ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa orang di Indonesia pastilah mengenal sunnah
dan juga bid'ah. Adanya kedua kata diatas juga menentang
beberapa pertentangan dan juga menentang sesuatu, lebih
banyak yang baru, yang muncul pada kemajuan dunia yang
semakin cepat. Beberapa orang yang masih awam pengertian
dua kata atas, lebih banyak kata bid'ah yang semakin marak
melalui pengembangannya teknologi yang ada di dunia.
Agama Islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw. yang diharapkan untuk menyempumakan
agama-agama yang scbelumnya. Al-Qur'an adalah kitabnya. Di
dalam Al-Qur'an Ada berbagai macam hukum- hukum atau
aturan yang diberikan manusia dalam bidang sosial, politik,
ibadah, dan lain-lain, demikian juga dalam urusan manusia dan
juga tuhannya. Namun, karena sifat hukum Al-Qur'an yang
sangat umum, maka dalam penjelasannya, Nabi Muhammad
Saw. sendirilah yang mempraktekannya atau mewakili suatu
tempat dari suatu kaum yang ada yang memunculkan suatu
diskusi di mana umat Islam wajib untuk mematuhinya setelah Al-
Qur'an, yaitu sunnah.
Namun, dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi
yang membuat kesulitan baru yang ada di dalam Al-Qur'an dan
juga sunnah. Sebagian orang berijtihad untuk menentukan
aturan baru, namun ada juga yang langsung mengatakan bahwa
itu adalah bid'ah. Adanya hal yang menentang suatu
pertentangan, pertentangan, dan juga pertentangan terhadap
sesuatu yang baru. Beberapa tradisi yang merupakan tradisi
Indonesia asli juga dinyatakan sebagai bid'ah dan dibahas lebih
1
banyak oleh sebagian besar kelompok. Kita sebagai mahasiswa
harus tetap di antara budaya dan agama tetap seimbang atau
keseimbangan, tidak berat sebelah.
1
1. Apakah pengertian sunnah dan bid’ah ?
2. Bagaimana pembagian sunnah dan bid’ah ?
3. Bagaimana bid’ah pada masa rasul dan sahabat ?
4. Apa saja kelompok anti bid’ah dan dalilnya ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Sunnah dan Bid’ah
Dari segi bahasa, Sunnah adalah “at-thariqah wa law ghaira mardhiyah”,
yaitu jalan atau cara walaupun tidak diridhoi. Menurut pendapat lain, Sunnah
adalah “at-thariqah mahmudah kaanat aw mazmumah” , yaitu jalan yang dilalui
baik terpuji atau tercela. Seperti sabda Nabi S.A.W yang bermaksud, “Sungguh
kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan orang yang
sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga sekiranya
mereka memasuki sarang dhab (berupa biawak) sungguh kamu memasuki juga.”
[H.R. Bukhari dan Muslim].
Dari hadits tersebut, kita bisa mengetahui bahwa kata Sunnah sebagaimana
juga menurut ahli bahasa berarti jalan.Adapun pengertian Sunnah menurut istilah,
seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Ajaj Al-Khathib yang bermaksud,
“Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik sebelum Nabi
SAW diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya. Pada pendapat Syaikh Abdul
Qodir Al-Jilani (471-561H/1077-1166M) menjelaskan bahwa,“As-Sunnah adalah
apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta
perilaku beliau). Dengan demikian, mereka yang mengamalkan ajaran Nabi SAW
dan sahabat R.Anhum itulah yang disebut Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Sedangkan yang menolak terhadap ajaran sahabat, tentu tidak bisa dikatakan
pengikut ASWAJA.
ُض ٰى أَ ْمرًا فَإِنَّ َما يَقُو ُل لَهُ ُك ْن فَيَ ُكون ِ ْت َواأْل َر
َ َض ۖ َوإِ َذا ق ِ بَ ِدي ُع ال َّس َما َوا
Artinya adalah “Memulai, mengkreasi dan mencipta sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya” (QS. Al-Baqarah 117).
3
Ibnu Katsir: Allah menciptakan keduanya tanpa contoh atau bentuk apapun
sebelumnya” menurut ibnu katsir. Bid’ah secara bahasa walapun baru namun ada
sumbernya dalam Alquran dan assunnah maka bukan bid’ah.
