Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Aswaja sebagai sebuah aliran yang pada mulanya merupakan suatu
kelompok kecil yang pada masa berdirinya dirintis oleh abu hasan al asy’ari,
sejalan dengan perkembangan jaman menjadi kelompok yang besar dan bahkan
kelompok terbesar di seluruh dunia.
Pergeseran dunia membawa aswaja pada perubahan yang menuntut aswaja
bukan hanya menjadi sebuah madzhab yang menjadi doktrin kepada para
pemeluknya, akan tetapi berkembang menjadi sebuah pandangan hidup atau
dikenal dengan istilah manhaj al fikr. Dengan perubahan dari waktu ke waktu
kontribusi aswaja menjadi sangat mempengaruhi para pemeluknya dalam
beraktifitas dalam keseharian baik dalm aktifitas ekonomi, sosial politik, maupun
kebudayaan secara keseluruhan kehidupan.
Dari makalah yang akan kami presentasikan kami berharap mampu
memberikan kontribusi yang positif akan gambaran aswaja dimasa yang akan
datang yang lebih dapat diaplikasiskan dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara, aswaja sebagai manhaj al fikr harapan kami dapat
memberikan warna dalam berbagai bidang kehidupan di dunia.

1
1.2 Rumusan masalah
Disadari  ataupun  tidak  disadari  bahwa  kerjasama  yang  sering dilakukan
itu terkadang  tidak  sesuai  dengan ajaran  islam.jadi  sekarang  kami  dari  penulis
mencoba  merumuskan  bagaimana  cara bekerja  sama  yang  benar dan adil
1. Menjelaskan tradisi dan budaya
2. Menjelaskan landasan terhadap tradisi dan budaya
3. Menjelaskan sikap terhadap tradisi dan budaya
4. Menjelaskan contoh dari tradisi dan budaya
1.3 Tujuan penulisan
Adapun manfaat  penulisan  makalah ini :  
1. Manfaat bagi  saya sebagai  penulis adalah  dapat mengetahui  dan
menyadarakan  bagaimana  tata cara  kerjasama  yang  benar.
2. Manfaat  bagi  para  pembaca  adalah  tentunya  dapat  mempertimbangkan  dan
menindak  lanjuti  hal-hal  yang perlu  dihindari  dan yang  perlu  untuk  dijaga.
3. mengerti apa itu yang di maksut dengan tradisi dan budaya, landasan tradisi dan
budaya, sikap terhadap tradisi dan budaya dan contoh dari tradisi dan budaya.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Tradisi dan budaya
Perbedaan Tradisi dan Budaya
Budaya dan tradisi, kata yang sering kali kita temui selama ini, baik dala
kehidupan sekolah maupun kehidupan kita di dalam masyarakat. Lalu, apakah
kebudayaan dan tradisi itu sendiri? Sering kali orang memiliki persepsi atau
pandangan bahwa budaya dan tradisi memiliki kesamaan dalam hal definisinya,
padahal sama sekali berbeda. Oleh karena itu, Andreas Ardhatama dalam
sebuah tulisannya yang berjudul Sejarah Lokal dan Tradisi memberikan
penjelasan tentang perbedaan antara budaya dan tradisi itu sendiri.
Pertama, mari kita bahas mengenai pengertian budaya itu sendiri. Budaya
itu merupakan bentuk jamak dari kata budi. Budi merupakan sinonim dari akal
budi atau kebudayaan. Kata budi ini sendiri dianggap sangat filosofis karena
telah dijelaskan, diintepretasikan, dikaji ulang dan membuat perdebatan
filosofis diantara filosof-filosof indonesia. Menurut sejarah yangada pada
manuskrip jawa kuno yaitu serat centhini, budi adalah seorang manusia super
yang memiliki kekuatan setengah dewa dan setengah manusia. Itu tadi sejarah
singkat asal kata budaya, lalu apa arti dari budaya itu sendiri? Budaya adalah
pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup yang
dasar, inseting (insting), perasaan, dengan pikiran, kemauan dan fantasi yang
kita namakan budaya. Namun secara mudahnya, budaya dapat diartikan
sebagai hasil cipta rasa dan karya dari manusia. Selanjutnya, kita bahas
mengenai tradisi. Tradisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti adat
kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada
merupakan  yang paling baik dan benar. Sedangkan pengertian tradisi seperti

3
yang ditulis oleh Muhammad Abed Al Jabiri dalam tulisannya yang berjudul Al
Turats Wal Hadatsah, adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita
yang berasal dari masa lalu kita atau orang lain baik masa lalu jauh maupun
dekat. Karena definisi tradisi sebagai "sesuatu yang hadir, dan menyertai
kekinian kita" maka mengangkat dan menyibukkan diri dengan tradisi adalah
masalah yang absah dan bisa dibenarkan. Sebab, ia merupakan bagian esensial
dari kebutuhan manusia itu sendiri untuk mengkaji dirinya dan
mengembangkannya. Selain itu, budaya lahir terlebih dahulu sebelum tradisi itu
tercipta, setelah terbentuk budaya, budaya tersebut dianut oleh sekelompok
orang tertentu dan diwariskan ke keturunannya. Budaya yang diwariskan secara
turun-temurun itu tadi akan menjadi sebuah tradisi. Tradisi juga dapat diartikan
dalam budaya secara khusus atau perlambangan dari budaya itu sendiri,
contohnya : budaya lebaran pada saat idul fitri, lalu pada hari itu terdapat tradisi
sungkeman dan silaturahhmi ke sanak saudara. Jadi, disini tradisi menjadi
identitas dari suatu budaya.
Setelah membaca pemaparan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa
budaya dan tradisi merupakan dua hal yang berbeda. Baik dari segi pengertian,
proses terbentuknya dan juga sifatnya. Diharapkan di masa yang akan datang,
masyarakat indonesia sudah dapat membedakan antara tradisi dengan budaya
sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi seperti yang sedang terjadi di dalam
masyarakat dewasa ini.

2.2 landasan tradisi dan budaya


Salah satu ciri yang paling dasar dari aswaja adalah moderat (tawasuth). Sikap
ini tidak saja mampu menjaga para pengikut Aswaja dari keterperosokan kepada
perilaku keagamaan yang ekstrem, tapi juga mampu melihat dan menilai
fenomena kehidupan secara proporsional.

