MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perbandingan Madzhab
Diampu oleh Yudi Kuswandi
Disusun Oleh :
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SILIWANGI BANDUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbedaan itu tentu bukan semata-mata karena sesuatu yang tidak jelas atau sekedar ingin
mempertahankan pendapat masing-pasing saja. Akan tetapi memiliki alasan tersendiri dan
tentunya tetap sejalan dengan ajaran Islam. Untuk itu penulis tertarik membahas masalah apa
yang menyebabkan terjadinya perbedaan dikalangan para ulama dalam menentukan hukum
yang berlaku dari setiap permaslaahan yang timbul dengan judul “Asbab Al- Ikhtilaf”. Agar
penulis dan pembaca mengetahui penyebab terjadinya perbedaan yang timbul dikalangan
ulama. Dan mudah menerima perbedaan yang ada.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ikhtilaf
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap
suatau obyek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk tidak sama ataupun
bertentangan secara deamitral. Jadi, yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau
bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap satu obyek hukum.
B. Tempat Terjadinya Ikhtilaf
Karena sumber-sumber Islam pada masa sahabat sepeninggal Nabi SAW adalah al-
Qur’an, al sunnah, dan ijtihad sahabat, termasuk qiyas, ra’yu, dan ijma’ sahabat. Maka dapat
dijabarkan menjadi :
DR. Wasim Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an sebagai “ketidak
sepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafazh al-
Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ala dari ayat itu, dimana
sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir
lainnya. Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam
menafsirkan al-Qur’an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah ikhtilaf. Akan
tetapi, sebagaimana akan diuraikan kemudian dari sisi lain, ikhtilaf sendiri kemudian dibagi
menjadi 2 jenis:
makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama lain, namun diungkapkan
dengan cara yang berbeda, atau terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling
menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.
Sedangkan ikhtilaf tadhadh adalah ketika makna-makna itu saling menafikan satu
sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu diantaranya diucapkan,
maka yang lain harus ditinggalkan. Sebagai contoh adalah ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi’I
dengan Imam Ahmad yang terdapat dalam surah An-nisa ayat 43:
يل َح َّت ٰىٍ ون َواَل ُج ُنبًا إِاَّل َع ِاب ِرى َس ِب َ ُ ُوا َما َتقُول ۟ صلَ ٰو َة َوأَن ُت ْم ُس ٰ َك َر ٰى َح َّت ٰى َتعْ لَم ۟ وا اَل َت ْق َرب
َّ ُوا ٱل َ ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذ
۟ ِين َءا َم ُن
وا َمٓا ًء۟ ض ٰ ٓى أَ ْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أَ ْو َجٓا َء أَ َح ٌد مِّن ُكم م َِّن ْٱل َغٓائِطِ أَ ْو ٰلَ َمسْ ُت ُم ٱل ِّن َسٓا َء َفلَ ْم َت ِج ُد َ ْوا ۚ َوإِن ُكن ُتم مَّر ۟ ُ َت ْغ َتسِ ل
ان َعفُ ًّوا َغفُورً ا َ ُوا ِبوُ جُو ِه ُك ْم َوأَ ْيدِي ُك ْم ۗ إِنَّ ٱهَّلل َ َك ۟ ِيدا َط ِّيبًا َفٱمْ َسح ً صع َ ُوا ۟ َف َت َي َّمم
“Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu,
sesungguhnya allah maha pema’af lagi maha pengampun.”
ْ أَولَ َم, menurut Imam Asy-syafi’I menyentuh disitu adalah makna hakiki karena
َ ِّستُ ُم الن
Lafaz سا َء
tidak ada illat atau sebab dan qarinahi atau petunjuk yang mengharuskan terjadinya
pemalingan makna ke makna majaz. Karenanya menyentuh perempuan menurutnya
membatalkan wudhu, sebaliknya menurut Imam Ahmad menyentuh di situ bersifat Majazy
berdasarkan pada surah Al-Baqarah ayat 237 :
Terjemahanya:
“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu
sudah menetukan maharnya maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu
tentukan kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad
nikah ada di tangannya… (QS. Al Baqarah : 237)
Adakalanya saat mengkaji kitab-kitab hadits, kita akan menemukan hadits yang
secara lahiriah bertentangan. Misal bertentangan dengan al-Quran, bertentangan dengan
Hadits lainnya, bertentangan dengan akal/logika bahkan bertentangan dengan Ijma’.
Contoh yang bertentangan dengan ijma’ adalah hadits tentang hukum bunuh bagi
peminum khamr. Dari Muawiyyah bin abu Sufyan ia berkata, “Rasulullah bersabda : Jika
mereka minum khamr maka cambuklah, jika mereka minum lagi cambuklah, jika mereka
minum lagi maka cambuklah, dan jika mereka minum lagi maka bunuhlah” (Sunan abu
Dawud, no 3886).
Hadits ini dianggap bertentangan dengan ijma’, yang menyatakan bahwa hukum
diatas telah di nasakh oleh hadits lain yang menyatakan bahwa hukuman bagi peminum
khamr adalah dipukul, tidak sampai dibunuh. Hadits-hadits yang bertentangan akan
memunculkan masalah bahkan kebingungan bagi orang awam, bagaimana cara menyikapinya
agar tidak menimbulkan perpecahan di tengah umat? Oleh karena itulah Dr Salamah
Noorhidayati menulis buku tentang ilmu “Mukhtalif al-Hadits” (Yogyakarta : Lentera
kreasindo, 2016).
Dalam bukunya yang tebalnya 220 halaman ini, dosen IAIN Tulungagung tersebut
menjelaskan kepada pembaca bagaimana ulama-ulama terdahulu merumuskan cara atau
metodologi penyelesaian hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan alias kontradiktif.
Terdapat empat faktor penyebab terjadinya pertentangan/ikhtilaf dalam hadits :
a. Latar belakang munculnya sebuah hadits. Kedua, faktor yang menyangkut redaksi
teks hadits yang memang terkesan bertentangan. Ketiga, Faktor yang disebabkan oleh
konteks dimana Rasulullah saw menyampaikan hadits dan kepada siapa beliau
berbicara. Keempat, Faktor yang berkaitan dengan metode seseorang ulama
memahami hadits dan kelima, Faktor mazhab atau ideologi seseorang ketika
memahami suatu hadits. Contohnya hadits tentang kawin mut’ah, hadits tentang boleh
tidaknya bertawasul kepada Nabi atau hadits tentang imamah vs khilafah (Dr Salamah
Noorhidayati, 2016, hal 41-43). Pencetus ilmu Mukhtalif hadits dalam sejarah
peradaban Islam adalah Imam Syafi’i. Beliau menulis kitab khusus berjudul Ikhtilaf
al-Hadits. Menurut Dr Salamah Noorhidayati, sebagai peletak dasar ilmu ini, usaha
Imam syafi’i diteruskan oleh ulama bernama Ibn Qutaibah. Imam syafi’i menawarkan
penyelesaian untuk hadits yang nampak bertentangan. Pertama, al-jam’u wa at-
Taufiq.
b. metode an-Naskh dan terakhir Tarjih. Sementara Ibn Qutaibah menwarkan 2 metode
yaitu al-Jam’u dan Tarjih. Metode nasakh terkadang beliau gunakan apabila suatu
hadits dianggap cacat. (hal 92-94). Selain ketiga metode diatas, masih ada metode “at-
tasaqut” yang dalam istilah Ibnu hajar al-Asqalani disebut “at-tawwaquf”. Ini sebuah
metode yang membuat ulama tidak mengamalkan kedua hadits yang Nampak
kontradiktif atau menangguhkannya sambil menunggu petunjuk dari Allah swt dalam
menyelesaikan pertentangan tersebut (hal 101-102).
Untuk meneliti lebih jauh hadits mukhtalif, bisa ditempuh dengan jalan sebagai
berikut :
,Menentukan tema hadits
1) Melakukan takhrij Hadits
2) Mendokumentasikan hasil takhrij,
3) MNJMencatat hadits dan mengidentifikasi ada tidaknya perbedaan redaksi dalam
matan hadits (hal 127-128)
Ketiga faktor tersebut merupakan jaminan mereka untuk berbeda pendapat dan fatwa,
namun jika fatwa mereka benar mereka akan mendapat dua pahala, akan tetapi jika mereka
salah, akan mendapatkan satu pahala. Tentu saja ini hanya boleh dilakukan oleh mereka yang
berkompeten dan capable untuk itu.
Landasan dan pijakan jenis tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang
kualitasnya berbeda-beda pada setiap mufassir. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi
dalam jenis ini disebabkan oleh 2 sebab besar berikut:
Terjemahannya:
(Ingatlah), ketika yusuf berkata kepada ayahnya,” wahai ayahku! Sungguh, aku
(bermimpi) meliht sebuah bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud
kepadaku.
Mereka mengatakan, “Dalam ini, yang dimaksud dengan ‘Yusuf’ tak lain
adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn Ali ibn Abi Thalib...dimana Husain
berkata kepada ayahnya pada suatu ketika, ‘Sesungguhnya aku telah melihat 11
bintang, matahari dan bulan bersujud’. Dan yang dimaksud matahari adalah Fathimah,
bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam..”
2. menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin
secara bahasa, tanpa mempertimbangkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang
diturunkan kepada Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia.
