Anda di halaman 1dari 17

Makalah lmu Takhrij

(Ulumul Hadits)

Makalah Ilmu Takhrij dan Contohnya


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Hadits

Disusun Oleh

RAHMA DIANNUR (11822033)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PONTIANAK
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan kepada kami sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah kami yang berjudul “Takhrij Hadits”
mata kuliah Ulumul Hadit. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, shahabat dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat.
Makalah ini menjelaskan tentang Apa Pengertian Takhrij Hadits, Sejarah Ilmu Tahrij,
Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits, Metode-Metode Dalam Takhrij Hadits, Urgensi
Manfaat dan Orientasi Takhrij. Dengan demikian materi makalah ini diharapkan dapat
membantu proses belajar mahasiswa.
Teriring ucapan terima kasih kepada Bapak Aenurofik selaku pembimbing kami
dalam pembelajaran mata kuliah Ulumul Hadits, juga kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan serta motivasi kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun guna perbaikan dan peningkatan kualitas makalah di masa yang akan
datang dari pembaca adalah sangat berharga bagi kami.
Demikian makalah ini kami susun, semoga makalah ini bisa menambah keilmuan dan
bermanfaat bagi kita semua serta menjadi tambahan referensi bagi penyusunan
makalah dengan tema yang senada diwaktu yang akan datang. Aamiin yaa robbal
‘alamin.
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Langkah awal dalam melakukan kegiatan penelitian hadis adalah Takhrij al-Hadis.
Kegiatan ini sangat penting karena tanpa kegiatan ini terlebih dahulu maka akan sulit
untuk diketahui asal usul riwayat hadis yang akan diteliti. Kegiatan penelitian hadis
baik dari segi sanad maupun dari segi matan sangatlah penting. Upaya penelitian
terhadap hadis-hadis yang tertuang dalam beberapa kitab hadis merupakan sebuah
keharusan. Karena kitab-kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya masing-
masing memuat riwayat hadis baik sanad-nya maupun matan-nya. Artinya para
mukharrij bersikap terbuka dengan mempersilahkan para ahli yang berminat untuk
meneliti semua hadis yang terhimpun dalam kitab hadis yang mereka susun.
Latar belakang pentingnya penelitian hadis adalah hadis nabi sebagai salah satu
sumber ajaran islam, dan tidak seluruh hadis tertulis pada zaman nabi. Selain itu telah
timbul berbagai pemalsuan hadis. Juga di sisi lain telah terjadi periwayatan secara
makna karena jumlah kitab hadis yang banyak dengan penyusunan yang beragam
serta proses penghimpunan hadis memaka waktu yang lama.
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pegertian Takhrij Hadis