3
2. Dalam As-Sunnah Bid’ah adalah:
ُرlْابُ هَّللا ِ َوخَ يlَث ِكتِ ِديl َر ْال َحlْإ ِ َّن َخيlَ ُد فlْو ُل أَ َّما بَعlُلم يَقlه وسlلى هللا عليlعن جابر ابن عبد هللا أن رسول هللا ص
ُ
ٌضاَل لَة ِ ْالهُدَى هُدَى ُم َح َّم ٍد َو َشرُّ اأْل ُم
َ ور ُمحْ َدثَاتُهَا َو ُكلُّ بِ ْد َع ٍة
1. Ibnu Rajab Alhanbali: “Apa yang diadakan tidak ada asalnya/sumbernya dalam
syariat yg menujukkan hukumnya, adapun bila ada sumbernya dalam syariat yang
menunjukkan keberadaan hukumnya maka bukan bid’ah, walaupun secara bahasa
disebut bid’ah” (Lihat: Ibnu Rajab, Jamiul ulum walhikam, hal 160).Jadi menurut
Ibnu Rajab, bid’ah itu harus masalah agama/syariat (aqidah dan Ibadah), kalau
bukan masalah syariat yang sudah ditetapkn oleh Allah dan RasulNya maka bukan
bid’ah. Kedua bid’ah itu menurutnya bila tidak ada sumbernya dalam Islam (Al-
Qur’an, Hadits, Ijma’ ). Bila ada sumbernya baik langsung maupun tidak maka
bukan bid’ah, walaupun secara bahasa (semua sesuatu yang baru) maka bukan
bid’ah.
3. As-Syatibi berkata: “Bid’ah adalah satu jalan/cara dalam agama yg berasal dari
kreatifitas/ciptaan baru, bertentangan dgn syariat, menjadi prilaku dlm syariat dan
4
berlebihan dlm ta’abud/ibadah kepada Allah” Jadi menurut Syatibi, bid’ah adalah
tata cara beribadah dalam agama, yang diciptakan diada-adakan bertentangan
dengan syariat dan menjadi kebiasaan/prilaku agama dan berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah swt, seperti sholat diterik matahari, mencambuk diri bila
tidak sholat malam dan sebagainya, itu adalah bid’ah. Contoh lain: Menambah-
nambah ibadah baru dan membiasakannya seperti puasa mutih, shalat sunnah
ribuan rakaat dan sebagaubta ini adalah bid’ah.
4. Ibnu Taimiyah: ” Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyariatkan
oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sesuatu yang tidak diperintahkan dengan perintah
wajib ataupun sunnah. Bid’ah adalah apapun yg menyelisihi Al-Qur’an dan As-
sunnah atau Ijma’ salaf, dalam hal i’tiqadat dan ibadaat (aqidah dan ibadah),
seperti pandangan kaum khawarij, rawafidh, qadariyah, jahmiyah, beribadah
dengan berjoget, nyanyi2 di masjid, orang-orang yang beribadah kepada Allah
dengan mencukur jenggot makan hasyisy, yang menyelisihi Al-Quran dan As-
Sunnah”(Lihat: Ibnu Taimiyah, Fatawa, vol 4, hal 107-108).Ibnu Taimiyah
menjelaskan bahwa bid’ah: – lebih spesifik kepada semua hal dalm aqidah dan
ibadah (selain aqidah dan ibadah tidak boleh dihukumi bid’ah) – Bid’ah itu bila
bertentangan atau tidak ada dalam Al-Qur’an, Hadits/Sunnah dan Ijma’ Salaf,
baik wajib maupun sunnah. Jadi bila satu ibadah ada dasar ayatnya, atau haditsnya
atau hanya ijma’ ulama, maka ibadah itu tidak dapat disebut bid’ah.
Konsep bid’ah, bid’ah merupakan kata yang tidak bagi kita semua, ia
terkait banyak hal di dalam Islam. Sayangnya, banyak orang yang belum
mengerti arti bid'ah dengan benar. Jadi tidak jarang mereka yang kesulitan
dengan perselisihan. Dalam lisanul arab, Bid'ah berasal dari akar kata bada'a,
yang memiliki berbagai derivasi (berbagai macam bentuknya). Diantaranya
bid'un dengan kata kerja idtada'a artinya, buat dan mulai sesuatu. Sementara al-
bid'atu berarti sesuatu yang baru (al-Hadats)
Dalam pengertian di atas, yang disebut bid ah adalah segala sesuatu yang
tidak didahului contoh-contoh. Artinya dalam pengertian bahasa ini, bid'ah tidak
diberikan batasan-batasan. Segala sesuatu, baik itu tentang perkara agama juga
tidak, maka sesuatu tersebut masuk dalam perkara hid'ah. Namun dalam
pengertian di atas, disetujui diberikan pada hal-hal yang tidak didahului dengan
contoh, artinya perkara ini dapat dikategorikan bid’ah manakala sesuatu tersebut
tidak ada yang mendahuluinya atau tidak ada yang menyerupainya atau dengan
kata lain disebut dengan sesuatu yang baru.
5
2.2 Pembagian Sunnah dan Bid’ah
Pembagian sunnah ada dua yaitu sunnah fi’liyah dan sunnah tarkiyah. Pertama,
Sunnah Fi'liyah (yang Berupa Perbuatan) Yaitu apa yang telah dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam. Sunnah fi'liyah terdiri dari tiga macam:
1. Perbuatan yang termasuk dalam tabiat manusiawi . Hukum dari perbuatan Nabi
yang masuk dalam kategori ini adalah mubah; seperti makan, minum, berjalan,
tidur dan perbuatan-perbuatan yang lain yang mubah (boleh) dilakukan oleh Nabi
shallallahu Alaihi wa Sallam dan oleh seluruh umatnya. Dan inilah yang telah
ditetapkan oleh jumhur ulama.
Jenis ini adalah petunjuk beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam yatag tunduk pada
hukum taklifi ;yaitu wajib, sunnah, haram, atau pembatasan terhadap maksud
Allah.
HaI itu karena Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti perbuatan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang perbuatan tersebut mengandung
unsur taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), jika perbuatan itu tidak termasuk
kekhusustrn beliau. Kita juga harus meninggalkan apa yang beliau tinggalkan.
6
Karena itu, meninggalkan perbuatan yang ditinggalkan beliau adalah sunnah. Di
samping karena seorang hamba tidak mungkin melakukan satu perbuatan untuk
6
mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan apa yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu Alaihi wa sallam, maka ia tidak pula mendekatkan diri kepada
Allah dengan melakukan apa yang beliau tinggalkan.
Pembagian bid'ah umum ini berdasarkan penggolongan yang dibuat oleh para ahli
ushul dan ahli fiqh. Ada penggolongannya di antara yang lain
g) Haliyah, yaitu mengatur suatu ibadah di masa tertentu atau di tempat tertentu
atau dalam keadaan tertentu.
h) Haqiqiyah, adalah suatu pekerjaan yang hanya-mata bid'ah tidak ada yang
bisa dilepaskan dengan syara '.
i) Idafiyah adalah salah satu bid'ah yang menyangkut dua aspek, ditinjau dari
aspek pertama bukan bid'ah, disetujui ditinjau dari aspek pertama nyatalah
kebid'ahannya.
m) Adiyah, yaitu yang dikerjarkan bukan dengan maksud ibadah. Bid'ah yang
dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. yaitu yang digunakan
ibadah dinamakan id ah ibadiyah. Bid'ah yang bukan dengan maksud ibadah
dinamakan bid ah 'adiyah.
7
Pembagian bid'ah berdasarkan hukum "Al-Qarafi telah menjelaskan dengan
penjelesan yang baik, dan dasar dari pendapatnya tersebut adalah pendapat
Syaikhnya, Izzudin Ibnu Abdus Salam menggolongkan bid'ah berdasarkan
hukumnya ke dalam 5 bagian," antara lain:
7
c) Bid'ah Mandhubah, yaitu bid'ah yang diizinkan jika dilihat baik untuk
kemashlahatan umat yang tidak tersedia pada masa Rasulullah. Contohnya
membangun pesantren, sekolah, rumah sakit, atau penelitian-penelitian
ilmiah, penemuan-penemuan modern yang sifatnya memperjelas kebenaran
isi ayat al-Qur'an.
Secara garis besarnya, para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua yaitu
bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah dholalah (bid’ah yang tercela).
