Anda di halaman 1dari 15

AT-TIBYAN

Journal Of Qur’an and Hadis Studies


Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

PENAFSIRAN SYEKH AL-‘UTSAIMIN TERHADAP AYAT-


AYAT BID’AH DALAM AL-QUR’AN

Hanisah
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, UIN Shulthan Thaha Saifuddin, Jambi, Indonesia
hanisah52@gmail.com

Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penafsiran terhadap ayat tentang bid’ah,
dengan corak yang digunakan mufassir dalam menafsirkan ayat tersebut. Penelitian
ini termasuk metode kualitatif yang sumber datanya di peroleh dari kepustakaan
(library research). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dalam menafsirkan surah
Al-Hujurat ayat 1, surah Al-Maidah ayat 3 dan surah Al-Hadid ayat 27 dalam Tafsir
Ibnu Utsaimin menunjukkan perbedaan pendapat para ulama. Metode tafsir yang
diterapkan oleh Syekh al-‘Utsaimin dalam tafsirnya. menggunakan perkataan yang
jelas, kalimat yang dalam dan tidak bertele-tele dan selalu beliau iringi dengan
untaian nasihat dari ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu dalam tafsirnya tidak
banyak menyebutkan perkataan dan masalah-masalah cabang yang banyak
didapatkan dalam kitab tafsir seperti masalah balaghah dan i’rab. Corak yang
digunakan Syekh al-‘Utsaimin dalam tafsirnya ialah menggunakan corak fiqih dan
metode yang digunakannya adalah metode tahlili.

Kata Kunci: Penafsiran, al-‘Utsaimin, Bid’ah, Al-Qur’an

Abstract:
This study aims to find out the interpretation of the verse about heresy, with the
style used by the commentator in interpreting the verse. This study includes
qualitative methods from which data sources are obtained from the library (library
research). The results of the study concluded that in interpreting Surah Al-Hujurat
verse 1, Surah Al-Maidah verse 3 and Surah Al-Hadid verse 27 in Tafsir Ibnu
Utsaimin showed differences of opinion of the scholars. The method of
interpretation applied by Shaykh al-tUtsaimin in his interpretation. uses clear
words, sentences that are deep and straightforward and he is always accompanied
by strings of advice from the verses of the Qur'an. Therefore in its interpretation,
there is not much mention of the words and branch problems that are found in many
books such as balaghah and i'rab problems. The style used by Sheikh al-‘Utsaimin in
his interpretation is to use the style of jurisprudence and the method used is the
method of tahlili.

Keynote: Interpretation, al-‘Utsaimin, Bid’ah, Al-Qur’an

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 70


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan sebuah mukjizat yang menembus batas ruang
dan waktu, ia bisa “hidup” dimanapun dan kapanpun (shalih li kulli zaman
wa makan).(Huda, 2012, hlm. 4) Umat Islam di seluruh dunia disatukan
dalam sumber utama yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Walaupun
disatukan dalam sumber yang sama, namun dalam memahami beberapa
istilah agama, umat Islam tidak selamanya sepakat.(al-Arfaj, 2013, hlm. 1)
Dalam perjalanan umat Islam, berbagai perkara baru sedikit demi sedikit
muncul. Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah ada sama sekali pada
masa Rasulullah dan para sahabat. Perkara-perkara baru itulah yang
kemudian disebut sebagai bid’ah.
Rasulullah SAW bersabda:
‫ضالَلَة‬ َِّ ‫يث كِتاب‬
َ ‫اَّلل َو َخ رْيُ ا رْلَُدى ُه َدى ُُمَ َّم ٍد َو َش ُّر األ ُُموِر ُرُم َد ََث ُُتَا َوُك ُّل بِ رد َع ٍة‬ ِ ِ ‫فَِإ َّن َخ ر‬
ُ َ ‫ْي ا رْلَد‬
َ
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-
jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara
agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah
kesesatan”. (H.R. Muslim) (Hajjaj, 2004, hlm. 153–154)
Hadis ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadis yang
berbicara tentang bid'ah (setiap bid’ah adalah kesesatan). Inilah yang masih
diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua
bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Meskipun
demikian dalam realitasnya, perbedaan paham mengenai bid’ah secara
langsung maupun tidak langsung ternyata telah melahirkan banyak konflik,
baik konflik yang berlatar belakang teologis, kultural bahkan pada tataran
politis.(Fananie & Sabadila, 2000, hlm. 3) Kata bid’ah dalam khazanah Islam
merupakan lawan kata sunnah. Bid’ah oleh Ibnu Taimiyyah:
‫ومن هنا يعرف ضالل من ابتدع طريقا اواعتقادازعم ان االميان اليتم االبه العلم ابن رسول مل يذكره‬
‫قال الشافعى‬. ‫وماخالف النصوص فهوبدعة ابتفاق املسلمني ومامل يعلم أنه خالفها فقد مل يسمى بدعة‬
‫البدعة بدعتان بدعة خالفت كتااب وسنة وامجاعاواثرا عن بعض أصحاب رسول هللا فهذه بدعةضالل‬
‫هذهنحوه رواه البيهقى‬.‫وبدعة مل ختالف شيئا من ذلك وهذه قدتكون حسنةلقوله عمرنعمة البدعة هذه‬
‫ابسناده الصحيح يف املدخل‬
“Dari sini diketahui kesesatan orang yang membuat jalan atau aqidah yang
menganggap bahwa iman tidak sempurna kecuali dengan jalan atau aqidah
itu bersamaan dengan itu ia mengetahui bahwa Rasul tidak
menyebutkannya dan sesuatu dengan nas, maka semua itu adalah bid’ah
sesuai dengan kesepakatan umat islam. Sedangkan bid’ah yang tidak

