Anda di halaman 1dari 14

IKHTILAF

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perbandingan Madzhab
Diampu oleh Yudi Kuswandi

Disusun Oleh :

1) Achmad Junaedi PAI REG IV 018.011.0001


2) Ikbal Ibrahim PAI REG IV 018.011.0013

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SILIWANGI BANDUNG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbedaan adalah salah satu yang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan umat manusia di


muka bumi ini. Ia merupakan sunnatullah yang berlaku sepanjang masa. Termasuk yang
tidak bisa dielakkan adalah perbedaan pendapat sekalipun dalam masalah pemahaman atau
penafsiran hukum-hukum agama. Karena perbedaan pendapat merupakan sebuah
keniscayaan, maka hal tersebut tidak perlu disesalkan  dan menjadi sebab kita berpecah belah
dan bercerai-berai. Perbedaan harus ‘disyukuri’ dan merupakan rahmat bagi umat
islam. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku.
Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah selalu dalam hal penerapannya pada masa
awal Islam. Pada masa itu Nabi Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap
permasalahan yang ada pada masa itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika
era para sahabat dan para tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab
yang bercorak kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.

Perbedaan itu tentu bukan semata-mata karena sesuatu yang tidak jelas atau sekedar ingin
mempertahankan pendapat masing-pasing saja. Akan tetapi memiliki alasan tersendiri dan
tentunya tetap sejalan dengan ajaran Islam. Untuk itu penulis tertarik membahas masalah apa
yang menyebabkan terjadinya perbedaan dikalangan para ulama dalam menentukan hukum
yang berlaku dari setiap permaslaahan yang timbul dengan judul “Asbab Al-  Ikhtilaf”. Agar
penulis dan pembaca mengetahui penyebab terjadinya perbedaan yang timbul dikalangan
ulama. Dan mudah menerima perbedaan yang ada.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Pengertian ikhtilaf ?

2. kapan terjadinya ikhtilaf ?

3. Apa saja penyebab terjadinya ikhtilaf ?

4. Apa hikmah dibalik ikhtilaf ?

C. Tujuan

1. mengetahui apa itu ikhtilaf

2. mengetahui kapan terjadinya ikhtilaf

3. mengetahui sebab sebab terjadinya ikhtilaf

4. mengetahui hikmah dibalik ikhtilaf


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ikhtilaf 

Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa


Arab yang asal katanya adalah : khalafa- yakhlifu-khilafan( ‫خالفا‬-‫يخلف‬ -‫خلف‬ ), maknanya lebih
umum daripada al-dhiddu (‫)الضد‬, sebab setiap hal yang berlawanan : al diddain (‫الضدين‬ ), pasti
akan saling bertentangan (mukhtalifan) (‫مختلفا‬ ). 

Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap
suatau obyek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk tidak sama ataupun
bertentangan secara deamitral. Jadi, yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau
bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap satu obyek hukum.

Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan ini disini, adalah perbedaan pendapat


diantara ahli hukum islam (fukaha) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat
furu’iyyah (perbedaan), bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-
pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam
menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain. Misalnya perbedaan pendapat fukaha
tentang hukum wudu’ seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah
al-Fatihah bagi ma’mum dalam sholat, dan lain-lain.

B. Tempat  Terjadinya Ikhtilaf

Karena sumber-sumber Islam pada masa sahabat sepeninggal Nabi SAW adalah al-
Qur’an, al sunnah, dan ijtihad sahabat, termasuk qiyas, ra’yu, dan ijma’ sahabat. Maka dapat
dijabarkan menjadi :

1. Ikhtilaf di sekitar Al-Qur’an,

DR. Wasim Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an sebagai “ketidak
sepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafazh al-
Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ala dari ayat itu, dimana
sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir
lainnya. Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam
menafsirkan al-Qur’an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah ikhtilaf. Akan
tetapi, sebagaimana akan diuraikan kemudian dari sisi lain, ikhtilaf sendiri kemudian dibagi
menjadi 2 jenis:

a. Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif).


Yang dimaksud dengan ikhtilaf tanawwu’ adalah, sebuah kondisi dimana memungkinkan
penerapan makna-makna yang berbeda itu ke dalam ayat dimaksud, dan ini hanya
memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang shahih, atau

makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama lain, namun diungkapkan
dengan cara yang berbeda, atau terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling
menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.