Maka, dalam hal ini, al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam Abu Abdillah Muhammad
bin Idris as-Syafi’I, seorang mujtahid besar dan pendiri madzhab Syafi’I yang
diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di dunia Islam, telah
mengatakan seperti berikut:“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam. Pertama, sesuatu
yang baru yang menyalahi al-Quran atau Sunnah atau Ijma’ dan itu disebut bid’ah
dholalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak
menyalahi al-Quran, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela.”
Imam Syafi’i rah. juga mengatakan bahwa bid’ah terbagi dua yaitu bid’ah
mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). Maka yang sejalan dengan
sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela.
Beliau berdalil dengan ucapan Sayyidina Umar bin Khattab r.a mengenai shalat
tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”.
Pembagian bid’ah menjadi dua bahkan menjadi lima juga dilakukan oleh
al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani. Dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-
Bukhari, beliau berkata : ”Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan
tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai
lawan sunnah sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu
masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik dalam syara’, maka disebut
bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan yang dianggap buruk menurut syara’,
maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan
keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi
menjadi lima hukum.”
8
Bari: “Asal mula bid’ah adalah sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh
sebelumnya. Dalam istilah syara’, bid’ah diucapkan sebagai kebalikan sunnah
sehingga bid’ah itu tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan
sesuatu yang dianggap baik
8
menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu
yang dianggap buruk, maka disebut bid’ah mustaqbahah. Bila tidak masuk dalam
naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah. Dan bid’ah itu dapat dibagi
menjadi lima hukum.”
Lebih dari itu, pembagian bid’ah menjadi dua juga dilegitimasi dan
dibenarkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah, rujukan paling otoritatif kalangan
Salafi(Wahabi). Dalam hal ini, Ibn Taimiyah berkata: “Dari sini dapat diketahui
kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru dan ia berasumsi
bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut padahal
ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan
yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin.
Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya terkadang tidak
dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i rah. berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama,
bid’ah yang menyalahi Al-Quran,Sunnah dan Ijma’ dan atsar sebagian sahabat
Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dholalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi
hal tersebut. Hal ini terkadang disebut bid’ah hasanah berdasarkan perkataan
Sayyidina Umar r.a, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan Imam as-Syafi’i ini
diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Al-Madkhal dengan sanad yang shahih.”
Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah
hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda
Rasulullah SAW:
ص ِم ْن أُجُوْ ِر ِه ْم َش ْيئًا
َ َُم ْن َس َّن فِى ْا ِال ْسالَ ِم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَهُ أَجْ ُرهَا َوأَجْ ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا ِم ْن َغي ِْر اَ ْن يَ ْنق
Artinya : Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia
akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak
mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim).
Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam
syariat di antara bid'ah terpuji itu adalah:
a) Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk
mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-
orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik
bid'ah adalah ini". Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan
9
pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini"
mengatakan:
9
“Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh
sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah.
Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai
dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bid’ah itu
bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke
dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan.
Hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam”.
b) Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul
Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal. Dengan demikian,
pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru.
Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan
dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh). Ada juga
yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan
demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai-
mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan
demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.
c) Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua
kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-nya bahwa
penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu,
Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di
atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.
كنا يو ًما نصلي وراء النبي صلى هللا عليه وآله وسلم فلما رفع رأسه:عن رفاعة بن رافع رضي هللا عنه قال
فَلَ َّما،ار ًكا فِي ِه َ َك ال َح ْم ُد َح ْمدًا َكثِيرًا طَيِّبًا ُمب َ َ َربَّنَا َول:ُ قَا َل َر ُج ٌل َو َرا َءه،»ُ « َس ِم َع هللاُ لِ َم ْن َح ِم َده:من الركعة قال
ْت بِضْ َعةً َوثَالَثِينَ َملَ ًكا يَ ْبتَ ِدرُونَهَا أَيُّهُ ْم يَ ْكتُبُهَا أَ َّو ُل ُ «رأَي
َ : قَا َل، أَنَا: « َم ِن ال ُمتَ َكلِّ ُم» قَا َل: قَا َل، َص َرف َ ا ْن
10
Artinya, “Rifa’ah bin Rafi’ berkata, ‘Kami pernah shalat bersama Rasulullah, saat
bangun dari ruku’ ia membaca, ‘Sami’allahu liman hamidah.” Tiba-tiba ada
seorang sahabat yang membaca, ‘Rabbana wa lalakal hamd hamdan katsiran
tayyiban mubarakan fihi (wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu
dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah). Setelah
selesai shalat, Rasul bertanya, ‘Siapa yang mengucapkan kalimat itu?’ Sahabat itu
berkata, ‘Saya Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah berkata, ‘Saya melihat sekitar
tiga puluhan malaikat berloma-lomba untuk siapa pertama kali yang mencatat
(pahalanya),’” (HR Al-Bukhari).
