Anda di halaman 1dari 6

ILMU MUKHTALIF AL – HADIS

CONTOH 3 HADIS YANG BERTENTANGAN DAN CARA MENGATASINYA


Ridwan Nurrafiq (211370013)
Prodi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Adab
Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Email : ridwanurafiq25@gmail.com

A. Pendahuluan
Hadits menempati posisi sentral dalam tradisi Islam. Itu menjadi sumber kedua Tashiri dalam
Islam, bersama dengan Al-Qur'an. Ini berfungsi sebagai deskripsi Alquran khusus untuk
Mentakid (Batas) terhadap Universalitas Alquran dan Keabsolutan Alquran. Selain itu, hadits
mungkin berisi hukum-hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an. Padahal, di satu sisi,
hadits bisa dikatakan sebagai sumber tafsir, karena banyak hadits para nabi yang menetapkan
hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Hadits, di sisi lain, tidak dianggap sebagai
sumber Islam semata, karena hadis sebenarnya berfungsi sebagai komentar dan tabuin terhadap
Al-Qur'an. Mengingat pentingnya hadits ini, tidak mengherankan jika banyak sahabat Nabi
yang mengikuti, mengamalkan, dan mengajarkannya secara turun-temurun.
Ada beberapa cara untuk menjaga dan melestarikan tradisi kenabian. Salah satunya adalah
menolak gagasan bahwa satu hadits bertentangan dengan yang lain dan mengandung konten
yang bertentangan satu sama lain. Mengingat sepanjang sejarahnya cukup banyak orang yang
menyerang hadits Nabi, mereka tidak menganggapnya sebagai salah satu sumber Tashri Islam,
dan banyak hadits yang bertentangan. Kelompok ini dikenal dengan sebutan Incaran Sunnah.
Dari sini, banyak ulama yang berusaha menjawab tuduhan mereka dengan menerbitkan
teorinya sendiri yang dikenal dengan ilmu Mukhtaril al-Hadits.
Dalam artikel ini, penulis mencoba untuk menemukan beberapa contoh hadis yang tampaknya
saling bertentangan yang telah mempengaruhi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kitab
yang dijadikan contoh dalam hal ini adalah kitab Bidayatul Mujtahid, yang dianggap
mencerminkan pendapat ulama Madahab. Selain itu, kitab ini juga memaparkan perbedaan
pendapat di kalangan ulama atas suatu perkara, beserta argumentasinya.

B. Pembahasan
1. Hadis Mukhtalif dan Ilmu Mukhtalif Al – Hadis
a. Pengertian Mukhtalif Hadis
Kata mukhtaril merupakan bentuk berkas isim dari kata iktarafah, yaktarif, iktilaf, ‫إختلف إختالف‬,
‫يختلف‬, yang berarti “tidak setuju atau tidak setuju”. Dengan kata lain, secara bahasa, hadits
Mukhtaril adalah hadits yang bertentangan dengan dirinya sendiri. Para ulama mendefinisikan
hadits Mukhtaril dengan mengartikan hadits-hadits yang seolah-olah saling bertentangan.
Sebagaimana Suyuti menjelaskan pengertian hadis Mukhtalif sebagai berikut: ``Artinya, ada
dua hadits yang maknanya tampak bertentangan, dan salah satunya harus mendamaikan (baik
dalam pengumpulan maupun praktik) atau (menurut isinya, membaca salah satu dari dua
hadits).''
Jadi yang dimaksud dengan hadits mukhtalif adalah bahwa ada dua hadits yang nampaknya
memiliki makna yang sangat bertentangan, sehingga Al Jamu wa At Taufiq dapat dilakukan,
yaitu dua hadits dapat digabungkan menjadi keduanya Dengan mendamaikan makna yang
dipraktikkan. Atau sebaliknya, tarji terjadi di mana hadits yang lebih kuat diterima dan
dipraktikkan dengan mengkritik Sanad atau Mattan.
Hadits mukhtarif juga termasuk hadits (musykil) yang mengandung bahasa yang menyinggung
atau sulit dipahami. Oleh karena itu, ilmu yang digunakan untuk memecahkan hadits adalah
Iqtilah al-Hadis, Tawil al-Hadis, Talfiq al-Hadis, atau Mushikir al-Hadis.
Melihat lebih dekat pada makna Hadits Mukhtalif di atas, tampak bahwa ini hanyalah konflik
internal antara hadits yang saling bertentangan, tetapi pada kenyataannya konflik ini terbatas
hanya antara hadits dan hadits, bahkan bisa terjadi antara Hadis dan Al-Qur'an. sebuah. Hadits
dengan Akal, Sejarah, dan Hadits dengan Sains Modern.
Perlu juga dipahami bahwa antara hadits dan hadits, hadits dan Alquran, hadits dan akal, atau
hadits dan sains modern, reaksi terhadap hadits Mukhtalif mungkin hanya pada tataran
penafsiran dan pemahaman. Oleh karena itu, peneliti harus berhati-hati agar tidak terjerumus
dalam kesalahan yang fatal. Oleh karena itu, perlu diingat pernyataan Yusuf Qaradawy yaitu,
“Wajib melakukan kajian sebelum memutuskan suatu hadits yang bertentangan.”
Namun, dalam kasus Mukhtalif al-Hadisini, Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah berpendapat bahwa
tidak ada perbedaan atau perbedaan di antara hadits-hadits Nabi. Kalaupun ada hadis, salah
satunya bukan hadis Nabi. Juga, tidak ada kesalahan dalam perawi hadits, apakah perawi siqah
atau tidak siqah. Demikian pula, paradoks ini muncul karena satu hadits direstui (dihapus
secara hukum) oleh hadits lain.

