Anda di halaman 1dari 23

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang bersifat komperhensif, karena hal-hal yang mencakup
kehidupan dan hukum telah diatur dan termuat dalam Al-quran maupun As-sunnah. Islam
dalam sejarah kemunculannya sebagai suatu ajaran yang memberikan konsep, Petunjuk,
dan pedoman kepada manusia, dan juga beserta norma dan tata caranya. Dengan
demikian Islam berfungsi untuk menjaga dan memelihara integritas kehidupan manusia
agar tidak kacau. Islam berfungsi sebagai alat pengatur untuk mewujudkan keutuhan
hubungan baik secara vertikal dengan Rabbnya, maupun hubungan horizon sesama
manusia dan juga dengan alam sekitarnya.

Islam memberikan tuntunan kepada manusia dalam hal pergaulan,bahwa pergaulan itu
hendaknya didasarkan atas moral atau budi pekerti yang luhur,bukan atas dasar kemuliaan
status sosial maupun materi dan sesungguhnya dalam kehidupan ini sangat dibutuhkan
adanya pengenalan antara manusia yang satu dengan yang lain. Namun pada umumnya
manusia lupa atau mengingkari asal kejadiannya sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya.
Mereka menerima ajaran tersebut dalam berbagai tingkat kemampuan, presepsi, dan
interpretasi masing-masing, sehingga timbul aliran dan pandangan, bahkan pertentangan
yang bermuara pada terbentuknya golongan-golongan dan paham yang berbeda. Manusia
cenderung mengolah pedoman dan bimbingan itu bukan dengan menggunakan petunjuk
pelaksanaan yang telah disediakan Allah dan di perinci-pertegas oleh rasul Allah, namun
menafsirkan pedoman tersebut semata-mata berdasarkan kontekstual dan rasio akal dan
hawa nafsu semata, yang pada akhirnya membawa manusia itu dalam kesesatan dan pada
akhirnya akan melunturkan kemurnian akidah dan ketauhidan Islam.
Kini banyak umat Islam yang melakukan praktik ibadah yang sudah mencampur dan
menggabungkannya dengan tradisi dan ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam dan
tanpa disadari sudah tergolong dalam perilaku bid’ah,dan khurafat.

1
BAB I

PENJELASAN TENTANG BID’AH

1. Definisi Bid’ah

Secara bahasa kata bid’ah dari (‫)البدعععة‬ bahasa Arab bada’a – yabda’u – bad’an –

bid’atan (‫ بدعة‬-‫ بدعا‬-‫ يبدع‬-‫ )بدع‬yang bermakna ansya’a (membuat) dan bada’a (memulai).
Bid’ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam agama setelah agama itu sempurna, atau
sesuatu yang dibuat-buat setelah wafatnya Nabi Muhammad ( ‫) صسسل اسس عليسسه وسسسلم‬berupa
keinginan nafsu dan amal perbuatan.1

Di antaranya dalam Firman Allah,

“Allah Pencipta langit dan bumi”(Al- Baqarah;117).

Yakni menciptakan keduanya tanpa contoh sebelumnya.

Sedangkan menurut istilah, bid’ah adalah,

‫صلدكبالسسس س س س لووكك‬ ‫ك‬ ‫كعب س س سسارة عس س س سن طصكريسصقس س س سةة كفس س س س الس س س سدديكن لموتْخُسرعس س س سةة تل ك‬
‫ض س س سساهيِ اليشورعيصةيسلوق ص‬
‫و صص ص ص‬ ‫ص ص ص و و‬
‫عصليسهاالبالصغصةلكف التْخُيسعبكد ك‬.
‫ل لسوبصحانصله‬ ‫صل‬ ‫ص و ص لص‬
“Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang
menyerupai syari’at (ajaran islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk
berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”

Sementara Bid’ah menurut istilah syariat memiliki beberapa defenisi di kalangan para
ulama yang saling melengkapi, yaitu:

a. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

1
Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Mengupas Sunnah Membedah Bid’ah, Darul Haq, Jakarta, 2018, hlm. 33.

2
Beliau mengungkapkan bahwa “Bid’ah dalam agama adalah: segala sesuatu yang
tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni yang tidak diperintahkan , baik dalam
bentuk perintah wajib maupun anjuran.”2
b. Asy-Syathibi
Beliau berkata: “Bid’ah itu adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, yang
menyerupai ajaran syariat3, yang tujuan dilaksanakannya adalah untuk berlebih-lebihan
dalam ibadah kepada Allah.”
c. Al-Hafizh Ibnu Rajab
Beliau berkata, “ yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan dari
hal-hal yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syariat yang mengindikasikan
keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syariat yang menunjukkan
keberadaannya maka secara syariat tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara
bahasa dikatakan bid’ah.4 Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu
menisbatkan kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama
yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan, dan agama Islam berlepas diri
darinya.

Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :

1. Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan- penemuan
baru dibidang IPTEK (juga termasuk di dalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu
dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari
semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.

2. Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien
itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) Rasulullah( ‫)صل ا عليه وسلم‬bersabda “Artinya:
Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami
ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Dan di
dalam riwayat lain disebutkan “Artinya: Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang
bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak”.

2. Dalil Keharaman Bid’ah


2
Fatwa Ibn Taimiyah, 4/107-108.
3
Yakni menyerupai cara ibadah yang disyariatkan, padahal hakikatnya tidak sama, bahkan bertentangan
dengan nya.
4
opcit, hal.36-37.

3
 Dalil Al-Qur’an
1. Allah SWT berfirman,

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat[184]. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta'wilnya melainkan Allah.” (Ali-Imran:7)

Asy-Syathibi r.a menyebutkan beberapa atsar yang menunjukkan bahwa ayat ini
berkenaan dengan orang-orang yang membantah al-Qur’an dan tentang orang-orang khawarij
dan orang-orang yang sepaham dengan mereka.5

2. Allah SWT juga berfirman,

“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah
Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)[152], Karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa.” (Al-An’am:153)

Jalan yang lurus adalah jalan Allah yang Dia menyeru kepadanya. Dan jalan itu
adalah as-Sunnah. Sementara jalan yang banyak itu adalah jalan-jalan orang-orang yang suka
berselisih yang melenceng dari jalan yang lurus, dan mereka adalah para ahli bid’ah. Maka
ayat ini mengandung larangan mengikuti seluruh jalan yang dilalui oleh para ahli bid’ah
tersebut.