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 71


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

diketahui bertentangan dengan nas, maka sesungguhnya terkadang ia tidak


disebut bid’ah.Imam Syafi’i berkata: Bid’ah ada dua. (Pertama) Bid’ah
yang bertentangan dengan kitab, sunah, ijma dan asar dari sebagian
sahabat nabi, maka ini adalah bid’ah yang sesat. (Kedua) bid’ah yang sama
sekali tidak bertentangan dengan empat hal tersebut maka bid’ah ini
terkadang baik sebab ucapan Umar : ini adalah sebaik-baik bid’ah. Ucapan
ini dan yang semisalnya diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shaḥiḥ
dalam Al-Madkhal.”(Taimiyah, 1425, hlm. 163)
Kata sunnah di definisikan dengan:
‫السنة يف كالم السلف يتناول السنة يف العبادة ويف االعتقادات‬
“Sunnah yang mempunyai makna yang luas ini dikemukakan oleh golongan
salaf as-Saleh, yang mana menurut mereka pengertiannya mencakupi al-
Sunnah dalam perkara-perkara ibadah dan juga dalam perkara
I’tiqad.”(Taimiyah, 1976, hlm. 77)
Dinamika tentang bid’ah dan berbagai pembahasan yang mendalam
tentangnya selama ini sangat terkait dalam kajian diskursus teologi dan
perbincangan hukum keagamaan. Dalam konteks rumusan hukum Islam,
leksikologi bid’ah pada dasarnya sangat beragam. Secara umum, semua
mengarah pada pemahaman tentang sebuah perbuatan yang tidak pernah
dilakukan oleh Nabi yang berkaitan dengan kebaikan atas dasar prakarsa
dan tidak bertentangan dengan hukum syariat, sebagian menilai jika
prakarsa tersebut dapat dinilai baik maka dapat diterima. Sebagian yang lain
menganggap tidak.(Sarjan, t.t., hlm. 248) Seperti firman Allah SWT:
َّ ‫لسبُ َل فَ تَ َف َّر َق بِ ُك رم َعن َسبِيلِ ِهۦ َٰذَلِ ُك رم َو‬
‫ص َٰى ُكم بِ ِهۦ ل ََعلَّ ُك رم‬ ُّ ‫يما فَٱتَّبِ ُعوهُ ۖ َوَال تَتَّبِعُوا ٱ‬ ِ ِ ِ َّ ‫َوأ‬
ً ‫َن ََٰه َذا ص َرَٰطى ُم رستَق‬
‫تَتَّ ُقو َن‬
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An‘am : 153).(Lajnah
Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 149)
Polemik bid'ah di kalangan umat Islam nyaris tak bermuara. Istilah
bid’ah selalu muncul dengan berbagai macam sudut pandang. Dinamika
penggunaan istilah bid'ah pun terus berkembang. Terkadang istilah bid’ah
dijadikan sebagai justifikasi untuk menyudutkan kelompok lainnya.
Cakupan bid’ah pun pada akhirnya meluas. Bid'ah tak hanya terbatas pada
persoalan ibadah saja, tetapi juga mencakup hal-hal aqidah. Tak terkecuali
di bidang kajian tafsir. Istilah dan justifikasi bid'ah juga telah menyentuh
ranah tafsir Al-Qur’an.

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 72


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

Setiap mufassir mempunyai sosio kultural yang berbeda-beda, oleh


sebab itu banyak sekali dijumpai penafsiran mereka antara satu dengan
yang lain tidak seragam meskipun pokok tema atau ayat Al-Qur’an yang
dibahas adalah sama. Tidak hanya sosio kultural saja yang mempengaruhi
seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an, cara pandang seorang
mufassir terhadap obyek yang dikaji pun akan mempengaruhi mereka
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tingkatan ilmu dan cara pandang sesuatu
yang ada disekitarnya, juga sangat mempengaruhi seorang mufassir dalam
menginterpretasi sebuah ayat Al-Qur’an.(Kusnia, 2018, hlm. 2) Dengan
beragam metode penafsiran, serta coraknya yang beragam. Terlebih dengan
semakin berkembangnya ilmu pengetahuan menjadikan pluralitas
penafsiran semakin luas.(Ilyas, 2004, hlm. 2)
Syekh al-‘Utsaimin, seorang Ulama di jazirah lahirnya Islam Saudi
Arabia. Syekh al-‘Utsaimin tergolong ulama yang hidup di abad kebangkitan
Islam (abad 14 Hijriyah).(Saguni, 2019) Syekh al-‘Utsaimin merupakan salah
satu mufassir kontemporer, beliau mengikuti manhaj pemikiran Wahabi,
yang berbeda dengan pemikiran mufassir-mufassir lainnya. Kaum Wahabi
kerapkali memvonis bid’ah terhadap berbagai amalan yang telah hidup dan
berlangsung ditengah kehidupan masyarakat Islam.
Sosok Syekh al-‘Utsaimin sangat menarik untuk dikaji terkait dengan
tokoh mufassir. Karena Syekh al-‘Utsaimin merupakan ulama’ yang teguh
dalam memegang pendapat, dalam tafsirnya Syekh al-‘Utsaimin
menjelaskan bid’ah jumlahnya banyak. Baik terkait dengan aqidah, ucapan
ataupun perbuatan. Semuanya merupakan sikap tentang mendahului Allah
dan Rasul-Nya, dan semuanya adalah tindak kemaksiatan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Syekh al-‘Utsaimin menjelaskan tentang bid’ah dalam surah Al-
Hujurat ayat 1, surah Al-Maidah ayat 3 dan surah Al-Hadid ayat 27, dalam
Tafsir Al-Qur’an Ibnu Utsaimin agar dapat berkontribusi dalam khazanah
keilmuan khususnya dalam lingkup kajian tafsir. Pembahasan mengenai
tafsir ini penting untuk dikaji, dikarenakan belum ada yang mengupas
tentang tafsir ini. Berkanaan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba
menjelaskan tentang bid’ah dengan judul “Penafsiran Syekh al-‘Utsaimin
Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an”.

