Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250 M.).
Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada
masa ini telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang
tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang
pengetahuan lainnya1. Dalam proses perkembangannya ilmu hadits mengalami
beberapa kemajuan dalam tingkat kualitasnya, hal ini didukung karena adanya
perkembangan pemikiran yang lahir dari para pemikir-pemikir modern yang
berkecimpung dalam dunia penelitian hadits.
Oleh karenanya banyak sudah kitab-kitab khusus yang membahas tentang
hadits-hadits. Baik dari segi pembagiannya ataupun ilmu-ilmu yang mendukung
adanya pembukuan hadits. Dan juga dalam perkembangananya hadits juga
membutuhkan berbagai ilmu yang membahas tentang bagaimana caranya
memahami hadits. Dalam hal ini penulis bermaksud menguraikan seputar masalah
ilmu Muhtalif al-Hadîts wa Masyâkilihi. Hal ini disebabkan banyak di antara
hadits-hadits yang ikhtilaf yang mungkin hanya karena perbedaan pemahaman
terhadap hadits tersebut

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi ilmu Mukhtalif al-Hadîts wa Masyâkilihi ?
2. Apa saja yang termasuk dalam Mukhtalif al-Hadîts wa Masyâkilihi?
3. Apa saja sebab–sebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif?
4. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif.

1
Assa’idi, Sa’adullah. 1996. Hadis-hadis Sekte. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). hal. 11.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian ilmu Mukhtalif al-Hadîts wa Masyâkilihi


Ilmu Mukhtalif al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang
menurut lahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanan itu atau
mengompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang
sukar difahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan
menjelaskan hakikatnya.2
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs wa
Musyakilihi sebagai:
‫ق بَ ْينَهَا َك َما يَ ْبحَث‬ ُ ِِّ‫ضهَاأ َ ْو يُ َوف‬َ ‫ار‬ ِ ‫َث فِىاْألَحَا ِد ْي‬
ُ َ‫ث الَّتِ ْي َظا ِه ُر َها ُمتَعَ ِارضٌ فَيُ ِز ْي ُل تَع‬ ِ ‫فِى اْألَحَا ِد ْي‬
ْ ‫ث ُُا ْل ِع ْل ُم الَّذ‬
ُ ‫ِي َي ْبح‬
ِّ ِ ‫شكَا َلهَا َويُ َو‬
‫ض ُح َح ِق ْي َقتَهَا‬ ْ َ ‫ش ُك ُل فَ ْه ُمهَا أ َ ْو تَص َُّو ُر َها َف َي ْد َف ُع أ‬
ْ ‫الَّ ِت ْي َي‬
“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu
menghilangkan pertentangan itu, atau mengompromikannya, di samping
membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan
kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.3”

Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits-hadits yang saling berlawanan


untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (taqyîd)
kemutlakannya dan seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal al-Lathîf biasa
disebut al-ahâdîts allatî mutadhâdan fî al-ma’nâ bi hasabi azh-zhâhiriy.4 Ilmu ini
tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih5.
Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H.) adalah ulama yang memelopori
munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadis. Hal ini terlihat dalam karya besarnya
“al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalif al-
hadîts tetapi didalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus
tentang mukhtalif al-hadîts.

2
http://insansejati.com/ilmu-hadits/19-mukhtaliful-hadits.html
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan
3

oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushûl al-Hadîts. (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1998) Cet. ke-1, Hal. 254
4
http://www.darulkautsar.netarticle.php?ArticleID=811
5
Syaikh Manna’ al-Qaththan. Pengantar Ilmu Hadits. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
2005). hal.103

2
B. Seputar Hadits Mukhtalif dan Musykil
Dalam penjelasan mengenai ilmu ini, nantinya akan berkaitan dengan
hadits-hadits mukhtalif, atau bisa disebut sebagai objek kajian daripada disiplin
ilmu ini. Oleh karenanya perlu adanya penjelasan tentang hadits mukhtalif
tersebut.
Hadits mukhtalif adalah hadits–hadits yang mengalami pertentangan satu
sama lain. Namun boleh jadi di antara pertentangan itu hanya terdapat pada
zhahirnya saja, dan ketika ditelusuri sebenarnya masih memungkinkan untuk
dikompromikan. Sementara menurut Nuruddin ‘Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah
hadis-hadits yang secara lahiriah bertentangan dengan kaedah-kaedah yang baku,
sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash
syara’ yang lain.6 Atau lebih jelasnya tentang ukhtalif ini adalah adanya
peretentangan dengan al-Quran, akal, sejarah, atau ilmu pengetahuan dan sains
modern. Dan yang termasuk dalam pengertian hadits mukhtalif adalah hadits-
hadits yang sulit dipahami (musykil).7 Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadits
musykil sebagai hadits maqbûl (shahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya
karena adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenungkan maknanya atau
dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil karena maknanya yang tidak
jelas dan sukar difahami oleh orang yang bukan ahlinya.8
Ibn Furak (w. 406 H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadîts wa
Bayânuh, berpendapat bahwa hadis musykil adalah hadis yang tidak dapat dengan
jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan lain, seperti hadis-hadis yang
kandungannya berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Dzat Allah, sifat-sifat
maupun perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya
kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta’wîl terhadap hadis-hadis tersebut.
C. Sebab–sebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif
1. Faktor Internal. Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits
tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang
nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis

6
Nuruddin ‘Itr, “Ulûm al-Hadîts”, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî
Ulûm al-Hadîts (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) Cet. ke-1, Jilid 2, Hal. 114.
7
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 87
8
Ibid.

3
hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits
shahih.
2. Faktor Eksternal. Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian
dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu,
dan tempat di mana Nabi menyampaikan haditsnya.
3. Faktor Metodologi. Yakni berkaitan dengan cara bagaimana cara dan
proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang
dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar
keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami
hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.
4. Faktor Ideologi. Yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu
madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan
terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang. 9
D. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif
1. Metode al-Jam’u wa at-Taufîq
Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjîh (mengumpulkan
salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-
taufîq ini tidak berlaku bagi hadis–hadis dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan
hadits–hadits yang shahih.
Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufîq adalah hadits tentang
cara berwudhu Rasulullah s.a.w.. Hadis pertama menyatakan bahwa Rasulullah
s.aw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta
mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:
‫ع َطا ِء‬َ ‫ ع َْن‬، ‫سلَ َم‬ ْ َ ‫ ع َْن َز ْي ِد ب ِْن أ‬، ‫يز ْبنُ ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ أ َ ْخبَ َرنَا‬: ‫ قَا َل‬، ‫ أ َ ْخبَ َر َنا ا ْلشَّافِ ِع ُّي‬: ‫ قَا َل‬، ‫َح َّدثَنَا ا ْل َّربِ ْي ُع‬
ِ ‫ع ْب ُد ا ْل َع ِز‬
ِ ْ‫س َح بِ َرأ‬
ً‫س ِه َم َّرة‬ َ ‫ َو َم‬، ‫س َّل َم َوضَّأ َ َوجْ َههُ َويَ َد ْي ِه‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ُ ‫ أَنَّ َر‬، ‫اس‬ ٍ ‫ع َّب‬
َ ‫ ع َِن اب ِْن‬، ‫س ٍار‬ َ َ‫ب ِْن ي‬
٦ ‫ ص‬١ ‫ اختالف الحديث – ج‬.ً‫َم َّرة‬
“Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi
kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar
kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah s.a.w. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta
mengusap kepala satu kali-satu kali.” (H.R. asy-Syafi’i)

9
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 87.