b. Pengertian Ilmu Mukhtalif Al – Hadis


Dalam mempelajari Hadits Mukhtalif, para ulama merumuskan teori atau ilmu yang terkait
dengannya, yaitu Ilmu Hadits Mukhtalif. Memahami ilmu ini akan membantu menghindari
kekeliruan dan kekeliruan dalam memahami Hadits Mukhtalif. Secara linguistik, kata
“Mukhtalif” merupakan bentuk Ishimfa’il dari kata Iktilaf, dan bentuk Masdarnya berasal dari
kata Iktalafa (Fi’il Madi). Secara linguistik, kata ikhtilaf berarti “berselisih, tidak setuju”.
Definisi ini menunjukkan bahwa Ilmu Hadits Mukhtalif juga dapat digunakan untuk
memahami Hadits Mukhtalif dan menjelaskan apa yang terkandung dalam hadis-hadis
tersebut. Secara tidak langsung, Ajjaj al-Kahtib menjelaskan bahwa jika kontradiksi dipahami
dengan baik, maka tidak ada hadis yang kontradiktif secara inheren.
Disiplin Kajian Hadits Mukhtalif lahir untuk isu-isu yang berkaitan dengan kajian Hadits
Mukhtalif. Al-Nawawi yang dikutip oleh Al-Suyuti menyatakan bahwa Hadits Mukhtalif
adalah sebagai berikut: (Hadis Muktalif) adalah dua hadits yang kelihatannya saling
bertentangan, dan bahwa “dua atau Mencoba kompromi antara di Tarjih” (menguatkan salah
satu hadits).
Edi Safri mengoreksi definisi ini, mencatat bahwa sebenarnya ada kelemahannya: kurang tegas
dalam kata-katanya. Ini karena kata-kata dari definisi tersebut mencakup, tanpa batasan
apapun, semua hadits yang secara eksternal tidak konsisten satu sama lain, terlepas dari apakah
hadits tersebut termasuk dalam kategori Maqbul atau Mardud.
Al-Tahanuwiy menambahkan batasan “dalam ruang lingkup Maqbul” ketika merumuskan
definisi dan menyertakan pernyataan Al-Tahanuwiy bahwa: Dibuat untuk mencapai kompromi
(menyelesaikan konflik) di antara mereka. Kedua hadits tersebut secara rasional.
Al-Tahanuwiy adalah seorang ahli hadits. Dalam salah satu bukunya, Qawa`id fiy `ulum al-
Hadits, ia menunjukkan bagaimana Hadits Mukhtalif hanya dapat diselesaikan dengan
kompromi. walaupun demikian. Berbeda dengan al-Nawawi, dalam definisi di atas, al-
Tahanuwiy menyarankan agar hadis Mukhtalif diterima sebagai hujjah atau maqbul.
Menurut Edi Safri, Hadits Mukhtalif adalah Hadits Shahih atau Hasan yang terlihat saling
bertentangan. Namun, makna dan maksud sebenarnya dari hadits-hadits ini tidak bertentangan
dan mereka dapat saling berkompromi atau mencari solusi dalam bentuk naskh atau tarjih.
Dalam definisi di atas, Edie Safri menawarkan tiga metode: kompromi, Naskh dan Tarjih,
seperti diungkapkan Al-Nawawi. Ketiga definisi di atas memiliki kesamaan dan perbedaan
mendasar. Adapun hadits Mukhtalif, Tahanuwiy dan Edi Safri mengklaim bahwa hadits yang
bertentangan harus hadits Maqbul. Al-Nawawi, sebaliknya, tidak menuntut hal tersebut.
Adapun cara penyelesaiannya Tahnuwiy hanya memilih kompromi. Al-Nawawiy dan Edie
Safri menawarkan kompromi, sedangkan Naskh dan Tarjih juga menawarkan kompromi.
Tidak ada formalisasi definisi Mukhtalif Hadis ini oleh Al-Shafi’i sendiri. Namun, tindak lanjut
yang cermat atas pembahasan hadis-hadis Mukhtalif ini tampaknya menyampaikan
pemahaman yang lebih luas daripada makna yang dikemukakan di atas. Ini sangat jelas dari
tulisannya tentang Hadits Mukhtalif. Selain Hadits Mukhtalif tersebut di atas, dalam
pembahasannya ia juga memasukkan hadits-hadits yang berkaitan dengan Tanawwu’al-Ibadah
6 dalam kategori Hadis Mukhtarif.

