Hanisah
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, UIN Shulthan Thaha Saifuddin, Jambi, Indonesia
hanisah52@gmail.com
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penafsiran terhadap ayat tentang bid’ah,
dengan corak yang digunakan mufassir dalam menafsirkan ayat tersebut. Penelitian
ini termasuk metode kualitatif yang sumber datanya di peroleh dari kepustakaan
(library research). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dalam menafsirkan surah
Al-Hujurat ayat 1, surah Al-Maidah ayat 3 dan surah Al-Hadid ayat 27 dalam Tafsir
Ibnu Utsaimin menunjukkan perbedaan pendapat para ulama. Metode tafsir yang
diterapkan oleh Syekh al-‘Utsaimin dalam tafsirnya. menggunakan perkataan yang
jelas, kalimat yang dalam dan tidak bertele-tele dan selalu beliau iringi dengan
untaian nasihat dari ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu dalam tafsirnya tidak
banyak menyebutkan perkataan dan masalah-masalah cabang yang banyak
didapatkan dalam kitab tafsir seperti masalah balaghah dan i’rab. Corak yang
digunakan Syekh al-‘Utsaimin dalam tafsirnya ialah menggunakan corak fiqih dan
metode yang digunakannya adalah metode tahlili.
Abstract:
This study aims to find out the interpretation of the verse about heresy, with the
style used by the commentator in interpreting the verse. This study includes
qualitative methods from which data sources are obtained from the library (library
research). The results of the study concluded that in interpreting Surah Al-Hujurat
verse 1, Surah Al-Maidah verse 3 and Surah Al-Hadid verse 27 in Tafsir Ibnu
Utsaimin showed differences of opinion of the scholars. The method of
interpretation applied by Shaykh al-tUtsaimin in his interpretation. uses clear
words, sentences that are deep and straightforward and he is always accompanied
by strings of advice from the verses of the Qur'an. Therefore in its interpretation,
there is not much mention of the words and branch problems that are found in many
books such as balaghah and i'rab problems. The style used by Sheikh al-‘Utsaimin in
his interpretation is to use the style of jurisprudence and the method used is the
method of tahlili.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan sebuah mukjizat yang menembus batas ruang
dan waktu, ia bisa “hidup” dimanapun dan kapanpun (shalih li kulli zaman
wa makan).(Huda, 2012, hlm. 4) Umat Islam di seluruh dunia disatukan
dalam sumber utama yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Walaupun
disatukan dalam sumber yang sama, namun dalam memahami beberapa
istilah agama, umat Islam tidak selamanya sepakat.(al-Arfaj, 2013, hlm. 1)
Dalam perjalanan umat Islam, berbagai perkara baru sedikit demi sedikit
muncul. Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah ada sama sekali pada
masa Rasulullah dan para sahabat. Perkara-perkara baru itulah yang
kemudian disebut sebagai bid’ah.
Rasulullah SAW bersabda:
ضالَلَة َِّ يث كِتاب
َ اَّلل َو َخ رْيُ ا رْلَُدى ُه َدى ُُمَ َّم ٍد َو َش ُّر األ ُُموِر ُرُم َد ََث ُُتَا َوُك ُّل بِ رد َع ٍة ِ ِ فَِإ َّن َخ ر
ُ َ ْي ا رْلَد
َ
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-
jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara
agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah
kesesatan”. (H.R. Muslim) (Hajjaj, 2004, hlm. 153–154)
Hadis ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadis yang
berbicara tentang bid'ah (setiap bid’ah adalah kesesatan). Inilah yang masih
diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua
bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Meskipun
demikian dalam realitasnya, perbedaan paham mengenai bid’ah secara
langsung maupun tidak langsung ternyata telah melahirkan banyak konflik,
baik konflik yang berlatar belakang teologis, kultural bahkan pada tataran
politis.(Fananie & Sabadila, 2000, hlm. 3) Kata bid’ah dalam khazanah Islam
merupakan lawan kata sunnah. Bid’ah oleh Ibnu Taimiyyah:
ومن هنا يعرف ضالل من ابتدع طريقا اواعتقادازعم ان االميان اليتم االبه العلم ابن رسول مل يذكره
قال الشافعى. وماخالف النصوص فهوبدعة ابتفاق املسلمني ومامل يعلم أنه خالفها فقد مل يسمى بدعة
البدعة بدعتان بدعة خالفت كتااب وسنة وامجاعاواثرا عن بعض أصحاب رسول هللا فهذه بدعةضالل
هذهنحوه رواه البيهقى.وبدعة مل ختالف شيئا من ذلك وهذه قدتكون حسنةلقوله عمرنعمة البدعة هذه
ابسناده الصحيح يف املدخل
“Dari sini diketahui kesesatan orang yang membuat jalan atau aqidah yang
menganggap bahwa iman tidak sempurna kecuali dengan jalan atau aqidah
itu bersamaan dengan itu ia mengetahui bahwa Rasul tidak
menyebutkannya dan sesuatu dengan nas, maka semua itu adalah bid’ah
sesuai dengan kesepakatan umat islam. Sedangkan bid’ah yang tidak
PEMBAHASAN
Definisi Bid’ah
Bid’ah artinya sesuatu yang baru dalam agama setelah agama itu
dinyatakan sempurna dan setelah wafatnya Nabi. Bentuk jamaknya adalah
al-Bida’ seperti kata yang sepola dengannya al-‘Inab. Bid’ah juga berarti
Dan firman-Nya:
َحد
َ َوَملر يَ ُك رن لَهُ ُك ُف ًوا أ
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”(QS. Al-Ikhlas: 4).(Lajnah
Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 604)
Dan firmannya:
ًَه رل تَ رعلَ ُم لَهُ ََِسيّا
“Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia?”(QS.