4
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu
dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali,
sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:
‫ ع َْن ُح ْم َرانَ َم ْولَى‬، ‫ ع َْن أَ ِبي ِه‬، َ‫ ع َْن ِهش َِام ب ِْن ع ُْر َوة‬، َ‫عيَ ْينَة‬ ُ ُ‫س ْفيَانُ ْبن‬ُ ‫ أ َ ْخبَ َرنَا‬: ‫ َقا َل‬، ‫أ َ ْخبَ َرنَا ا ْلشَّافِ ِع ُّي‬
٧‫ ص‬١ ‫اختالف الحديث – ج‬.‫ضأ َ ثَالَثًا ثَالَثًا‬ َّ ‫سلَّ َم تَ َو‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ أَنَّ النَّ ِب َّي‬، َ‫ع َّفان‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫عثْ َمانَ ب ِْن‬
ُ
“Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn
‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari
ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu
dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).” (HR Asy-
Syafi’i).

Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama


shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan
komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilâf al- Hadîts :
ُ‫ف ِم ْن َوجْ ِه أَنَّه‬ ٌ ‫ ُم ْختَ ِل‬:ِ‫ َوالَ يُقَا ُل ِلش َْيءٍ ِم ْن َه ِذ ِه األَحَادِيث‬:‫قَا َل الشَّافِ ِع ُّي‬
ُ ‫ َولَ ِكنَّ ا ْل ِف ْع َل فِيهَا يَ ْخت َ ِل‬،‫ف ُم ْط َلقًا‬
‫ َوأَ ْك َم ُل َما‬،ٌ‫ُوء َم َّرة‬ِ ‫ أَ َق ُّل َما يَجْ ِزي ِمنَ ا ْل ُوض‬:ُ‫ َولَ ِك ْن يُقَال‬،ِ‫ َواأل َ ْم ِر َوالنَّ ْهي‬، ‫ف ا ْل َحالَ ِل َوا ْلح ََر ِام‬ ِ َ‫ح ِال ْختِال‬ ٌ ‫ُمبَا‬
٧‫ ص‬١ ‫ اختالف الحديث – ج‬.‫ث‬ ٌ َ‫ُوء ثَال‬
ِ ‫يَكُونُ ِمنَ ا ْل ُوض‬
Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu
tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi
bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya,
serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih
sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal
membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala)10 “.

2. Metode Tarjîh
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi.
Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana di antara hadits-
hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits
yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling
bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran.
Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:
‫ا ْل َوائِ َدةُ َوا ْل َم ْوؤُو َدةُ فِي ال َّن ِار‬
“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka.”
(HR Abu Dawud)

10
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 88-90.

5
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan
Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurûdnya) adalah
bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap
Rasulullah s.a.w.. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya
Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan
tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu
bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah
mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah
amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang
mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di
neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah
memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an-
Nasa’i, dan dinilai sebagai hadis hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.11
Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-
Quran surat at-Takwîr/81: 8-9 :
ِّ َ ‫سئِلَتْ ِبأ‬
‫يِ ذ‬ ُ ُ‫ب قُتِلَتْ َُ َو ِإذَا ا ْل َم ْو ُءو َدة‬
ٍ ‫ْن‬
“Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena
dosa apakah dia dibunuh?”
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka
dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga
masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits
tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya
pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al-
Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi
Muhammad s.a.w. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk
surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-
hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)

11
Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda Ulamâ al-Hadîts an-
Nabawiy (Beirut: Dar al-Fikr al-Jadidah 1983), hal. 115.