Contoh ikhtilaf tanawwu seperti beberapa penafsiran Mufassir mengenai tafsir ashirotol


mustaqim dalam surah Al-Fatihah. Keika kita mencoba menengok Tafsir Al-Khozin kita kan
temui bahwa beliau Syaikh Alauddin menafsirkan dengan thoriqah hasanah (jalan yang
baik), kemudian beliau juga mengutip pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan Shirotol
Mustaqim dengan agama islam. Berbeda dengan penafsiran Al-Bagawi, beliau menjadikan
kitab allah sebagai makna penafsiran dari shirotol Mustaqim, juga kemudian mengutip
penafsiran Ibnu Mas’ud bahwa yang dimaksud  Shirotol Mustaqim adalah jalan menuju
syurga. Beberapa makna yang ada memang semuanya berbeda namun kesemuanya tidak
saling menafikan satu sama lain karena Al-qur’an merupakan sumber petunjuk bagi orang
islam dimana setiap pribadi muslim senantiasa mengharapkan keselamatan dunia akhirat dan
masuk syurga dihari kemudian.

b. Ikhtilaf tadhadh (perbedaan yang bersifat kontradiktif).

Sedangkan ikhtilaf tadhadh adalah ketika makna-makna itu saling menafikan satu
sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu diantaranya diucapkan,
maka yang lain harus ditinggalkan. Sebagai contoh adalah ikhtilaf  antara Imam Asy-Syafi’I
dengan Imam Ahmad yang terdapat dalam surah An-nisa ayat 43:

‫يل َح َّت ٰى‬ٍ ‫ون َواَل ُج ُنبًا إِاَّل َع ِاب ِرى َس ِب‬ َ ُ ‫ُوا َما َتقُول‬ ۟ ‫صلَ ٰو َة َوأَن ُت ْم ُس ٰ َك َر ٰى َح َّت ٰى َتعْ لَم‬ ۟ ‫وا اَل َت ْق َرب‬
َّ ‫ُوا ٱل‬ َ ‫ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذ‬
۟ ‫ِين َءا َم ُن‬
‫وا َمٓا ًء‬۟ ‫ض ٰ ٓى أَ ْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أَ ْو َجٓا َء أَ َح ٌد مِّن ُكم م َِّن ْٱل َغٓائِطِ أَ ْو ٰلَ َمسْ ُت ُم ٱل ِّن َسٓا َء َفلَ ْم َت ِج ُد‬ َ ْ‫وا ۚ َوإِن ُكن ُتم مَّر‬ ۟ ُ ‫َت ْغ َتسِ ل‬
‫ان َعفُ ًّوا َغفُورً ا‬ َ ‫ُوا ِبوُ جُو ِه ُك ْم َوأَ ْيدِي ُك ْم ۗ إِنَّ ٱهَّلل َ َك‬ ۟ ‫ِيدا َط ِّيبًا َفٱمْ َسح‬ ً ‫صع‬ َ ‫ُوا‬ ۟ ‫َف َت َي َّمم‬

“Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu,
sesungguhnya allah maha pema’af lagi maha pengampun.”
ْ ‫أَولَ َم‬, menurut Imam Asy-syafi’I menyentuh disitu adalah makna hakiki karena
َ ِّ‫ستُ ُم الن‬
Lafaz ‫سا َء‬
tidak ada illat atau sebab dan qarinahi atau petunjuk yang mengharuskan terjadinya
pemalingan makna ke makna majaz. Karenanya menyentuh perempuan menurutnya
membatalkan wudhu, sebaliknya menurut Imam Ahmad menyentuh di situ bersifat Majazy
berdasarkan pada surah Al-Baqarah ayat 237 :
Terjemahanya:
“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu
sudah menetukan maharnya maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu
tentukan kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad
nikah ada di tangannya… (QS. Al Baqarah : 237)

Karena menurutnya menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu walaupun


berdosa jika bukan mahramnya karena hukum keduanya memang berbeda. Sementara
dari sudut apa yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir al-Qur’an, Ibnu
Taimiyah menyimpulkannya dalam 2 hal: yaitu ikhtilaf yang didasari sandaran nash
(tafsir bil Ma’tsur), dan ikhtilaf yang didasari oleh selain nash (tafsir bil ra’yi).
Dengan kata lain, penyebab terjadinya ikhtilaf itu secara garis besar dapat dikatakan
berbeda-beda bila ditinjau dari sisi tafsir bil-ma’tsur dan tafsir bil-ra’yi.

