Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ciri yang paling dasar dari Aswaja adalah moderat ( tawassut ). Sikap
ini tidak saja mampu menjaga para pengikut Aswaja dari keterperosokan kepada perilaku
keagamaan yang ekstrem, tapi juga mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan
secara proporsional.
Kehidupan tidak bias dipisahkan dengan budaya. Itu karena budaya adalah kreasi
manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu,
salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus
sebagaimana kehidupan itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh manusia, maka budaya
juga bersifat beragam sebagaimana keragaman manusia.
Dalam hal ini, berlaku kaidah al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa alakhdzu bil jadidi al-ashlah, yaitu melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau
mengkreasi sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini,
pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi tradisi. Yang dilihat bukan tradisi
atau budayanya, tapi nilai yang dikandungnya. Jika sebuah produk budaya tidak
bertentangan dengan ajaran pokok Islam, dalam arti mengandung kebaikan, maka bisa
diterima. Bahkan bisa dipertahankan sebagai yang layak untuk diikuti. Ini sebagaimana
kaidah fiqh, al-adah muhakkamah, bahwa budaya atau tradisi ( yang baik ) bisa
menjadi pertimbangan hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari tradisi dan budaya ?
2. Bagaimana landasan teori terhadap tradisi dan budaya menurut Aswaja NU ?
3. Bagaimana sikap terhadap tradisi dan budaya ?
4. Apa saja contoh tradisi dan budaya di kalangan NU ?
C. Tujuan
1. Mampu memahami definisi tradisi dan budaya.
2. Mengetahui landasan teori terhadap tradisi dan budaya menurut Aswaja NU.
3. Memahami sikap terhadap tradisi dan budaya.
4. Mengetahui contoh tradisi dan budaya di kalangan NU.

BAB 2
TINJAUAN TEORI
A. Tradisi dan Budaya

Tradisi ( bahasa Latin : tradition, artinya diteruskan ) menurut artian bahasa adalah
sesuatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat baik, yang menjadi adat kebiasaan, atau
yang diasimilasikan dengan ritual adat atau agama. Atau dalam pengertian yang lain, sesuatu
yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu atau agama yang sama.
Biasanya tradisi ini berlaku secara turun temurun baik melalui informasi lisan berupa cerita,
atau informasi tulisan berupa kitab-kitab kuno atau juga yang terdapat pada catatan prasastiprasasti.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia.
B. Landasan Dasar Teori Terhadap Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU
Salah satu ciri yang paling dasar dari Aswaja adalah moderat ( tawassut ). Sikap ini tidak
saja mampu menjaga para pengikut Aswaja dari keterperosokan kepada perilaku keagamaan
yang ekstrem, tapi juga mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan secara
proporsional.
Kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Itu karena budaya adalah kreasi
manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu, salah
satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana
kehidupan itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh manusia, maka budaya juga bersifat
beragam sebagaimana keragaman manusia.
Menghadapi budaya atau tradisi, ajaran Aswaja mengacu kepada salah satu kaidah fiqh
al-muhafazhah

ala

al-qadim

al-shalih

wa

al-akhdzu

bi

al-jadid

al-ashlah

( mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik ).
Kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang dan
proporsional. Seseorang harus bisa mengapresiasi hasil-hasil kebaikan yang dibuat orangorang pendahulu ( tradisi yang ada ), dan bersikap kreatif mencari berbagai terobosan baru