Hadits ini menjelaskan bahwa lafal yang dibaca sahabat dalam shalat tersebut
tampaknya belum pernah dijelaskan Nabi Muhammad SAW. Ketika ada sahabat
yang membaca doa tersebut Rasulullah tidak marah dan malah memuji sehingga
kita pun boleh mengamalkannya. Sebab itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
mengatakan:
واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصالة غير مأثور إذا كان غير مخالف للمأثور
Artinya, “Hadits di atas dijadikan dalil sebagai kebolehan membuat dzikir baru
dalam shalat yang tidak ma’tsur selama tidak bertentangan dengan ma’tsur.”
Dengan demikian, melakukan bid’ah dalam ibadah juga dibolehkan selama tidak
bertentangan dengan syariat. Tentu maksud bid’ah di sini adalah bid’ah hasanah,
bukan bid’ah sayyi’ah atau dhalalah. Hal ini sudah dilakukan pula oleh sahabat
Rasulullah di hadapan beliau SAW.
Kelompok anti bid’ah hasanah (wahabisalafi) dan dalilnya, hadist yang dijadikan
dasar oleh kaum salafywahabi untuk menolak bid"ah hasanah.yaitu hadist yang
berbunyi:
Menurut kelompok ini hadist di atas sangat tegas mengatakan bahwa semua
bid"ah itu kesesatan,dalam hal ini syaikh muhammad bin salih al ustmainin ulama
wahabi salafy komtemporer berkata dalam kitabnya yang berjudul : al ibda" fi
kamal al sayr"i wa khatar al-ibtida(kreasi tentang kesempurnaan syara" dan
bahayanya bid"ah) :
11
umum yang paling kuat yaitu kata-kata kullu (seluruh) ,apakah setelah ketetapan
menyeluruh ini,kita dibenarkan membai bid"ah menjadi tiga bagian atau lima
bagian selamanya ini tidak akan pernah benar(muhammad salih ustmainin,al ibda
fi kamal al syar"i wa khatar al ibtida hal 13)”.
1. Hadits shahih dikeluarkan oleh Imm Ahmad, Abu Dawud dan selainnya
2. Karena Allah Swt. berfirman: "Dan sungguh Allah telah menurunkan ke kamu
di dalam Al-Qur'an yang menolak kamu mendengarkan ayat-ayat Allah diingkari
dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka haraplah kamu menonton
apa adanya Berbicara yañg lain. Karena nyata (jika kamu bertindak demikian),
tentulah kamu mirip dengan mereka. (QS. An-Nisaa ': 140) Syaikh Rasyid Ridha
dalam Al-Manaar (5/463) mengatakan, "Termasuk dalam ayat ini setiap orang
yang membuat perkara di dalam agama di setiap mubtadi' (permohonan bid'ah) ).
"
12
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk
mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-
orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik
bid'ah adalah ini". Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan
pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab "
3.2 Saran
13
13
DAFTAR PUSTAKA
Arraghib Al-Ashfahani, Mufradat Alfadzil Qur’an, hal 111, lihat lisanul Arab,
vol 8 hal 6.Mafhuum Ahlis, Sunnah, Arab, 2001, Hlm. 23.
Dr. Khairan Muhammad Arif, M. (2017, oktober 17). KONSEP BID’AH
MENURUT Al-QUR’AN, AS-SUNNAH DAN ULAMA AHLU SUNNAH..
Oemar A.K.2008.praktik bid'ah hasanah para sahabat setelah rasulullah wafat.
Islam.nu.
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Kriteria Sunnah dan Bid'ah, cet, KE II,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm 43.
Badruddin Hsubky, Bid'ah-bid'ah di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press,
1996) , Hlm. 31-32.
Imam asy-Syatibi, Al-1'tisham: Buku Induk Pembahasan Bid'ah dan Sunnah
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm.212.
Abu Aziz, Syaikh Sa’ad Yusuf. 2016. Buku Pintar : Sunnah dan Bid’ah.
Pustaka Al-kautsar.