Menurut bahasa berasal dari kata khuruj (keluar) lawan dari dukhul (masuk). Khuruj
terkadang berarti Ibros dan Idzhar (menampakkan). Takhrij di kalangan ahli hadits
artinya menampakkan tempat keluarnya hadits dengan menyebut para perawi
isnadnya. Menurut Ibnu Sholah (Ulum Al-Hadits) Takhrij persamaan dari kata ikhroj,
yang berarti menampakkan hadits kepada orang lain dengan menyebut tempat
pengambilannya. Artinya para tokoh isnadnya yang mentakhrij hadits itu disebutkan.
Misal: Hadits yang dikeluar- kan oleh Bukhari, atau ditakhrij oleh Bukhari. Artinya ia
meriwayatkannya dan menyebut tempat dikeluarkannya secara independen.
Takhrij Hadis adalah merupakan bagian dari kegiatan penelitian hadis. Dua kata lain
yang mempunyai kata dasar yang sama dari kata khara-ja, yaitu ikhraj dan istikraj,
yang penggunaannya sedikit berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Kata ikhraj dalam terminologi ilmu hadis berarti:
َ‫صلَى هَللا ُ عَل ْي ِه َو َسلَّ َم اِ ْن َكان‬ ِ ‫ث بِاْالَ ْسنَا ِد ِم ْن َم ْخ َر ِج ِه َو َر‬
َ ‫اويَ ِة اِلى َرسُوْ ِل هَللا‬ ِ ‫فَهُ َو ِر َوايَ ِة ْال َح ِد ْي‬
‫ َأوْ اِلَى التَّابِ ِعي اِ ْن َكانَ َم ْق عًاز‬,‫ص َحابِى اِ ْن َكانَ َموْ قُوْ فًا‬
َ ‫َأوْ اِلَى ال‬, ‫ َمرْ عًا‬                       
Yaitu, periwayatan hadis dengan menyebutkan sanad-nya mulai dari mukharij-nya
dengan parawinya sampai kepada Rasul saw. jika hadis tersebut marfu’, atau sampai
kepada sahabat jika hadis tersebut mawafuq, atau sampai kepada tabi’in jika hadis
tersebut maqthu’’.
Suatu hadis yang sebelumnya tidak diketahui keadaannya sehingga seolah-olah
dianggap tidak ada, maka dengan ikhraj, yaitu penyebutan sanad-nya secara
bersambung sampai kepada yang mengucapkannya, hadis tersebut akan menjadi jelas
eksistensinya dan akan diketahui kualitasnya sehingga dapat diamalkan.
Istikhraj dalam istilah ilmu hadis adalah:
ِ ‫ا‬hhَ‫ب ْال ِكت‬
‫ هُ فِى‬h‫ ُع َم َع‬h‫ب فَيُجْ َم‬ ِ ‫صد َْال َحافِظُ اَالَّ ُمصْ َح‬
ِ ‫ا ِح‬hhَ‫ف ُم ْسنَ ِدلِ َغي ِْر ِه فَيَ ْخ ُر ُخ اَ َحا ِد ْيثِ ِه بِأ َسانِ ِدى فَ َسهُ ِم ْن َغي ِْر ط‬ ِ ‫فَهُ َواَ ْن يَ ْق‬
ِ ‫ ِد ْي‬h‫وْ نَ ِم ْن َح‬hh‫ َد اَ ْن يَ ُك‬h ُ‫ص َحابِى اَخَرْ بَلْ اَل ب‬
‫ث‬ ِ ‫ث ال َم ْذ ُكوْ ِر ِم ْن َح ِد ْي‬
َ ‫ث‬ ِ ‫ث بِشَرْ ِط اَ ْن اَل ي َُو ِرد ُْال َح ِد ْي‬
ُ ِ‫ص َحاي‬
َ ‫ثَ ْي ُخهُ َوهُ ُكوْ دًا اِلَى‬
‫ص َحابِى نَ ْف ِس ِه‬ َ ِ‫ َذل‬                          
َ ‫ك ال‬
Yaitu, bahwa seorang hafiz (ahli hadis) menentukan (memilih) suatu kitab kumpulan
hadis karya orang lain yang telah disusun lengkap dengan sanad-nya, lalu dia
mentakhrij hadis-hadisnya dengan sanad-nya sendiri tanpa mengikuti jalur sanad
penyusun kitab tersebut. (Akan tetapi) jalur sanad-nya itu bertemu dengan sanad
penulis buku tersebut pada gurunya atau guru sebagai penerima hadis pertama,
dengan syarat bahwa hadis tersebut tidak datang dari sahabat lain, tetapi mestilah dari
sahabat yang sama.
Sebagai contoh, seseorang bermaksud melakukan istikhraj terhadap kitab Shahih al-
Bukhari. Hadis pertama di dalam kitab tersebut adalah hadis tentang niat, yaitu:
ِ ‫اِنَّ َما ْاالَ ْع َما ُل بِالنِّيا‬.....
‫ت‬
Hadis niat tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dari gurunya Al-Humaidi, dari Sufyan
ibn Uyainah, dari Yahya ibn Said al-Anshari, dari Ibrahim al-Taimi, dari Al-Qamah
ibn Waqqash al-Laitisi, dari ‘Umar ibn al-Khatahab. Seseorang mustakhrij (yang
melakukan ikhtiraj) akan menyandarkan hadis tersebut dengan sanad-nya sendiri
kepada al-Humaidi, guru Bukhari, atau jika dia tidak menyandarkannya kepada Al-
Humaidi, dia akan menyandarkannya kepada Sufiyan ibn Uyainah, guru Al-Humaidi,
dan jika dia akan meriwayatkan hadis tersebut dengan menyandarkannya kepada
Yahya ibn al-Mubarak atau ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi atau parawi selain mereka
yang meriwayatkan hadis tersebut dari Yahya ibn Sa’id al-Anshar, yang jumlahnya