untuk menyempurnakan tradisi tersebut atau mencipta tradisi baru yang lebih baik. Sikap
seperti ini memacu untuk tetap bergerak ke depan dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.
Oleh karena itu kaum Sunni tidak a priori terhadap tradisi. Bahkan fiqh Sunni
menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan sebuah
hokum. Hal ini tercermin dalam salah satu kaidah fiqh, al-Adah muhakkamah ( adat
menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum ).
Sikap tidak apriori terhadap tradisi memungkinkan kaum Sunni bertindak selektif
terhadap tradisi. Sikap ini penting untuk menghindarkan dari sikap keberagaman yang
destruktif terhadap tradisi setempat. Sikap selektif kaum Sunni ini mengacu kepada salah
satu kaidah fiqh ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh ( jika tidak dapat dicapai
kebaikan semuanya, tidak harus ditinggal semuanya ).
C. Sikap Terhadap Tradisi dan Budaya
Pertanyaan penting yang perlu dijawab di bagian ini adalah bagaimana menggunakan
kaidah-kaidah fiqh dalam menyikapi tradisi?. Banyak orang yang mempertentangkan antara
budaya dengan agama. Hal ini karena agama berasal dari Tuhan yang bersifat sacral
(ukhrawi), sedang budaya adalah kreasi manusia yang bersifat profane (duniawi). Akan tetapi
sejak diturunkan, agama tidak bisa dilepaskan dari budaya sebagai perangkat untuk
mengekspresikannya.
Ahlus Sunnah wa al-Jamaah sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat
memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Sebagai kreasi manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, budaya tentu memiliki nilai-nilai positif yang bisa
dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personl maupun sosial.
Dalam hal ini, berlaku kaidah al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil
jadidi al-ashlah, yaitu melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi
sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja
memiliki pegangan dalam menyikapi tradisi. Yang dilihat bukan tradisi atau budayanya, tapi
nilai yang dikandungnya. Jika sebuah produk budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok
Islam, dalam arti mengandung kebaikan, maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan
sebagai yang layak untuk diikuti. Ini sebagaimana kaidah fiqh, al-adah muhakkamah,
bahwa budaya atau tradisi ( yang baik ) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Sikap bijak tersebut memungkinkan para pengikut Aswaja melakukan dialog kreatif
dengan budaya yang ada. Dengan dialog, bisa saling memperkaya dan mengisi kelemahan

masing-masing. Dari proses ini, memungkinkan melakukan upaya penyelarasan unsur-unsur


budaya yang dianggap menyimpang dari ajaran pokok islam.
Hal ini penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak
sejalan dengan ajaran pokok Islam, namun di dalamnya mungkin menyimpan butir-butir
kebaikan. Menghadapi ini, sikap yang arif bila tidak menghancurkan semuanya, tapi
mempertahankan unsur-unsur kebaikan yang ada, dan menyelaraskan unsur-unsur lain agar
sesuai dengan Islam. Inilah makna kaidah, ma a yudraku kulluh, la yutraku kulluh.
Contoh dalam hal ini adalah slametan atau kondangan atau kenduri yang merupakan
tradisi orang Jawa yang ada sejak sebelum Islam datang. Jika kelompok lain memandang
slametan sebagai bidah yang harus dihilangkan, kaum Sunni memandang secara
proporsional. Yaitu bahwa di dalam slametan ada unsur-unsur kebaikan sekalipun juga
mengandung hal-hal yang dilarang agama. Unsur kebaikan dalam slametan antara lain :
merekatkan persatuan dalam masyarakat, menjadi sarana bersedekah dan bersyukur kepada
Tuhan, serta mendoakan yang sudah meninggal. Semua tidak ada yang bertentangan dengan
ajaran Islam sehingga tidak ada alasan melenyapkannya sekalipun tidak pernah dipraktikkan
oleh Nabi. Sementara hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya sesaji untuk
makhluk halus bisa diselaraskan dengan ajaran Islam secara pelan-pelan dengan penuh
kearfian.
Sikap tersebut adalah yang diteladankan para Walisongo dalam menyebarkan Islam di
Nusantara. Sebagai pewaris Nabi, Walisongo tentu melakukan dakwah dengan pedoman
jelas. Dalam menyikapi tradisi setempat diilhami oleh Nabi Muhammad sebagai panutannya.
Muhammad. Oleh Nabi, haji tidak dihilangkan, tapi diisi dengan ruh tauhid dan dibersihkan
dari kotoran syirik. Sikap inilah yang kemudian diteruskan oleh para sahabat dan para
pengikutnya, termasuk Walisongo, yang disebut dengan kaum Sunni atau Ahlus Sunnah wa
al-Jamaah.
Maka tidak mengherankan jika dakwah kaum Sunni sangat berbeda dengan kaum nonSunni. Kaum Sunni melakukan dakwah dengan cara arif. Pengikut Aswaja tidak melakukan
dakwah secara destruktif ( merusak ) dengan menghancurkan tatanan atau segala sesuatu
yang dianggap sebagai sesat. Jika saat ini banyak kita temui cara-cara dakwah yang penuh
dengan kekerasan bahkan berlumuran darah, hal ini tidak sesuai dengan tuntutan dan kaidah
Aswaja.
Imam syafii salah satu pendiri mahzab fiqh Sunni, menyatakan: kullu rayi shawab
yahtamilu khatha, wa kullu rayi ghairi khatha yahtamilu shawab ( pendapatku adalah