2. Ikhtilaf di sekitar Hadits

Adakalanya saat mengkaji kitab-kitab hadits, kita akan menemukan hadits yang
secara lahiriah bertentangan. Misal bertentangan dengan al-Quran, bertentangan dengan
Hadits lainnya, bertentangan dengan akal/logika bahkan bertentangan dengan Ijma’.

Contoh yang bertentangan dengan ijma’ adalah hadits tentang hukum bunuh bagi
peminum khamr. Dari Muawiyyah bin abu Sufyan ia berkata, “Rasulullah bersabda : Jika
mereka minum khamr maka cambuklah, jika mereka minum lagi cambuklah, jika mereka
minum lagi maka cambuklah, dan jika mereka minum lagi maka bunuhlah” (Sunan abu
Dawud, no 3886).

Hadits ini dianggap bertentangan dengan ijma’, yang menyatakan bahwa hukum
diatas telah di nasakh oleh hadits lain yang menyatakan bahwa hukuman bagi peminum
khamr adalah dipukul, tidak sampai dibunuh. Hadits-hadits yang bertentangan akan
memunculkan masalah bahkan kebingungan bagi orang awam, bagaimana cara menyikapinya
agar tidak menimbulkan perpecahan di tengah umat? Oleh karena itulah Dr Salamah
Noorhidayati menulis buku tentang ilmu “Mukhtalif al-Hadits” (Yogyakarta : Lentera
kreasindo, 2016).
Dalam bukunya yang tebalnya 220 halaman ini, dosen IAIN Tulungagung tersebut
menjelaskan kepada pembaca bagaimana ulama-ulama terdahulu merumuskan cara atau
metodologi penyelesaian hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan alias kontradiktif.
Terdapat empat faktor penyebab terjadinya pertentangan/ikhtilaf dalam hadits :
a. Latar belakang munculnya sebuah hadits. Kedua, faktor yang menyangkut redaksi
teks hadits yang memang terkesan bertentangan. Ketiga, Faktor yang disebabkan oleh
konteks dimana Rasulullah saw menyampaikan hadits dan kepada siapa beliau
berbicara. Keempat, Faktor yang berkaitan dengan metode seseorang ulama
memahami hadits dan kelima, Faktor mazhab atau ideologi seseorang ketika
memahami suatu hadits. Contohnya hadits tentang kawin mut’ah, hadits tentang boleh
tidaknya bertawasul kepada Nabi atau hadits tentang imamah vs khilafah (Dr Salamah
Noorhidayati, 2016, hal 41-43). Pencetus ilmu Mukhtalif hadits dalam sejarah
peradaban  Islam adalah Imam Syafi’i. Beliau menulis kitab khusus berjudul Ikhtilaf
al-Hadits. Menurut Dr Salamah Noorhidayati, sebagai peletak dasar ilmu ini, usaha
Imam syafi’i diteruskan oleh ulama bernama Ibn Qutaibah. Imam syafi’i menawarkan
penyelesaian untuk hadits yang nampak bertentangan. Pertama, al-jam’u wa at-
Taufiq.
b. metode an-Naskh dan terakhir Tarjih. Sementara Ibn Qutaibah menwarkan 2 metode
yaitu al-Jam’u dan Tarjih. Metode nasakh terkadang beliau gunakan apabila suatu
hadits dianggap cacat. (hal 92-94). Selain ketiga metode diatas, masih ada metode “at-
tasaqut” yang dalam istilah Ibnu hajar al-Asqalani disebut “at-tawwaquf”. Ini sebuah
metode yang membuat ulama tidak mengamalkan kedua hadits yang Nampak
kontradiktif atau menangguhkannya sambil menunggu petunjuk dari Allah swt dalam
menyelesaikan pertentangan tersebut (hal 101-102).
Untuk meneliti lebih jauh hadits mukhtalif, bisa ditempuh dengan jalan sebagai
berikut :
,Menentukan tema hadits
1) Melakukan takhrij Hadits
2) Mendokumentasikan hasil takhrij,
3) MNJMencatat hadits dan mengidentifikasi ada tidaknya perbedaan redaksi dalam
matan hadits (hal 127-128)

Keberadaan Mukhtalif al-Hadits dengan berbagai bentuknya bisa berimplikasi


pada dua hal: Pertama memunculkan perbedaan pendapat dan kedua, menyebabkan
perpecahan. Menurut Dr Salamah, perbedaan yang pertama adalah perbedaan dalam
hal furu’iyyah dan variasi ibadah. Menyikapi hal ini perlu kedewasaan sikap,
toleransi dan objektivitas ilmiah (hal 182).
Sebelum mengakhiri tulisan ini, dengan mengetahui metode ulama dalam
menyelesaikan ikhtilaf dalam hadits, akan membuat seseorang tidak buru-buru
mengatakan bahwa hadits yang redaksi/isinya bertentangan itu palsu.

3. Ikhtilaf dalam Ijtihad


Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu ijtihad dengan ra’yu ini tidak
biasa dilepaskan dari perbedaan yang ada di antara mereka berbagai hal
termasuk ra’yunya atau pandangan intelektualnya yang sangat dipengaruhi oleh akal,
kepribadian, keluarga, dan lingkungannya.

Tempat-tempat terjadinya khilafiyah yang lebih ringkas agar muda dipahami, yaitu :

a) Ayat-ayat al-Qur’an yang petunjuknya tidak pasti atau zhanni ad-dalalah. Sedangkan


ayat-ayat yang sudah pasti dan jelas maknanya bukan merupakan tempat terjadinya
masalah khilafiyah.
b) Hadis-hadis Nabi Saw yang jumlahnya ratusan ribu, ada yang zhanni, baik zhanni
wurud (dugaan terkait penisbahannya dengan Nabi) maupun zhanni ad-
dalalah (petunjuknya masih bersifat dugaan).
c) Peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk langsung dari al-Qur’an dan as-
Sunnah juga menjadi ladang yang subur bagi terjadinya perbedaan pendapat. Seperti
hukum bunga bank, asuransi, bursa efek, zakat profesi dll.

Ketiga faktor tersebut merupakan jaminan mereka untuk berbeda pendapat dan fatwa,
namun jika fatwa mereka benar mereka akan mendapat dua pahala, akan tetapi jika mereka
salah, akan mendapatkan satu pahala. Tentu saja ini hanya boleh dilakukan oleh mereka yang
berkompeten dan capable untuk itu.

4. Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ra’yi

Landasan dan pijakan jenis tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang
kualitasnya berbeda-beda pada setiap mufassir. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi
dalam jenis ini disebabkan oleh 2 sebab besar berikut:

1. meyakini makna tertentu sebelum menafsirkan al-Qur’an, lalu kemudian membawa


lafazh-lafazh qur’ani kepada makna yang telah diyakini sebelumnya itu. Salah satu
contoh paling jelas misalnya apa yang dilakukan kelompok Bathiniyah saat
menafsirkan surah Yusuf ayat 4:

َ ‫س َو ْٱل َق َم َر َرأَ ْي ُت ُه ْم لِى ٰ َس ِجد‬


‫ِين‬ َ ْ‫ْت أَ َحدَ َع َش َر َك ْو َكبًا َوٱل َّشم‬ ِ ‫إِ ْذ َقا َل يُوسُفُ أِل َ ِبي ِه ٰ َٓيأ َ َب‬
ُ ‫ت إِ ِّنى َرأَي‬

Terjemahannya:

(Ingatlah), ketika yusuf berkata kepada ayahnya,” wahai ayahku! Sungguh, aku
(bermimpi) meliht sebuah bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud
kepadaku.

Mereka mengatakan, “Dalam ini, yang dimaksud dengan ‘Yusuf’ tak lain
adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn Ali ibn Abi Thalib...dimana Husain
berkata kepada ayahnya pada suatu ketika, ‘Sesungguhnya aku telah melihat 11
bintang, matahari dan bulan bersujud’. Dan yang dimaksud matahari adalah Fathimah,
bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam..”
2. menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin
secara bahasa, tanpa mempertimbangkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang
diturunkan kepada Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia.