6
3. Metode Nâsikh-Mansûkh
Jika ternyata hadis tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama
menempuh metode nâsikh-mansûkh (pembatalan). Maka akan dicari makna hadis
yang lebih datang terlebih dahulu dan makna hadis yang datang kemudian.
Otomatis yang datang lebih awal dinaskh dengan yang datang kemudian.
Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al–izâlah), bisa pula
berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti
penghapusan yang dilakukan oleh Syâri’ (pembuat syari’at; yakni Allah dan
Rasulullah s.a.w.) terhadap ketentuan hukum syari’at yang datang terlebih dahulu
dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa
hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayân) dari hadits yang
bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus (takhsîsh)
dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nâsikh
(yang menghapus).
Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi di
saat nabi Muhammad s.aw. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus
ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah Syâri’, yakni Allah dan
Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang
berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap
(ba’daistiqrâr al-hukm).
Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa
diselesaikan dengan metode nâsikh-mansûkh adalah hadits tentang hukum makan
daging kuda:
‫ب ع َْن‬ َ ‫عبَ ْي ٍد قَا َل َح َّدثَنَا َب ِقيَّةُ ع َْن ث َ ْو ِر ب ِْن يَ ِزي َد ع َْن صَا ِلحِ ب ِْن يَحْ يَى ب ِْن ا ْل ِم ْق َد ِام ب ِْن َم ْعدِي ك َِر‬
ُ ُ‫ير ْبن‬ ُ ِ‫أ َ ْخبَ َرنَا َكث‬
ِ ‫سلَّ َم نَهَى ع َْن أ َ ْك ِل لُ ُح‬
‫وم ا ْل َخ ْي ِل َوا ْلبِغَا ِل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫أَبِي ِه ع َْن َج ِ ِّد ِه ع َْن َخا ِل ِد ب ِْن ا ْل َو ِلي ِد أ َنَّ َر‬
ِ‫سبَاع‬ ِّ ِ ‫ب ِم ْن ال‬ٍ ‫ير َو ُك ِِّل ذِي نَا‬ِ ‫َوا ْلح َِم‬
‫صلَّى‬َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫س ْفيَانُ ع َْن ع َْم ِرو ب ِْن دِي َن ٍار ع َْن جَا ِب ٍر قَا َل أَ ْطعَ َمنَا َر‬ َ ُ‫َح َّدثَنَا قُت َ ْيبَةُ َونَص ُْر ْبن‬
ُ ‫ع ِل ٍِّي قَ َاال َح َّدثَنَا‬
َّ ‫وم ا ْل ُح ُم ِر‬
ُ‫َّللا‬ ِ ‫س َّل َم ُل ُحو َم ا ْل َخ ْي ِل َونَهَانَا ع َْن ُل ُح‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ .
Dua hadîts di atas terlihat saling bertantangan, hadîts pertama berisi
tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts
kedua menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini tidak
boleh tidah hatus dihilangkan dengan cara naskh. Hukum keharaman makan

7
daging kuda pada hadîts pertama telah di-naskh-kan oleh hukum kobolehan
makan daging kuda pada hadîts Jâbir ibn ‘Abdillah yang datang setelahnya.12
4. Metode Ta’wîl
Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif baru dalam menyelesaikan
hadits-hadits yang bertentangan. Sebagai contoh hadits tentang lalat. Hadits
tersebut dinilai kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat
merupakan serangga yang sangat berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu
bagaimana mungkin Nabi s.a.w. menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang
hinggap di minuman? Demikian kurang lebih keraguan dan penolakan Taufiq
Shidqi terhadap kebenaran hadits tentang lalat sebagaimana dikutip G.H.A.
Juynboll.13Hadis tersebut :
ُ‫ع َب ْي ُد ْبن‬ ْ ‫عتْ َبةُ ْبنُ ُم‬
ُ ‫س ِل ٍم َقا َل أ َ ْخ َب َر ِني‬ ُ ‫سلَ ْي َمانُ ْبنُ ِب َال ٍل قَا َل َح َّدث َ ِني‬ ُ ‫ُحنَي ٍْن قَا َل َح َّدثَنَا َخا ِل ُد ْبنُ َم ْخ َل ٍد حَ َّدثَنَا‬
‫ب أَ َح ِد ُك ْم‬ ِ ‫ش َرا‬
َ ‫اب فِي‬ ُ ‫سلَّ َم إِذَا َوقَ َع الذُّ َب‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ قَا َل النَّبِ ُّي‬:ُ‫ع ْنهُ يَقُول‬ َ ُ‫َّللا‬َّ ‫س ِم ْعتُ أَبَا ه َُري َْرةَ َر ِض َي‬ َ
‫سهُ ث ُ َّم ِليَ ْن ِز ْعهُ َف ِإنَّ فِي إِحْ دَى َجنَا َح ْي ِه دَا ًء َو ْاأل ُ ْخر‬ْ ‫ش َفا ًء َُفَ ْليَ ْغ ِم‬
ِ ‫ى‬
“Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada
kami, dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata,
Ubaidah ibn Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah
s.a.w. bersabda: apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian,
maka hendaklah ia membenamkannya sekalian, lalau buanglah lalat tersebut.
Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap
yang lain terdapat penawar (obat).” (HR al-Bukhari).