benar tapi mengandung kemungkinan untuk salah, pendapat orang lain salah tapi
mengandung kemungkinan untuk benar ). Ini merupakan sebuah sikap seimbang yang teguh
dengan pendiriannya, tapi tetap bersikap terbuka karena kebenaran juga dimungkinkan ada
pada orang lain. Kearifan seperti inilah yang memandu kaum Sunni untuk tidak dengan
mudah berperilaku seperti preman berjubah yang berteriak Allah Akbar sambil
mengacung-acungkan pentungan dan pedang untuk menghancurkan kelompok lain yang
dianggap sesat. Seakan-akan mereka benar secara mutlak dan orang lain sesat secara mutlak.
Sikap seperti ini adalah sikap dakwah Aswaja sebagaimanayang dicontohkan oleh
Walisongo dalam menghadapi tradisi local. Terhadap tradisi yang tidak bisa diselaraskan
dengan Islam, maka aktivitas dakwah dilakukan dengan damai dalam satu tatanan kehidupan
yang saling menghargai dan damai.
D. Contoh Tradisi dan Budaya di Kalangan NU
1. Terbangan/ hadrah
Seni hadrah (rodat) merupakan salah satu kesenian tradisi di kalangan umat Islam.
Kesenian ini berkembang seiring dengan tradisi memperingati Maulid Nabi di kalangan
umat Islam. Kesenian ini menggunakan syair berbahasa Arab yang bersumber dari kitab
Al-Berzanji, sebuah kitab sastra yang terkenal di kalangan umat Islam yang menceritakan
sifat-sifat Nabi dan keteladanan akhlaknya. Perkembangan music hadrah di Indonesia tak
terlepas dari peranan Ikatan Seni Hadrah Indonesia (Ishari). Ishari adalah salah satu
badan otonom yang berada di bawah organisasi Nahdlatul Ulama (NU), disahkan pada
tahun 1959.
Pengorganisasian dan nama ISHARI diusulkan oleh salah seorang pendiri NU
yakni KH Wahab Chasbullah. Sedangkan sejarah hadrah sendiri pertama kali ada di
Provinsi Jambi bernama Sambilan. Singkatan dari nama-nama pendirinya : Safaidin,
Ahmad, Marzuki, Burhanudin, Ibrohim, Jalil, Ahmad Jalil dan Nawawi.
2. Manakib
Ditinjau dari sudut pandang bahasa adalah bentuk jama atau plural dari kalimat
manqobah yang berarti kebajikan/ perangai terpuji. Jadi manakib berarti kumpulan atau
beberapa kebajikan dan kebaikan perangai. Pada tataran penggunaannya kemudian kata
manakib menjadi sebuah istilah untuk sebuah kitab. Seperti manakib Syekh Abd. Qodir,
manaqib Annaqsyabandy dsb. Dan pada saat yang sama juga menjadi istilah untuk
kegiatan pembacaan kitab tersebut. Jadi kata manaqib atau kegiatan manaqib atau yang
lebih popular dengan sebutan manaqiban adalah kegiatan pembacaan kitab yang

