Anda di halaman 1dari 12

TAARRUDH AL-ADILLAH DALAM HADITH

Disusun untuk dipresentasikan dalam seminar kelas pada mata kuliah Studi Hadis pada Program Pascasarjana UIN SUSKA RIAU

Oleh: ISNAINI SEPTEMIARTI NIM: 0804 S2 780 Dosen Pembimbing Dr. Dzikri Darussamin, M. A.

KOSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2008

KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis ucapan kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dan dipresentasikan dalam seminar kelas pada mata kuliah Studi Hadis pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Makalah ini membahas tentang Taarrudh al-Adillah dalam Hadith. Hal ini penting untuk didiskusikan karena ilmu ini sangat membantu kita dalam memahami hadis yang tampak bertentangan dan cara menyelesaikannya. Namun makalah ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan sebagai bahan evaluasi dan perbaikan makalah ini. Terimakasih. Pekanbaru, Januari 2009

Penulis

PENDAHULUAN Adanya nasakh mansukh antara satu ayat yang memuat sesuatu ketentuan hukum dalam al-Quran, dengan ayat lain yang juga memuat ketentuan hukum mengenai soal yang sama yang sepintas lalu kelihatan bertentangan, adalah satu hal yang sudah kita ketahui bersama. Demikian juga adanya dalam hadis, dari sekian banyak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang yang berbeda-beda sepintas lalu kita lihat adanya peretentangan antara hadis-hadis tersebut. Maka dari itu dalam menyelesaikan masalah ini dibutuhkan metode atau cara terntentu agar hadis tersebut dapat dipakai dan tidak pada dasarnya tidak bertentangan satu dengan ynag lainnya. Pada pembahasan berikutnya dalam makalah ini, lebih lanjut dapat kita lihat bagaimana cara-cara yang ditempuh oleh ulama dalam menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan tersebut.

PEMBAHASAN TAARRUDH AL-ADILLAH DALAM HADITH 1. Objek kajian dan defenisinya Adapun ilmu yang mengkaji tentang hadith yang tampaknya bertentangan ialah Ilmu Mukhtalif Al-Hadith Wa Muyskiluh ,1 ilmu ini mengkaji hadith yang tampak bertentangan, dari segi memadukannya, mengkompromikannya dengan mentaqyid muthlaqnya, mentakhshish amnya, memahaminya berdasarkan latar belakangnya yang berbeda, atau lainnya. Di samping itu kadang-kadang ia juga membahas penjelasan dan takwil hadith yang problematic meski tidak bertentangan dengan hadith lain. Dengan demikian ilmu mukhtalif al-hadith wa musykiluh dapat didefenisikan sebagai berikut:


Ilmu yang membahas hadith-hadith yang tampak bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkmpromikannya, disamping membahas hadith yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakekatnya.2 2. Urgensi Ilmu Mukhtalif Al-Hadith Wa Muyskiluh Ilmu ini termasuk ilmu yang terpenting bagi ahli hadith, ahli fiqh dan ulamaulama lain. Yang menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu yang luas, terlatih dan bepengalaman. Dan yang bias mendalaminya hanyalah mereka yang mampu memadukan antara hadith dan fiqh. Dalam hal ini as-Shakhawi mengatakan: ilmu ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama diberbagai disiplin. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah mereka yang

1 2

Nuruddin Itr, Manhaj An-Naqd fi Ulum al-Hadith, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M, h. 337 M. Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadith, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. h. 254

berstaus Imam yang memadukan antara hadith dan fiqh dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam.3 Ilmu ini merupakan salah satu buah dari penghafalan hadith, pemahaman secara mendalam terhadapnya, pengetahuan tentang am dan khashnya, yang muhtlaq dan muqayyadnya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penguasaan terhadapnya. Sebab tidak cukup bagi seseorang hanya dengan menghafal hadith, menghimpun sanad-sanadnya dan menandai kata-katanya tanpa memahaminya dan mengetahui kandungan ukumnya. Ulama telah memberikan perhatian terhadap Ilmu Mukhtalif Al-Hadith Wa Muyskiluh ini sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah SAW wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadith, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadith yang tampaknya saling bertentangan dan mnghilangkan kesulitan memahaminya. Ulama memiliki peran yang besar dalam menghilangkan dan mengenyahkan sebagian kerumitan yang ditebarkan oleh sementara aliran, seperti mutazilah dan mutashabih seputar beberapa hadith. 3. Karya-karya Terpopuler dalam Bidang ini Banyak ulama yang menyusun karya dalam bidang ini. Ada yang mencakup hadith-hadith yang tampak bertentangan secara keseluruhan dan ada yang tidak, yakni membatasi karyanya itu pada pengkompromian hadith-hadith yag tampak kontradikif atau hadith-hadith yang sulit dipahami saja, lalu menghilangkan kesulitan itu dengan menjelaskan maksudnya. Karya yang paling awal dalam bidang ini adalah kitab ikhtilaf al-hadith karya Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafiiy (150-204 H), dan merupakan kitab terklasik yang sampai kepada kita. Beliau tidak bermaksud menyebut semua hadith yang

Ibid.

tampak bertentangan, tetapi hanya menyebut sebagian saja, menjelaskan seluruh sanadnya dan memadukannya agar dijadikan sebagai sampel oleh ulama lain.4 Setelah karya asy-Syafiiy, karya yang terpopuler antara lain kitab takwil mukhtalif al-hadith karya Imam al-Hafidz Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah adDainuriy (213-276 H). Beliau menyusunnya untuk menyanggah musuh-musuh hadith yang melancarkan beberapa tuduhan kepada ahli hadith dengan sejumlah periwayatan beberapa hadith yang tampaknya saling bertentangan. Beliau menjelaskan hadithhadith yang mereka klaim saling kontradiktif dan memberikan tanggapan terhadap kerancuan-kerancuan seputar hadith-hadith itu. Kitab beliau itu menempati posisi yang amat tinggi dalam khazanah intelektual Islam, bahkan mampu membendung kerancuan yang ditebarkan sebagian kelompok.5 Contoh hadith yang tampak bertentangan:


Air tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu apapun. Kemudian ada hadith lain yang menyatakan:


Bila air telah mencapai dua qullah, maka tidak akan membawa najis. Yang terakhir ini menunjukan bahwa bila air itu kurang dari dua qullah maka akan membawa najis. Ini jelas berbeda dengan hadith yang pertama. Ibn Qutaibah berkata, kami akan mengatakan bahwa hadith kedua itu tidak bertentangan dengan hadith yang pertama. Rasul bersabda demikian berdasarkan kebiasaan dan yang paling banyak terlihat. Karena biasanya air yang ada di sumursumur atau kolam-kolam jumlahnya banyak. Sehingga pernyataan beliau itu memiliki pengertian spesifik. Ini sama dengan orang mengatakan: Api tak dapa dimatikan oleh sesuatupun. Yang dimaksudnya bukanlah bukanlah api lentera yang akan mati tertiup angina, bukan pula percikan api, tetapi yang dimaksudkan adalah api yang

4 5

Ibid, h. 255 Ibid.

membara. Kemudian menjelaskan kepda kita ukuran air itu dua qullah, suatu ukuran yang tidak bisa dinajiskan, yakni air yang terbilang banyak.6 Dalam bidang ini yang terpopuler di antara karya-karya yang sampai kepada kita adalah kitab musykil al-asar karya Imam al-Muhaddis al-Faqih Abu Jafar Ahmad ibn Muhammad at-Thahawiy (239-321 H), yang terdiri dari empat jilid, dan dicetak di India pada tahun 1333 H. Juga kitab musykil al-hadith wa bayanuhu karya Imam al-Muhaddis Abu Bakar Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy al-Ashbahaniy (w. 406 H). beliau menyusunnya berkenaan dengan hadith-hadith secara literal diduga kontradiktif, mengandung tasybih dan tajsim, yang dijadikan sebagai landasan melancarkan cercaan terhadap agama. Lalu beliau menjelaskan maksudnya dan membatakan banyak klaim yang salah seputar hadith-hadith itu dengan berargumen pada dalil-dalil naqli dan aqli. Kitab ini telah dicetak di India pada tahun 1362 H.7 4. Metode penyelesaian hadith-hadith yang tampak bertentangan. Untuk mendudukkan hadith-hadith yang mukhtalif ini para ulama ada yang menggunakan dua jalan, sebagai berikut:8 1) Thariqatul Jami Thariqah artinya jalan, sedangkan jami artinya mengumpulkan. Maka thariqatul jami artinya jalan mengumpulkan. Maksudnya ialah hadith-hadith yang kelihatannya berlawanan itu kita kumpulkan, lalu kita mendudukkannya sebagaimana patut, sehingga semua hadithnya terpakai. Contohnya:

: : ...
kemudian (Urwah) bertanya kepada (Ibnu Umar): Berapa kalikah Nabi SAW berumrah? Jawabnya: Empat kali.

Ibn Qutaibah, Tawil Mukhtalf al-Hadith, Mesir: Maktabah Kurdistan Al-Ilmiyah, 1326 H. h. 433434 7 M. Ajaj Khotib, op. cit., h. 255 8 A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadith, Bandung: CV Diponegoro, 1996, h. 255-259.


Dari Qatadah, bahwa Anas mengkhabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah SAW berumrah empat kali, semua umrah itu dalam bulan zulqaidah, melainkan umrah yang (beliau kerjakan) bersama hajinya.


Dari Aisyah, bahwa Nabi SAW berumrah tiga umrah.

:
Telah berkata Bara bin Azib: Rasulullah pernah berumrah dalam bulan zulqaidah dua kali, sebelum beliau naik haji. Riwayat yang pertama dan kedua, menunjukkan bahwa Nabi SAW berumrah empat kali. Riwayat keiga menyebut tiga kali, sedang riwayat keempat menyatakan dua kali. Zahirnya riwayat-riwayat tersebut berlawanan antara satu dengan yang lain. Karena itu riwayat-riwayat tersebut dikatakan mukhtalif. Sungguhpun demikian, maka keterangan-keterangan yang berlainan itu bisa kita dudukkan dengan cara sebagai berikut: a. Umrah Nabi adalah empat kali sebagaimana tersebut dalam riwyat yang pertama dan kedua. b. Dalam riwayat yang ketiga Aisyah menyebut tiga umrah saja, yang keempatnya tidak dia nyatakan, karena umrah ini Nabi kerjakan bukan dalam bulan haji, sedangkan yang hendak Aisyah terangkan itu adalah umrah dalam bulan zulqaidah saja. c. Dalam riwayat keempat Bara menyebut dua umrah, yang dua lagi tidak disebut-sebut. Umrah yang tidak disebut ini ialah umrah Nabi SAW bersama hajinya, dan umrah jiranah. Bara tidak menyebutkan dua umrah ini karena:

Umrah bersama haji itu, Nabi mengerjakannya dalam bulan haji, sedangkan yang hendak ditunjukkannya adalah umrah Nabi dalam bulan zulqaidah yang tersebut dalam riwayat itu.

Umrah jiranah boleh jadi tidak diketahui oleh bara sebagaimana tidak diketahui juga oleh sahabat-sahabat yang lain.

Dengan cara ini terpakailah semua keterangan yang nampaknya berlawanan. 2) Thariqatul Tarjih Tarjih artinya memberatkan, menguatkan. Jadi thariqatut tarjih artinya jalan menguatkan. Jika terdapat beberapa hadith haadis atau riwayat yang sah yang zahirnya kelihatannya bertentangan antara satu dengan yang lain, lalu kita cari keterangan mana yang paling kuat di antaranya, itulah yang disebut thariqatut tarjih. Contohnya:

:
Dari Ibn Abbas, sesungguhnya ia pernah berkata: Rasulullah SAW telah kawin dengan maimunah, sedang beliau dalam ihram.

:
Dari Yazid bin al-Asham ia berkata: Telah menceritakan kepadaku, Maimunah bintu Haris, bahwa Rasulullah SAW kawin dengan dia sedang dalam ihlal. Ihram artinya mulai mengerjakan ibadah haji atau umrah sampai selesai. Sedangkan ihlal artinya keluar dari ihram. Riwayat pertama mengatakan Nabi kawin dengan Maimunah dalam ihram, sedang yang kedua menetapkan dalam ihlal. Riwayat-riwayat ini bertentangan. Oleh karena pertentangan itu, maka dua riwayat tersebut perlu dijama atau ditarjih.

Dua riwayat itu derajatnya shahih, kita memeriksa apakah terdapat keterangan yang menguatkan pendapat ibnu Abbas itu? Sesudah kita selidiki, tidak bertemu satupun keterangan yang menguatkan riwayat ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi kawin dalam ihram. Selanjutnya kita lihat pula riwayat kedua, yaitu yang dari Yazid bin Asham. Kita dapati ada hal-hal yang menguatkannya, yaitu: a. Yang meriwayatkan dalam ihlal adalah Mamunah sendiri. Jadi lebih dapat diterima daripada orng lain yang menceritakannya. b. Abu Rafi meriwayatkan kejadian perkawinan itu, dalam ihlal juga. c. Di antara sahabat ada yang menyalahkan riwayat ibnu Abbas tentang ihram, tetapi terhadap riwayat Abu Rafi mereka tidak membantah. d. Perkataan Maimunah dan cerita Abu Rafi itu sesuai dengan larangan Nabi SAW tentang tidak boleh kawin dalam ihram:


Rasulullah SAW bersabda: Orang yang di dalam ihram tidak boleh kawin dan mengawinkan orang lain. Berdasarkan empat hal di atas, maka kuatlah riwayat yang mengatakan Nabi SAW kawin dalam ihlal, serta tertolaklah riwayat yang mengkhabarkan dalam ihram. Namun ada juga satu cara lagi yang dilakukan untuk menyelesaikan hadithhadith yang tampak saling bertentangan, yaitu dengan cara mansukh.9 Secara bahasa mansukh berarti membatalkan. Contoh hadith tentang kewajiban berkurban:


Diriwayatkan dari Abu hurairah, bahwa: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang mempunyai kemampuan, namun tidak berkurban, maka janganlah ia menemati tempat shalat kami.
9

Izzuddin Husain as-Syekh, menyikapi hadith-hadith yang saling bertentangan (hadith hadith Nasakh dan mansukh), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007.

Hadith ini menunjukkan bahwa wajib hukumnya berkurban bagi mereka yang mampu. Abu Hanifah dan Malik berpendapat seperti ini: Hadith ini mansukh atau dibatalkan oleh hadith berikut ini:


Diriwayatkan dari jabir bin Abdullah, bahwa: Aku shalat idul adha bersama Rasulullah SAW. Ketika shalat, seseorang dating membawa seekor kibasy kepada beliau, lalu beliau menyembelihnya sambil membaca: bismillah (Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, sesungguhnya inilah kurban pribadiku dan dari orang yang belum mampu berkurban dari umatku. Hadith ini menunjukkan bahwa berkurban itu tidak wajib, tetapi hanya sunnat selama ia tidak bernazar. Imam Syafii dan Ahmad juga berpedapat seperi ini. Hadith ini menasakh atau membatalkan hadith terdahulu di atas yang mewajibkan berkurban.

DAFTAR PUSTAKA

A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadith, Bandung: CV Diponegoro, 1996. Ibn Qutaibah, Tawil Mukhtalf al-Hadith, Mesir: Maktabah Kurdistan Al-Ilmiyah, 1326 H. Izzuddin Husain as-Syekh, menyikapi hadith-hadith yang saling bertentangan (hadith hadith Nasakh dan mansukh), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007. M. Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadith, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Nuruddin Itr, Manhaj An-Naqd fi Ulum al-Hadith, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M.

Anda mungkin juga menyukai