Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN



Hadits diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua ajaran agama
Islam setelah al-Qur'an. Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadits
sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah. Sebagai salah satu
sumber ajaran Islam, secara prinsip hadits tidak mungkin bertentangan dengan dalil
lain, baik dengan sesama hadits, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan
kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya tampak di luarnya saja.

Berangkat dari prinsip ini, maka timbul upaya para ulama untuk menyelesaikan
persoalan ketika mendapati teks-teks hadits yang tampak bertentangan. Hadits-hadits
yang tampak bertentangan ini biasa disebut dengan istilah Ikhtilaf atau Mukhtalif al-
Hadis.

Dengan demikian, ilmu ini akan membahas hadits-hadits yang secara lahiriah
bertentangan, namun ada kemungkinan yang dapat diterima dengan syarat. Mungkin
dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya yang bisa disebut
sebagai talfiq al-hadits[1].

Imam An-Nawawi berkata dalam at-taqrib: Ini adalah salah satu ilmu dirayah yang
terpenting. Semua ulama dari berbagai golongan perlu mengetahuinya.

Ilmu Mukhtalif Al-Hadits ini telah mendapat perhatian serius sejak masa sahabat, yang
menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah. Kajian tentang hadits-
hadits yang bertentangan ini merupakan hal yang sangat penting bagi para pengkaji
hadis. Tidak ada yang mahir dalam bidang ini, kecuali imam hadits yang tajam
analisisnya.

Berbagai hadits yang mukhtalif telah dihimpun oleh ulama dalam kitab-kitab khusus.
Sejarah mencatat bahwa ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan itu adalah
Imam al-Syafi`i dengan karyanya Ikhtilaf al-Hadis. Disusul kemudian oleh Ibn Qutaibah
dengan kitabnya Ta'wil Mukhtalif al-Hadis. Lalu al-Thahawi dengan judul kitabnya
Musykil al-Asar, kemudian Ibnu Khuzaimah, Ibn Jarir dan Ibn al-Jauzi.

Para ulama sependapat bahwa hadits-hadits yang tampak bertentangan harus
diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu. Hanya saja dalam menyelesaikan
pertentangan tersebut, ulama berbeda pendapat. Makalah sederhana ini akan coba
membahas meskipun sepintas bagaimana menyikapi hadits-hadits yang tampak
bertentangan itu.





BAB II
MUKHTALIF AL-HADITS



A. Pengertian

Dalam kaidah bahasa Mukhtalif Al-Hadits adalah susunan dua kata benda (isim) yakni
Mukhtalif dan Al-Hadits. Mukhtalif sendiri berasal dari kata ikhtalafa yang berarti
perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila ada dua hal
yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalif atau ikhtila.

Dengan demikian, pengertian Mukhtalif secara bahasa adalah bertentangan atau
berselisih. Mukhtalif AI-Hadits artinya hadits yang sampai kepada kita, namun saling
bertentangan maknanya satu sama lain.

Sedangkan pengertian mukhtalif al-hadits secara istilah terdapat beberapa pengertian,
diantaranya, Al-Qaththan mengartikan mukhtalif al-hadits sebagai hadits yang diterima,
namun pada zahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam
maknanya, sekalipun memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya.
Sementara menurut Nuruddin 'Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah hadis-hadis yang secara
lahiriah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku, sehingga mengesankan makna
yang batil atau bertentangan dengan nas-nas syara yang lain.

Dalam kajian hadits, masalah ini dibahas oleh Ilmu Mukhtalf al-Hads, salah satu
cabang Ulum al-Hadis. Ilmu mukhtalif al-Hadis adalah Ilmu yang membahas hadits-
hadits yang secara tekstual/lahiriah saling bertentangan, namun hakikatnya bisa
dikompromikan, baik dengan cara memberi taqyid (batasan) kepada yang mutlaq (tak
terbatas) atau memberi takhsis (pengkhususan) kepada yang `am (umum), atau
membawanya kepada berbagai konteks peristiwa atau cara yang lain.





Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa pengertian Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah:




Ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan atau
berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara
keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya,
dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya[2].



Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadits,
hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan dapat diatasi dengan menghilangkan
pertentengan dimaksud. Begitu juga dengan kemusykilan yang terlihat dalam suatu
hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakekat dari kandungan hadits
tersebut.

Defenisi lain menyebutkan sebagai berikut:






Ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena
adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid
kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya
kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut, dan lain-lain.

Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadits dengan ilmu musykil al-
hadits, ilmu tawil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf al-hadits. Akan tetapi
yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas, artinya sama.

Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits-hadits yang saling berlawanan untuk
dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya dan
seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal al-Lathif biasa disebut al-ahadits allati
mutadhadan fi al-mana bi hasabi azh-zhahiry. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari
orang yang menguasai hadits dan fiqih. Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H)
adalah ulama yang memelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadits. Hal ini
terlihat dalam karya besarnya al-Umm, meskipun beliau tidak secara khusus
mengarang kitab mukhtalif al-hadits, tetapi di dalam kitab al-Umm beliau
mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadits[3].

Jadi, ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits
yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut
adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau
adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya.
Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan lain-lain.




B. Seputar Ilmu Mukhtalif Al-hadits

Dalam penjelasan mengenai ilmu ini, akan berkaitan dengan hadits-hadits mukhtalif,
atau bisa disebut sebagai objek kajian daripada disiplin ilmu ini. Oleh karenanya perlu
adanya penjelasan tentang hadits mukhtalif tersebut.

Hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang mengalami pertentangan satu sama lain.
Namun di antara pertentangan itu hanya terdapat pada zhahirnya saja, dan ketika
ditelusuri sebenarnya masih memungkinkan untuk dikompromikan. Sementara menurut
Nuruddin Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah hadits-hadits yang secara lahiriah
bertentangan dengan kaedah-kaedah yang baku, sehingga mengesankan makna yang
batil atau bertentangan dengan nash-nash syara yang lain. Atau lebih jelasnya tentang
mukhtalif ini adalah adanya peretentangan dengan al-Quran, akal, sejarah, atau ilmu
pengetahuan dan sains modern.

Ilmu mukhtalif al-hadits ini muncul atas usaha para ulama setelah Rasul wafat karena
mengingat bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk Islam serta banyanya orang yang
kurang memahami istilah atau lafadz-lafadz tertentu yang gharib atau yang sukar
dipahaminya.

Para ulama berusaha menjelaskan apa yang dikandung oleh kata-kata gharib itu
dengan mensyarahkannya secara khusus hadits-hadits yang terdapat kata-kata gharib.
Diantara ulama yang menyusun hadits-hadits yang gharib ialah Abu Ubaidah Mamar
bin Matsna al-Timimi al-Bisri (w. 210 H) dan Abu al-Hasan bin Ismail al-Mahdini al-
Nahawi (w. 204 H) salah satu kitab yang terbaik yang ada sekarang ini, adalah kitab al-
Nihayah fi gharib al-Hadits karya al-Atsir[4].

Dan yang termasuk dalam pengertian hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang sulit
dipahami (musykil). Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadits musykil sebagai hadits
maqbul (shahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan
hanya diketahui setelah merenungkan maknanya atau dengan adanya dalil yang lain.
Dinamakan musykil karena maknanya yang tidak jelas dan sukar dipahami oleh orang
yang bukan ahlinya.

Ibn Furak (w. 406 H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadits wa Bayanuh,
berpendapat bahwa hadits musykil adalah hadits yang tidak dapat dengan jelas
dipahami tanpa menyertakan penjelasan lain, seperti hadits-hadits yang kandungannya
berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Dzat Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-
Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya kepada-Nya kecuali
setelah dilakukan tawil terhadap haditst-haditst tersebut.



C. Contoh Hadits Yang Tampak Bertentangan

Sebagai contoh adalah dua hadits shahih di bawah ini:

) (....




Tidak ada penyakit yang menularan, ramalan jelek, reinkarnasi roh yang telah
meninggal ke burung hantu..... (HR. Bukhari dan Muslim).



Secara lahirnya bertentangan dengan hadits:

) (





"Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa (HR. Bukhari
dan Muslim).



Para ulama mencoba mengkompromikan dua hadits ini, antara lain[5]:

1. Ibnu Al-Shalih mentawilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan
sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya)
adanya percampuran dengan orang yang sakit, melalui sebab-sebab yang berbeda-
besa.

2. Al-Qadhi Al-Baqillani berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam
penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan
penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat, la adwa itu, selain penyakit lepra
dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul Saw, mengatakan: Tak ada suatu penyakit
pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang dapat
menular.



D. Sebabsebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif

Nabi Muhammad adalah sumber ilmu bagi sahabat. Beliau sering diminta petunjuknya
dalam kehidupan sehari-hari oleh sahabat. Hal ini berlangsung selama kehidupan Nabi.
Segala persoalan sahabat beliau berikan penyelesaian dengan tuntas. Nasehat yang
diberikan kepada seseorang kadangkala belum dipahami secara penuh oleh sahabat.
Di samping itu sahabat juga mengamati perbuatan rasul dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagian sahabat melihat perbuatan rasul dalam kaitannya dengan sebuah ibadah
sekilas bertentangan dengan hadis yang disampaikannya dengan lisan. Sehingga
pemahaman yang tidak secara komprehensif ini menjadikan dua buah hadits dalam
tema yang sama seolah bertentangan[6].

Dan lebih rincinya faktor-faktor yang dapat menyebabkan hadits mukhtalif adalah
sebagai berikut:

1. Faktor Internal, yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya
terdapat illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut
menjadi dhaif. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut
berlawanan dengan hadits shahih.

2. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi,
yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi
menyampaikan haditsnya.

3. Faktor Metodologi, yakni berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang
memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual
dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang
dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits
yang mukhtalif.

4. Faktor Ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam
memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan
berbagai aliran yang sedang berkembang.

E. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif

1. Metode al-Jamu wa at-Taufiq

Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjih (mengumpulkan salah satu dari
dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jamu wa at-taufiq ini tidak berlaku
bagi haditshadits dhaf (lemah) yang bertentangan dengan haditshadits yang
shahih.

Contoh aplikasi dari metode al-jamu wa at-taufiq adalah hadits tentang cara berwudhu
Rasulullah Saw,. Hadits pertama menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu
dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali,
sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:





Ar-Rabi telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafii memberi kabar
kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami
dari Zaid ibn Aslam dari Atha ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw.
berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-
satu kali (H.R. asy-Syafii).



Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan
membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana
terbaca dalam hadits berikut ini:





Imam Asy-Syafii telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn Uyainah
telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya, dari Hamran
maula Utsman ibn Affan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan mengulangi tiga kali
(dalam membasuh dan mengusap). (HR Asy-Syafii).



Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan, namun keduanya sama-sama shahih dan
akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jamu wa at-Taufq dengan komentar Imam
asy-Syafii dalam kitab Ikhtilaf al- Hadits :






Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafii berkata: Hadits-hadits itu tidak
bisa dikatakan sebagai hadits yang benarbenar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan
bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap
kepala satu kali, sudah mencukupi/memadai, sedangkan yang lebih sempurna dalam
berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap
tangan serta mengusap kepala).



2. Metode Tarjih

Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang
peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana di antara hadits-hadits yang tampak
bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah
yang dijadikan dalil.

Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan.
Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah
hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka.
Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:


Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR
Abu Dawud).



Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Masud dan Ibn Abi
Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa Salamah
Ibn Yazid al-Jufi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah Saw,. Seraya
bertanya: Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang
suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan
jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: Tidak.
Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di
zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi
menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang
dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk
Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan an- Nasai, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.

Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-
Takwir/81: 8-9 :



Dan apabila bayibayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa
apakah dia dibunuh?



Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat
dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke
neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak
meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain
yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya
oleh paman Khansa, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan
masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad Saw. akan masuk surga, orang yang
mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak
perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)



3. Metode Nasikh-Mansukh

Jika ternyata hadits tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh
metode nasikh-mansukh (pembatalan). Maka akan dicari makna hadits yang lebih
datang terlebih dahulu dan makna hadits yang datang kemudian. Otomatis yang datang
lebih awal di-naskh dengan yang datang kemudian.

Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al-izalah), bisa pula berarti al-naql
(memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan
oleh Syari (pembuat syariat; yakni Allah dan Rasulullah Saw.) terhadap ketentuan
hukum syariat yang datang terlebih dahulu dengan dalil syari yang datang kemudian.
Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai
penjelasnya (bayan) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang
memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat
dikatakan sebagai hadits nasikh (yang menghapus).

Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi di saat nabi
Muhammad Saw. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum
syara, sesungguhnya hanyalah Syari, yakni Allah dan Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya
terjadi ketika pembentukan syariat sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah
ada ketentuan hukum yang tetap (bada istiqrar al-hukm).

Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan
metode nasikh-mansukh adalah hadits tentang hukum makan daging kuda:

.



Dua hadits di atas terlihat saling bertantangan, hadits pertama berisi tentang larangan
makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadits kedua menunjukkan
kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh tidak, hatus dihilangkan
dengan cara naskh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadits pertama telah
di-naskh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadits Jabir ibn Abdillah
yang datang setelahnya.



4. Metode Tawil

Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif baru dalam menyelesaikan hadits-hadits
yang bertentangan. Sebagai contoh hadits tentang lalat. Hadits tersebut dinilai
kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang
sangat berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu bagaimana mungkin Nabi
s.a.w. menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang hinggap di minuman? Demikian
kurang lebih keraguan dan penolakan Taufiq Shidqi terhadap kebenaran hadits tentang
lalat sebagaimana dikutip G.H.A. Juynboll. Hadits tersebut :





Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami,
dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn
Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda:
apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia
membenamkannya sekalian, lalu buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah
satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar
(obat). (HR al-Bukhari).



Selintas hadits tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan teori
kesehatan. Namun ternyata hasil penelitian dari sejumlah peneliti muslim di Mesir dan
Saudi Arabia terhadap masalah ini, justru membuktikan lain. Mereka membuat
minuman yang dimasukkan kedalam beberapa bejana yang terdiri dari air, madu dan
juice, kemudian dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk kedalam
beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian, antara minuman
yang ke dalamnya dibenamkan lalat dan tidak dibenamkan. Ternyata melalui
pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan yang
tidak dibenamkan dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba, sementara minuman
yang dihinggapi lalat justeru tidak dijumpai sedikitpun minuman dan mikroba. Ini adalah
sebuah penelitian ilmiah dan semakin membuktikan kebenaran hadits tersebut secara
ilmiah meskipun pada awalnya dari zhahir hadits terlihat mempunyai pertentangan
dengan ilmu kesehatan[7].

Sebenarnya masih terdapat metode dalam penyelesaian hadits mukhtalif yang mana
biasa disebut metode tawaqquf. Namun ditengarai ketika orang menggunakan metode
ini terkesan hanya membiarkan saja tanpa ada usaha untuk melakukan komparasi
dengan penelitian lebih lanjut. Oleh karenanya lebih cenderung menggunakan metode
tawl daripada menggunakan metode tawaqquf. Karena setiap sumber perkataan Nabi
pasti mengandung sebuah makna dan tujuan sehingga bagaimanapun juga kita harus
mengungkap makna yang tersirat di dalamnya.



BAB III
PENUTUP



1. Kesimpulan

Ilmu mukhtalif al-hadits, ilmu musykil al-hadits, ilmu tawil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits,
dan ilmu ikhtiaf al-hadits merupakan istilah yang memiliki pengertian yang sama, yakni
ilmu yang berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang
bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut
adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau
adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya.
Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan lain-lain. Adapun Metode
Penyelesaian Hadits Mukhtalif, ialah Metode al-Jamu wa at-Taufiq, Metode Tarjih,
Metode Nasikh-Mansukhdan Metode Tawil.

2. Saran

Dari uraian diatas, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat
banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, jika pembaca
menemukan kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini dengan senang hati kami
menerima saran maupun kritik dari pembaca demi sempurnanya materi dalam makalah
ini.



BAB IV
DAFTAR PUSTAKA



Subhi As-Shalih, 2000, Membahas Ilmi-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Munzier Suparta, 2002, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ilyas Husti, 2007, Studi Ilmu Hadits, Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau Bekerjasama
dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN SUSKA RIAU.

http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/05/hadis-mukhtalif.html

http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/03/ilmu-mukhtalif-al-hadits-wa-
musykiluh.html


--------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------
[1] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmi-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, hal.
104
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 42
[3] Munzier Suparta, Ibid., hal. 45
[4] Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadits, Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau Bekerjasama
dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN SUSKA RIAU, 2007, hal. 13
[5] Munzier Suparta, op. cit., hal. 44
[6] http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/05/hadis-mukhtalif.html
[7] http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/03/ilmu-mukhtalif-al-hadits-wa-
musykiluh.html

Anda mungkin juga menyukai