menurut sebagian ulama hadis mencapai 700 orang. Demikianlah seterusnya. Apabila
dia, yaitu mustakhrij tersebut tidak menyandarkannya kepada Yahya, maka dia
meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad-nya sendiri dengan menyandarkannya
kepada Al-Taimi, atau kepada Al-Qamah ibn Waqqash, atau kepada Umar ibn kepada
Abi Sa’id Khudri atau Abu Hurairah, atau Anas, atau Ali r.a., yang kesemuanya adalah
sahabat yang juga meriwayatkan hadis niat tersebut, yang rangkaian sanad-sanadnya
dinilai dha’if oleh para ulama hadis. Jadi, apabila pada tingkat sahabat tidak bertemu
sanadnya dengan sanad Bukhari dalam hadis niat tersebut, maka kegiatannya itu
tidaklah dinamai dengan istikhraj, tetapi dinyatakan hadisnya itu sebagai hadis musni
dengan periwayatannya sendiri.
Takhrij, secara bahasa berarti:
ِ ‫ضا َ َّد ْي ِن َش ْي ٍء َو‬
‫اح ٍد‬ َ َ‫ع اَ ْم َري ِْن ُمت‬
ُ ‫اِجْ َما‬
Berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu masalah.
Selain itu, takhrij secara bahasa juga menandung pengertian yang bermacam-macam,
dan yang popular diantaranya adalah:
(i) al-istinbath (mengeluarkan), (ii) al-tadrib (melatih atau membiasa- kan), (iii) al-
tawjih (memperhadapkan).
Secara terminologi, takhrij berarti:
‫ت ُم َعلَّقَةُ َغي َْر ُم ْسنَ َد ِة َواَل ُم ْع ُز َّو ِة‬ َ ‫ث اَلَّتِى تُ ْذ ِك ُرفِى ْال ُم‬
ِ ‫صنَفَا‬ ِ ‫ع َْز ُو ْاالَ َحا ِد ْي‬
َ ً‫ اَ َّما َم َع ْالكَاَل ِم َعلَ ْيهَا تَصْ ِح ْيحًا َوتَضْ ِع ْيف‬,‫ب ُم ْسنَ َد ٍة‬
‫او َر َّدا‬ ٍ ُ‫ب اَ َوْئ ُكت‬
ِ ‫اِلَى ِكتَا‬
‫ار َعلَي ْالغ َْز ِواِلَــى اُألصُوْ ِل‬
ِ ‫ص‬َ ِ‫ َواَ َّما بِاْ ِال ْقت‬,‫َوقُبُوْ اًل وبَيَا ِن َمافِ ْيهَا ِمنَ ْالــ ِل‬
Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam
berbagi kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai
dengan pembicaraaan tentang status hadis-hadis tersebut dari segi sahih atau dha’if,
ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya,
atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumber)-nya.
Al-Thahan, setelah menyebutkan beberapa macam pengertian takhrij      di kalangan
ulama hadis, menyimpulkan sebagai berikut:
ُ‫صا ِد ِر ِه اَْألصْ لِيَ ِة اَلَّتِى اَ ْخ َر َج ْته‬ ِ ‫ض ِع ْال َح ِد ْي‬
َ ‫ث فِى ُم‬ ِ ْ‫ه َُوال َّدالَلَةُ َعلَى َمو‬
َ ‫اراتِبِه ِع ْند َْا‬
 ‫لح َجا ِة‬ َ ‫بِ َسنَ ِد ِه ثُ َّم بَيَا ِن َم‬
Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumber-sumbernya yang asli
yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanad-nya masing-
masing, kemudian manakala diperlukan, dijelaskan kualitas hadis yag bersangkutan.
Yang dimaksud dengan menunjukan letak hadis dalam definisi di atas adalah
menyebabkan berbagai kitab yang di dalamnya terdapat hadis  tersebut, seperti hadis
tersebut diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitab Shahih-nya, atau Al-Thabari di
dalam Tafsir-nya, atau kitab-kitab sejenis yang memuat hadis tersebut.
Sedangkan yang dimaksud “sumber-sumber hadis yang asli“ adalah kitab-kitab hadis
yang menghimpun hadis-hadis Nabi saw. yang diperoleh oleh penulis kitab tersebut
dari para gurunya, lengkap dengan sanad-nya, sampai kepada Nabi saw. Kitab-kitab
tersebut, seperti Al-Kutub al-sittah, Muwaththa’Malik, Mustadrak al-hakim.
Yang dimaksud dengan “menjelaskan status dan kualitas hadis tersebut ketika
dibutuhkan” adalah menjelaskan kualitas hadis tersebut apakah sahih, dha’if atau
lainnya, apabila hal tersebut diperlukan. Oleh karenannya, menjelaskan status dan
tingkatan hadis bukanlah sebagai penyempurna yang akan dijelaskan manakala
diperlukan.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa hakikat dari takhrij al-hadis adalah penelusuran
atau pencarian hadis sebagai sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan
secara lengkap matan dan sanad-nya.
B.  Sejarah Ilmu Takhrij
Pada mulanya, menurut Al-Thahan, ilmu takhrij al-hadits tidak dibutuhkan oleh para
ulama dan peneliti hadis karena pengetahuan mereka tentang sumber hadis ketika itu
sangat luas dan baik. Hubungan mereka dengan sumber hadis juga kuat sekali,
sehingga apabila mereka dapat menjelaskan sumber hadis tersebut dalam berbagai
kitab hadis, yang metode dan cara-cara penulisan kitab-kitab hadis tersebut mereka
ketahui. Dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dengan mudah dapat
menggunakan dan mencari sumber dalam rangka men-takhrij hadis. Bahkan, apabila
di hadapan seorang sumber aslinya, ulama tersebut dengan mudah dapat menjelaskan
sumbeer aslinya.
Ketika para ulama mulai merasa kesulitan untuk mengetahui sumber dari suatu hadis,
yaitu setelah berjalan beberapa periode tertentu dan setelah berkembangnya karya-
karya ulama dalam fikih, tafsir dan sejarah, yang memuat hadis-hadis Nabi saw. yang
kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya, maka ulama hadis terdorong untuk
melakukan takhrij terhadap karya-karya tersebut. Pada saat itu, munculah kitab-kitab
takhrij, yang pertama muncul adalah karya Al-Khatib al-Baghdadi (w.463 H), namun
yang terkenal adalah Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah wa al-Ghara’ib
karya Syarif Abi al-Qasim sl-Husaini, Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah
wa al-Ghara’ib karya Abi al-Qasim al-Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Syafi’i (w.
584 H). Kitab Al-Muhdzdzab sendiri adalah kitab fikih mazhab Syafi’i yang disususn
oleh Abu Ishaq al-Syirazi.
Kitab-kitab induk hadis yang ada, mempunyai susunan tertentu dan berada antara
yang satu dan yang lainnya, yang hal ini memerlukan cara tertentu secara ilmiah agar
penelitian dan pecarian hadisnya dilakukan sengan mudah. Cara praktis dan ilmiah
inilah yang merupakan kajian pokok ilmu takhrij.
Menurut Mahdi, ilmu takhrij pada awalnya adalah berupa tuturan yang belum tertulis.
Hal ini dimaksudkannya sebelum munculnya kitab-kitab takhrij seperti Takhrij, al-
Fawa’id al-Muntakhabah karya Abu Qasim al-Husayni, Takhrij al-Fawa’id al-
Muhadzdzab karangan Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Syafi’i, seperti yang telah
disebutkan tadi.
C.  Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadis
          Penguasaan tentang ilmu takhrij sangat penting, bahkan merupakan suatu
kemestian bagi setiap ilmuan yang berkecimpung di bidang ilmu-ilmu kesyariahan,
khususnya yang menekuni bidang hadis dan ilmu hadis. Dengan mempelajari kaidah-
kaidah dan metode takhrij, seseorang akan dapat mengetahui bagaimana cara untuk
sampai kepada suatu hadis didalam sumber-sumbernya yang asli yang pertama kali
disususn oleh para ulama mengkodifikasi hadis. Dengan mengetahui hadis di dalam
buku-buku sumbernya yang asli, sekaligus akan mengetahui sanad-sanad-nya akan
memudahkan untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui
status dan kualitasnya. Kebutuhan ini akan sangat dirasakan ketika menyadari bahwa
sebagian para penyusun kitab-kitab dalam bidang fikih, tafsir dan sejarah yang
memuat hadis-hadis Nabi saw., tidak meuliskan hadis-hadis tersebut secara sempurna;
merekakadang-kadang hanya meringkas hadis-hadis tersebut pada bagian-bagian yang
mereka perlukan saja atau pada saat tertentu, mereka menuliskan lafaz hadisnya dan
pada saat yang lain maknanya saja, bahkan kadang-kadang ada yang menuliskan lafaz
hadisnya, namun tanpa menyebutkannya sebagai hadis karena hadis tentang niat atau
tentang sebaik-baik urusan adalah pertengahan, dan sebagainya. Selain itu, juga
terdapat penyebutan hadis tanpa memberikan klarifikasi apakah statusnya marfu’
mauquf, atau maqthu’ yang tentunya berlanjut kepada status dan kualitas hadis
tersebut.
          Selanjutnya, mengenai tujuan dan manfaat takhrij al-hadits ini, ‘Abd al-Mahdi
melihatnya secara terpisah antara yang satu dan yang lainnya. Menurut ‘Abd al-
Mahdi, yang menjadi tujuan dari takhrij adalah menunjukkan sumber hadis dan
menerangkan ditolak atau diterimanya hadis tersebut.
Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi tujuan takhrij, yaitu:
·    Untuk mengetahui sumber dari suatu hadis, dan
·    Mengetahui kualitas dari suatu hadis, apakah dapat diterima (sahih atau hasan)
atau ditolak (dha’if).
Manfaat takhrij banyak sekali. ‘Abd al-Mahdi menyimpulkannya sebanyak dua puluh
manfaat.
1.      Memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal dari suatu hadis beserta
ulama yang meriwayatkannya.
2.      Menambah perbendaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab yang
ditunjukkannya.
3.      Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahui apakah munaqthi atau
lainnya.
4.      Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya, seperti hadis dha’if
melalui suatu riwayat, maka dengan takhrij kemungkinan akan didapati riwayat lain
yang dapat mengangkat status hadis tersebut kepada derajat yang lebih tinggi. 
5.      Mengetahui pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits.
6.      Memperjelas perawi hadis yang samar karena dengan adanya takhrij, dapat
diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
7.      Memperjelas perawi hadis yang yang tidak diketahui namanya melalui
perbandingan diantara sanad-sanad.
8.      Dapat menafikkan pemakaian “an” dalam periwayatan hadis oleh seorang
perawi mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas
kebersambungan sanad-nya, maka periwayatannya yang memakai “an” tadi akan
tampak pula kebersambungan sanad-nya.
9.      Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10.  Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada
perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain,
mak nama perawi itu akan menjadi jelas.
11.  Dapat memperkenalkan periwayatannya yang tidak terdapat dalam satu sanad.
12.  Dapat memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad.
13.  Dapat menghilangkan syadz (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat perawi
yang lebih tsiqat) yang terdapat pada suatu hadis melalui perbandingan riwayat.
14.  Dapat membedakan hadis yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu)
dari yang lainnya.
15.  Dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
16.  Dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh perawi.
17.  Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafadz dan
yang dilakukan dengan makna saja.
18.  Dapat menjelaskan masa dan tempat kejadian timbulnya hadis.
19.  Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis melalui perbandingan sanad-
sanad yang ada.
20.  Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui
perbandingan-perbandingan sanad yang ada.
D.  Cara Pelaksanaan dan Metode Takhrij
Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman,
yaitu sebagai berikut.
1.    Takhrij menurut lafal pertama matan.
2.    Takhrij menurut lafal-lafal yang terdapat di dalam matan hadis.
3.    Takhrij menurut perawi pertama.
4.    Takhrij menurut tema hadis.
5.    Takhrij menurut klasifikasi (status) hadis.
E.  Urgensi Manfaat dan Orientasi Takhrij
Tidak diragukan lagi bahwa mengetahui disiplin ilmu takhrij sangat penting bagi
orang yang menggeluti ilmu-ilmu syar’i, mempelajari kaidah-kaidahnya dan
metodenya, agar ia mengetahui bagaimana sampai kepada hadits tersebut pada
sumber-sumbernya yang orisinal. Manfaat takhrij amat besar, terutama bagi mereka
yang berkecimpung dalam hadits. Sebab dengan perantaraanya seseorang mendapat
petunjuk kepada salah satu sumber hadits pertama yang disusun oleh para tokoh/
imam hadits.
Kebutuhan terhadap takhrij supaya pencari ilmu dapat diperkuat oleh suatu hadits atau
ia meriwayatkannya setelah ia mengetahui ulama - para penyusun  yang
meriwayatkan hadits dalam kitabnya sebagai musnad (sandaran).
Karena itu disiplin ilmu takhrij sangat dibutuhkan oleh setiap peminat, atau oleh
orang yang menggeluti ilmu-ilmu syar’i dan sesuatu yang terkait dengannya.

F.   Hal Yang Mendasar Dalam Takhrij Hadits


Mentakhrij matan suatu hadits berarti mengungkap perawi hadits tersebut dalam
kitabnya disertai bab dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kitab tersebut.
Setelah mentakhrij suatu hadits hendaknya dapat menjelaskan sekitar hadits tersebut
seluas mungkin, seperti tentang keshahihannya,ketersambungan sanadnya dan lain-
lain. Ini tentunya dengan cara membandingkan diantara sanad-sanadnya yang ada.
Bila kita dihadapkan upaya mencari hadits dengan shahabat sebagai penerima dari
Nabi SAW lebih dari satu, maka kita harus mencari shahabat yang meriwayatkannya
keseluruhan seperti yang diminta. Seperti : suatu hadits diriwayatkn oleh ulama hadits
dan dua shahabat (A dan B). Hadis dengan perawinya A dikeluarkan oleh Fulan dalam
kitabnya (nama kitab kumpulan hadistnya) dalam bab ini, jilid sekian, halaman
sekian, nomor hadits sekian dan lain-lain dengan menyebutkan nama-nama perawi
yang terdapat dalam sanadnya. Adpun hadits dengan perawinya B dikeluarkan oleh
Fulan dalam kitabnya (nama kitab haditsnya) dan seterusnya seperti diatas.  
Dan bila dihadapkan upaya mencari hadits dengan shahabat sebagai penerima dari
Nabi satu orang, maka cukuplah kita mencarinya pada satu shahabat itu. Namun bila
kebetulan mendapatkan shahabat yang lain meriwayatkannya dari Nabi, maka
kedudukan hadits itu adalah sebagai syahid terhadap hadits yang kita cari. Kewajiban
kita hanyalah meneliti seluk beluk hadits selain yang menjadi syahidnya itu. Akan
lebih baik bila disertakan pula hadits syahidnya itu.
Yang menjadi sasaran pokok mencari hadits adalah materinya. Dan hendaknya kita
tidak terkecohkan oleh perbedaan lafal. Selama ada kesamaan shahabat dan kesamaan
pengertian dalam susunan kalimatnya, tetap dinamakan hadits. Memang wajar bila
dalam suatu hadits terdapat perbedaan kata dalam matan. Imam Zaila’i berkata:
“Kewajiban seorang muhaddits hanyalah membahas materi hadits dan meneliti perawi
yang mengeluarkannya. Adapun perbedaan lafal, tambahan atau pengurangan tidak
banyak mempengaruhi.”
Imam Al-Sakhawi berkata: ”Para ahli takhrij tidak berbuat sendiri-sendiri terhadap
haditsnya. Kebanyakan mereka berbuat menurut kitab induk hadits-hadits tersebut dan
begitu pula sanad-sanadnya. Setelah menyelesaikan suatu hadits, mereka berterus
terang menisbatkannya kepada, katakanlah, Imam Bukhari atau Imam Muslim atau
kepada keduanya, sekalipun terdapat perbedaan lafal dengan beliau berdua. Yang
mereka kehendaki hanyalah materi pokok hadits.”
Al-Hafihz al-‘Iraqi dalam pengantar kitabnya yang bernama

ِ َ‫ا ِء ِمنَ ْاالَ ْخب‬hhhَ‫ا فِى ْا ِالحْ ي‬hhh‫ْج َم‬


‫ار‬hhh ِ َ‫ارفِى ْاالَف‬
ِ ‫ ِري‬hhh‫ارفِى ت َْخ‬hhh ِ َ‫ف‬hhh‫ ِل ااْل َ ْس‬hhh‫اَ ْل ُم ْغنِى ع َْن َح ْم‬.       Berkata : “Saya
menisbatkan Hdits kepada Ulama yang mengeluarkannya, bukan kepada perbedaan
lafalnya.”
Dan dalam kitabnya yang lain  ‫تَ ْق ِريْبُ ْاالَ َسانِ ْي ِد‬
Beliau berkata : ”Sengaja saya menisbatkan Hdits kepada Ulama yang
mengeluarkanHadits tersebut, karena yang saya inginkan adalah materi Hadits
tersebut dan bukan lafal Hadits itu sendiri menurut ketentuan-ketentuan mustakhraj.”
Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa Takhrij mengenalkan kitab-kitab induk
hadits dengan segala seluk-beluk hadits tersebut berikut metode-metode yang di
dipakainya. Akan lebih baik lagi bila ini menambah kemudahan –kemudahan
mencapai tujuan.
Materi-materi keislaman diantaranya bersumber kepada Sunnah Nabi Untuk mencari
suatu Hadits mengharuskan penggunaan ilmu Takhrij. Dengan Ilmu Takhrij ini kita
tahu kitab-kitab terdapatnya Hadits-Hadits yang menjadi bahasannya.
Takhrij tidaklah terbatas pada matan Hadits, akan tetapi mencakup:
·           Mentakhrij matan hadits dari berbagai kitab induknya.
·           Mentakhrij sanad-sanad Hadits beserta biografi dan penilaian terhadap perawi.
·           Mentakhrij lafal-lafal yang asing melalui kitab-kitab yang berhubungan
dengan itu.
·           Mentakhrij lokasi kejadian dalam hadits melalui kitab-kitab yang dikarang
untuk itu.
·           Mentakhrij nama-nama karangan melalui kitab-kitab yang diperuntukan bagi
bidangnya.
Seseorang dapat dikatakan sebagai peneliti, bila benar-benar telah dapat memastikan
Hadits-Hadits secara tepat. Dia berpedoman kepada ilmunya. Bahkan dengan ilmunya
tersebut dia akan lebih banyak lagi tahu mengenai objek penelitiannya.
G. Kitab-kitab Takhrij
Yaitu kitab-kitab yang disusun untuk men-takhrij hadits-hadits kitab tertentu.
Diantara takhrij yang terpenting adalah:
1)        Nashbu al-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya imam al-Hafizh Jamaluddin Abu
Muhammad Abdillah bin Yusuf al-Zaila’i al-Hanafi. Kitab ini merupakan takhrij
hadits-hadits kitab Al-Hidayah, sebuah kitab fiqih mazhab Hanafi, yang disusun oleh
Ali bi Abu Bakar al-Marghinani, salah seorang pemuka fuqaha Hanafi.
Kitab ini mengungkap secara lengkap riwayat-riwayat yang penuh faidah, dan
mengupas setiap hadits yang ada dalam kitab al-Hidayah, disertai riwayat dan hadits-
hadits lain yang menguatkannya. Kitab ini juga mengungkapkan pembahasan
mengenai hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berbeda pendapat
dengan ulama Hanafiyah, secara jelas dan tuntas, objektif dan tematis.
Semua ini menunjukkan kedalaman dan penguasaan al-Zaila’i dalam bidang ilmu
hadits, sehingga para ulama setelah menuruti jejaknya.
2)        Al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya’ min al-
Akhbar karya al-Hafizh al-Kabir al-Imam Abdurrahim bin al-Husain al-Iraqi, guru al-
Hafizh Ibnu Hajar. Ia adalah orang nomor satu dalam bidang ilmu hadits pada waktu
itu.
Kitab ini merupakan takhrij hadits-hadits sebuah kitab yang teramat penting dan
terkenal di kalangan muslimin, yaitu kitab Ihya’ al-Din karya Imam Ghazali.
Metode penulisannya adalah dengan menyebutkan sebagian dari tiap hadits al-Ihya’
lalu menjelaskan orang yang mengeluarkannya dan sahabat yang meriwayatkannya,
kemudian menjelaskan kualitasnya, baik shahih, hasan, maupun dha’if.
Kitab ini dicetak menyatu dengan kitab al-Ihya’, dan merupakan ringkasan dari takhrij
yang besar dan luas yang disusunnya, dan kini tidak dapat dijumpai lagi. Al-Zubaidi
menyertakan takhrij yang besar itu ke dalam syarah al-Ihya’ yang disusunnya.
3)      Al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’i al-Kabir karya Ibnu Hajar.
Kitab ini merupakan takhrij hadits-hadits al-Syarh al-Kabir karya al-Rafi’i, yang
merupakan syarah al-Wajiz fi al-Fiqh al-Syafi’i karya Imam al-Ghazali. Kitab ini juga
merupakan kesimpulan dari kitab-kitab takhrij serupa yang telah disusun sebelumnya.
Ide itu diperoleh penyusunnya setelah ia membaca Nashb al-Rayah karya al-Zaila’i.
Dengan demikian, kitab ini tampil lengkap dan mencakup keterangan-keterangan
yang berserakan di dalam kitab-kitab sebelumnya.
Teknik penyusunannya adalah dengan menyebutkan sebagian cuplikan tiap hadits
yang terdapat dalam al-Syarh al-Kabir kemudian menyebutkan tempatnya pada
sumber-sumbernya lengkap dengan sanad-sanadnya serta para rawinya, kemudian
membicarakan setiap rawi dengan rinci yang menyangkut jarh dan ta’dil-nya serta
kesahihan dan kedha’ifan-nya. Kemudian menyebutkan hadits-hadits yang semakna
denannya.
Oleh karena itu, kitab ini menjadi rujukan hadits-hadits hukum yang sama sekali tidak
dapat diabaikan.