4
Kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Itu karena budaya adalah kreasi
manusia untuk memenuhi kebutuhan dan untuk memperbaiki kualitas hidupnya.
Karena itu, salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang
terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh
manusia, maka budaya juga bersifat beragam sebagaimana keberagaman
manusia.
Menghadapi budaya atau tradisi, ajaran Aswaja mengacu kepada salah satu
kaidah fiqih “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-
ashlah” (mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru
yang lebih baik). Kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena
kehidupan secara seimbang dan proporsional. Seseorang harus bisa
mengapresiasi hasil-hasil kebaikan yang dibuat orang-orang pendahulu (tradisi
yang ada), dan bersikap kreatif mencari berbagai terobosan baru untuk
menyempurnakan tradisi tersebut atau mencipta tradisi baru yang lebih baik.
Sikap seperti ini memacu untuk tetap bergerak ke depan dan tidak tercerabut dari
akar tradisinya.
Oleh karena itu, kaum sunni tidak apriori terhadap tradisi. Bahkan fiqih sunni
menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam
menetapkan sebuah hokum. Hal ini tercermin dalam salah satu kaidah fiqih “ma
la yudraku kulluh la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan
semuanya, tidak harus ditinggal semuanya).

2.3 Sikap terhadap tradisi dan budaya


Pertanyaan penting yang perlu dijawab di bagian ini adalah “bagaimana
menggunakan kaidah-kaidah fiqih dalam menyikapi tradisi?”. Banyak orang
yang memepertentangkan antara budaya dengan agama. Hal ini karena agama
berasal dari Tuhan yang bersifat sacral (ukhrawi), sedang budaya adalah kreasi

5
manusia yang bersifat profan (duniawi). Akan tetapi sejak diturunkan, agama
tidak bisa dilepaskan dari budaya sebagai perangkat untuk mengekspresikannya.
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat
memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Sebagai
kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, budaya tentu memiliki
nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara
personal maupun social.
Dalam hal ini, berlaku kaidah “al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-
akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu melestarikan kebaikan yang ada dan
mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan
menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi
tradisi. Yang dilihat bukan tradisi atau budayanya, tapi nilai yang dikandungnya.
Jika sebuah produk budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, dalam
arti mengandung kebaikan, maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan
sebagai yang layak untuk diikuti. Ini sebagaimana kaidah fiqih, “al-‘adalah al-
muhakkamah”, bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi
pertimbangan hukum.
Sikap bijak tersebut memungkinkan para pengikut Aswaja melakukan dialog
kreatif dengan budaya yang ada. Dengan dialog, bisa saling memperkaya dan
mengisi kelemahan masing-masing. Dari proses ini, memungkinkan melakukan
upaya penyelarasan unsure-unsur budaya yang dianggap menyimpang dari ajaran
pokok Islam.
Hal ini penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi
yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam, namun di dalamnya mungkin
menyimpan butir-butir kebaikan. Menghadapi ini, sikap yang arif bila tidak
menghancurkan semuanya, tapi mempertahankan unsure-unsur kebaikan yang
ada dan menyelaraskan unsure-unsur lain agar sesuai dengan Islam.inilah makna
kaidah “ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh”.

6
Contoh dalam hal ini adalah slametan atau kondangan atau kenduri yang
merupakan tradisi orang jawa yang ada sejak sebelum Islam datang. Jika
kelompok lain memandang slametan sebagai bid’ah yang harus dihilangkan,
kaum sunni memandang secara proporsional. Yaitu bahwa di dalam slametan
ada unsure-unsur kebaikan sekalipun juga mengandung hal-hal yang dilarang
agama. Unsur kebaikan dalam slametan antara lain : merekatkan persatuan dalam
masyarakat, menjadi sarana bersedekah dan bersyukur kepada Tuhan, serta
mendoakan yang sudah meninggal. Semua tidak ada yang bertentangan dengan
ajaran Islam sehingga tidak ada alasan melenyapkannya, sekalipun tidak pernah
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad. Sementara hal-hal yang bertentangan
dengan ajaran Islam – misalnya sesaji untuk makhluk halus – bisa diselaraskan
dengan ajaran Islam secara pelan-pelan dengan penuh kearifan.
Sikap tersebut adalah yang diteladankan para Walisongo dalam meyebarkan
ajaran Islam di nusantara. Sebagai pewaris Nabi, Walisongo tentu melakukan
dakwah dengan pedoman jelas. Dalam menyikapi tradisi setempat diilhami oleh
Nabi Muhammad sebagai panutannya. Satu misal, haji adalah ibadah yang sudah
ada sejak sebelum kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad. Oleh Nabi, haji tidak
dihilangkan, tapi diisi dengan ruh tauhid dan dibersihkan dari kotoran syirik.
Sikap inilah yang kemudian diteruskan oleh para sahabat dan para pengikutnya,
termasuk Walisongo, yang disebut dengan kaum sunni atau Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Maka tidak mengherankan jika dakwah kaum sunni sangat berbeda dengan kaum
non-sunni. Kaum sunni melakukan dakwah dengan cara arif. Pengikut Aswaja
tidak melakukan dakwah secara destruktif (merusak) dengan menghancurkan
tatanan atau segala sesuatu yang dianggap sebagai sesat. Jika saat ini banyak kita
temui cara-cara dakwah yang penuh dengan kekerasan bahkan berlumuran darah,
hal itu tidak sesuai dengan tuntutan dan kaidah Aswaja. Cara dakwah dengan
kekerasan dan menyalahkan orang lain dapat ditemui akhir-akhir ini, contohnya

7
FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut
Tahrir Indonesia), dan masih banyak lagi. Adapun para pengikut Aswaja
melakukan dakwah dengan bijaksana dan penuh kearifan (bi al-hikmah).
Imam Syafi’i, salah satu pendiri madzhab fiqih Sunni, menyatakan : “kullu ra’yi
shawab yahtamilu khatha’, wa kullu ghairi ra’yi khatha’ yahtamilu shawab”
(pendapatku adalah benar tapi mengandung kemungkinan untuk salah, dan
pendapat orang lain salah tapi mengandung kemungkinan untuk benar). Ini
merupakan sebuah sikap seimbang yang teguh dengan pendiriannya, tapi tetap
bersikap terbuka karena kebenaran juga dimungkinkan ada pada orang lain.
Kearifan seperti inilah yang memandu kaum sunni untuk tidak dengan mudah
berperilaku seperti ‘preman berjubah’ yang teriak ‘Allahu Akbar’ sambil
mengacung-acungkan pentungan dan pedang untuk menghancurkan kelompok
lain yang dianggap sesat. Seakan-akan mereka benar secara mutlak dan orang
lain sesat secara mutlak.
Sikap seperti ini adalah sikap dakwah Aswaja sebagaimana yang dicontohkan
oleh Walisongo dalam menghadapi tradisi local. Terhadap tradisi yang tidak bisa
diselaraskan dengan Islam, maka aktifitas dakwah dilakukan dengan damaidalam
satu tatanan kehidupan yang saling menghargai dan damai (peaceful co-
existance)

2.4 Contoh tradisi dan budaya


Ada banyak tradisi dan budaya yang di lakukan pleh masyarakat Indonesia,
atau bahkan sudah menjadi tradisi tiap individunya. Diantaranya adalah ;

Pengertian Diba’an
Sebagaimana kita ketahui, bahwa para ulama salaf banyak sekali yang menulis
kitab, buku atau tulisan singkat yang berisi bacaan shalawat. Hal itu dilakukan
untuk mewujudkan sebuah bukti kecintaan mereka kepada Nabi yang

8
disanjungnya. Bacaan shalawat yang berbentuk buku atau kitab antara lain :
shalawat Dala'il, shalawat Bakriyah, shalawat Diba'iyyah dan lain-lain.
Sedangkan yang berbentuk tulisan singkat antara lain shalawat Nariyah, shalawat
Rajabiyah, shalawat Munjiyat, shalawat Fatih, shalawat Sa’adah, shalawat
Badriyah dan lain- lain.
Dari sekian banyak kitab yang berisi bacaan shalawat tersebut ada yang paling
terkenal dan sering dibaca yang diadakan oleh warga Nahdliyyin, antara lain
adalah shalawat Diba’iyyah.
Jadi pengertian Diba’an adalah : membaca kitab yang berisi bacaan shalawat dan
riwayat hidup Nabi secara singkat yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahman ad-
Diba’i.

Hukum Membaca Diba'iyyah dan Shalawatan


Membaca shalawat Diba’iyyah atau shalawat yang lain menurut pendapat yang
tersohor di kalangan Jumhurul Ulama adalah sunnah Muakkadah. Kesunatan
membaca shalawat ini didasarkan pada beberapa dalil, antara lain:
a.    Firman Allah SWT.
Artinya :
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan sampaikanlan
salatu penghormatan kepadanya. (QS. AI-Ahzab : 56)
b.    Sabda Nabi SAW.:
]‫ [رواه ابن ماجه‬.‫ فإن الصالة علي كفارة لكم وزكاة‬،‫صلوا علي‬
Artinya :
“Bershalawatlah kamu untukku, karena membaca shalawat untukku bisa
mengahapus dosamu dan bisa membersihkan pribadimu”. (HR. lbnu Majah)
c.    Sabda Nabi SAW. :
]‫ [رواه الديلمي‬.‫ فإن صالتكم علي نور لكم يوم القيامة‬،‫زينوا مجالسكم بالصالة علي‬

9
Artinya:
“Hiasilah tempat-tempat pertemuanmu dengan bacaan shalawat untukku, karena
sesungguhnya bacaan shalwat untukku itu menjadi cahaya bagimu pada hari
kiamat”. (HR. Ad-Dailami).

Fadlilah Membaca Shalawat


Seseorang yang ahli membaca shalawat akan diberi anugerah oleh Allah, antara
lain :
a. Dikabulkan do’anya
‫الدعاء كله محجوب حتى يكون أوله ثناء على هللا عز وجل وصالة على النبي صلى هللا عليه وسلم‬
]‫ [رواه النسائي‬.‫ثم يدعو فيستجاب له لدعاءه‬
Artinya:
“Setiap do’a adalah terhalang, sehingga dimulai dengan memuji kepada Allah
dan bershalawat kepada Nabi, kemudian baru berdo'a dan akan dikabulkan do’a
itu”. (HR. Nasa’i).
b. Peluang untuk mendapat syafa'at Nabi pada hari kiamat.
c. Dihilangkan kesusahan dan kesulitannya.
d. Dan lain-lain.

Cara Membaca Diba’iyyah dan Shalawat Nabi


Dibaca dengan kesungguhan dan keikhlasan hati serta diiringi rasa hormat dan
mahabbah/cinta kepada Rasulullah SAW.
Jelas sekali dalalah ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut bahwa kita sebagai
ummat Muhammad diperintahkan untuk membacakan shalawat kepada Nabi
SAW, dengan tujuan untuk mengagungkannya sekaligus mengharapkan
barokahnya sewaktu kita masih hidup di dunia dan agar mendapat syafa’atul
udzma ketika kita berada di alam mahsyar kelak.

10
a. Barzanji
Memasuki bulan Rabi’ul Awal (bulan Maulid), sebagian umat Islam selalu
merayakan budaya barzanji atau orang jawa sering menyebutnya barjanjen.
Untuk menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, lantunan shawalat
dan puji-pujian atas Nabi selalu ramai terdengar dari masjid dan musholla.
Dengan suara merdu, diiringi alunan nada rebana menjadikan pesona keceriaan
bulan Maulid.
Sebagai umat Islam yang cinta kepada Rasulullah, tentu akan
mengekspresikannya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melakukan
barjanjen. Karena cinta kepada Nabi merupakan kewajiban bagi semua umat
Islam.
Sejak tanggal 1-12 bulan Rabi’ul Awal, jutaan umat Islam selalu melakukan
tradisi barzanji. Membaca kitab Barzanji merupakan tradisi sebagian umat Islam
di Indonesia, baik yang di pedesaan maupun perkotaan selalu melestarikan tradisi
tersebut.

Sejarah Barzanji
Al-Barzanji adalah kitab karangan “Syekh Ja’far bin Husain bin Abdul Karim al-
Barzanji”. Beliau lahir di Madinah tahun 1690 M, dan wafat tahun 1766 M.
Barzanji berasal dari nama suatu daerah di Kurdikistan Barzinj. Sebenarnya, kitab
tersebut berjudul ‘Iqd al-jawahir (kalung permata), tapi kemudian lebih terkenal
dengan sebutan al-barzanji.
Kitab tersebut, menceritakan tentang sejarah Nabi Muhammad yang mencakup
silsilahnya, perjalanan hidup semasa kecil, remaja, menginjak dewasa hingga
diangkat menjadi Rasul. Selain itu, juga menyebutkan sifat-sifat Rasul,
keistimewaan-keistimewaan dan berbagai peristiwa yang bisa dijadikan teladan

11
bagi umat manusia. Dengan bahasa dan sastra yang tinggi menjadikan kitab ini
enak dibaca.
Di Indonesia, barzanji adalah kitab yang populer di kalangan orang Islam,
terutama di Jawa. Kitab ini merupakan bacaan wajib pada acara-acara barjanjen
atau diba’ yang merupakan acara rutin bagi sebagian kaum muslim di Indonesia.
Kontroversi Budaya Barzanji
Banyak dari kalangan umat Islam yang menolak tradisi barjanjen. Mereka
menganggap bid’ah  karena  perbuatan tersebut tidak dilakukan Rasulallah SAW.
Selain itu, barzanji hanyalah karya sastra, bukan menjadi rujukan sumber orang
Islam seperti Al Qur’an dan Hadist. Jadi, mereka menolak dengan tegas terhadap
tradisi tersebut.
Namun, sebagian pihak menganggap pembacaan Al-barzanji adalah refleksi
kecintaan umat terhadap figur Nabi sebagai pemimpin agamanya sekaligus untuk
meneladani sifat-sifat luhur Nabi Muhammad SAW. Kecintaan pada Nabi berarti
juga kecintaan, ketaatan kepada Allah SWT.
Menurut penulis, tradisi ini meskipun banyak yang setuju dan tidak setuju, harus
ada pemahaman yang tajam. Pasalnya, hampir seluruh umat Islam di Indonesia
melestarikan tradisi ini. Sebuah hadist Nabi riwayat Bukhari Muslim
menyatakan,”Barang siapa melakukan amalan tidak sebagaimana sunnahku, maka
amalan itu tertolak”. Wallahu ‘alam bisshowab. Hanya Allah yang maha
mengetahui.

Membumikan Barzanji
Selain dilakukan pada bulan Maulid, tradisi barzanji juga dilakukan kaum muslim
pada setiap moment penting seperti pengajian, tasyakuran pernikahan, kelahiran
anak, menjelang keberangkatan haji dan sebagainya.
Barjanjen, merupakan tradisi yang dilakukan sejak dulu, terutama bagi umat
Islam warga Nahdliyyin (warga NU). Mereka membacanya pada tiap malam

12
Jumat dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren di Jawa
Tengah, barjanjen menjadi kegiatan wajib.
Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi sepertinya sudah melembaga, bahkan
ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap memasuki Rabi’ul Awal, berbagai
ormas Islam, masjid, musholla, institusi pendidikan, dan majelis taklim bersiap
memperingatinya dengan beragam cara dan acara; dari sekadar menggelar
pengajian, dialog keagamaan, bakti sosial, hingga ritual-ritual yang sarat tradisi
(lokal).
Di antaranya adalah: Manyanggar Banua, Mapanretasi di Pagatan, Ba’ayun
Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan. Sekaten, di Keraton
Yogyakarta dan Surakarta, Gerebeg Mulud di Demak, Panjang Jimat di
Kasultanan Cirebon, Mandi Barokah di Cikelet Garut, dan sebagainya.
Tradisi barzanji, seharusnya menjadi spirit beragama bagi kaum muslim.
Idealnya, barzanji bukan hanya sebagai rutinitas saja. Esensi Maulid Nabi adalah
spirit sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai satu-satunya idola teladan
yang seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari
idealisme, kristalisasi dari berbagai falsafah hidup yang diyakini. Teladan sejarah
dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan
Rabi’ul Awal.
Berpijak dari itu, sudah saanya umat Islam melestarikan tradisi tersebut. Pasalnya,
dewasa ini banyak orang islam yang beragama setengah hati, atau dengan kata
lain “Islam KTP”. Secara logika, daripada melestarikan budaya barat, lebih baik
melestarikan budaya islam sendiri, sebagai suatu wujud ketaatan hamba dengan
Tuhannya.
Jadi, melihat tradisi barjanjen yang hanya menjadi rutinitas di bulan maulid,
penulis lebih sepakat dan mendukung untuk melestarikan budaya barjanjen yang
harus dijalankan setiap waktu, kapan pun dan dimana pun. Hal itu termasuk
wujud bukti kecintaan kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW.

13
Meskipun momen bulan maulid terasa sudah lewat, namun melestarikan tradisi
barzanji merupakan sebuah keniscayaan bagi warga NU. Menjadi umat yang cinta
Nabi Muhammad SAW, sudah saatnya membumikan tradisi ini sejak dini. Mau
tidak mau, barzanji merupakan ciri khas warga NU. Jadi, melestarikan tradisi
barzanji adalah harga mati.

b. Terbangan/hadrah
Hadrah atau lebih populer dengan sebutan terbangan perkembangannya tak lepas
dari sejarah dakwah Islam. Seni ini memiliki semangat cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tidak ada yang tahu secara persis, kapan datangnya musik hadrah di
Indomesia. Namun hadrah atau yang lebih populer dengan musik terbangan
(rebana bahasa jawa) tersebut tak lepas dari sejarah perkembangan dakwah Islam
para Wali Songo. Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa pada setiap tahun di
serambi Masjid Agung Demak, Jawa Tengah diadakan perayaan Maulid Nabi
yang diramaikan dengan rebana. Para Wali songo menggadopsi rebana dari
Hadrolmaut sebagai kebiasaan seni musik untuk dijadikan media berdakwah di
Indonesia. Hadrah selalu menyemarakkan acara-acara Islam seperti peringatan
Maulid Nabi, tabligh akbar, perayaan tahun baru hijriyah, dan peringatan hari-hari
besar Islam lainnya. Sampai saat ini hadrah telah berkembang pesat di masyarakat
Indonesia sebagai musik yang mengiringi pesta pernikahan, sunatan, kelahiran
bayi, acara festival seni musik Islami dan dalam kegiatan ekstrakulikuler di
sekolahan, pesantren, remaja masjid dan majelis taklim.
Makna hadrah dari segi bahasa diambil dari kalimat bahasa Arab yakni hadhoro
atau yuhdhiru atau hadhron atau hadhrotan yang berarti kehadiran. Namun
kebanyakan hadrah diartikan sebagai irama yang dihasilkan oleh bunyi rebana.
Dari segi istilah atau definisi, hadrah menurut tasawuf adalah suatu metode yang
bermanfaat untuk membuka jalan masuk ke ‘hati’, karena orang yang melakukan
hadrah dengan benar terangkat kesadarannya akan kehadiran Allah dan Rasul-

14
Nya. Pasca kemerdekaan, perkembangan musik hadrah di Indonesia tak terlepas
dari peranan Ikatan Seni Hadrah Indonesia (Ishari). Ishari adalah salah satu badan
otonom yang berada di bawah organisasi Nahdlatul Ulama (NU), disahkan pada
tahun 1959.Pengorganisasian dan nama ISHARI diusulkan oleh salah seorang
pendiri NU yakni KH Wahab Chasbullah. Menurut Gus Hasib, putra KH Wahab
Hasbullah, semasa hidup, Kiai Wahab sangat senang hadrah. Bahkan kalau
sedang diam tangannya suka memukul-mukul sebagai isyarat memukul terbang
(hadroh: red) sambil melagukan bacaan sholawat. Karena ia juga senang
berorganisasi akhirnya kelompok hadrah dibuatkan wadah perkumpulan dibawah
organisasi NU dengan nama ISHARI atau Ikatan Seni Hadroh Republik
Indonesia. Terbentuknya ISHARI di NU menjadi salah satu organisasi yang
memelopori tradisi keagamaan warga pesantren dengan menghidupkan
pembacaan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW.

c. Burdah
Al-Burdah, menurut etimologi, banyak mengandung arti, antara lain baju (jubah)
kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut khalifah. Dengan atribut
burdah ini, seorang khalifah bisa dibedakan dengan pejabat negara lainnya,
temanteman,dan masyarakat pada umumnya. Burdah juga merupakan nama
qashidah yang digubah oleh Ka‘ab bin Zuhair bin Abi Salma yang
dipersembahkan kepada Rasulullah SAW.
Ada sebab-sebab khusus dikarangnya qashidah Burdah. Suatu ketika Al-Bushiri
menderita sakit lumpuh sehingga tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Lalu
dibuatnya syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi, dengan maksud memohon
syafa’atnya. Di dalam tidurnya, ia mimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad
SAW. Nabi mengusap wajah Al-Bushiri, kemudian beliau melepaskan jubahnya
dan mengenakannya ke tubuh Al-Bushiri. Saat ia bangun dari mimpinya, seketika
itu juga ia sembuh dari lumpuhnya.

15
Al-Bushiri adalah seorang yang menjalani kehidupan sebagaimana layaknya para
sufi, yang tercermin dalam kezuhudannya, ketekunannya beribadah, serta
ketidaksukaannya pada kemewahan dan kemegahan duniawi. Di kalangan para
sufi, ia termasuk dalam jajaran sufi besar. Sayyid Mahmud Faidh Al-Manufi
menulis di dalam bukunya, Jawharat al-Awliya’, bahwa Al-Bushiri tetap
konsisten dalam hidupnya sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya.
Makamnya yang terletak di Iskandaria, Mesir, sampai sekarang masih diziarahi
orang. Makam itu berdampingan dengan makam gurunya, Abul Abbas Al-Mursi.
Memuji Nabi Muhammad bukanlah menganggap beliau sebagai Tuhan.
Menyanjung Rasulullah adalah mengakui Muhammad SAW sebagai manusia
pilihan. “Kami tidak mengutus engkau (hai Muhammad) kecuali (sebagai) rahmat
bagi alam semesta (wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin).” Itu firman
Tuhan.
Sumber ajaran memuji dan mencintai Nabi tak lain adalah Islam itu sendiri.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Didiklah anak-anakmu dalam tiga tahap.
Mencintai Nabi, keluarganya, dan membaca Al-Quran.” Untuk mencintai kekasih,
apalagi beliau itu adalah kekasih Tuhan, Al-Quran mengajarkan dan
menganjurkan kepada umat Islam, sebagaimana tertera dalam Kitabullah,
“Sungguh Allah dan para malaikat bershalawat atas Nabi. Hai orang beriman,
bershalawatlah atasnya dan berilah salam kepadanya dengan sehormat-hormatnya
salam.” (QS 33: 56).
Shalawat, jika datangnya dari Allah kepada nabi-Nya, bermakna rahmat dan
keridhaan. Jika dari para malaikat, berarti permohonan ampun. Dan bila dari
umatnya, bermakna sanjungan dan pengharapan,agar rahmat dan keridhaan Tuhan
dikekalkan.Dalam surah yang lain Allah memuji hamba-Nya yang satu ini
dengan, “Sungguh engkau (hai Nabi) benar-benar dalam budi dan perangai yang
tinggi.” Allah tak pernah memanggil namanya langsung, seperti “hai
Muhammad”, melainkan “hai Nabi”, “hai Rasul”, “hai pria yang berselimut”.

16
Di samping itu bukankah Baginda sendiri yang menganjurkan kita untuk
menghaturkan sanjungan (madah) terhadap diri beliau? Seorang nabi yang telah
digambarkan oleh Al-Quran sebagai “pencurah rahmat bagi seluruh alam
semesta”. Seperti diharapkan beliau dalam banyak hadits agar kaumnya banyak
menyebut namanya. “Sebutlah selalu namaku, sungguh shalawatmu itu sampai
kepadaku,” sabdanya. Bahkan dianjurkan agar umat Islam banyak-banyak
menyebut namanya di malam Jum’at. Seperti dalam riwayat lain, sungguh
menyebut nama Muhammad SAW akan dijawab (dengan pahala) berlipat-lipat.

d. Manaqib
Manakib ditinjau dari sudut pandang bahasa adalah bentuk jama' atau plural  dari
kalimat 'manqobah' yang berarti kebajikan / perangai terpuji. Jadi manakib berarti
kumpulan atau beberapa kebajikan dan kebaikan perangai. Pada tataran
penggunaanya kemudian kata manakib menjadi sebuah istilah untuk   sebuah
kitab. Seperti manakib Syekh Abd Qodir, manaqib Annaqsyabandy dsb. Dan pada
saat yang sama juga menjadi istilah untuk kegiatan pembacaan kitab tersebut. Jadi
kata manaqib atau kegiatan manaqib atau yang lebih populer dengan sebutan
manakiban adalah kegiatan pembacaan kitab yang menuturkan sisi-sisi positip
dari  riwayat hidup seseorang yang umumnya seorang wali agung atau kitab-kitab
itu sendiri.
Bertolak dari dua tinjauan di atas, ketiga pengertian sebagai arti dari kata manaqib
tersebut telah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Nahdliyyin. Manaqib
sebagai perangai-perangai yang terpuji barang tentu menjadi bagian inti dan
puncak perhatian kaum Nahdliyyin, sehingga mereka dalam memberikan
penghormatan pada seseorang tidak semata berorientasi pada tingkat kwalitas
keilmuan semata akan tetapi juga kwalitas moral dan perangai. Realita yang tak
bisa ditepis bahwa masyarakat Nahdliyyin identik dengan tradisi cium tangan dan
tradisi tawadhu' yang merupakan cerminan dari keluhuran perangai mereka.

17
Demikian pula manakib sebagai istilah untuk sebuah corak kitab tertentu maupun
istilah untuk kegiatan pembacaannya keduanya telah bersenyawa dengan nafas
masyarakat kita sehingga menjadi sebuah identitas yang mudah dikenali. Ada
cukup banyak jenis manakib yang  kita kenal dan akrab di masyrakat kita baik
yang secara rutin maupun yang seremonial. Seperti halnya manaqib Syekh Abdul
Qodir Al-Jilany RA, Manaqib Syekh Abil Hasan Assyadzily RA, Manaqib Syekh
Bahauddin An-Naqsyabandy RA dan lain sebagainya.
Adapun contoh yang lain di antaranya :
a) Istighatsah
istigasah termasuk bentuk mashdar yang memiliki arti thalab
(permintaan/meminta) berasal dari kata al-ghauts, diartikan dengan
pertolongan, sehingga istighatsah bisa diartikan dengan meminta pertolongan.
Baik kepada Allah swt maupun kepada yang lain. Sedangkan versi istilahnya,
istighatsah diartikan dengan permintaan kepada Allah baik secara langsung
maupun melalui perantara hamba-Nya yang memiliki kemuliaan di sisi Allah.
Seperti Nabi dan para wali.
Meminta pertolongan kepada Allah merupakan keniscayaan bagi setiap hamba,
sebab hanya kepada Allah manusia meminta pertolongan. Allah swt berfirman
yang artinya
”Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan
bagimu.” (QS. Ghafir; 60)
Sedangkan esensi istighatsah (meminta pertolongan) kepada makhluk yang
memiliki kemuliaan di sisi Allah swt tidak beda jauh dengan esensi tawassul,
Sebab tujuan seseorang saat beristighatsah hanya menjadikannya media perantara
pendekatan diri kepada Allah swt, tidak menjadikannya sebagai tempat meminta,
apalagi meyakininya sebagai pengabul permintaan. Sisi perbedaan antara
istighotsah dan tawassul terletak pada bahasa yang digunakan dalam berdoa.

18
Di dalam tawassul, disebutkan secara jelas posisi hamba sebagai perantara.
Seperti ungkapan ”Ya Allah, dengan wasilah (perantara) nabi Muhammad,
ampunilah dosa-dosa kami!” Sedangkan istighatsah seorang hamba seakan
dibisikan sebagai tempat meminta. Seperti ungkapan: ”Ya Rasulallah, tolonglah
kami…!”, “Ya Syeikh Abdul Qadir, penuhilah hajat kami!”
Penggunaan bahasa dalam istighatsah semacam ini tidak menyebabkan haram
selama tetap menjaga keyakinan bahwa yang dapat memberi manfaat dan
madlarat hanya Allah semata. Penyebutan orang-orang shalih saat berdoa hanya
bermaksud sebagai perantara kemudahan terkabulnya energy doa lantaran
kedudukan mereka yang tinggi di hadapan Allah swt.
Ungkapan permohonan kepada sesama makhluk dalam istighatsah termasuk
ungkapan majaz (bukan dalam arti sebenarnya). Sama halnya dengan ungkapan
makan nasi agar kenyang, minum obat agar sehat. Pada dasarnya yang bisa
memberi predikat kenyang dan sehat hanyalah Allah, bukan obyek makan nasi
atau minum obat.
Sebagaimana tawassul, aplikasi istighatsah bisa diaktualkan dengan media
wasilah baik kepada seseorang yang masih hidup maupun setelah meninggal
dunia. Sebab, para nabi sebenarnya masih tetap hidup dalam kuburnya, mereka
bisa dijadikan mediator datangnya pertolongan kepada orang-orang yang
bertawassul atau beristighatsah. Sabda Rasulullah;
َ‫صلُّون‬ ِ ‫اَْألنـْبِيَا ُء َأحْ يَا ٌء فِي قُب‬
َ ُ ‫ُور ِه ْم يـ‬
”Para nabi hidup di kubur mereka seraya shalat.” (HR. Abu Ya’la, al-Baihaqy, as-
Suyuthy, Abu Nu’aim)
Begitu pula para wali, setelah wafat, mereka tetap mendapat karamah, bisa
menjadi mediator datangnya pertolongan sebagaimana para nabi.
Allah swt berfirmanyang artinya

19
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati;
bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. Ali-
‘Imran; 169)
Terkait orang yang telah meninggal dunia dan bisa memberi manfaat kepada
orang yang masih hidup, hadits di bawah ini cukup kiranya menjadi tendensi
akurat sebagai tembok membentengi diri. Rasulullah bersabda;
ِ ‫ِإ َّن َأ ْع َمالَ ُك ْم تـُع َْرضُ َعلَى َأ ْق ِربَاِئ ُك ْم َو َع َشاِئ ِر ُك ْم فِي قُب‬
َ‫ُور ِه ْم فَِإ ْن َكانَ خَ ْيرًا ا ْستَ ْب َشرُوا بـ ِ ِه وَِإ ْن َكانَ َغ ْي َر َذلِك‬
‫ك‬َ ِ‫قَالُوا اللَّهُ َّم َأ ْل ِه ْمهُ ْم َأ ْن يـ َ ْع َملُوا بـِطَ َعات‬
“Sesungguhnya semua amal kalian akan dipertontonkan kepada kerabat dan
keluarga kalian di kubur mereka. Jika (melihat) melihat amal yang baik, mereka
merasa bahagia dengannya. Dan jika (melihat) amal yang buruk, mereka berdoa,
“Ya Allah, berilah mereka ilham untuk melakukan amal ta’at kepadamu.” (HR.
Jabir bin Abdullah)
Secara spesifik diantara berbagai tendensi dalil yang menjadi dasar
diperbolehkannya istighatsah adalah:
Firman Allah yang memiliki arti sebagai berikut
”Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, Maka
didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang ber- kelahi; yang seorang
dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun).
Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk
mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah
musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).” (QS.
Al-Qashash; 15)
Seandainya meminta pertolongan kepada selain Allah swt dikatakan sebagai
tindakan kufur, tentu nabi Musa as tidak mau menolong pemuda Bani Israil dalam
perkelahian tersebut.
Rasulullah bersabda:

20
‫َوهَّللا ُ فِي عَوْ ِن ْال َمرْ ِء َما َكانَ فِي عَوْ ِن َأ ِخي ِه‬
“Allah dalam menolong seseorag selama ia dalam menolong saudaranya.” (HR.
Ahmad)
Keterangan dalam kitab Mausu’ah Yusufiyyah menjelaskan bahwa hadits di atas
mengandung pengertian diperbolehkannya tolong menolong, meminta dan
memberi antar sesama. Pemahaman ini sinergikan dengan firman Allah:
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah;
2)
Sebagian orang berasumsi bahwa istighatsah kepada selain Allah swt merupakan
tindakan tercela. Mereka bertendensi pada sebuah hadis yang berisi wasiat Nabi
Muhammad saw kepada Sayyidina ibn ‘Abbas ra. Rasulullah bersabda:
ِ ‫ِإ َذا َسَأ ْلتَ فَا ْسَألْ هَّللا َ وَِإ َذا ا ْستَ َع ْنتَ فَا ْستَ ِع ْن بِاهَّلل‬
”Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Apabila engkau
meminta tolong, maka mintalah pertolongan kepada Allah. (HR. At-Tirmidzi)
Esensi Hadits di atas tidak bisa dipahami sebagai larangan untuk beristighatsah
kepada selain Allah. Sebab substansi hadits di atas hanya sebatas anjuran, bukan
bentuk larangan beristighatsah kepada selain Allah swt.
Diteropong secara ushul fikih, sesuatu yang tidak diperintahkan serta tidak
dilarang dalam syariat, dikategorikan sebagai hal yang mubah. Selama tidak ada
larangan, maka hal tersebut boleh dikerjakan. Rahmat Allah swt menetapkan
keharmonisan dan keteraturan di dunia. Api bisa membakar, air bisa
menyegarkan, nasi bisa membuat kenyang, obat bisa meredakan sakit. Ada sebab
ada akibat, segala keteraturan yang diciptakan Allah semuanya adalah rahmat
yang mengatur keserasian dalam kehidupan di dunia. Dengan demikian, kita
semua bisa menyusun rencana dan menata kehidupan secara teratur.
Pada hakikatnya, segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak dan kuasa
Allah semata. Yang membakar bukanlah api, yang menyembuhkan bukanlah

21
obat. Ingat sekali lagi, semuanya hanyalah kehendak dan kuasa Allah. Monggo-
monggo mawon menjadikan apa saja sebagai perantara terlaksananya keinginan
kita, selama tidak meyakini mediator pelaksana tersebut bisa memberi pengaruh
dan pencipta terjadinya sesuatu. Yakinlah bahwa Allah yang melakukan
segalanya. Selama keyakinan itu terpatri dalam sanubari kita. Monggo, silahkan
beristighostah sebagai media terkabulkannya efektivitas kapabilitas sebuah do’a.
b) Menabuh hadrah/rebana
Di dalam madzhab Syafi’i bahwa Duff (rebana) hukumnya Mubah secara
Mutlak (lihat dalam Faidh al-Qadir juz 1 halaman 11). Diriwayatkan pula bahwa
para wanita memukul rebana menyambut Rasulullah Saw. di suatu acara
pernikahan dan Rasul Saw. mendengarkan syair mereka dan pukulan rebana
mereka, hingga mereka berkata: “Bersama kami seorang Nabi yang mengetahui
apa yang akan terjadi”, maka Rasul Saw. bersabda:“Tinggalkan kalimat itu dan
ucapkan apa-apa yang sebelumnya telah kau ucapkan.
(Shahih Bukhari hadits No. 4852).

Juga diriwayatkan bahwa rebana dimainkan saat hari Asyura di Madinah di masa
para sahabat radhiyallahu ‘anhum (Sunan Ibn Majah hadits No.1897).
Dijelaskan oleh Imam Ibn Hajar bahwa Duff (rebana) dan nyanyian pada
pernikahan diperbolehkan walaupun merupakan hal yang Lahwun (melupakan
dari Allah), namun dalam pernikahan hal ini (walau lahwun) diperbolehkan
(keringanan syariah karena kegembiraan saat nikah), selama tak keluar dari batas-
batas mubah.

Demikian sebagian pendapat ulama (Lihat dalam Fath al-Bari Juz 9 halaman 203)
menunjukkan bahwa yang dipermasalahkan mengenai pelarangan rebana adalah
karena hal