PEMBAHASAN
Definisi Bid’ah
Bid’ah artinya sesuatu yang baru dalam agama setelah agama itu
dinyatakan sempurna dan setelah wafatnya Nabi. Bentuk jamaknya adalah
al-Bida’ seperti kata yang sepola dengannya al-‘Inab. Bid’ah juga berarti

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 73


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

sesuatu yang diciptakan namun menyalahi kebenaran yang diterima


Rasulullah SAW dan prinsip agama yang benar.(as-Syaqiry, 2004, hlm. 3)
Secara bahasa, kata bid’ah berasal dari bahasa Arab bada’a-yabda’u-
bad’an-bid’atan yang bermakna ansya’a (membuat) dan bada’a (memulai).
Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’)
secara bahasa bermakna bahwa orang tersebut melakukan atau membuat
sesuatu yang tidak ada contoh atau perbuatan yang sama dan semisal
sebelum perbuatan bid’ah itu dilakukan. Dan di antara nama Allah SWT di
dalam Al-Qur’an adalah al-Badi’ (QS. Al-Baqarah: 117), yang bermakna Allah
membuat sesuatu yang baru, tidak ada sesuatu tersebut sebelumnya. Bid’ah
dalam makna bahasa ini, disepakati para ulama dapat disifati secara makna
positif (baik/hasanah) dan makna negatif (tercela/sayyiah). Dalam arti,
bid’ah secara bahasa dapat dibedakan menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyiah. Atau dalam istilah lain, para ulama sepakat bahwa bid’ah secara
haqiqoh lughowiyyah, bisa disifati dengan hasanah dan sayyiah.
Bid’ah secara istilah digunakan dalam persoalan agama, atau disebut
pula dengan bid’ah secara definisi syariah (haqiqoh syar’iyyah), pada
dasarnya para ulama sepakat bahwa secara haqiqoh syar’iyyah, istilah bid’ah
disifati secara mutlak dengan sifat sayyiah (tercela). Bid’ah menurut Imam
Syafi’i, seperti yang dinukilkan oleh Imam nawawi dalam kitabnya, bahwa
Imam Syafi’i berkata: “Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian.
Pertama, perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau
menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada
di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru yang semacam ini
adalah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang baik dan tidak menyalahi
Al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak
tercela.(Syarif, t.t., hlm. 23) Bid’ah menurut Syekh Hafizh Hakami
rahimahullah berkata: ‘Dan pengertian bid’ah: Syari’at yang tidak diijinkan
oleh Allah SWT dan tidak ada perintah Nabi SAW dan tidak pula perintah
para sahabatnya atasnya.(az-Zahrani, 2013, hlm. 6) Bid’ah menurut Syekh
al-‘Ustaimin ialah hukum asal perbuatan baru dalam urusan dunia (bid’ah
dunia) adalah halal. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan itu halal kecuali ada
dalil yang menunjukkan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan baru
dalam urusan agama (bid’ah agama) adalah dilarang. Jadi berbuat bid’ah
dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah kecuali ada dalil dari al-Kitab
dan as-Sunnah yang menunjukkan disyariatkannya.(Md Isa, 2018, hlm. 31)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 74


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

Pembagian bid’ah menurut Syekh Utsaimin


Dalam Tafsir Al-Qur’an Ibnu Utsaimin disebutkan bid’ah bentuknya
sangat banyak: bid’ah dalam perkara aqidah, bid’ah dalam perkataan, dan
bid’ah dalam perbuatan.
Bid’ah Dalam Aqidah
Yaitu berkisar pada dua perkara: 1) berupa Tamtsil dan 2) berupa
Ta’thil.
Tamtsil
Yaitu dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah, akan tetapi penetapan
itu dilakukan dengan jalan penyerupaan. Hal ini merupakan kebid’ahan,
karena hal itu bukan merupakan jalan Nabi dan para khalifah rasyidin. Maka
ia merupakan kebid’ahan. Misalnya dengan menetapkan wajah bagi Allah,
dan ia beranggapan bahwa wajah-Nya serupa dengan wajah makhluk.(Al-
Utsaimin, 2013, hlm. 11) Atau menetapkan bahwa Allah memiliki tangan,
dan berpegang bahwa tangan-Nya menyerupai para makhluk. Dan
seterusnya. Maka tidak diragukan lagi mereka adalah para ahli bid’ah.
Kebid’ahan mereka adalah pendustaan terhadap firman Allah:
ۖ ‫س َك ِمثرلِ ِهۦ َش رىء‬
َ ‫ل رَي‬
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.”(QS. Asy-Syuura’:11).
(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 484)

Dan firman-Nya:
‫َحد‬
َ ‫َوَملر يَ ُك رن لَهُ ُك ُف ًوا أ‬
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”(QS. Al-Ikhlas: 4).(Lajnah
Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 604)
Dan firmannya:
ً‫َه رل تَ رعلَ ُم لَهُ ََِسيّا‬
“Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia?”(QS.
Maryam:65).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 310)

Ta’thil
Yaitu mengingkari apa yang telah Allah sifatkan diri-Nya dengan sifat
itu. Jika pengingkaran itu berupa penolakan dan pendustaan, maka ia
merupakan kekufuran. Dan jika pengingkaran itu berupa penta’wilan, maka
itu adalah tahrif (penyelewengan kata/makna), dan bukan berupa
kekufuran jika lafadz itu tidak mengandung makna tersebut, maka tidak ada
perbedaan antara ta’wil ini dengan pengingkaran berupa pendustaan.
Contohnya, jika ada seseorang yang berkata: Sesungguhnya Allah berfirman,
ِ َ‫بل ي َداهُ مبسوطَت‬
‫ان‬ ُ ‫َ ر َ َر‬

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 75


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

“(tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka.”(QS. Al-


Maidah:64).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 118)
Yang dimaksud kedua tangan itu adalah kenikmatan, “yaitu
kenikmatan agama dan kenikmatan dunia, atau kenikmatan dunia dan
kenikmatan akhirat.” ini adalah tahfif, karena nikmat tidak hanya satu,
seribu, atau berjuta-juta.(Al-Utsaimin, 2013, hlm. 12)
ِ َ ‫وإِن تَعدُّوا نِعم‬
‫وها‬
َ ‫ص‬ُ ‫ت ٱ ََّّلل َال ُُتر‬ َ‫َ ُ ر‬
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, maka kamu tidak akan dapat
menghinggakannya.”(QS. Ibrahim:34).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012,
hlm. 260)
Jadi kenikmatan tidak hanya dua, jenis atau macamnya. Maka hal ini
merupakan tahrif (penyelewengan makna) dan bid’ah. Karena pentakwilan
seperti itu bersebrangan dengan apa yang telah diterima dari Nabi, para
sahabat beliau dan para imam pembawa petunjuk yang datang setelah
mereka.

Bid’ah Dalam Ucapan


Yaitu orang-orang yang berbuat bid’ah dalam bacaan tasbih, tahlil
atau takbir yang tidak disebutkan oleh sunnah Nabi, atau mereka
mengadakan kebid’ahan dalam bacaan doa yang tidak yang disebutkan oleh
sunnah Nabi, dan bukan pula termasuk doa-doa yang diperbolehkan.
Seperti berdoa secara berjamaah setelah pelaksanaan salat bukanlah
sunnah Rasul SAW dan para Khulafaur Rasyidin. Bukan pula sunnah para
Sahabat radhiyallahu anhum. Itu adalah perbuatan yang diada-adakan. Telah
tersebutkan (hadis) dari Nabi SAW bahwasanya beliau bersabda:
ِ ‫اج ِذ وإِ ََّّي ُكم و ُُمر َد ََث‬
‫ت راأل ُُموِر‬ ِ ‫س ُكوا ِِبا و َعضُّوا َعلَي ها ِابلن‬ ِ ِ َّ ‫اْلُلَ َف ِاء الرم ره ِديِني‬
‫سن َِِّت َو ُسن َِّة ر‬ ِ
َ ‫َّو َ ر‬ َ َ‫ر‬ َ َ َّ ََ‫ين َت‬
َ ‫الراشد‬ َّ َ ُ ‫فَ َعلَري ُك رم ب‬
‫فَِإ َّن ُكلَّ ُرُم َدثٍَة بِ رد َعة‬
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para
Khalifah yang mendapat petunjuk lagi terbimbing. Berpegang teguhlah
dengannya. Gigit kuat-kuat dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah,
jauhilah hal-hal yang diada-adakan. Karena setiap hal yang diada-adakan
(dalam agama) adalah bid’ah.” (Abu Daud, 2003, hlm. 4607)
Nabi SAW juga jika berkhutbah, memerah mata beliau dan terdengar
keras suara beliau, seakan-akan beliau sangat marah. Bagaikan seseorang
yang memberikan komando kepada pasukan. Beliau menyatakan:
Bersiagalah di pagi dan sore hari kalian. Beliau juga bersabda:
‫ض َاللَة‬ َِّ ‫يث كِتاب‬
َ ‫اَّلل َو َخ رْيُ ا رْلَُدى ُه َدى ُُمَ َّم ٍد َو َش ُّر راأل ُُموِر ُُمر َد ََث ُُتَا َوُك ُّل بِ رد َع ٍة‬ ِ ِ ‫أ ََّما ب رع ُد فَِإ َّن َخ ر‬
ُ َ ‫ْي ا رْلَد‬
َ َ

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 76


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

“Amma Ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah Kitab Allah. Sebaik-


baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah
yang diada-adakan. Setiap kebid’ahan adalah sesat.”(Hajjaj, 2004, hlm. 153–
154)
Berdoa secara berjamaah atau berdzikir secara berjamaah setelah
salat adalah hal yang diada-adakan dan termasuk bid’ah. Setiap kebid’ahan
adalah sesat. Yang disyariatkan bagi seorang yang salat adalah
(memperbanyak) doa sebelum salam. Karena ini adalah tempat berdoa yang
dibimbing oleh Nabi SAW berdasarkan hadis yang shahih dari hadits Ibnu
Mas’ud radhiyallahu anhu ketika menyebutkan (bacaan yang disunnahkan)
dalam tasyahhud:
ِ ِ َّ ‫ُُثَّ ي ت َخ‬
َ‫ْي م رن ال َرم رسأَلَة َما َشاء‬
ُ ََ
“Kemudian (setelah selesai tasyahhud itu) silakan ia pilih doa permintaan
yang dikehendakinya.”(Hajjaj, 2004, hlm. 609)
Itu menunjukkan bahwasanya tempat berdoa adalah di akhir salat
(sebelum salam), bukan setelahnya. Demikian pula yang sesuai dengan
pandangan yang shahih. Bahwa semestinya seseorang (banyak) berdoa
dalam salat, sebelum selesainya. Lebih utama dilakukan di waktu itu saat ia
di hadapan Allah, dibandingkan ia berdoa setelah salatnya. Sedangkan yang
disyariatkan untuk dilakukan setelah salat wajib adalah berdzikir bukan
berdoa. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
‫اَّللَ قِيَاماً َوقُعُوداً َوعَلَى ُجنُوبِ ُك رم‬
َّ ‫الصالةَ فَاذر ُك ُروا‬ َ َ‫فَِإذَا ق‬
َّ ‫ض ري تُ رم‬
“Jika kalian telah menyelesaikan salat, berdzikirlah (mengingat) Allah dalam
kondisi berdiri, duduk, maupun berbaring (QS. An-Nisa’: 103).”(Lajnah
Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 91)
Sebagaimana hal itu adalah petunjuk Rasulullah SAW. Disyariatkan
juga untuk mengeraskan dzikir karena itulah yang dikenal di masa Nabi
SAW sebagaimana shahih dalam riwayat al-Bukhari dari hadis Ibnu Abbas :
‫اَّللُ َعلَري ِه َو َسلَّم‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ ِ ‫ف الن‬ ِ ِ ِ َّ ‫َن رفرع‬
ِّ ِ‫َّاس م رن ال َرم ركتُوبَة َكا َن َعلَى َع رهد الن‬
َ ‫َّب‬ ُ ُ ‫ص ِر‬ َ ‫الص روت ِابل ّذ رك ِر ح‬
َ ‫ني يَ رن‬ َ َ َّ ‫أ‬
“Sesungguhnya mengangkat suara saat berdzikir setelah selesainya
manusia melakukan salat wajib, dilakukan di masa Nabi SAW.” (al-Bukhari,
1422, a. 508)
Kecuali jika di sampingmu ada seseorang yang masih menunaikan
salat dan dikhawatirkan menimbulkan gangguan padanya. Dalam kondisi
seperti itu mestinya engkau melirihkan suaramu sehingga tidak
mengganggu saudaramu. Karena menimbulkan suara yang ramai
(mengacaukan konsentrasi) terhadap orang lain adalah sesuatu yang
mengganggu. Nabi SAW ketika mendengar para sahabatnya salat di masjid
mengeraskan suara, beliau melarang mereka berbuat demikian. Beliau
bersabda:

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 77


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

ِ‫الص َالة‬ َ َ‫اءةِ أ رَو ق‬


َّ ‫ال ِيف‬ ِ ُ ‫فَ َال يُ رؤ ِذيَ َّن بَ رع‬
َ ‫ض ِيف الرق َر‬
ٍ ‫ض ُك رم َعلَى بَ رع‬
ُ ‫ضا َوَال يَ ررفَ رع بَ رع‬
ً ‫ض ُك رم بَ رع‬
“Janganlah sebagian dari kalian mengganggu sebagian yang lain, Dan
janganlah sebagian kalian mengeraskan bagian terhadap sebagian yang lain
dalam membaca Al-Qur’an atau dalam shalatnya.” (H.R. Abu Dawud)

Nabi SAW menjelaskan bahwa mengeraskan bacaan jika di


sekelilingnya ada yang terganggu dengan itu tidaklah diperbolehkan.
Kesimpulannya, setelah selesai salat adalah tempat untuk berdzikir
sedangkan sebelum salam di tasyahhud akhir adalah tempat (kesempatan)
berdoa. Demikian pula yang disebutkan dalam sunnah bahwasanya dzikir
setelah salat disyariatkan dikeraskan selama tidak mengganggu orang di
sampingnya.(Al-Utsaimin, t.t., hlm. 153)

Bid’ah Dalam Perbuatan


Yaitu orang-orang yang bertepuk tangan ketika berdzikir, atau
mengoyang-goyangkan kepala ketika membaca dengan tujuan beribadah
(kepada Allah), atau jenis-jenis bid’ah yang semisalnya. Demikian pula
dengan orang-orang yang mengusap-usap ka’ba pada selain hajar aswad dan
rukun yamani, mengusap-usap kamar Nabi, kuburan Nabi yang mulia,
mengusap-usap mimbar yang dikatakan bahwa itu adalah mimbar Nabi yang
berada di Masjid Nabawi, dan mengusap-usap dinding kuburan baqi’ atau
tempat-tempat lainya. Bid’ah jumlahnya banyak. Baik yang terkait dengan
aqidah, ucapan ataupun perbuatan.(Al-Utsaimin, 2013, hlm. 13)
Termasuk perbuatan bid’ah apa yang dilakukan pada bulan Rajab.
Seperti shalat raghaib dikerjakan pada jum’at yang pertama pada bulan
rajab. Shalat itu jumlahnya 1000 rakaat, yang mereka kerjakan sebagai
bentuk peribadahan kepada Allah. Ini merupakan kebid’ahan yang tidak
akan menambah kecuali semakin jauhnya mereka dari Allah, karena siapa
saja yang mendekatkan diri kepada Allah dengan apa yang tidak Dia
syariatkan, maka ia adalah ahli bid’ah lagi orang yang zhalim. Allah tidak
akan menerima peribadahan yang ia lakukan. Berdasarkan apa yang nyata-
nyata disebutkan di dalam dua kitab shahih, dan lain-lainnya dari Aisyah ra:
bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
ٌّ‫س َعلَري ِه أ رَم ُرََن فَ ُه َو َرد‬ ِ
َ ‫َم رن عَم َل عَ َمالً ل رَي‬
“Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari
urusan kami, maka amalan itu tertolak.”(Hajjaj, 2004, hlm. 18)
Dan disebutkan juga didalam tafsir Al-Fatihah, Telah melakukan
bid’ah orang-orang pada masa sekarang dalam surah Al-Fatihah sebagai
penutup doa, dan juga menjadikannya sebagai pembuka, membacanya di

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 78


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

beberapa acara, dan ini salah. Kamu dapat menemukannya seperti ketika
berdoa yakni bacalah Al-Fatihah, dan sebagian orang memulai pidatonya
atau pekerjaannya dengan Al-Fatihah dan ini juga salah, karena ibadah itu di
dasari oleh Al-Fatihah atas taufiq, tuntunan.

Penafsiran Syekh al-‘Utsaimin


Tafsir surah Al-Hujurat
ۖ ‫َّلل َوَر ُسولِ ِهۦ‬
َِّ ‫ََٰيَيُّها ٱلَّ ِذين ءامنوا َال تُ َق ِّدموا بني ي َد ِى ٱ‬
َ َ‫ُ َر‬ َُ َ َ َ َ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya. (QS. Al-Hujuraat:1).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 515)
Apabila Allah mengawali firman-Nya dengan ucapan:
ِ َّ
َ ‫َََٰيَيُّ َها ٱلذ‬
‫ين ءَ َامنُوا‬
“Hai orang-orang yang beriman”. Hal itu menunjukkan bahwa
berpegang dengan apa yang diucapkan itu termasuk ke dalam konsekuensi
keimanan dan menyelisihinya merupakan kekurangan pada keimanan. Allah
SWT berfirman:
ۖ ‫َّلل َوَر ُسولِ ِهۦ‬
َِّ ‫َال تُ َق ِّدموا بني ي َد ِى ٱ‬
َ َ‫ُ َر‬
“janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang menyatakan
bahwa makna:
‫َال تُ َق ِّد ُموا‬
“janganlah kamu mendahului” Adalah janganlah kalian mendahului Allah
dan Rasul-Nya. Maksudnya adalah: Janganlah kalian mendahului Allah dan
Rasul-Nya baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan. Adapula yang
menyatakan bahwa maknanya adalah janganlah kalian mendahulukan
sesuatu apapun dihadapan Allah dan rasul-Nya. Kedua pendapat ini
mengalir pada muara yang sama.(Al-Utsaimin, 2013, hlm. 9)
Dan termasuk perbuatan mendahului Allah dan Rasul-Nya adalah
perbuatan bid’ah dengan segala bentuknya. Karena hal itu tindakan
mendahului Allah dan rasul-Nya, bahkan itu merupakan sikap yang paling
keterlaluan, karena Nabi SAW bersabda:
ِ ‫اج ِذ وإِ ََّّي ُكم و ُُمر َد ََث‬
‫ت‬ ِ ‫س ُكوا ِِبا وعَضُّوا َعلَي ها ِابلن‬ ِ ِ َّ ‫اْلُلَ َف ِاء الرم ره ِديِني‬ ‫سن َِّت َو ُسن َِّة ر‬ ِ
َ ‫َّو َ ر‬ َ َ‫ر‬ َ َ َّ ََ‫ين َت‬
َ ‫الراشد‬ َّ َ ُ ‫عَلَري ُك رم ب‬
َ ‫األ ُُموِر فَِإ َّن ُك َّل ُُمر َدثَ ٍة بِ رد َعة َوُك َّل بِ رد َع ٍة‬
‫ضالَلَة‬
“Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah
rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan
gigitlah ia dengan gigi graham kalian. Jauhilah oleh kalian perkara yang
diada-adakan (di dalam urusan agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan
setiap bid’ah adalah kesesatan.”(Abu Daud, 2003, hlm. 4607)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 79


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 3


‫يت لَ ُك ُم ٱ رِْل رس َٰلَ َم ِدينًا‬
ُ ‫ض‬ِ ‫ت َعلَي ُكم نِ رعم ِت ور‬ ِ
َ َ َ ‫رت لَ ُك رم دينَ ُك رم َوأ رََتَ رم ُ ر ر‬
ُ ‫ٱلريَ رو َم أَ رك َمل‬
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku ridhai Islam itu jadi
agamamu.” (QS.Al-Maidah:3).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 107)
‫رت لَ ُك رم ِدينَ ُك رم‬
ُ ‫أَ رك َمل‬
Telah Aku jadikan agama itu lengkap, tetapi bukan berarti aku telah
melengkapi syariatnya, karena setelah ayat tersebut ada lagi syariat yang
turun, dengan artian sesungguhnya agama itu lengkap tetapi bukan berarti
itu telah sempurna.
ُ ‫رت لَ ُك رم ِدينَ ُك رم َوأ رََتَ رم‬
‫ت َعلَري ُك رم نِ رع َم ِت‬ ُ ‫ٱلريَ رو َم أَ رك َمل‬
Apakah ini yang dipercayai semenjak pertama turun syari’at? (Al-
Utsaimin, 1432, hlm. 43) Tidak, karena syariat belum sempurna semenjak
hari pertama turunnya syariat, tidak mungkin Allah menyebutkan:
‫رت لَ ُك رم‬
ُ ‫ٱلريَ رو َم أَ رك َمل‬
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu”
Sedangkan belum ada syariat yang turun.
‫رت لَ ُك رم ِدينَ ُك رم‬
ُ ‫أَ رك َمل‬
“Telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu” Apa yang mendekatkan
kita kepada Allah dari ibadah
‫ت َعلَري ُك رم نِ رع َم ِت‬
ُ ‫َوأ رََتَ رم‬
“dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku” Yang berarti agama
itu lengkap dan itu adalah nikmat terbesar dan maksudnya tidak ada
kekurangan.
‫يت لَ ُك ُم ٱ رِْل رس َٰلَ َم ِدينًا‬
ُ ‫ض‬ِ ‫ور‬
ََ
“dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agamamu.” Telah aku berikan dan
Aku ridhai kalian sekalian agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Sebagai agama untuk mendekatkan diri kepada Allah dan janganlah kalian
meyakini agama selain itu (Islam).(Al-Utsaimin, 1432, hlm. 44)
Faidah yg ke 28 surah Al-Maidah ayat 3: Bahwa sesungguhnya sesuatu
yang menyalahi syariat, maka sesuatu itu tidak diridhai disisi Allah dan
tidak diterima.
‫يت لَ ُك ُم ٱ رِْل رس َٰلَ َم ِدينًا‬
ُ ‫ض‬ِ ‫ور‬
ََ
“Dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agamamu”, Dan agama Islam itu
yang memenuhi tiap-tiap ilmu aqidah dan ilmu syari’at. sebagai contoh

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 80


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

adakah Allah meridhai hambanya yang kafir? Jawabannya: tidak, Adakah


Allah meridhai hambanya yang berbuat bid’ah? Jawabannya: tidak
‫يت لَ ُك ُم ٱ رِْل رس َٰلَ َم ِدينًا‬
ُ ‫ض‬ِ ‫ور‬
ََ
“Dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agamamu” Maksudnya Allah
menghendaki dengan ilmu aqidah dan ilmu syariat serta lain-lainnya.(Al-
Utsaimin, 1432, hlm. 53)
Tafsir Surah Al-Hadid ayat 27
َِّ ‫ض َٰو ِن ٱ‬ ِ ِ ِ َّ ِ ُ‫وجعلرنَا ِِف قُل‬
‫َّلل‬ َ ُ‫ين ٱتَّبَ ُعوهُ َرأرفَةً َوَر رْحَةً َوَررهبَانِيَّةً ٱبر تَ َدع‬
َ ‫وها َما َكتَ رب َٰنَ َها َعلَري ِه رم إ َّال ٱبرتغَا َء ِر ر‬ َ ‫وب ٱلذ‬ ََ َ
ِ َٰ ِ ِ ِ ِ َّ ِ
‫َج َرُه رم ۖ َوَكثْي ّم رن ُه رم فَس ُقو َن‬ ‫ين َء َامنُوا م رن ُه رم أ ر‬ َ ‫فَ َما َر َع رو َها َح َّق ِر َعايَت َها ۖ فََاتَ ري نَا ٱلذ‬
“Dan kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun
dan kasih sayang. Mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak
mewajibkannya kepada mereka (yang kami wajibkan hanyalah) mencari
keridhaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya. Maka
kepada orang-orang yang beriman di antara mereka kami berikan
pahalanya, dan banyak di antara mereka yang fasik.” (QS. Al-Hadid:
27).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 541)
ِ َّ ِ ُ‫وجعلرنَا ِِف قُل‬
َ ‫ين ٱتَّبَ ُعوهُ َرأرفَةً َوَر رْحَةً َوَررهبَانِيَّةً ٱبر تَ َد ُع‬
‫وها‬ َ ‫وب ٱلذ‬ ََ َ
“Dan kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun
dan kasih sayang. Mereka mengada-adakan”

Ada tiga perkara. Allah telah menjadikan ketiga perkara itu di dalam
hati orang-orang Nasrani yang mengikuti Nabi Isa.(Lajnah Pentashih al-
Qur’an, 2012, hlm. 379)
ً‫َرأرفَة‬
“Rasa santun”. Adalah salah satu bentuk rahmah (kasih sayang),
akan tetapi sifatnya lebih lembut dan halus.
ً‫َوَر رْحَة‬
“Kasih sayang”. Mereka adalah orang yang paling lembut hatinya,
paling penyayang kepada para makhluk, yakni ketika mereka masih berada
di atas syariat Nabi Isa. Akan tetapi setelah mereka kafir kepada Nabi
Muhammad, maka mereka berubah menjadi orang yang paling sadis,
sebagaimana yang terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang
Nasrani pada perang salip dan lain-lainnya.
ً‫َوَررهبَانِيَّة‬
“Rahbaniyyah” Yakni memutuskan diri dari dunia untuk beribadah
‫وها‬
َ ‫ٱبر تَ َد ُع‬
“Dan yang mereka ada-adakan”. Yakni dari diri-diri mereka sendiri .
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian sekte sesat dari kaum muslimin.

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 81


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

Mereka mengada-adakan rahbaniyah yang tidak Allah terangkan turunkan


keterangan padanya. Akan tetapi mereka masih memiliki perasaan santun
dan kasih sayang.
َِّ ‫ض َٰو ِن‬ ِ ِ
‫ٱَّلل‬ َ ‫َما َكتَ رب َٰنَ َها َعلَري ِه رم إ َّال ٱبرتغَاءَ ِر ر‬
“Padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka
sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah”.
Yakni kami tidak mewajibkan hal itu kepada mereka, akan tetapi mereka
mencari keridhaan Allah. Oleh karena itu kami katakan kalimat:(Lajnah
Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 380)
َِّ ‫ض َٰو ِن‬ ِ ِ
‫ٱَّلل‬ َ ‫إ َّال ٱبرتغَاءَ ِر ر‬
Adalah istisna’ munqathi”. Akan tetapi, walau mereka mengada-
adakan hal tersebut dan mereka sendirilah yang telah memilihnya sendiri.
‫فَ َما َر َع رو َها َح َّق ِر َعايَتِ َها‬
“Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang
semestinya”. Maksudnya mereka tidaklah melakukan upaya pemeliharaan
yang wajib, yakni berbuat ihsan pada rohbaniyyah yang mereka ada-adakan
ini. Akan tetapi mereka berbuat menurut keinginan mereka sendiri.
‫َج َرُه رم‬ ِ ِ َّ
‫ين َء َامنُوا م رن ُه رم أ ر‬
َ ‫فََاتَ ري نَا ٱلذ‬
“Maka kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara
mereka pahalanya”.
‫َوَكثِْي ِّم رن ُه رم َٰفَ ِس ُقو َن‬
“Dan banyak di antara mereka orang-orang fasik” Yakni banyak di
kalangan orang-orang Nasrani orang-orang fasik, yakni orang-orang yang
keluar dari ketaatan kepada Allah.
Dalam hal ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jika seseorang
mengada-adakan suatu kebid’ahan, maka ia tidak mendapatkan taufiq untuk
menegakkan perbuatan tersebut. Ia akan sesat baik pada pokoknya dan
sesat pula pada cabangnya, sekalipun ia mengerahkan kesungguh-
sungguhannya. Sekalipun ia khusyu’. Engkau dapati banyak orang yang
mengda-adakan zikir-zikir atau shalat atau doa atau yang lain-lainnya,
engkau dapati mereka khusyu’, hati-hati mereka menangis, hati-hati mereka
khusyu’ akan tetapi hal itu tidak bermanfaat baginya. Karena mereka berada
di atas kesesatan.(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 381)

PENUTUP
Bid’ah menurut Syekh al-‘Ustaimin ialah hukum asal perbuatan baru
dalam urusan dunia (bid’ah dunia) adalah halal. Jadi bid’ah dalam urusan-
urusan itu halal kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Tetapi
hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (bid’ah agama) adalah

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 82


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah
kecuali ada dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan
disyariatkannya.
Syekh al-‘Utsaimin membagi bid’ah kepada tiga yaitu Pertama, bid’ah
dalam Aqidah berkisar pada dua perkara: 1) berupa Tamtsil dan 2) berupa
Ta’thil. Tamtsil Yaitu dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah, akan tetapi
penetapan itu dilakukan dengan jalan penyerupaan. Ta’thil Yaitu
mengingkari apa yang telah Allah sifatkan diri-Nya dengan sifat itu. Kedua
adalah bid’ah Dalam Ucapan, misalnya adalah orang-orang yang berbuat
bid’ah dalam bacaan tasbih, tahlil atau takbir yang tidak disebutkan oleh
sunnah Nabi, atau mereka mengadakan kebid’ahan dalam bacaan doa yang
tidak yang disebutkan oleh sunnah Nabi, dan bukan pula termasuk doa-doa
yang diperbolehkan. Ketiga, adalah bid’ah dalam Perbuatan, contohnya
adalah orang-orang yang bertepuk tangan ketika berdzikir, atau mengoyang-
goyangkan kepala ketika membaca dengan tujuan beribadah (kepada Allah),
atau jenis-jenis bid’ah yang semisalnya.
Dalam Tafsirnya, Ibnu Utsaimin berpendapat ketika menafsirkan
surah Al-Hujurat ayat 1 bahwa perbuatan mendahului Allah dan Rasul-Nya
adalah perbuatan bid’ah. Lalu dalam menafsirkan surah Al-Maidah ayat 3 ia
bependapat bahwa jika seseorang yang tidak mengikuti syariat yang sesuai
dengan agama Islam, maka ia telah melakukan bid’ah dan dalam Tafsir Surah
Al-Hadid ayat 27, Syekh al-‘Ustaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud
Mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya
kepada mereka (yang kami wajibkan hanyalah) mencari keridhaan Allah
ialah menunjukkan bahwa jika seseorang mengada-adakan suatu kebid’ahan.

REFERENSI
Abu Daud, S. bin al-Asy’ats al-Sijistani. (2003). Sunan Abi Daud. Maktabah al-
Ma’arif.
al-Arfaj, A. bin H. (2013). Konsep Bid’ah dan Toleransi Fiqih. Al-I’tisham.
al-Bukhari, M. bin I. A. A. (1422). Al- Jami’u al- Musnadu al- Shahihu al-
Mukhtasharu min Umuri Rasulillah Sallallahu ’Alaihi wa Sallam wa
Sunanihi wa Ayyamihi (Vol. 5). Daru Thauqi al- Najati.
Al-Utsaimin, A. S. M. bin S. (t.t.). Fatawa Nuur ’ala ad-Darb. Mu’assasah asy-
Syaikh Ibnu ’Utsaimin al-Khairiyah.
Al-Utsaimin, A. S. M. bin S. (1432). Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-
Maidah.
Al-Utsaimin, A. S. M. bin S. (2013). Tafsir Al-Qur’an Ibnu Utsaimin. Pustaka
Salwa.

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 83


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies
Vol. 3 No. 1 (Juni 2020)

as-Syaqiry, M. ‘Abdus-salam K. (2004). Bid’ah-Bid’ah yang dianggap Sunnah.


Qisthi Press.
az-Zahrani, S. K. bin A. (2013). Pengertian Bid’ah Dan Bahayanya Serta Celaan
Bagi Pelakunya.
Fananie, Z., & Sabadila, A. (2000). Sumber konflik masyarakat Muslim
Muhammadiyah-N.U: Perspektif keberterimaan tahlil (Cet. 1).
Muhammadiyah University Press : Asia Foundation.
Hajjaj, A. M. I. (2004). Shahih Muslim. Dar al-Fikr.
Huda, I. S. (2012). Studi Sastra Al—Qur’an: Antara Balaghah dan
Hermeneutika. CV. Bintang Sejahtera.
Ilyas, H. (2004). Studi Kitab Tafsir. Teras.
Kusnia, M. (2018). Penafsiran Misbah Mustofa Terhadap Ayat Tentang Bid’ah
Dalam Tafsir Al-Iklil Fi Ma’Ani Al-Tanzil (surah Al-A’raf ayat 55-56 dan
surah At-Taubah ayat 31”. UIN Sunan Ampel.
Lajnah Pentashih al-Qur’an. (2012). Al-Qur’an dan Terjemah. Syaamil Qur’an.
Md Isa, M. S. bin. (2018). Konsep Bid’ah Menurut Imam Nawawi dan Syekh
Abdul Aziz. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam-Banda
Aceh.
Saguni, M. K. (2019, November 30). Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
(Ulama Pemersatu Umat dan Da’i Teladan). https://wahdah.or.id/.
https://wahdah.or.id/syekh-muhammad-bin-shalih-al-utsaimin/
Sarjan, A. (t.t.). Pembaharuan Pemikiran Fiqh Hasbi.
Syarif, Z. M. B. (t.t.). Tahzib al-Asma Wa Lughat. Dar al-Kutub al-Alamiyah.
Taimiyah, A. I. (1425). Majmu’ Fatawa. Dakwah Isyadiyah.
Taimiyah, A. I. (1976). Al-Amru Bil Ma’ruf wa Nahi ‘Anil Mungkar. Dar al-
Kutub al-Jadid.

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 84

Anda mungkin juga menyukai