Dengan kata lain, para penempuh metode ini hanya memperlakukan al-Qur’an
sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam menafsirkannya mereka tidak merasa perlu
merujuk pada hal-hal lain yang mengitarinya; seperti asbab al-nuzul, dan yang
lainnya.
Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini (dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-
Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an
memang diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap
bahasa ini mutlak dibutuhkan. Tetapi tidak cukup dengan itu. Para ulama tafsir telah
menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak
menyimpang dari semestinya. Salah satunya adalah menjadikan asbab al-nuzul
sebagai panduan dalam memahami teks al-Qur’an.
Metode ini sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Kisah ini setidaknya
menunjukkan 2 hal penting:
1) Bahwa bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami teks ayat
tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi al-lughah adalah metode yang “sah-
sah saja” dalam menafsirkan al-Qur’an.
2) Bahwa ketika “bertemu” antara penafsiran secara lughawy dengan penafsiran
secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka penafsiran secara naqly-lah
yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks al-Qur’an. Akhirnya,
memang tak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya ikhtilaf yang terjadi
dalam lingkup tafsir bi al-ra’yi ini termasuk dalam kategori ikhtilaf
tadhadh. Dan berkembangnya berbagai firqah dalam Islam adalah merupakan
bukti nyata akan hal ini.
Mengenai ikhtilaf para di kalangan sahabat, para ulama salaf sama sekali tidak melihat hal
itu tercela, bahkan hal itu dinilai positif oleh mereka. Imam Al Qasim bin Muhammad
seorang ulama tabi’in menyatakan.”Benar-benar Allah telah memberi manfaat dengan
ikhtilafnya para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam amalan mereka. Tidaklah
beramal orang yang mengamalkan amalan yang dilakukan oleh seorang dari mereka
(sahabat), kecuali ia melihat hal itu adalah bentuk kelonggaran. Dan ia melihat bahwa orang
yang lebih mulia daripadanya telah melaksanakannya”. (Jami’ Bayan Al Ilmi wa Fadhlihi,
2/80)
Aun bin Abdillah, juga ulama tabi’in menyatakan,”Aku tidak menyukai (jika) sesungguhnya
para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak berikhtilaf. Sesungguhnya mereka jika
sepakat atas suatu hal dan hal itu ditinggalkan oleh seseorang, maka ia telah meninggalkan
sunnah. Kalau mereka berselisih kemudian seseorang mengambil salah satu dari pendapat
mereka (para sahabat), ia telah menempuh sunnah”. (Sunan Ad Darimi, 1/151)
Bukan hanya merupakan hal yang lumrah di kalangan salaf, para ulama melihat bahwa
ikhtilaf adalah bagian dari kekhususan umat ini. Imam As Suyuthi menyatakan bahwa para
sahabat yang mana mereka adalah sebaik-baik umat berbeda pendapat satu sama lain dalam
masalah furu’, namun mereka tidak mengingkari satu sama lain, tidak menuduh yang lain
salah atau memiliki keterbatasan,”Maka diketahui bahwa ikhtilaf madzhab-madzhab yang
ada dalam millah ini kekhususan dan keutamaan untuk umat ini”. (lihat, muqaddimah Jazil Al
Mawahib fi Ikhtilaf Al Madzahib)
Dari ungkapan para ulama tersebut, kita bisa memahami bahwa mereka tidak melihat
perselisihan dalam masalah furu’ merupakan hal yang negatif. Bahkan justru sebaliknya,
mereka melihat itu adalah hal yang positif.
Adapun yang masih diperselisihkan oleh para ulama ialah perkataan sahabat yang
semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri dan para sahabat tidak dalam satu
pendirian.
Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan sahabat itu
adalah hujjah. Kata Imam Abu Hanifah: “Apabila aku tidak mendapatkan ketentuan dari
Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW maka aku mengambil pendapat dari sahabat beliau
yang kukehendaki dan meninggalkan pendapat yang tidak ku kehendaki. Aku tidak mau
keluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain
sahabat.” Perkataan Imam Abu Hanifah ini dapat dipahami bahwa beliau tidak menetapkan
perkataan sahabat tertentu itu adalah sebagai hujjah. Beliau membolehkan mengambil
pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki akan tetapi tidak boleh melawan pendapat
keseluruhan sahabat. Oleh karena itu, mengambil qiyas tidak diperkenankan selama masih
ada fatwa dari sahabat, biarpun yang diambil hanya pendapat salah seorang sahabat saja yang
dikehendaki. Jika hukum suatu peristiwa terdapat dua macam pendapat, maka yang demikian
itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang ketiga dan bila ada tiga macam
pendapat, maka yang demikian itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang
keempat. Jadi, keluar dari pendapat mereka keseluruhan berarti keluar dari ijma’ para sahabat
Dengan memandang jenis masalahnya, qaul shahabi seperti ini sebenarnya masih
dapat dibagi kepada dua golongan, yaitu yang tidak merupakan lapangan ijtihad, dan yang
termasuk lapangan ijtihad.