Maryam:65).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 310)
Ta’thil
Yaitu mengingkari apa yang telah Allah sifatkan diri-Nya dengan sifat
itu. Jika pengingkaran itu berupa penolakan dan pendustaan, maka ia
merupakan kekufuran. Dan jika pengingkaran itu berupa penta’wilan, maka
itu adalah tahrif (penyelewengan kata/makna), dan bukan berupa
kekufuran jika lafadz itu tidak mengandung makna tersebut, maka tidak ada
perbedaan antara ta’wil ini dengan pengingkaran berupa pendustaan.
Contohnya, jika ada seseorang yang berkata: Sesungguhnya Allah berfirman,
ِ َبل ي َداهُ مبسوطَت
ان ُ َ ر َ َر
beberapa acara, dan ini salah. Kamu dapat menemukannya seperti ketika
berdoa yakni bacalah Al-Fatihah, dan sebagian orang memulai pidatonya
atau pekerjaannya dengan Al-Fatihah dan ini juga salah, karena ibadah itu di
dasari oleh Al-Fatihah atas taufiq, tuntunan.
Ada tiga perkara. Allah telah menjadikan ketiga perkara itu di dalam
hati orang-orang Nasrani yang mengikuti Nabi Isa.(Lajnah Pentashih al-
Qur’an, 2012, hlm. 379)
ًَرأرفَة
“Rasa santun”. Adalah salah satu bentuk rahmah (kasih sayang),
akan tetapi sifatnya lebih lembut dan halus.
ًَوَر رْحَة
“Kasih sayang”. Mereka adalah orang yang paling lembut hatinya,
paling penyayang kepada para makhluk, yakni ketika mereka masih berada
di atas syariat Nabi Isa. Akan tetapi setelah mereka kafir kepada Nabi
Muhammad, maka mereka berubah menjadi orang yang paling sadis,
sebagaimana yang terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang
Nasrani pada perang salip dan lain-lainnya.
ًَوَررهبَانِيَّة
“Rahbaniyyah” Yakni memutuskan diri dari dunia untuk beribadah
وها
َ ٱبر تَ َد ُع
“Dan yang mereka ada-adakan”. Yakni dari diri-diri mereka sendiri .
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian sekte sesat dari kaum muslimin.
PENUTUP
Bid’ah menurut Syekh al-‘Ustaimin ialah hukum asal perbuatan baru
dalam urusan dunia (bid’ah dunia) adalah halal. Jadi bid’ah dalam urusan-
urusan itu halal kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Tetapi
hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (bid’ah agama) adalah
dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah
kecuali ada dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan
disyariatkannya.
Syekh al-‘Utsaimin membagi bid’ah kepada tiga yaitu Pertama, bid’ah
dalam Aqidah berkisar pada dua perkara: 1) berupa Tamtsil dan 2) berupa
Ta’thil. Tamtsil Yaitu dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah, akan tetapi
penetapan itu dilakukan dengan jalan penyerupaan. Ta’thil Yaitu
mengingkari apa yang telah Allah sifatkan diri-Nya dengan sifat itu. Kedua
adalah bid’ah Dalam Ucapan, misalnya adalah orang-orang yang berbuat
bid’ah dalam bacaan tasbih, tahlil atau takbir yang tidak disebutkan oleh
sunnah Nabi, atau mereka mengadakan kebid’ahan dalam bacaan doa yang
tidak yang disebutkan oleh sunnah Nabi, dan bukan pula termasuk doa-doa
yang diperbolehkan. Ketiga, adalah bid’ah dalam Perbuatan, contohnya
adalah orang-orang yang bertepuk tangan ketika berdzikir, atau mengoyang-
goyangkan kepala ketika membaca dengan tujuan beribadah (kepada Allah),
atau jenis-jenis bid’ah yang semisalnya.
Dalam Tafsirnya, Ibnu Utsaimin berpendapat ketika menafsirkan
surah Al-Hujurat ayat 1 bahwa perbuatan mendahului Allah dan Rasul-Nya
adalah perbuatan bid’ah. Lalu dalam menafsirkan surah Al-Maidah ayat 3 ia
bependapat bahwa jika seseorang yang tidak mengikuti syariat yang sesuai
dengan agama Islam, maka ia telah melakukan bid’ah dan dalam Tafsir Surah
Al-Hadid ayat 27, Syekh al-‘Ustaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud
Mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya
kepada mereka (yang kami wajibkan hanyalah) mencari keridhaan Allah
ialah menunjukkan bahwa jika seseorang mengada-adakan suatu kebid’ahan.
REFERENSI
Abu Daud, S. bin al-Asy’ats al-Sijistani. (2003). Sunan Abi Daud. Maktabah al-
Ma’arif.
al-Arfaj, A. bin H. (2013). Konsep Bid’ah dan Toleransi Fiqih. Al-I’tisham.
al-Bukhari, M. bin I. A. A. (1422). Al- Jami’u al- Musnadu al- Shahihu al-
Mukhtasharu min Umuri Rasulillah Sallallahu ’Alaihi wa Sallam wa
Sunanihi wa Ayyamihi (Vol. 5). Daru Thauqi al- Najati.
Al-Utsaimin, A. S. M. bin S. (t.t.). Fatawa Nuur ’ala ad-Darb. Mu’assasah asy-
Syaikh Ibnu ’Utsaimin al-Khairiyah.
Al-Utsaimin, A. S. M. bin S. (1432). Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-
Maidah.
Al-Utsaimin, A. S. M. bin S. (2013). Tafsir Al-Qur’an Ibnu Utsaimin. Pustaka
Salwa.