H.  Contoh Takhrij


Berikut adalah contoh takhrij hadis Nabi saw. tentang keharusan memulai ibadah
puasa Ramadhan dan mengakhirinya dengan melihat hilal. Contoh berikut ini akan
meneliti hadis Malik yang berbunyi:
‫ال‬ َ ِ‫َار َع ِن ْب ِن ُع َم َر َأ َّن َرسُوْ ُل هللا‬
َ َ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ ‫ك ع َْن نَافِ ِع َو َع ْب ِدهللاِ ب ِْن ِد ْين‬
ِ ِ‫ع َْن َمال‬:
ُ‫ فَا ِ َّن َعلَ ْي ُك ْم فَاقَ ِّدرُوْ اقَ َد َرلَه‬,ُ‫الَ تَصُوْ ُموْ ا َحتَّى تَ َراى ال ِهالَ ِل َوالَتُ ْف ِطرُوْ ات ََر َّوه‬
Dari Malik, dari Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar, dari Ibn ‘Umar, bahwasannya
Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu berpuasa (puasa Ramadhan) sehingga
kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (ber’Idul Fitri) sehingga kamu
melihatnya. Jika hilal tersebut tertutup dari pandanganmu, maka tentukanlah
ukurannya (bilangannya).
Secara sistematis, langkah-langkah yang dilakukan dalam men-takhrij hadis di atas
adalah sebagai berikut: (1) takhrij al-hadis, (2) al-i’tibar, (3) tarjam’ah al-ruwat dan
naqd al-sanad, (4) natijah (al-hukm ‘ala al-hadits), serta (5) fiqh al-hadits (syarh al-
hadits).
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Takhrij Hadits sebagai bagian dari ilmu hadits merupakan produk ulama terdahulu
adalah juga bagian dari khazanah intelektual dan keilmuan yang patut dilestarikan dan
dikembangkan. Mereka (para ulama terdahulu) telah melakukan “ijtihad intelektual”
dalam tradisi ilmu hadits sehingga takhrij hadits sebagai bagian kecil dari ilmu
tersebut ada dihadapan kita. Karena dengan takhrij hadits telah banyak memberikan
manfaat dan faedah sebagaimana dijelaskan pada bagian awal makalah ini, dengan 
metode takhrij,  samudra hadits peninggalan Rasulullah SAW. yang begitu luas dan
banyak dapat ditelusuri, dilacak dan diteliti dengan mudah oleh siapa saja yang ingin
mendapat hikmah dari butiran-butiran mutiara hadits. Metode-metode takhrij hadits
dengan kekurangan dan kelebihannya pada masing-masing metode telah saling
melengkapi antara metode yang satu dengan yang lainnya dalam proses pelacakan dan
penelusuran hadits.
DAFTAR PUSTAKA

Nunung Yushar, http://www.academia.edu/9377596/Takhrij_Hadits, pada tanggal 21


Februari 2015 pukul 109.42
Mahmud At-Thohhan, Ushul At-Takhrij Wa
Dirosat Al-Asaanid , (Semarang: Dina Utama, 1995), hlm. 15-16
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,
Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 185-192
Agil Husin Munawar, Metode-Metode Takhrij Hadits, (Semarang: Dina Utama,
1994), hlm. 12-14
Nurudin ‘Itr, Ulum Al-Hadits, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 191-
193
Loc Cit., hlm. 203-213

Anda mungkin juga menyukai