Dengan kata lain, para penempuh metode ini hanya memperlakukan al-Qur’an
sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam menafsirkannya mereka tidak merasa perlu
merujuk pada hal-hal lain yang mengitarinya; seperti asbab al-nuzul, dan yang
lainnya.

Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini (dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-
Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an
memang diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap
bahasa ini mutlak dibutuhkan. Tetapi tidak cukup dengan itu. Para ulama tafsir telah
menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak
menyimpang dari semestinya. Salah satunya adalah menjadikan asbab al-nuzul
sebagai panduan dalam memahami teks al-Qur’an.

Metode ini sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Kisah ini setidaknya
menunjukkan 2 hal penting:

1) Bahwa bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami teks ayat
tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi al-lughah adalah metode yang “sah-
sah saja” dalam menafsirkan al-Qur’an.
2) Bahwa ketika “bertemu” antara penafsiran secara lughawy dengan penafsiran
secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka penafsiran secara naqly-lah
yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks al-Qur’an. Akhirnya,
memang tak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya ikhtilaf yang terjadi
dalam lingkup tafsir bi al-ra’yi ini termasuk dalam kategori ikhtilaf
tadhadh. Dan berkembangnya berbagai firqah dalam Islam adalah merupakan
bukti nyata akan hal ini.

5. Ikhtilaf Di Sekitar Fatwa Sahabat Dan Tabi’in

Mengenai ikhtilaf para di kalangan sahabat, para ulama salaf sama sekali tidak melihat hal
itu tercela, bahkan hal itu dinilai positif oleh mereka. Imam Al Qasim bin Muhammad
seorang ulama tabi’in menyatakan.”Benar-benar Allah telah memberi manfaat dengan
ikhtilafnya para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam amalan mereka. Tidaklah
beramal orang yang mengamalkan amalan yang dilakukan oleh seorang dari mereka
(sahabat), kecuali ia melihat hal itu adalah bentuk kelonggaran. Dan ia melihat bahwa orang
yang lebih mulia daripadanya telah melaksanakannya”. (Jami’ Bayan Al Ilmi wa Fadhlihi,
2/80)

Aun bin Abdillah, juga ulama tabi’in menyatakan,”Aku tidak menyukai (jika) sesungguhnya
para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak berikhtilaf. Sesungguhnya mereka jika
sepakat atas suatu hal dan hal itu ditinggalkan oleh seseorang, maka ia telah meninggalkan
sunnah. Kalau mereka berselisih kemudian seseorang mengambil salah satu dari pendapat
mereka (para sahabat), ia telah menempuh sunnah”. (Sunan Ad Darimi, 1/151)

Bukan hanya merupakan hal yang lumrah di kalangan salaf, para ulama melihat bahwa
ikhtilaf adalah bagian dari kekhususan umat ini. Imam As Suyuthi menyatakan bahwa para
sahabat yang mana mereka adalah sebaik-baik umat berbeda pendapat satu sama lain dalam
masalah furu’, namun mereka tidak mengingkari satu sama lain, tidak menuduh yang lain
salah atau memiliki keterbatasan,”Maka diketahui bahwa ikhtilaf madzhab-madzhab yang
ada dalam millah ini kekhususan dan keutamaan untuk umat ini”. (lihat, muqaddimah Jazil Al
Mawahib fi Ikhtilaf Al Madzahib)

Imam Al Qashtalani juga menyampaikan,”Dari kekhususan umat ini- umat pengikut


Rasulullah- adalah ijma’ mereka adalah hujjah sedangkan ikhtilaf mereka adalah rahmah”.
Dan menurut Al Hafidz Az Zurqani, hal itu dalam masalah furu’. (Syarh Al Mawahib Al
Laduniyyah, 5/468)

Dari ungkapan para ulama tersebut, kita bisa memahami bahwa mereka tidak melihat
perselisihan dalam masalah furu’ merupakan hal yang negatif. Bahkan justru sebaliknya,
mereka melihat itu adalah hal yang positif. 