Mengenai ini, ditemukan beberapa pernyataan Al-Syafi’i yang tidak sama sehingga
para ulama ushul fiqh masih berbeda pendapat tentang pendirian al-Syafi’i yang sebenarnya
mengenai kehujjahan qaul shahabi, khususnya yang menyangkut masalah-masalah ijtihad.
Al-Ghazali mengutip bahwa pada kitab Ikhtilaf al-Hadits al-Syafi’i mengemukakan
adanya riwayat bahwa pada suatu malam Ali melakukan salat enam raka’at dengan enam kali
sujud pada tiap-tiap raka’atnya. Kemudian al-Syafi’i berkata,” Kalau saja riwayat tentang
perbuatan ‘Ali itu shahih, niscaya saya akan mengamalkannya, sebab masalahnya tidak
termasuk lapangan qiyas. Jadi, tentu ia melakukan hal itu berdasarkan tauqif (penetapan) dari
Nabi SAW.”
Dengan ini, al-Syafi’i jelas menyatakan pendiriannya bahwa dalam masalah-masalah
yang tidak termasuk lapangan qiyas atau ijtihad, qaul shahabi dianggap sebagai hujjah.
Adapun mengenai masalah yang termasuk lapangan ijtihad, telah disepakati bahwa pendapat
seorang sahabat tidak mengikat bagi sahabat lainnya. Mereka yang mampu berijtihad bebas
mengeluarkan pendapatnya masing-masing dan yang tidak mujtahid bebas pula mengikuti
salah satu dari pendapat yang ada.
Ikhtilaf dikalangan ummat islam telah terjadi sejak masa sahabat, ikhtilaf itu terjadi karena
perbedaan paham diantara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka.
Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena
perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama islam telah tersebar luas ke berbagai
penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke Negeri yang
baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan suatu masalah, sukar dilaksanakan.
Sampai saat ini fiqh ikhtilaf tetap berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam
masalah furu’iyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami
nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara
pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang
memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada dzahir
nash, antara yang mewajibkan bermazhab dan yang melarangnya. Perbedaan pendapat
dikalangan ummat ini, sampai kapanpun dan di tempat manapun akan terus berlangsung dan
hal ini menunjukkan kedinamisan hukum islam, karena pola pikir manusia terus berkembang.
Di antara sebab-sebab pokok terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama (Mujtahidin)
adalah sebagai berikut:
1) Sebab-Sebab Eksternal
2. Sebab-Sebab Internal
a. Kedudukan suatu hadis, Karena hadis-hadis yang datang dari rasullullah itu melewati
banyak jalan, maka terkadang menimbulkan perbedaan antara riwayat yang satu
dengan yang lainnya, bahkan bisa juga berlawanan. Bagi orang yang mantap hatinya
mempercayai perawinya maka hadis tersebut dijadikan landasan penetapan. Begitu
juga sebaliknya bagi orang yang tidak mempercayai perawinya akan menyampingkan
hadis tersebut.
b. Perbedaan penggunaan sumber hukum, Para ulama dalam menetapkan suatu hukum
tidak sama antara satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan tidak sama dalam
penggunaan sumbernya. umpamanya:
1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah
satu dalil dari sekian banyak model dalil.
2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala
berpikir.
3. Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda
pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan
diseputar mereka.
4. Pelajaran dan Teladan dari Ulama Salaf
5. Al-Imam Yahya bin Sa’id Al Ansharirahimahullah berkata : ”Para ulama adalah
orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para
mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang
menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela
satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa
Fadhlih 393).
6. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafirahimahullah (salah seorang
murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : “Aku tidak mendapati
orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku
berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku
dan menggandeng tanganku seraya berkata : “ Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya
kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu
diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
7. Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’irahimahullah) berkata,
“Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat
orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
8. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah berkata : “Seandainya setiap kali dua
orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan
memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum
muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173)
9. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Dalam masalah-masalah yang
diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun
diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada” (Al-
Faqih wal Mutafaqqih : 2/69[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat di tarik dari pembahasan ini antara lain sebagai berikut :
Dengan makalah yang kami buat ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
pembaca sangat kami butuhkan, guna perbaikan makalah kami berikutnya. Dan semoga
makalah ini berguna untuk kita semua. Amin
DAFTAR PUSTAKA
http://rifka-abdillah.blogspot.com/2012/04/perbedaan-madzhab-dan-sebab-sebSabnya.html
Thaha Jabir Fayyadh al-alwani, terj. Ija Suntana. 2001. Etika Berbeda Pendapat dalam
Islam. Bandung: PUSTAKA HIDAYAH.