3. Allah SWT berfirman,

.“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada
yang bengkok. dan Jikalau dia menghendaki, tentulah dia memimpin kamu semuanya
(kepada jalan yang benar).” (An-Nahl:9)

Jalan yang lurus itu adalah jalan kebenaran, dan selain itu adalah jalan yang bengkok,
yakni melenceng dari kebenaran, dan itu adalah jalan-jalan bid’ah dan kesesatan.6

5
Ibid, hal. 44-45.
6
Ibid, hal. 46.

4
4. Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi


bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan
mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada
mereka apa yang Telah mereka perbuat.” (Al-An’am: 159)

Mereka itu adalah para pengekor hawa nafsu, pelaku kesesatan, dan ahli bid’ah dari
kalangan umat ini.

5. Allah SWT berfirman,


“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya
serta Dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah, 32. Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama
mereka[1169] dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan
merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (Ar-Rum: 31-32).

 Dalil Sunnah Nabi


1. Hadist Aisyah ra. dari Nabi ( ‫) صسسل اسس عليسسه وسسسلم‬. Diriwayatkan bahwa beliau
bersabda,

‫س كمونهل فصسلهصو صرد‬ ‫ك ك‬


‫صمون أصوحصدصثا وف أصومرصنا صهصذا صما لصوي ص‬
“Barangsiapa yang membuat ajaran baru didalam agama kami ini, yang bukan
termasuk bagian darinya, maka hal itu tertolak”(HR. Muslim).

2. Dari Jabir bin Abdulah ra bahwa Nabi bersabda dalam khutbah beliau,

‫صلى‬ ‫ وخيسر اولودكي هود ي لميم ة‬،‫ل‬


‫د‬ ‫أيما بسعلد فصكأين خيسر اولكد ي ك‬
‫ث ككصتْخُا ب اا ك‬
‫ص‬ ‫ص‬ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫ص‬ ‫ص‬
‫ص وص‬ ‫ل‬ ‫صوص ص و‬ ‫صو‬
‫ة‬ ‫ك‬
‫ صولكيل بكودصعة ص‬،‫ صوصشير اولللمووكر لومصد صثاتلسصها‬،‫ال عصليه وسلم‬.
‫ضصللصة‬
“Amma ba’du: Sesungguhnya sebaik-sebaik ucapan adalah Kitabullah, sebaik-
baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, seburuk-buruk perkara (agama)
adalah yang dibuat-buat, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.”

5
3. Dalam riwayat an-Nasa’i disebutkan bahwa Rasulullah (‫ )صل ا عليه وسلم‬bersabda
dalam khutbah beliau, beliau memuji dan menyanjung Allah dengan pujian yang
layak bagi-Nya, kemudian beliau bersabda,
‫ضس سلكوله فصلص هس سسا ك‬ ‫مصس سنو صيهوس سكدكه الس سل فصلص م ك‬
‫ إكين أص و‬،‫ي لصس سله‬
‫صس سصدصق‬ ‫ص‬ ‫د‬ ‫ص‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ن‬‫س‬ ‫س‬
‫صص و ل‬ ‫م‬‫و‬ ،‫ه‬
‫ل‬ ‫س‬ ‫س‬
‫ص‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫ي‬ ‫س‬ ‫س‬ ‫ض‬ ‫ل‬
‫ي لمصيمةد صوصشير اولللمووكر لومصدصثاتلسصها صولكيل‬
‫ب ال صوأصوحصسصن اولصودكي صهود ل‬
‫ل‬
‫اولكدي ك‬
‫ث ككصتْخُا ك‬
‫ص و‬
‫ضلصلصةة كف اليناكر‬ ‫ة‬ ‫ة‬
‫ لومصدثصة بكودصعة صولكيل بكودصعة ص‬.
‫ضلصلصة صولكيل ص‬
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang
dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak
ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar
ucapan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (
‫) صسسل اسس عليسسه وسسسلم‬, seburuk-buruk perkara (Agama) adalah yang dibuat-buat,
setiap ibadah tempatnya adalah neraka.”7

4. Dari al-Irbadh bin Sariyah ra. Ia berkata, “Rasulullah ( ‫ )صل ا عليه وسلم‬pernah
memberikan wejangan kepada kami yang menyebabkan hati kami tersentuh dan
air mata kami mengalir. Kami pun lantas bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sepertinya
ini adalah wejangan perpisahan. Sudikah engkau berwasiat kepada kami?’ 8 Beliau
menjawab,

‫ فصسكإنيهل صم سون‬،‫ صوإكون تصسأصيمرصعلصويلكوم صعوب سةد‬،‫ صواليس سومكع صواليطاصع سكة‬،‫ل س‬
‫ألوكص سيلكم بكتْخُصسوق سوىَ ا ك‬
‫و و و ص‬
‫ فصسصعلصويلكسوم بكلسسنيك وت صولسسنيكة اولللصصفسساكء‬،‫ش كمونلكسوم بصسوعسكدوي فصصسسسيصسصري اوختْخُكلصفسلسا صككوثي سلرا‬ ‫ك‬
‫يصعس و‬
‫ وإكيسسالكم ولوم سصدصثا ك‬،‫ عض سوا عصليسهسسا كبالنيسواكج سكذ‬،‫اليراكش سكدين الومه سكديسدي‬
،‫ت اولللم سووكر‬ ‫ص وص‬ ‫و ص ص و وص ص ل و ص و ص ص‬
‫ة‬ ‫ة‬
‫فصكإين لكيل لومصدثصة بكودصعة صولكيل بكودصعة ص‬.
‫ضلصلصة‬
“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, selalu mendengar
dan taat, meski yang memerintahkan kalian adalah seorang budak, karena
susungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku,niscaya dia akan melihat
7
Asalnya terdapat dalam Shahih Muslim dalam hadist yang telah disebutkan sebelumnya. Diriwayatkan juga
oleh an-Nasa’i dengan lafazhnya dalam kitab shalat al-‘Idain, Bab Kaifa al-Khuthbah, 3/188, no. 1578.
8
Ibid, hal. 51.

6
banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku
dan Sunnah para Khulafa’ Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ajaran
mereka dengan geraham kalian. Hendaknya kalian menjauhi ibadah-ibadah yang
dibuat-buat, karena sesungguhnya setiap ibadah yang dibuat-buat itu bid’ah dan
setiap bid’ah itu sesat.”

3. Kecaman dan Larangan Ulama Terhadap Bid’ah

1. Abdullah bin Mas’ud ra. Berkata, “Ikutilah Sunnah dan janganlah berbuat bid’ah,
karena kalian telah dicukupkan, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.9
2. Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada seorang lelaki, beliau menyebutkan,
“amma ba’du: Aku wasiatkan kepada anda agar bertakwa kepada Allah, bersikap
sederhana dalam agamaNya, mengikuti Sunnah NabiNya dan meninggalkan
segala bid’ah yang diciptakan oleh kalangan ahli bid’ah setelah berlakunya sunnah
beliau”10
3. Al-Hasan al-Bashri Juga berkata,”Ucapan tidaklah sah kecuali disertai dengan
perbuatan. Ucapan dan perbuatan tidaklah sah kecuali disertai dengan niat.
Ucapan, perbuatan, dan niat tidaklah sah kecuali dengan sunnah.”
4. Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang melakukan perbuatan bid’ah itu sebagai
kebaikan, berarti ia telah beranggapan bahwa Nabi Muhammad (‫)صل ا عليه وسلم‬
itu adalah menggkhianati tugas kerasulannya; karena Allah berfirman,
‘Hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu.’ (Al-Maidah:3). Maka yang
bukan merupakan agama pada hari tersebut, pada hari ini juga bukan merupakan
agama.”11
5. Imam Ahmad berkata, “pondasi Sunnah menurut kami adalah berpegang pada
jalan yang ditempuh oleh para sahabat Rasuluullah ( ‫) صل ا عليه وسلم‬, mengikuti
ajaran Rasulullah dan meninggalkan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat,
meninggalkan pertikaian dan duduk-duduk bersama ahli bid’ah, serta
meninggalkan perdebatan, adu argumentasi, dan pertikaian dalam agama.”12

pada hakikatnya, para ulama sepakat bahwa bid’ah adalah tercela jika dimutlakkan.
Seperti perkataan, “amalan ini adalah bid’ah”, maka dipahami dari perkataan ini bahwa
amalan tersebut adalah tercela.

9
Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Mengupas Sunnah Membedah Bid’ah, Darul Haq, Jakarta, 2018, hlm. 57.
10
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sanadnya, kitab as-Sunnah, Bab Luzum as-Sunnah, 4/203, no. 4612.
Lihat Shahih Sunan Abi Dawud, al-Albani, 3/873.
11
Al-I’tisham, asy-Syathibi, 1/65.
12
Opcit, hal. 59.

7
4. Perbedaan Sunnah dengan Bid’ah atau Kaidah yang disebut Bid’ah

Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi , baik berupa ucapan,
ketetapan dan sifat. Adapaun yang dimaksud dengan bid’ah adalah perkara yang baru dalam
agama. Di antara kaidah-kaidah yang telah disebutkan oleh para ulama tentang bid’ah
adalah: "Setiap amal perbuatan yang tidak dikerjakan Nabi , pada saat yang sama adanya
petunjuk dan tidak adanya penghalang untuk melakukan amal tersebut, maka
mengerjakannya adalah bid’ah".

Dan yang menjadi ketetapan di antara para ahli ilmu adalah suatu ibadah dibangun atas
dasar tauqif (berhenti pada diri Nabi ). Tidaklah beribadah kepada Allah kecuali dengan apa
yang telah disyariatkan oleh-Nya atau berdasarkan perkataan Rasul-Nya. Dan setiap perkara
yang tidak ada dasar nashnya dalam syari`at maka mengerjakannya atau mendekatkan diri
kepada Allah dengan amalan tersebut termasuk kategori bid’ah. Rasulullah bersabda:

‫رمنن أأنحردرث م نف أأنممر رن رهرذا رماَ ل رينرس ممننهه فرههرو رردد‬.


“Barangsiapa yang membuat ajaran baru didalam agama kami ini, yang bukan
termasuk bagian darinya, maka hal itu tertolak”

5. Bahaya Bid’ah Terhadap Pribadi dan Agama.

Perbuatan-perbuatan bid’ah memberikan banyak pengaruh dan dapat membahayakan


diri sendiri dan orang lain, bahkan agama. Diantara bahaya nya adalah sebagai berikut:

1. Bid’ah adalah penghantar menuju kekafiran.


2. Berdusta atas nama Allah tanpa ilmu.
3. Kebencian para ahli bid’ah terhadap Sunnah dan Ahlus Sunnah.
4. Amalan ahli bid’ah itu tertolak.
5. Buruknya akhir hidup seorang ahli bid’ah.
6. Berputarbaliknya pemahaman ahli bid’ah.
7. Tidak diterimanya kesaksian dan riwayat ahli bid’ah.
8. Ahli bid’ah adalah yang paling banyak terjerumus ke dalam fitnah.
9. Seorang ahli bid’ah membuat tambahan pada ajaran syariat.
10. Ahli bid’ah itu tidak bisa membedakan antara yang haq dan batil.
11. Seorang ahli bid’ah itu akan menanggung dosanya sendiri dan dosa orang yang
mengikutinya.
12. Bid’ah akan memasukkan pelakunya ke dalam laknat.

8
13. Ahli bid’ah itu akan dihalangi untuk minum dari telaga Nabi ( ‫ ) صل ا عليه وسلم‬di
hari kiamat nanti.
14. Ahli bid’ah itu menghindari dzikir kepada Allah.
15. Para ahli bid’ah menyembunyikan kebenaran dan tidak memperlihatkannya kepada
para pengikut mereka.
16. Amalan ahli bid’ah itu menjauhkan orang dari Islam.
17. Ahli bid’ah itu memecah belah umat.
18. Ahli bid’ah yang terang-terangan dengan kebid’ahannya boleh digunjing.
19. Ahli bid’ah selalu memperturutkan hawa nafsu dan membangkang serta menentang
ajaran syariat13
20. Ahli bid’ah itu telah menempatkan dirinya sebagai tandingan bagi setiap penetap
syariat (Allah) karena Allah telah menetapkan syariat-syariat dan mengharuskan
orang-orang yang sudah diberi beban syariat untuk menjalankan aturan-aturan
syariat tersebut.14

BAB II

Bid’ah Dalam Shalat

Sudah banyak informasi yang disampaikan bahwa shalat merupakan tiang agama,
amalan yang akan dihisab pertama kali adalah shalat. Shalat dipastikan bisa mencegah
perbuatan keji dan munkar dan shalat menjadi barometer kualitas moral dan spiritual seorang
muslim. Shalat secara rohaniah bertujuan untuk membuat roh manusia supaya senantiasa
tidak lupa pada Tuhan, senantiasa dekat pada-Nyadi dalam shalat terdapat dialog antara
manusia dengan Tuhan15 dan lain-lain.

Dibalik itu semua muncul sejumlah kalangan masyarakat yang berusaha untuk
mengambil simpulan logis.

Pertama, terkait dengan Q.S. Thaha/20: 14

” Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka
sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”

Mereka memahami bahwa ayat ini bisa disimpulkan bahwa dengan hanya mengingat
Allah, maka seseorang tidak harus melakukan shalat. Dampak dari simpulan ini adalah

13
Lihat al-I’tisham, 1/61.
14
Ibid, 1/61-67.
15
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya I, (Jakarta: UI Press, 1985), cet., ke-5, 37.

9
munculnya sejumlah kelompok aliran kebatinan atau kepercayaan melakukan ritual
mengingat Allah dengan tanpa melakukan shalat.

Kedua, terkait dengan Q.S. al-‟Ankabut/29:45,

”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.”

Lagi-lagi penggalan ayat inipun bisa dipahami secara sederhana bahwa seseorang
yang telah mencegah perbuatan keji dan munkar sudah dianggap shalat.

Salah satu hal bid’ah yang lazim dilakukan oleh ahli bid’ah saat ini yaitu
mengeraskan bacaan niat tidaklah wajib dan tidak pula sunnah dengan kesepakatan seluruh
ulama. Bahkan hal tersebut adalah bid’ah yang bertentangan dengan syari’at. Jikaseseorang
berkeyakinan bahwa perbuatan ini adalah bagian dari ajaran syariat, maka ia orang yang jahil,
menyimpang, dan berhak mendapatkan hukuman ta’zir jika ia tetap bersikeras dengan
keyakinannya, dan tentu saja setelah diberikan pengertian dan penjelasan. Lebih parah lagi
jika perbuatannya itu mengganggu orang yang ada di sebelahnya, atau ia mengulang-ulang
bacaan niatnya. Hal ini difatwakan oleh lebih dari seorang ulama. Di antaranya Al Qodhi Abu
Ar Rabi Sulaiman Ibnu As Syafi’i, ia berkata:

“Mengeraskan bacaan niat atau mengeraskan bacaan Qur’an di belakang imam,


bukan termasuk sunnah. Bahkan makruh hukumnya. Jika membuat berisik jama’ah yang
lain, maka haram. Yang berpendapat bahwa mengeraskan niat itu hukumnya sunnah, itu
salah.Tidak halal baginya atau bagi yang lain berbicara tentang agama Allah Ta’ala tanpa
ilmu(dalil)”

Di antaranya juga, Abu Abdillah Muhammad bin Al QasimAtTunisi Al Maliki, ia


berkata:

“Niat itu termasuk amalan hati. Mengeraskannya bid’ah. Lebih lagi jika perbuatan
itu membuat berisik orang lain”

Di antaranya juga, AsySyaikh ‘Alauddin bin ‘Athar, ia berkata:

“Meninggikan suara untuk membaca niat sehingga membuat berisik di antara


jama’ahhukumnya haram secara ijma’ (consensus para ulama). Jika tidak membuat berisik,
ia adalahperbuatan bid’ah yang jelek. Jika ia melakukan hal tersebut dalam rangka riya,
makaharamnya ganda. Ia juga merupakan dosa besar. Yang mengingkari bahwa perbuatan

10
ini adalah sunnah, ia berbuat benar. Yang membenarkan bahwa perbuatan ini adalah
sunnah,ia salah. Menisbatkan perbuatan ini pada agama Allah adalah keyakinan yang kufur.
Jikatidak sampai meyakini hal tersebut, maka termasuk maksiat. Setiap muslim wajib
denganserius mewaspadai perbuatan ini, melarangnya dan membantahnya. Tidak ada
satupunriwayat dari Rasulullah Shallallahu’alaihiWasallam tentang hal ini, tidak pula dari
satupunsahabatnya, tidak pula dari para ulama Islam yang meneladani mereka”. (Semua
nukilan diatas dapat ditemukan di Majmu’ahArRasail Al Kubra, 1/254-257)

Demikian juga, melafalkan niat secara sirr (samar) tidak wajib menurut para imam
mazhab yang empat juga para imam yang lain. Tidak ada seorang pun yang berpendapat hal
itu wajib. Baik dalam shalat, thaharah ataupun puasa.

Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad:“Apakah orang yang shalat
mengucapkan sesuatu sebelum takbir? Imam Ahmad menjawab: “tidak ada” (Masa-il Al
Imam Ahmad, 31)

As Suyuthi berkata,“Termasuk bid’ah, was-was dalam niat shalat. Nabi


Shalallahu’alaihiWasallam dan parasahabat beliau tidak pernah begitu. Mereka tidak
pernah sedikitpun mengucapkan lafal niatshalat selain takbir”.

Dan Allah telah berfirman:

‘Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik‘ (QS. Al Ahzab: 21).

Imam AsySyafi’i berkata,

“Was-was dalam niat shalat dan thaharah itu adalah kebodohan terhadap syariat
atau kekurang-warasan dalam akal” (Al AmruBilIttiba’ Wan Nahyu ‘AnilIbtida’, 28)

Melafalkan niat itu menimbulkan banyak efek negatif. Anda lihat sendiri orang yang
melafalkan niat dengan jelas dan rinci, lalu baru mencoba bertakbir. Ia menyangka
pelafalanniatnya itu adalah usaha untuk menghadirkan niat.

Ibnu Jauzi berkata:

“Di antara bisikan Iblis yaitu dalam niat shalat. Di antara mereka ada yang berkata
ushallishalatakadza (saya berniat shalat ini dan itu), lalu diulang-ulang lagi karena ia
menyangkaniatnya batal. Padahal niat itu tidak batal walaupun tidak diucapkan. Ada juga
yang bertakbir, lalu tidak jadi, lalu takbir lagi, lalu tidak jadi lagi. Tapi ketika imam keburu

11
ruku’, iaserta-merta bertakbir walaupun agak was-was demi mendapatkan ruku bersama
imam. Mengapa begini?? Lalu niat apa yang ia hadirkan ketika itu?? Tidaklah ini terjadi
kecualikarena iblis ingin membuat dia melewatkan berbagai keutamaan. Diantara mereka
juga adayang besumpah atas nama Allah untuk bertakbir lebih dari sekali. Ada juga yang
bersumpahdengan nama Allah untuk mengeluarkan harta mereka atau dengan talak. Semua
ini adalahbisikan iblis. Syariat Islam yang mudah dan lapang ini selamat dari semua
penyakit ini. Tidakpernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihiWasallam tidak juga para
sahabatnya melakukan haldemikian” (Talbis Iblis, 138)

Ringkasnya, para ulama dari berbagai negeri dan berbagai generasi telah menyatakan
bahwa melafalkan niat itu bid’ah. Pendapat yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut
disunnahkan adalah pendapat yang salah, tidak sesuai dengan pendapat Imam AsySyafi’idan
tidak sesuai dengan dalil-dalil sunnahnabawi,

Diantaranya riwayat dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata:

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihiWasallam memulai shalatnya dengan


takbir” (HR. Muslim, no.498)

Dari Abu HurairahRadhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alahiWasallam


terhadap orang yang shalatnya jelek, ketika orang tersebut berkata: ‘kalau begitu ajarkan saya
salat yang benar‘, beliau bersabda:“Jika engkau berdiri untuk shalat, maka sempurnakanlah
wudhu, lalu menghadap kiblat.Lalu bertakbirlah, lalu bacalah ayat Qur’an yang mudah
bagimu”

Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhuma ia berkata:

“Aku melihat Nabi Shallallahu’alahiWasallam memulai shalatnya dengan takbir, lalu


mengangkat kedua tangannya” (HR. Bukhari no.738)

Nash-nash ini dan juga yang lain yang begitu banyak dari Rasulullah
Shallallahu’alaihiWasallammenunjukan bahwa memulai shalat adalah dengan takbir dan
tidak mengucapkanapapun sebelumnya. Hal itu juga dikuatkan dengan ijma para ulama
bahwa :

“Jika ucapan lisan berbeda dengan apa yang ada di hati, maka yang dianggap
adalah apa yang ada di hati”

12
Jika demikian, lalu apa faidahnya mengucapkan niat? Jika telah sepakat dan diyakini
secara pasti bahwa apa yang diucapkan itu tidak ada gunanya jika bertentangan dengan apa
yang ada di dalam hati. Lalu hal ini pun menunjukkan adanya kegoncangan dalam pendapat
orang yang mewajibkan menggandengan niat dengan takbiratul ihram dan mewajibkan atau
menganjurkan niatnya dilafalkan. Bagaimana bisa melafalkan niat ketika lisan
seseorangsibuk mengucapkan takbir? Dalam hal ini Ibnu AbilIzz Al Hanafi berkata: “Imam
AsySyafi’irahimahullah mengatakan:

“Tidak boleh melakukan perbuatan yang ucapan lisannya berbeda dengan ucapan
hatinya secara bersamaan. Dan kebanyakan manusia mengakui mereka tidak bisa melakukan
halitu. Orang yang mengaku bisa melakukannya pun, ia telah mengakui hal yang ditolak
olehakal sehat. Karena lisan itu penerjemah apa yang hadir di dalam hati. Dan sesuatu yang
diterjemahkan itu pasti ada lebih dahulu, karena setiap huruf yang diucapkan itu pasti
dilandasi niat. Demikian seterusnya hingga selesai. Yang setelahnya adalah kelaziman
darisebelumnya. Tidak tergambar menggandengkan keduanya jika bersamaan, lalu
bagaimanalagi menggabungkan sesuatu yang ada sebelumnya?”16

Selain bid’ah yang telah disebutkan di atas, berikut juga disebutkan bid’ah-bid’ah
yang berhubungan dengan shalat di antaranya dzikir sesudah shalat fardhu atau pada waktu
kapan saja yang dilakukan secara bersama-sama dengan satu suara, imam berdoa sementara
orang mengaminkannya, yang dilakukan usai shalat fardhu. Dzikir sebenarnya disyariatkan,
namun melaksanakannya dengan tata cara yang seperti itu tidaklah disyariatkan dan
merupakan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah.

Contoh lainnya adalah mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan berpuasa


pada siang hari dan shalat pada malam harinya, atau shalat ar-Ragha’ib yang dilakukan pada
malam Jum’at pertama dari bulan Rajab. Ini merupakan bid’ahidhafiyyah yaitu bid’ah yang
memiliki dua sudut pandang agau dua titik tinjauan.

Selanjutnya bid’ahdalam shalat adalah menambahkan kedalam syariat sesuatu yang


bukan merupakan bagian dari dirinya, seperti menambahkan satu rakaat dalam shalat.

Peringatan malam Jum’at pertama bulan Rajab adalah bid’ah yang mungkar. Imam
Abu Bakar ath-Thurthusyi menyebutkan, bahwa beliau pernah dikabarkan oleh Abu
Muhammad al-Maqdisi, beliau berkata, “Adapun shalat Rajab, belum pernah dilakukan

16
Al QaululMubinFiiAkhta-ilMushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, Dar Ibnul Qayyim, hal. 91-96.

13
ditempat kami di BaitulMaqdis kecuali setelah tahun 480 H. Sebelumnya kami belum pernah
mendengar atau melihatnya.”

Imam Abu Syamah Berkata, “Mengenai shalat ar-Ragh’ib, yang dikenal ditengah
masyarakat luas dewasa ini adalah yang dikerjakan diantara waktu Maghrib dan Isya , pada
malam Jumat pertama di bulan Rajab.”