Adapun yang masih diperselisihkan oleh para ulama ialah perkataan sahabat  yang
semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri dan para sahabat tidak dalam satu
pendirian.
Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan sahabat itu
adalah hujjah. Kata Imam Abu Hanifah: “Apabila aku tidak mendapatkan ketentuan dari
Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW maka aku mengambil pendapat dari sahabat beliau
yang kukehendaki dan meninggalkan pendapat yang tidak ku kehendaki. Aku tidak mau
keluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain
sahabat.” Perkataan Imam Abu Hanifah ini dapat dipahami bahwa beliau tidak menetapkan
perkataan sahabat tertentu itu adalah sebagai hujjah. Beliau membolehkan mengambil
pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki akan tetapi tidak boleh melawan pendapat
keseluruhan sahabat. Oleh karena itu, mengambil qiyas tidak diperkenankan selama masih
ada fatwa dari sahabat, biarpun yang diambil hanya pendapat salah seorang sahabat saja yang
dikehendaki. Jika hukum suatu peristiwa terdapat dua macam pendapat, maka yang demikian
itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang ketiga dan bila ada tiga macam
pendapat, maka yang demikian itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang
keempat. Jadi, keluar dari pendapat mereka keseluruhan berarti keluar dari ijma’ para sahabat
Dengan memandang jenis masalahnya, qaul shahabi seperti ini sebenarnya masih
dapat dibagi kepada dua golongan, yaitu yang tidak merupakan lapangan ijtihad, dan yang
termasuk lapangan ijtihad.
Mengenai ini, ditemukan beberapa pernyataan Al-Syafi’i yang tidak sama sehingga
para ulama ushul fiqh masih berbeda pendapat tentang pendirian al-Syafi’i yang sebenarnya
mengenai kehujjahan qaul shahabi, khususnya yang menyangkut masalah-masalah ijtihad.
Al-Ghazali mengutip bahwa pada kitab Ikhtilaf al-Hadits al-Syafi’i mengemukakan
adanya riwayat bahwa pada suatu malam Ali melakukan salat enam raka’at dengan enam kali
sujud pada tiap-tiap raka’atnya. Kemudian al-Syafi’i berkata,” Kalau saja riwayat tentang
perbuatan ‘Ali itu shahih, niscaya saya akan mengamalkannya, sebab masalahnya tidak
termasuk lapangan qiyas. Jadi, tentu ia melakukan hal itu berdasarkan tauqif (penetapan) dari
Nabi SAW.”
Dengan ini, al-Syafi’i jelas menyatakan pendiriannya bahwa dalam masalah-masalah
yang tidak termasuk lapangan qiyas atau ijtihad, qaul shahabi dianggap sebagai hujjah.
Adapun mengenai masalah yang termasuk lapangan ijtihad, telah disepakati bahwa pendapat
seorang sahabat tidak mengikat bagi sahabat lainnya. Mereka yang mampu berijtihad bebas
mengeluarkan pendapatnya masing-masing dan yang tidak mujtahid bebas pula mengikuti
salah satu dari pendapat yang ada.

C. Pokok-Pokok Sebab Terjadi Al-Ikhtilaf

Ikhtilaf dikalangan ummat islam telah terjadi sejak masa sahabat, ikhtilaf itu terjadi karena
perbedaan paham diantara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka.
Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena
perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.

            Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama islam telah tersebar luas ke berbagai
penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke Negeri yang
baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan suatu masalah, sukar dilaksanakan.

            Sampai saat ini fiqh ikhtilaf tetap berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam
masalah furu’iyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami
nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara
pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang
memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada dzahir
nash, antara yang mewajibkan bermazhab dan yang melarangnya. Perbedaan pendapat
dikalangan ummat ini, sampai kapanpun dan di tempat manapun akan terus berlangsung dan
hal ini menunjukkan kedinamisan hukum islam, karena pola pikir manusia terus berkembang.