Selintas hadits tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan
teori kesehatan. Namun ternyata hasil penelitian dari sejumlah peneliti muslim di
Mesir dan Saudi Arabia terhadap masalah ini, justeru membuktikan lain. Mereka
membuat minuman yang dimasukkan kedalam beberapa bejana yang terdiri dari
air, madu dan juice, kemudian dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat
masuk kedalam beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi
penelitian, antara minuman yang ke dalamnya dibenamkan lalat dan tidak
dibenamkan. Ternyata melalui pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa
minuman yang dihinggapi lalat dan yang tidak dibenamkan dipenuhi dengan
banyak kuman dan mikroba, sementara minuman yang dihinggapi lalat justeru

12
http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/
13
G.H.A Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern
Egypt (Leiden: E.J Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts
(Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 100-101.

8
tidak dijumpai sedikitpun minuman dan mikroba. Ini adalah sebuah penelitian
ilmiah dan semakin membuktikan kebenaran hadits tersebut secara ilmiah
meskipun pada awalnya dari zhahir hadits terlihat mempunyai pertentangan
dengan ilmu kesehatan.14
Sebenarnya masih terdapat metode dalam penyelesaian hadits mukhtalif
yang mana biasa disebut metode tawaqquf. Namun ditengarai ketika orang
menggunakan metode ini terkesan hanya membiarkan saja tanpa ada usaha untuk
melakukan komparasi dengan penelitian lebih lanjut. Oleh karenanya penulis
lebih cenderung menggunakan metode ta’wîl daripada menggunakan metode
tawaqquf. Karena setiap sumber perkataan Nabi pasti mengandung sebuah makna
dan tujuan sehingga bagaimanapun juga kita harus mengungkap makna yang
tersirat di dalamnya.

14
G.H.A Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern
Egypt (Leiden: E.J Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts
(Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 100-101.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya
dari berbagai macam keadaan hadits yang mana nota-benenya sebagai sumber
Islam yang kedua setelah al-Quran masih dibutuhkan berbagai literatur keilmuan
dalam memahaminya. Dan dalam perjalanannya di kemudian hari sudah barang
tentu akan terus mengalami proses perkembangan dalam memahami sebuah teks
hadits. Hal ini dapat terjadi karena selama ini dalam ruang lingkup proses
pemahaman hadits juga sudah mengalami perkembangan dari zaman ketika Islam
belum mengenal teori ta’wîl (yang dalam literatur Barat sering disebut dengan
hermeneutics) sampai pada saat sekarang ini teori tersebut mulai dikembangkan
dalam dunia pemahaman sumber Islam. Dan juga tidak kalah pentingnya bahwa
dalam memahami hadits juga masih harus mempertimbangkan dari teori-teori
ulama terdahulu agar kompromi keilmuan ulama dahulu dan sekarang masih tetap
terjalin dengan baik.
B. Saran
1. Kepada semua pembaca bila mendapat kekeliruan dalam makalah kami
kini harap bisa meluruskannya.
2. Untuk supaya bisa membaca kembali buku-buku yang berkenan dengan
pembahasan ini sehingga diharapkan akan bisa menyempurnakan kembali
pembahasan makalah ini.

10

Anda mungkin juga menyukai