2. Contoh Hadis Mukhtalif dan Cara Penyelesaiannya


a. Al – Jam’u Wa Al – Taufiq (Talfiq)
Metodenya adalah menggabungkan dan mengkompromikan dua hadits yang tampaknya
bertentangan, yang harus sama-sama shahih. Para ulama mengklaim bahwa metode ini lebih
unggul dari metode Tarjih. Salah satu prinsip fiqh adalah ``i'mal al-qaul khairun min ihmalihi''
(mengamalkan suatu ucapan atau sabda itu lebih baik daripada membiarkannya untuk tidak
diamalkan).
Mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan didasarkan pada hadits dari Wâ’il bin Hujr
ra bahwa ia melihat Nabi saw:
‫ض َرفَ َع يَدَ ْي ِه قَ ْب َل ُر ْكبَت َ ْي ِه‬
َ ‫ض ُع ُر ْكبَت َ ْي ِه قَ ْب َل يَدَ ْي ِه َوإِذَا نَ َه‬ َ ‫إِذَا‬
َ َ‫س َجدَ ي‬
“Apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan
apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. Al-
Tirmidzi, Al-Nasâi, Abu Dâwud)
Sedangkan tuntunan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut
didasarkan pada riwayat dari Abu Hurairah ra.:

َ َ‫ِير َو ْلي‬
‫ض ْع يَدَ ْي ِه قَ ْب َل ُر ْكبَت َ ْي ِه‬ ُ ‫س َجدَ أ َ َحدُ ُك ْم فَال يَب ُْر ْك َك َما يَب ُْركُ ْالبَع‬
َ ‫إِذَا‬
Apabila salah seorang kalian sujud, maka janganlah mendekam seperti mendekamnya onta,
hendaklah meletakkan kedua tangannya lebih dahulu sebelum kedua lututnya. (HR. Abu
Dâwud, al-Nasâi, Ahmad dan al-Dârimi)
Kedua hadits ini tampaknya saling bertentangan. Karena kedua metode tersebut didasarkan
pada hadits masing-masing, Imam Ahmad menuntut agar yang satu dipilih dan tidak memiliki
alasan untuk menentang yang lain. Bahkan, Nabi mungkin telah melakukan keduanya.
Misalnya, ketika saya masih muda, saya memegang lutut saya di depan tangan saya dan
mencengkeram lutut saya dengan erat, tetapi seiring bertambahnya usia saya tidak cukup kuat
untuk menopang dan beristirahat. Dia berlutut dan meletakkan tangannya di depan lututnya.
Karena keterbatasan ruang, saya hanya dapat menyajikan satu metode dalam konsep Mukhtarif
Al Hadits. Kami berharap teks ini dapat menjadi petunjuk untuk mengenali keragaman yang
ada di masyarakat. Saya harap kita bisa mewujudkan Ukhuwah Islamiyah.