            Di antara sebab-sebab pokok terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama (Mujtahidin)
adalah sebagai berikut:

1) Sebab-Sebab Eksternal

a. Berbeda perbendaharaan hadis masing-masing mujtahid. Hal ini terjadi sebagaimana


telah disebutkan diatas, bahewa para sahabat telah berpencar-pencar keberbagai
penjuru negeri yang banyak mengetahui tentang hadis nabi, sukar menemui mereka.
Ada juga kemungkinan, bahwa sahabat nabi dapat djumpai, tetapi masing-masing
sahabat itu tidak sama dalam perbendaharaan hadisnya, karena pergaulannya dengan
rasullullah ikut menentukan banyak sedikitnya hadis yang diterima.
b. Diantara ulama dan ummat islam, ada yang kurang memperhatikan situasi pada waktu
Nabi bersabda, apakah ucapan beliau itu berlaku umum atau untuk orang tertentu saja.
Apakah perintah itu untuk selama-lamnya atau hanya bersifat sementara.
c. Diantara ulama dan ummat islam kurang memperhatikan dan mempelajari, bagaimana
caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan atau menyuruh orang, karena adakalanya
jawaban atau suruhan itu tepat untuk seseorang dan kadang-kadang tidak tepat untuk
orang lain.
d. Diantara ulama dan ummat islam banyak yang terpengaruh oleh pendapat yang
dterimanya dari pemuka-pemuka dan ulama-ulama sebelumnya dengan ucapan “telah
terjadi ijmak”, pada masalah-masalah yang tidak pernah terjadi ijmak.
e. Diantara ulama ada yang berpandangan yang terlalu berlebihan terhadap amaliah-
amaliah yang disunnatkan, sehingga orang awam menganggapnya suatu amaliyah
yang diwajibkan dan berdosa apabila ditinggalkan.
f. Para sahabat yang tinggal terpencar-pencar diseluuh pelosok negeri, ada yang
meriwayatkan hadis berbeda-beda, karena mungkin lalai atau lupa, sedangkan yang
mengigatkan diantara sahabat-sahabat itu tidak ada.
g. Perbedaan pandangan dalam bidang politik, juga menimbulkan pendapat yang
berbeda dalam menetapkan hukum islam.

2. Sebab-Sebab Internal

a. Kedudukan suatu hadis, Karena hadis-hadis yang datang dari rasullullah itu melewati
banyak jalan, maka terkadang menimbulkan perbedaan antara riwayat yang satu
dengan yang lainnya, bahkan bisa juga berlawanan. Bagi orang yang mantap hatinya
mempercayai perawinya maka hadis tersebut dijadikan landasan penetapan. Begitu
juga sebaliknya bagi orang yang tidak mempercayai perawinya akan menyampingkan
hadis tersebut.
b. Perbedaan penggunaan sumber hukum, Para ulama dalam menetapkan suatu hukum
tidak sama antara satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan tidak sama dalam
penggunaan sumbernya. umpamanya:

1) Dalam masalah hadis, Kedudukan hadis sebagai sumber hukum tidak


diperselisihkan oleh para mujtahid (fukaha). Akan tetapi yang mereka
perselisihkan adalah dari segi sampa atau idaknya suatu hadis, percaya atau tidak
terhadap seorang perawi, sahih atau tidak suatu hadis.
2) Dalam masalah Ijmak, Sebagai contoh dalam masalah ijmak yaitu dalam hal
menjatuhkan talak 3 sekaligus. Jumhur Fuqaha mengatakan, bahwa talak tiga
sekaligus jatuh tiga juga dengan alasan telah ijmak pada masa khalifah Umar,
sedangkan ulama yang mengatakan, bahwa talak tiga sekaligus, hanya jatuh satu
dengan alasan, telah ijmak pada masa Nabi dan Abu Bakar.
3) Istihsan, Imam Hanafi mempergunakan Istihsan dalam menetapkan sebagian
hukum, sedang Imam Syafi’i tidak memakainya. Sebagai contoh: menurut
Mazhab Syafi’i tidak boleh membaca al-qur’an bagi orang sedang haid, karena
orang yang haid itu sama dengan orang junub. Sedang menurut Imam Hanafi
dibolehkan membacanya.
4) Maslahah Mursalah, Penetapan hukum dengan Maslahah Mursalah adalah melihat
kepentingan umum, walaupun kelihatannya menyimpan dari ketentuan yang biasa
berlaku. Sebagai contoh: menjatuhkan hukuman mati atas suatu kaum atau
kelompok manusia yang membunuh satu orang, bisa bisa dijatuhi hukuman mati
menurut Fuqaha Hanafiah, Malik dan Syafi’i untuk menghindari usaha jahat dari
kelompok tertentu yang ingin melakukan pembunuhan dengan cara sengaja.
Sedangkan menurut Mazhab Hambali, tidak boleh dijatuhi hukuman mati, karena
tidak sepadan.
5) Urf, Urf biasanya diarikan dengan kebiasaan, apakah kebiasaan itu baik atau
buruk. Sebenarnya penggunaan urf berkaitan erat dengan maslahah mursalah,
hanya saja hukum-hukum yang diterangkan dapat berubah-ubah enurut suatu
daerah.