Al-Hafizh Ibnu Rajab Berkata, “Adapun shalat semacam itu, tidak ada dalil shahih
yang menunjukkan adanya shalat khusus dibulan Rajab, yang hanya dilakukan di bulan Rajab
saja.Hadits-hadits yang membicarakan shalatar-Ragha’ib pada malam Jum’at pertama bulan
Rajab adalah dusta, batil dan tidak sah. Shalat itu sendiri adalah bid’ah menurut kebanyakan
ulama.

Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, “Sehubungan dengan keutamaan bulan Rajab atau puasa
Rajab, berpuasa dihari tertentu pada bulan itu, atau salat malam tertentu di bulan itu, tidak
ada haditsshahih yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

Kemudian beliau menyebutkan hadis tentang salat ar-Ragha’ib, yang didalamnya


disebutkan, bahwa seseorang berpuasa diawal Kamis bulan Rajab kemudian shalat di
antaraMaghrib dan Isya pada malam Juam’at sebanyak dua belas rakaat, pada masing-masing
rakaat membaca al-Fatihah, lalu membaca al-Qadr tiga kali dan al-Ikhlash dua belas kali, lalu
memisahkan antara dua rakaat dengan salam (salam setiap dua rakaat).

Setelah itu beliau berbicara panjang lebar tentang tata cara bertasbih, beristighfar,
sujud, dan membaca shalawat atas Nabi SAW. Kemudian beliau menjelaskan bahwa hadits
ini palsu dan merupakan kedustaan atas nama Nabi SAW. Beliau menyatakan, bahwa orang
yang hendak melakukan shalat ar-Ragha’ib tersebut di bulan itu, dia juga harus melakukan
puasa di siang harinya. Terkadang siang harinya demikian terik, kalau dia berpuaasa, dia
tidak akan dapat makan hingga datang waktu Maghrib, lalu dia shalat. Dalam shalat, ia akan
membaca tasbih yang panjang dan sujud yang lama sehingga ia betul-betul tersiksa.

Lalu beliau melanjutkan,“Sesungguhnya saya demikian senang menyambut


Ramadhan dan Shalat Tarawih, namun bagaimana mungkin direpotkan dengan hal semacam
ini, bahkan bagi orang awam, ibadah seperti ini lebih besar (pahalanya) dan lebih mulia,
bahkan orang-orang yang tidak biasa shalat berjamaah pun ikut menghadirinya.

14
Imam Ibnu sah-Shalah menyatakan tentang shalat ar-Ragha’ib tersebut, “Haditsnya
palsu (dan merupakan kedustaan) atas nama Rasulullah SAW., dan itu adalah perbuatan
bid’ah yang muncul setelah tahun 400 H.”

Imam al-Izz bin Abdussalam pada tahun 637 H memberikan fatwa bahwa salat ar-
Ragha’ib adalah bid’ah yang mungkar, dan bahwa haditsnya adalah dusta atas nama
Rasulullah SAW.

Imam Abu Syamah juga mengemukakan tentang kebatilan shalat ar-Ragha’ib dan
kerusakan-kerusakannya. Beliau telah menjelaskan sebagai berikut.

1) Di antara yang menunjukkan tentang bid’ahnyashalat ini adalah bahwa para ulama
merupakan tokoh-tokoh agama ini dan Imam kaum Muslimin, dari kalangan para
sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in serta para ulama lainnya yang telah menyusun buku-
buku dalam ilmu syariat, bersama kuatnya tekad mereka untuk mengajarkan manusia
tentang kewajibab dan hal-hal yang disunnahkan kepada mereka, ternyata tidak ada
dinukil dari seorang pun di antara mereka yang menyebutkan shalat itu, atau menulisnya
dalam bukunya, atau menyebut-nyebutnya dalam majelis ilmunya. Secara hukum
kebiasaan, mustahil kalau memang shalat itu disunnahkan, tetapi tak seorang pun di
antara para tokoh ulama tersebut yang mengetahuinya.

2) Shalat ini menyelisihi ajaran syariat ditinjau dari tiga sisi:


Pertama, menyelisihi hadits Abu Hurairahra. yang meriwayatkan dari Nabi SAW.
bahwa beliau bersabda,
“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dengan salat tertentu di antara
malam-malam lainnya, dan janganlah kalian mengkhususkan hari Jum’at dengan puasa
tertentu di antara hari-hari lainnya, kecuali kalau puasa itu masuk dalam hitungan
puasa rutin dilakukan salah seorang di antarakalian.”
Berdasarkan hadits ini, tidaklah dibolehkan mengkhususkan malam Jum’at dengan
shalat tambahan yang tidak dilakukan pada malam yang lain, dan ini meliputi malam
Jum’at pertama bulan Rajab atau malam Jum’at lainnya.

Kedua,shalat Rajab dan shalatSya’ban adalah dua bentuk bid’ah. Dalam keduanya
terdapat kedustaan atas nama Rasulullah SAW. dengan pemalsuan hadits beliau,
demikian juga kedustaan atas nama Allah dengan menetapkan pahala amalan yang Allah
tidak pernah menurunkan keterangan apapun tentang hal itu sama sekali. Maka termasuk
semangat membela Allah dan RasulNya adalah membatalkan segala kedustaan atas nama

15
Allah dan RasulNya, mencampakkannya, menjelaskan keburukannya, dan menjauhkan
orang-orang darinya, karena dengan menyetujui perbuatan tersebut, akan muncul
beberapa kerusakan, di antaranya:
 Orang-orang awam akan bersandar pada riwayat-riwayat tentang keutamaan
shalat tersebut dan janji pengampunan dosa. Hal itu mendorong kebanyakan dari
mereka melakukan dua hal:
Pertama: Melalaikan kewajiban.
Kedua: Terjerumus dalam kemaksiatan, lalu mereka menunggu datangnya malam
ini, lalu melakukan shalat tersebut dengan beranggapan bahwa dengan
melakukannya sudah dapat menggantikan yang mereka tinggalkan dan dapat
menghapuskan segala dosa yang mereka lakukan. Apa yang disangka oleh
pemalsu hadits tentang shalatar-Ragha’ib untuk menambah jumlah ketaatan,
justru menambah jumlah maksiat dan kemungkaran.
 Sesungguhnya melakukan bid’ah tersebut justru merangsang kalangan ahli
bid’ah untuk menyesatkan orang banyak, kalau mereka mengetahui betapa
larisnya perbuatan bid’ah yang mereka ciptakan tersebut dan betapa orang-orang
sudah demikian menggandrunginya. Dengan demikian, mereka dapat
mengalihkan orang-orang dari satu bid’ah ke bid’ah lain. Adapun dengan
meninggalkan bid’ah tersebut, para ahli bid’ah dan pemalsu hadits tersebut akan
terhalangi untuk menciptakan bid’ah-bid’ah baru.
 Sesungguhnya apabila seorang ulama melaksanakan salat bid’ah semacam ini,
maka hal itu akan menyebabkan orang banyak menganggap bahwa itu termasuk
sunah, yang berarti ia telah berdusta atas nama RasulullahSAW. dengan
perbuatannya itu, sedangkan perbuatan itu terkadang berposisi sama dengan
penjelasan lisan, dan kebanyakan yang menjerumuskan orang-orang ke dalam
bid’ah adalah disebabkan hal ini.
 Apabila seorang ulama melakukan shalat yang bid’ah ini, maka dia akan menjadi
penyebab masyarakat melakukan kedustaan atas nama Rasulullah SAW., di mana
mereka akan berkata bahwa hal itu adalah salah satu dari sekian banyak sunnah.

Ketiga, shalat bid’ah ini mengandung penyimpangan terhadap sunah-sunnah syariat


dalam shalat, berdasarkan beberapa hal:

 Menyelisihi sunnah Nabi SAW. dalam shalat karena jumlah sujudnya, jumlah
tasbihnya, dan jumlah bacaan Surat al-Ikhlash dan Surat al-Qadr dalam setiap
rakaat.

16
 Menyelisihi Sunnahkekhusyu’an, ketundukan dan kehadiran hati dalam shalat,
serta konsentrasi penuh dalam mengingat Allah dan memahami makna-makna al-
Qur’an.
 Menyelisihi Sunnah menjalankan shalatsunnah di rumah, karena melakukan
shalatsunnah di rumah lebih baik daripada melakukannya di mesjid. Demikian
juga melakukan shalatsunnah sendirian, selain salat tarawih di bulan Ramadhan.
 Sesungguhnya di antara kesempurnaan salat bid’ah ini menurut para penciptanya
adalah dengan sekaligus melakukan ibadah puasa di hari Kamisnya. Dengan
demikian, hilanglah dua sunnah: sunnah berbuka dan sunnahmengkonsentrasikan
hati (ketika shalat), karena derita lapar dan dahaga.
 Dua sujud yang dilakukan pada salat ini setelah usai melakukan salat tersebut
adalah dua sujud yang tidak memliki sebab musabab.

Seluruh dalil-dalil, pendapat-pendapat para Imamsisi-sisi kebatilan shalat tersebut,


dan kerusakan-kerusakan yang ditimbukannya yang telah disebutkan di atas, akan
menjelaskan kepada orang yang berakal bahwa salat ar-Ragha’ib itu adalah bid’ah yang
mungkar, buruk, dan dibuat-buat dalam Islam. 17

17
. Mengupas sunnah membedah bid’ah, karya Sa’id bin Ali bin Wahfal-Qahthni, hal. 128-134

17
BAB III
Bid’ah Dalam Puasa

Waktu Haram Puasa

 Berpuasa pada Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal)


 Berpuasa pada Hari Raya Idul Adha (10 Zulhijjah)

 Berpuasa pada hari-hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijjah)

 Berpuasa pada hari yang diragukan (apakah sudah tanggal satu Ramadan atau belum)

 Berpuasa saat diri berhalangan, Seperti: Haid

Selain hari-hari tersebut, ada pula waktu dimana umat Islam dianjurkan untuk tidak
berpuasa, yaitu ketika ada kerabat atau teman yang sedang mengadakan pesta syukuran atau
pernikahan. Hukum berpuasa pada hari ini bukan haram, melainkan makruh, karena Allah
tidak menyukai jika seseorang hanya memikirkan kehidupan akhirat saja sementara
kehidupan sosialnya (menjaga hubungan dengan kerabat atau masyarakat) ditinggalkan.

1. Hari Raya Idul Fitri Tanggal 1 Syawal telah ditetapkan sebagai hari raya umat Islam.
Hari itu adalah hari kemenangan yang harus dirayakan dengan bergembira. Karena itu
syariat telah mengatur bahwa pada hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk
berpuasa sampai pada tingkat haram. Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak
harus membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.
‫ص سيلى اللس صعلصوي سكه‬ ‫ك‬ ‫ك‬ ‫ك‬
‫َإكين صه سصذيوكن يصسووصمسسان نصسصهسسيِ صرلسسسولل ال س ص‬:‫صع سون علصم سصر بوسكن اولصطسصساب صرض سصيِ اللس صعون سهل قصسساصل‬
‫ صواولصخس سلر يصس سووصم تسص سأولكللوصن فكويس سكه كمس سون نلصسس سككلكوم‬،‫َ يصس سووصم فكطوكرلكس سوم كمس سون كصس سدداكملكوم‬:‫صوصسس سليصم صعس سون صس سدداكمكهصما‬.
Dari Umar bin Khathab ra, Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulallah SAW melarang

18
berpuasa di kedua hari raya. Pada hari raya Idul Fitri kamu berbuka puasamu dan
pada hari raya Idul Adha kamu makan daging kurbanmu dan” (HR Bukhari Muslim)

2. Hari Raya Idul Adha Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya
kedua bagi umat Islam. Hari itu diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam
disunnahkan untuk menyembelih hewan Qurban dan membagikannya kepada fakir
msikin dan kerabat serta keluarga. Agar semuanya bisa ikut merasakan kegembiraan
dengan menyantap hewan qurban itu dan merayakan hari besar.

3. Hari Tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada tiga hari itu umat
Islam masih dalam suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga masih diharamkan
untuk berpuasa. Namun sebagian pendapat mengatakan bahwa hukumnya makruh,
bukan haram. Apalagi mengingat masih ada kemungkinan orang yang tidak mampu
membayar dam haji untuk puasa 3 hari selama dalam ibadah haji.

Tidak boleh puasa sunnah pada hari tasyrik berdasarkan riwayat Nubaisyah al Hudzali
yang mengatakan Rasulullah SAW bersabda:
‫أصييام تْخُاليوشكريوكق أصييام أصوكةل وسشر ة‬.
‫ب‬ ‫ص و‬ ‫ل‬ ‫ل‬
“Hari-hari tasyrik adalah hari-hari untuk makan dan minum.”

4. Puasa sehari saja pada hari Jumat Puasa ini haram hukumnya bila tanpa didahului
dengan hari sebelum atau sesudahnya. Kecuali ada kaitannya dengan puasa sunnah
lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Maka
bila jatuh hari Jumat giliran untuk puasa, boleh berpuasa. Sebagian ulama tidak
sampai mengharamkannya secara mutlak, namun hanya sampai makruh saja.

Abu Hurairah ra. mengatakan, Rasulullah SAW bersabda


‫رل ي رهصنم أأرحهد ه نك ي رنورم نالههمرعمة الل أأنن ي رهصنورم قرنب ر هل أأنو ي رهصنورم ب رنعردهه‬.
‫إ‬

“Janganlah kalian puasa hari Jumat melainkan puasa sebelum atau sesudahnya,”
(HR Al-Bukhari).

5. Puasa pada hari Syak Hari syah adalah tanggal 30 Sya‘ban bila orang-orang ragu
tentang awal bulan Ramadhan karena hilal (bulan) tidak terlihat. Saat itu tidak ada
kejelasan apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum. Ketidak-jelasan ini

19
disebut syak, dan secara syar‘i umat Islam dilarang berpuasa pada hari itu. Namun ada
juga yang berpendapat tidak mengharamkan tapi hanya memakruhkannya saja.
‫صسسى‬ ‫َ مسن صسسام الي سوم ال سكذي يصشس س ك ك‬:‫عسن عيمسساكربكن ياكسسسر ركض سيِ ال س عونسه قسصساصل‬
‫ك فوي سه فصسصقودصع ص‬ ‫ل‬ ‫ص و ص ص ص وص‬ ‫ص ص ل صل‬ ‫صو ل‬
‫صيلى ال صعلصويكه صوألككه صوصسليصم‬ ‫ك‬
‫أصصباالوصقاسكم ص‬.
“barangsiapa yang puasa di hari diragukan datangnya puasa, maka ia telah
berdurhaka kepada Abal Qasim (yakni Rasulalallah SAW)”. (HR Abu Dawud)

6. Puasa Selamanya Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari. Meski
dia sanggup untuk mengerjakannya karena memang tubuhnya kuat. Tetapi secara
syar‘i puasa seperti itu dilarang oleh Islam. Bagi mereka yang ingin banyak puasa,
rasulullah SAW menyarankan untuk berpuasa seperti puasa Nabi Daud as yaitu sehari
puasa dan sehari berbuka.

7. Wanita haidh atau nifas Wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas diharamkan
mengerjakan puasa. Karena kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan tidak suci dari
hadats besar. Apabila tetap melakukan puasa, maka berdosa hukumnya. Bukan berarti
mereka boleh bebas makan dan minum sepuasnya. Tetapi harus menjaga kehormatan
bulan Ramadhan dan kewajiban mengganti pada hari lainnya.

8. Puasa sunnah bagi wanita tanpa izin suaminya Seorang isteri bila akan mengerjakan
puasa sunnah, maka harus meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Bila
mendapatkan izin, maka boleh lah dia berpuasa. Sedangkan bila tidak diizinkan tetapi
tetap puasa, maka puasanya haram secara syar‘i.
‫لياحل للمرأةأن تصوم وزوجهاشاهدإلباإذنه‬.

“Seorang wanita tidak halal untuk puasa sedangkan suaminya ada bersamanya
(tidak safar) kecuali dengan seijinnya”, (HR. Bukhari: 5195).

Dalam kondisi itu suami berhak untuk memaksanya berbuka puasa. Kecuali bila telah
mengetahui bahwa suaminya dalam kondisi tidak membutuhkannya. Misalnya ketika suami
bepergian atau dalam keadaan ihram haji atau umrah atau sedang beri‘tikaf. Sabda
rasulullah SAW Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa tanpa izin suaminya sedangkan
suaminya ada dihadapannya. Karena hak suami itu wajib ditunaikan dan merupakan fardhu

20
bagi isteri, sedangkan puasa itu hukumnya sunnah. Kewajiban tidak boleh ditinggalkan untuk
mengejar yang sunnah.18

1818
M. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang: Pustaka Nuun, 2010), hlm. 86.

19M. Quraish Shihab, Falsafah Ibadah dalam Islam dalam Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1987),hlm.143.

21
PENUTUP

A. Kesimpulan

Bidah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan
hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam
meyakini kesempurnaan syariat.Menuduh Rasulullah Muhammad SAW menghianati risalah,
menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum
sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua bid’ah dalam perkara
ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah
adalah haram kecuali bila ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid’ah
hasanah jika dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak.

B. Saran

Setelah disadari bahwa Bid’ah kesalahan yang besar yang menyalahi hukum-hukum Allah
dan tidak diajarkan dalam agama Islam maka hendaklah masyarakat mampu meramu
pendidikan agama Islam yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diajarkan dalam
agama islam.

22
DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syathibi, al-I’tishom, (Saudi: Dari Ibni ‘Affan, 1992/1412), cet. 1.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya I, (Jakarta: UI Press, 1985).

Ibnu Taimiyyah, Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim li Mukhalafah Ash-hab al-Jahim, (Bairut:


Dar ‘Alam alKutub, 1419/1999).

M. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang: Pustaka Nuun, 2010).

M. Quraish Shihab, Falsafah Ibadah dalam Islam dalam Filsafat Hukum Islam, (Jakarta:

Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta,

1987).

Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Mengupas Sunnah Membedah Bid’ah, (Jakarta,darul haq,

2018).

Usamah Abdul Aziz, Kumpulan Puasa Sunnah Dan Keutamaannya Berdasarkan Al-Qur’an

dan Sunnah, (Jakarta, Darul haq, 2015).

23

Anda mungkin juga menyukai