menuturkan sisi-sisi positif dari riwayat hidup seeorang yang umumnya seorang wali
agung atau kitab-kitab itu sendiri.
Bertolak dari dua tinjauan di atas, ketiga pengertian sebagai arti dari kata manaqib
terebut telah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Nahdliyyin. Manaqib sebagai
perangai-perangai yang terpuji barang tentu menjadi bagian inti dan puncak perhatian
kaum Nahdliyyin, sehingga mereka dalam memberikan penghormatan pada seseorang
tidak semata berorientasi pada tingkat kualitas keilmuan semata akan tetapi juga kualita
moral dan perangai. Realita yang tidak bisa ditepis bahwa masyarakat Nahdliyyin identic
dengan tradisi cium tangan dan tradisi tawadhu yang merupakan cerminan dari
keluhuran perangai mereka.
Demikian pula manaqib sebagai istilah untuk sebuah corak kitab tertentu maupun
istilah untuk kegiatan pembacaannya keduanya telah bersenyawa dengan nafas
masyarakat kita sehingga menjadi sebuah identitas yang mudah dikenali. Ada cukup
banyak jenis manaqib yang kita kenal dan akrab di masyarakat kita baik yang secara rutin
maupun yang seremonial. Seperti hal nya manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jilany RA,
manaqib Syekh Abil Hasan Assyadzily RA, manaqib Syekh Bahauddin An-Naqsyabandy
RA, dll.
3. Barzanji
Tradisi barzanji yang esensinya menghaturkan pujian kepada Nabi Muhammad
SAW adalah tradisi yang usianya setua Islam itu sendiri karena tradisi ini telah ada
semasa beliau masih hidup. Tradisi ini diperkenalkan oleh tiga penyair resmi Rasulullah
SAW, yaitu Hasan Ibnu Tsabir, Abdullah Ibnu Rawahah, dan Kaab Ibnu Malik.
Diceritakan dalam riwayat Ibrahim al Bajuri dalam Hasyiyat al Bajuri ala Matn
Qasidah al Burdah bahwa tradisi pujian kepada Rasulullah ini merupakan tradisi yang
perlu di dorong dan dilestarikan oleh umatnya agar senantiasa patuh pada Allah dan
Rasul-Nya.
Hal tersebut terindikasi ketika Nabi memuji Kaab Ibnu Zubair yang mengubah
qasidah pujian kepadanya. Setelah mendengarkan pujian yang disampaikan oleh Kaab
sangat terkesan, sampai-sampai Nabi melepas burdahnya dan dikenakan ke tubuh Kaab
sebagai hadiah sekaligus ungkapan persetujuan. Qasidah pujian yang digarap oleh tiga
penyair Rasulullah dan Kaab kemudian menjadi acuan bagi para penyair muslim, ketika
berkreasi meciptakan pujian, baik dalam bentuk syair (puisi) maupun nathr (prosa),
sebagaimana tampak dalam tiga Kitab Barzanji, Burdah, dan Syaraf al Anam yang

beredar sampai sekarang. Produktivitas karya pujian mereka kepada Nabi melahirkan
jenis pujian khas, dan dengan karakter yang spesifik, yang dalam kajian sastra Arab
dikenal dengan istilah al Madaih al Nabawiyah.
Tradisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW ini kemudian dilanggengkan oleh
berbagai kekhalifahan Islam Syiah seperti Dinasti Fatimiyah di Mesir yang wajib
dinyanyikan oleh segenap oleh masyarakatnya manakala perayaan Maulid Nabi tiba pada
bulan Rabiul Awal. Bagi khalifah dinasti ini, tradisi pujian sendiri diresmikan sebagai
tradisi Negara maupun sebagai legitimasi politis bahwa dinasti inilah yang merupakan
kekhalifahan Islam berdasar garis keturunan Nabi. Umat Islam Sunni juga merayakan
maulid Nabi dengan menghaturkan puji-pujjian di berbagai daerah seperti Bukhara,
Samarkand, Mosul, Mekkah, maupun Damaskus, namun tetap saja dilakukan secara
sembunyi agar tidak dituduh bidah. Selepas Dinasti Fatimiyah tutup usia, tradisi pujian
ini kemudian diteruskan oleh Sultan Salahudin Yusuf al Ayyubi (Saladin) dari Dinasti
Bani Ayyub (1174-1193 M atau 570-590 H). menurut Sultan Hasanudin, tadisi
menyanyikan pujian kepada Rasulullah SAW dapat mempertebal keimanan dan
ketakwaan kepada rasulnya sekaligus juga menambah semangat juang meliputi
membangkitkan semangat jihad (perjuangan) dan ittihad (persatuan) dalam Perang Salib
III melawan Pasukan Nasrani dari Eropa yang berupaya menduduki Yerusalem, Saladin
pula yang menghidupkan tradisi merayakan Maulid Nabi pertama kali pada 184 (580 H)
adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi
Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin.
4. Tahlilan
Tradisi tahlilan, yasinan, dan tradisi memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari,
dan 1000 hari orang yang meninggal dunia adalah tradisi yang telah mengakar di tengahtengah masyarakat kita khususnya di kalangan warga nahdliyin. Dan tradisi tersebut
mulai dilestarikan sejak para sahabat hingga saat ini, di pesantren pun tahlilan, yasinan
merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat subuh oleh para santri.
Sehingga tahlilan, yasinan merupakan budaya yang tak pernah hilang yang senantiasa
selalu dilestarikan dan terus dijaga eksistensinya.
Seiring dengan lahirnya aliran-aliran baru seperti aliran wahabi atau aliran salafi,
tradisi tahlilan dan yasinan hanyalah dianggap sebatas budaya nenek moyang yang
pelaksanaannya tidak berdasarkan dalil-dalil hadits atau al-Quran yang mendasarinya.

Sehingga aliran Wahabi dan aliran Salafi menolak terhadap pelaksanaan tradisi tersebut,
bahkan mereka menganggapnya perbuatan yang diharapkan.
Tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang telah di anjurkan bahkan disunnahkan
oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Yang didalamnya membaca serangkaian ayat-ayat
al-Quran, dan kalimat-kalimat tahmid, takbir, shalawat yang di awali dengan membaca
al-Fatihah dengan meniatkan pahalanya untuk para arwah yang dimaksudkan oleh
pembaca atau yang punya hajat, dan kemudian ditutup dengan doa. inti dari bacaan
tersebut ditujukan pada para arwah untuk dimohonkan ampun kepada Allah, atas dosadosa arwah tersebut.
Seringkali penolakan pelaksanaan tahlilan, yasinan dikarenakan bahwa pahala
yang ditujukan pada arwah tidak akan menolong terhadap orang yang meninggal. Padahal
telah seringkali perdebatan mengenai pelaksanaan tahlil di gelar, namun tetap saja ada
pihak-pihak yang tidak menerima terhadap adanya tradisi tahlil dan menganggap bahwa
tahlilan, yasinan adalah perbuatan bidah.
Para ulama sepakat untuk terus memelihara pelaksanaan tradisi tahlil tersebut
berdasarkan dalil-dalil Hadits, al-Quran, serta kitab-kitab klasik yang menguatkannya.
Dan tak sedikit manfaat yang dirasakan dalam pelaksanaan tahlil tersebut. Diantaranya
adalah, sebagai ikhtiar (usaha) bertaubat kepada Allah untuk diri sendiri dan saudara yang
telah meninggal, mengikat tali persaudaraan antara yang hidup maupun yang telah
meninggal, mengingat bahwa setelah kehidupan selalu ada kematian, mengisi rohani,
serta media yang efektif untuk dakwah islamiyah.

BAB 3
PENUTUP
A. Simpulan
1. Tradisi ( bahasa Latin : tradition, artinya diteruskan ) menurut artian bahasa adalah
sesuatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat baik, yang menjadi adat
kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan ritual adat atau agama. Budaya adalah
suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
2. Kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Itu karena budaya adalah kreasi
manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu,
salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus
sebagaimana kehidupan itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh manusia, maka
budaya juga bersifat beragam sebagaimana keragaman manusia.
3. Ahlus Sunnah wa al-Jamaah sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat
memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Sebagai kreasi
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, budaya tentu memiliki nilai-nilai
positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personl maupun
sosial.
4. Contoh tradisi dan budaya di kalangan NU meliputi :
a. Terbangan/ hadrah
b. Manakib
c. Barzanji
d. Tahlilan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Mahsyudi Muchtar dkk. 2009. Aswaja an-Nahdliyah. Surabaya : Khalista
Muhyiddin Abdusshomad. 2008. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista
Wasisto Raharjo. 2012. El Harakah Vol. 14. Yogyakarta
Muhammad Idrus dkk. 2012. Benarkah Tahlilan & Kenduri Haram?. Surabaya: Khalista
Abdurrahman Navis dkk. 2013. Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah. Surabaya: Khalista

Anda mungkin juga menyukai