D. Hikmah Adanya Ikhtilaf

Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan


pada beberapa hal berikut yaitu :

1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah
satu dalil dari sekian banyak model dalil.
2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala
berpikir.
3. Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda
pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan
diseputar mereka.
4. Pelajaran dan Teladan dari Ulama Salaf
5. Al-Imam Yahya bin Sa’id Al Ansharirahimahullah berkata : ”Para ulama adalah
orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para
mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang
menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela
satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa
Fadhlih 393).
6. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafirahimahullah (salah seorang
murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : “Aku tidak mendapati
orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku
berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku
dan menggandeng tanganku seraya berkata : “ Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya
kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu
diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
7. Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’irahimahullah) berkata,
“Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat
orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
8. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah berkata : “Seandainya setiap kali dua
orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan
memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum
muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173)
9. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Dalam masalah-masalah yang
diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun
diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada” (Al-
Faqih wal Mutafaqqih : 2/69[13]
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat di tarik dari pembahasan ini antara lain sebagai berikut :

1. Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat dianatara para ahli hukum (fuqaha) dalam


menetukan hukum dari p[ermasalahan yang ada dengan menggunakan metode yang
berbeda.
2. Adapun beberapa tempat-tempat yang memungkinkan terjadinyan ikhtilaf diantaranya
ayat-ayat al-Qur’an yang masih belum jelas petunjuknya atau zanni ad-dalalah, hadis-
hadis Nabi Saw yang jumlahnya ratusan ribu, ada yang zhanni wurud dan  zanni ad-
dalalah, peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk langsung dari al-Qur’an dan as-
Sunnah.
3. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab
terjadinya ikhtilaf yaitu perbedaan para ulama mengenai pemahamanya tentang lafadz
nash, perbedaan dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i yang masih umum yaitu
masih bersifat dzonni, Perbedaan pendapat dibeberapa kaidah ushul fiqh, dan juga
Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi
serta kondisi.

B. Kritik Dan Saran

Dengan makalah yang kami buat ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
pembaca sangat kami butuhkan, guna perbaikan makalah kami berikutnya. Dan semoga
makalah ini berguna untuk kita semua. Amin
DAFTAR PUSTAKA

Andi Muhamad Hidayat, “Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ahli


Hukum”.http://amanahgontory.sch.id/2016/11/15/sebab-sebab-perbedaan-pendapat-ikhtilaf-
ahli-hukum/ (10 Maret 2017)

Djazuli. 2004. ILMU FIQH (Penggertian, perkembangan, dan penerapan hukum


islam).  Bandung: Kencana Prenada Media Group.

Hasan, M. Ali. 1998.  Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT.RajaGrafiindo Persada.

http://rifka-abdillah.blogspot.com/2012/04/perbedaan-madzhab-dan-sebab-sebSabnya.html

Ildahayati , “Kesungguhan akan membuahkan kesuksesan Kesungguhan akan membuahkan


kesuksesan”. http://ildahayati.com/2015/04/26/ikhtilaf-perbedaan-pendapat-ulama-dalam-
hukum-islam/ (11 Maret 2017).

Muhammad Ikhsan, “Kumpulan Makalah & Artikel”. http://makalah-


gratis.blogspot.co.id/2010/01/makalah-ikhtilaf-dalam-tafsir.html (11 Maret 2017)

Thaha Jabir Fayyadh al-alwani, terj. Ija Suntana. 2001. Etika Berbeda Pendapat dalam
Islam.  Bandung: PUSTAKA HIDAYAH.

Usman el-Qurtuby. 2016. Al-qur’an Cordoba (Al-qur’an Tajwid dan Terjemah. Bandung:


Cordoba 

Anda mungkin juga menyukai