b. Nasakh
Beberapa contoh hadits yang nasakh dan mansukh adalah tentang ziarah kubur. Sebagaimana
yang diriwayatkan Abu Hurairah:
‫زورات القبور‬
ّ ‫م لعن هللا‬.‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال رسول هللا ص‬
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa: Rasulullah SAW bersabda: Allah melaknat para
perempuan berziarah kubur. (Turmidzi).
Hadits tersebut di mansukh oleh hadits berikut:
‫م قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمح ّمد في زيارة قبر أ ّمه فزوروها فإنّها تذ ّكر‬.‫عن بريدة قال قال رسول هللا ص‬
‫اآلخرة‬
Diriwayatkan dari Buraidah, bahwa: Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya aku pernah
melarang kalian ziarah kubur, sungguh telah diizinkan bagi Muhammad untuk menziarahi
kubur ibunya. Maka sekarang ziarah kuburlah, sebab dengan ziarah kubur itu akan
membangkitkan kesadaran akan kehidupan akhirat. (Turmidzi).
Para ulama dan ahli hadits berpendapat bahwa larangan ziarah wanita diputuskan sebelum
rukhshah (kedermawanan, toleransi) untuk melakukan ziarah. Setelah Rasulullah menegaskan
bahwa ziarah ke makam itu diperbolehkan, maka izin tersebut berlaku prinsipnya baik bagi
laki-laki maupun perempuan. Beberapa ulama menganggap makruh berziarah bagi wanita,
namun berpendapat bahwa ziarah bagi wanita namun kemakruhan karena wanita tidak sabar
dan sangat penakut.
Dari hadits di atas juga diketahui bahwa ziarah kubur sebelumnya dilarang oleh hukum, tetapi
kemudian diperbolehkan atas perintah Rasulullah, dan bahwa Nabi juga berziarah kubur dalam
riwayat kedua. Ziarah kubur juga merupakan pengingat kematian, dari mana pelajaran bisa
dipetik.

c. Tarjih
Penerapan metode tarjih yaitu permasalahan Shalat Dhuha. Imam Bukhari meriwayatkan
hadits Aisyah:
‫ما رأيت رسول هلل سب ّح سبحة الضحى وإنى ألسبحها‬
Saya tidak melihat Rasulullah melakukan shalat tasbih atau sunat dhuha, aku pasti akan
melakukannya (shalat sunat itu).
Imam Muslim meriwayatkan dari jalur Syaqiq dari Aisyah:
‫ إال ان يجئ من مغيبة‬,‫م يصلى الضحى قالت ال‬.‫أكان النبى ص‬
Apakah Nabi melakukan shalat dhuha? katanya: tidak, kecuali jika beliau datang dari
ketidakhadiran atau pergi
Kemudian Imam Muslim dari jalur Mu’adzah dari Aisyah:
‫انها سألت عائسة كم كان رسول هللا يصلى صالة الضحى قالت اربع ركعات ويزيد ماشاء‬
Ia bertanya kepada ‘Aisyah, berapa rakaat Rasulullah melaksanakan shalat dhuha? ia berkata:
empat rakaat dan menambah sesuai kehendaknya.
Hadits pertama langsung menyangkal atau menyangkal kesaksian Aisyah kepada Nabi saat
melakukan sholat subuh. Dalam hadits kedua, selain perjalanan (ketidakhadiran) Aisyah,
disebutkan batasan membatalkan kesaksian Aisyah atas doa-doa Nabi. Dan hadits ketiga
menetapkan syarat mutlak tindakan Nabi untuk melakukan shalat Dhuha.
Para ulama berbeda pendapat tentang kisah di atas. Mayoritas ulama dan Ibn Abdil Barr
cenderung memperkuat atau lebih memilih hadis-hadis yang disepakati oleh Bukhari dan umat
Islam, selain hadis-hadis yang hanya diucapkan oleh umat Islam. Mereka mengatakan bahwa
tidak hadirnya Aisyah pada shalat Dhuha Nabi tidak berarti tidak terjadi peristiwa shalat
Dhuha. Untuk itu, riwayat yang membuktikan adanya shalat Dhuha lebih diutamakan.
Sementara ulama lain lebih suka berkompromi, Al-Baihaqi mengatakan arti kata 'Ma Raituhu
Sabbaha' berarti terus menerus dilakukan. Dan kata ``wa ini lausabbihuha'' berarti
``melaksanakan terus menerus''. Aisyah mungkin telah menolak shalat Duha yang dikenal saat
itu dengan gerakan (hai’ah) tertentu, waktu tertentu, dan waktu tertentu. Juga, Nabi berkata,
"Dia shalat empat rakaat dan menambahkannya sesuka hatinya," dengan demikian
menunjukkan bahwa tidak ada hitungan tertentu yang melakukan shalat Dhuha ketika dia
kembali dari perjalanannya.
C. Penutup
Kesimpulan
Hadits memegang tempat penting dalam Islam. Itu adalah parlemen Tashiria yang dikuasai
Muslim. Oleh karena itu, banyak umat Islam yang mempertahankannya dari serangan musuh-
musuh Islam. Salah satunya adalah dengan menggunakan ilmu Hadits Mukhtariff untuk
melawan serangan. Ilmu mukhtarif ini diciptakan untuk menyelesaikan hadis-hadis Nabi yang
nampaknya kontradiktif, dan solusi terakhirnya adalah tawaqquf. Seperti yang dijelaskan oleh
Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayatul Mujtahid, keberadaan hadis yang tampaknya saling
bertentangan tampaknya mempengaruhi pendapat para ulama tentang masalah hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai