupa
ada shahih sehingga tidak akan menganulir seluruh aspek subtansial nash. Sebab
bila seluruh isi subtantif nash tidak teranulir, maka tidak dinamakan bertentangan
dengan nash, karena masih terdapat beberapa unsur nash yang tidak tereliminasi.
2. Berlaku dan atau diberlakukan secara umum dan konstan (iththirad) dan
menyeluruh, atau minimal dilakukan kalangan mayoritas (ghalib). Bila tidak ada
yang mengerjakan, maka itu hanya sebagian kecil saja dan tidak begitu dominan.
Cara mengukur konstansi adat sepenuhnya diserahkan pada penilaian masyarakat
(ahl uruf), apakah ia dianggap sebagai pekerjaan yang sangat sering mereka
jalankan atau tidak.
3. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat, syarat ini
menunjukkan bahwa adat tidak berkenaan dengan perbuatan ma’siat.
4. Tidak mendatangkan Kemadlorotan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang
sejahtera.

Di antaranya perbuatan yang hukumnya oleh Rasulullah saw, ditetapkan berdasarkan adat
ialah seperti yang diterangkan hadits:
‫ من سلف في ثمر فليسلف في كيل‬:‫قدم النبي صلى هللا عليه وسلم المدينة وهم يسلفون الثمار السنة والسنتين فقال‬
)‫(أخرجه البخاري عن إبن عباس‬ ‫معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم‬
“Ketika Nabi SAW. Datang di Madinah, mereka (penduduk Madinah) telah (biasa)
memberi uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua
tahun. “Maka Nabi bersabda: Barang siapa memberi uang panjar pada buah-buahan,
maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangkan yang tertentu
dan waktu tertentu”
Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan
dengan syara’ dalam muamalat seperti dalam jual beli, sewa-menyewa, kerja samanya
pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan dasar hukum,
sehingga seandainya terjadi perselisihan pendapat di antara mereka, maka
penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau uruf yang berlaku.
Demikian pula dalam munakahat seperti tentang banyaknya mahar, atau nafakah, juga
harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku.
Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha’ mengatakan:
‫كل ما ورد به الشرع مطلقا وال ضابط له في اللغة يرجع فيه الى العرف‬
“Semua yang datang dari syara’ secara mutlak, maka ada ketentuaannya dalam agama
dan tidak ada bahasa, maka dikembalikan kepada Urf”
Para ulama ushul fiqih juga sepakat bahwa hukum yang didasarkan kepada “urf” bisa
berubah dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu.

C. CONTOH APLIKASI KAIDAH KELIMA BESERTA CABANG-


CABANGNYA

Tradisi atau adat sangat berperan dalam pembentukan dan pengembangan hukum
Islam. Adanya berbagai aliran hukum dalam sejarah, Kaidah-kaidah Fiqih sesungguhnya
juga karena andil adat istiadat masyarakat setempat. Imam Abu Hanifah banyak
mempertimbangkan adat atau kebiasaan masyarakat Irak dalam menetapkan hukumnya.
Imam Malik banyak dipengaruhi oleh tradisi atau adat ulama-ulama Madinah. Imam as-
Syafi‟i memiliki qaul qadim (ketika ia berada di Baghdad) dan qaul jadid (ketika berada
di Mesir), disebabkan perbedaan adat atau tradisi kedua negara atau wilayah tersebut.
Banyak sekali aturan hukum Islam atau fiqih yang ditetapkan dengan mempertimbangkan
adat kebiasaan ini. Umpamanya, jual beli ta‟athi (mengambil barang atau benda,
kemudian memberikan sejumlah uang atau alat tukar lainnya yang telah diketahui),
penemplean atau pelabelan harga barang seperti yang sering dilakukan di mall-mall atau
super market, atau pengumuman melalui lisan atau tulisan. Ibn Khaldun dalam
Muqaddimah-Nya pernah mengatakan : “Sesungguhnya keadaan alam, bangsa-bangsa
dan adat istiadat mereka tidak kekal (tetap) menurut suatu contoh dan metode yang tetap.
Yang ada adalah perubahan menurut waktu dan keadaan. Hal ini terjadi bagi perorangan
waktu dan tempat, dan terjadi di Negara-negara, waktu dan daerah-daerah itu. Kaidah-
kaidah Fiqih Mencermati kenyataan yang terjadi pada individu masyarakat dan bangsa
seperti digambarkan oleh Ibn Khaldun dan respons Islam terhadapnya, maka adat
kebiasaan tersebut harus tetap dipertahankan. Dari kaidah induk di atas, muncul beberapa
kaidah cabangnya, antara lain adalah: Kaidah yang berbunyi:

Yang Artinya: “Setiap aturan yang didatangkan oleh syara‟ secara mutlak dan tidak
ada pembatasannya dalam syara‟ dan (juga tidak ada pembatasannya dalam) aturan
bahasa, ketentuannya dikembalikan kepada kebiasaan („urf). Dari kaidah ini dipahami
bahwa:
1. Menurut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, bahwa makanan atau minuman
yang disuguhkan kepada tamu boleh dimakan, tanpa harus membayar. Tetapi, kalau ada
ketentuan lain hendaklah diberitahu melalui pengumuman, petunjuk atau Kaidah-kaidah
Fiqih isyarat yang menunjukan bahwa yang disajikan itu mesti dibayar.
2. Menurut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat bahwa manakala seorang
mahasiswa hendak menggandakan naskah skripsinya maka kertasnya disediakan oleh
pihak pemilik photo copy, kecuali memang ada ketentuan lain sesuai dengan
kesepakatan.
3. Seandainya ada seseorang meminta tolong kepada seorang makelar untuk menjualkan
kendaraan bermotornya tanpa menyebutkan upahnya. Apabila kendaraannya itu terjual,
maka seseorang itu harus memberikan komisi kepada makelar tersebut sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku, umpamnya dua setengah persen dari harga penjualannya, kecuali
ada kesepakatan lain.
4. Atas dasar kaidah di atas, karena sudah menjadi kebiasaan, maka dibolehkan transaksi
pemesanan barang (istishna‟ atau indent) dengan pembayaran uang muka setengah
harganya dan sisanya akan dibayar setelah barang pesanan selesai.
5. Atas dasar kaidah di atas, karena sudah menjadi kebiasaan, maka pemerintah
dibolehkan memberi uang muka kepada karyawan sebelum SK-nya turun, atau
dibolehkan memberi honorium kepada tenaga pengajar atau tenaga kependidikan sebelum
dia selesai mengerjakan tugasnya.

Kaidah : Artinya: “Adat kebiasaan yang diterapkan dalam satu segi tidak dapat
menempati tempat syarat.”
Dari kaidah ini dipahami bahwa:
1. Manakala dalam suatu komunitas masyarakat tertentu ada suatu kebiasaan bahwa
pemegag gadai dibolehkan memanfaatkan barang gadai, maka kebolehan pemanfaatan itu
tidak boleh menjadi persyaratan dalam gadai. Artinya, dalam gadai tersebut tidak boleh
disyaratkan bahwa orang yang menerima gadai itu dibolehkan mengambil manfaat dari
barang yang digadaikan.
2. Manakala dalam suatu komunitas masyarakat ada suatu kebiasaan bahwa pembayar
hutang selalu melebihkan jumlah pembayarannya ketika membayar, maka penambahan
tersebut tidak boleh menjadi persyaratan. Sebab, apabila disyaratkan demikian, maka
utang-piutang itu menjadi dilarang, karena sudah menjadi riba nasi‟ah. Dengan ungkapan
lain, seseorang yang berhutang boleh membayar utang dengan melebihkan dari jumlah
utang, asalkan tidak disyaratkan ketika terjadi transaksi utang-piutang.
Kemudian kaidah:
Artinya: “Perubahan dan perbedaan fatwa hukum berdasarkan perbedaan masa, tempat,
kondisi, kebiasaan (tradisi) dan tujuan atau niat.” Kaidah yang merupakan ungkapan Ibn
alQayyim di atas menjelaskan bahwa produk hukum atau produk fatwa dapat dan boleh
saja berbeda dan berubah diakibatkan berubahnya masa, berbedanya tempat, tidak sama
kondisi atau keadaan, berlainan tradisi dan tidak samanya niat atau tujuan dikeluarkannya
hukum atau fatwa tersebut. Kendatipun demikian, hukum yang dihasilkan dari pemikiran
atau ijtihad tersebut haruslah tetap bersandar kepada dalil-dalil Al-Qur‟an dan Sunnah.
Ada contoh terkenal tentang perbedaan hukum karena perbedaan zaman dan tempat, yaitu
Imam asySyafi‟i ketika telah hijrah ke Mesir banyak merubah pendapatnya yang telah ia
tetapkan ketika berada di Irak, sehingga fatwa hukum beliau ada yang dikenal dengan
qaul qadim (pendapat ketika di Irak) dan qaul jadid (pendapat ketika ia sudah menetap di
Mesir).
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
‫ العادة محكمة‬Artinya adat atau kebiasaan bisa dijadikan landasan hukum.
Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Saw yang artinya: “Apa yang kaum muslimin
menganggapnya baik maka ia disisi Allah juga baik.
Contoh penerapan kaidah ini adalah penetapan jual beli, penetapan masa haidh, kadar
nafkah dan kualitas kadar makanan untuk kafarah.

B. DAFTAR PUSTAKA
Surat Al-A’raf Ayat 199 | Tafsirq.com
Qowaidulfiqih (Kaidah Kelima: Adat Kebiasaan Dapat Dijadikan Pijakan Hukum) | I
Write Because Nobody Listens! (coretananaqkampoenk.blogspot.com)
Referensi: https://tafsirweb.com/1551-quran-surat-an-nisa-ayat-19.html
Referensi:https://tafsirweb.com/1551-quran-surat-an-nisa-ayat-19.html
Referensi: https://tafsirweb.com/1551-quran-surat-an-nisa-ayat-19.html

Anda mungkin juga menyukai