22
yang lahwun (melupakan dari Allah), namun bukan berarti semua rebana haram,
karena
Rasul Saw. memperbolehkannya, bahkan dijelaskan dengan Nash Shahih dari
Shahih Bukhari. Namun ketika mulai makna syairnya menyimpang dan
melupakan dari Allah Swt. maka Rasul Saw. Melarangnya. Demikianlah maksud
pelarangannya di masjid, karena rebana yang mengarah pada musik lahwun,
sebagian ulama membolehkannya di masjid hanya untuk nikah walaupun lahwun,
namun sebagian lainnya mengatakan yang dimaksud adalah diluar masjid, bukan
didalam masjid. Pembahasan ini semua adalah seputar hukum rebana untuk
gembira atas akad nikah dengan lagu yang melupakan dari Dzikrullah.
Berbeda dengan rebana dalam maulid, karena isi syairnya adalah shalawat, pujian
pada Allah dan RasulNya Saw., maka hal ini tentunya tak ada khilaf padanya,
karena khilaf adalah pada lagu yang membawa lahwun.
Sebagaimana Rasul Saw. tak melarangnya, maka muslim mana pula yang berani
mengharamkannya, sebab pelarangan di masjid adalah membunyikan hal yang
membuat lupa dari Allah di dalam masjid. Sebagaimana juga syair yang jelas-
jelas dilarang oleh Rasul Saw. untuk dilantunkan di masjid, karena membuat
orang lupa dari Allah dan masjid adalah tempat dzikrullah, namun justru syair
pujian atas Rasul Saw. diperbolehkan oleh Rasul Saw. di masjid. Demikian
dijelaskan dalam beberapa hadits shahih dalam Shahih Bukhari, bahkan Rasul
Saw. menyukainya dan mendoakan Hassan bin Tsabit seraya melantunkan syair
di masjid, tentunya syair yang memuji Allah dan RasulNya.
Saudaraku, rebana yang kita pakai di masjid itu bukan lahwun dan membuat
orang lupa dari Allah, justru rebana-rebana itu membawa muslimin untuk mau
datang dan tertarik hadir ke masjid, duduk berdzikir, melupakan lagu-lagu non
muslimnya, meninggalkan alat-alat musiknya, tenggelam dalam dzikrullah dan
Nama Allah Swt. ‘Asyik ma’syuk menikmati rebana yang pernah dipakai
menyambut Rasulullah Saw., mereka bertobat, mereka menangis, mereka asyik

23
duduk di masjid, terpanggil ke masjid, betah di masjid, perantaranya adalah
rebana itu tadi dan syair-syair pujian pada Allah dan RasulNya, dengan meniru
perbuatan para sahabat yaitu kaum Anshar radhiyallahu ‘anhum yang perbuatan
itu sudah diperbolehkan oleh Rasul Saw.
Mengenai pengingkaran yang muncul dari beberapa ulama adalah karena mereka
belum mentahqiq masalah ini, karena tahqiq dalam masalah ini adalah tujuannya,
sebab alatnya telah dimainkan di hadapan Rasulullah Saw. yang bila alat itu
merupakan hal yang haram mestilah Rasul Saw. telah mengharamkannya tanpa
membedakan ia membawa manfaat atau tidak. Namun Rasul Saw. tak
melarangnya, dan larangan Rasul Saw. baru muncul pada saat syairnya mulai
menyimpang, maka jelaslah bahwa hakikat pelarangannya adalah pada tujuannya.
Nah, para ulama atau kyai Ahlussunnah wal Jama’ah yang melarangnya mungkin
di masa kehidupan mereka rebana dipakai hal yang mungkar dengan sorak-sorai
dan tawa terbahak-bahak di dalam masjid, maka mereka melarangnya.
Keterangan Tambahan:
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum main rebana (terbangan) di
dalam masjid pada acara-acara tertentu seperti akad nikah dan pembacaan maulid.
Terdapat dua pendapat yang saling bertentangan dalam masalah ini:
Pendapat pertama menyatakan menyatakan bahwa memainkan rebana di dalam
masjid diperbolehkan. berdasarkan hadits nabi:
ِ ُ‫ َواضْ ِربُوا َعلَ ْي ِه بِال ُّدف‬،‫ َواجْ َعلُوهُ فِي ال َم َسا ِج ِد‬،‫َأ ْعلِنُوا هَ َذا النِّ َكا َح‬
‫وف‬
Umumkanlah pernikahan dan lakukanlah di masjid serta (ramaikan) dengan
memukul duff (rebana).
(Sunan Turmudzi no. 1089).
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawi al-Fiqhiyah al-Kubra
menjelaskan, hadits tersebut mengisyaratkan kebolehan memainkan rebana dalam
acara pernikahan di dalam masjid dan diqiyaskan pula kebolehan memainkan
rebana untuk acara-acara lainnya. Syekh al-Muhallab menyatakan bahwa semua

24
pekerjaan yang dikerjakan di dalam masjid apabila tujuannya demi kemanfaatan
kaum muslimin dan bermanfaat bagi agama, boleh dikerjakan di dalam masjid.
Qodhi Iyadh juga menyatakan hal yang sama, beliau menambahkan, selama
pekerjaan tersebut tidak merendahkan kemuliaan masjid maka boleh dikerjakan.
Kebolehan di atas dengan batasan selama tidak mengganggu kekhusyu’an orang-
orang yang sedang mengerjakan ibadah di dalam masjid dan dilakukan dengan
cara yang tidak sampai merendahkan kemuliaan masjid, jika ketentuan tersebut
dilanggar maka hukumnya haram.
Pendapat kedua menyatakan bahwa hukumnya haram karena menganggap masjid
bukanlah tempat keramaian dengan memukul rebana, melainkan tempat khusus
ibadah. Adapun hadits yang membolehkan memainkan rebana di masjid, menurut
mereka yang maksud hadits itu adalah menampakkan akad nikah di dalam masjid
dan memukul rebananya dilakukan di luar masjid.
Imam as-Suyuthi dalam kitab al-Amru bi at-Ittiba’ wa an-Nahyu ‘an al-Ibtida’
menjelaskan: “Diantaranya (perkara-perkara bid’ah) adalah menari, menyanyi di
dalam masjid, memukul duff (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain
itu dari jenis alat-alat musik. Maka, barangsiapa yang melakukan itu di masjid
maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena
dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala
berfirman:
ُ‫ت َأ ِذنَ هَّللا ُ َأ ْن تُرْ فَ َع َوي ُْذ َك َر فِيهَا ا ْس ُمه‬
ٍ ‫فِي بُيُو‬
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk
dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya.
(QS. an-Nur ayat 36).
Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Alloh Ta’ala telah
memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-
anak, ingus (ludah), (bau) bawang putih, bawang merah, nasyid-nasyid dan sya’ir
di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya

25
atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan dan berhak
diberikan hukuman.”
Kesimpulannya, hukum memainkan rebana di dalam masjid adalah khilaf,
sebagian ulama memperbolehkannya dan sebagian ulama' melarangnya.
c) Tahlil
Devinisi Tahlil
Versi bahasa, terma tahlil yang berasal dari gramatika arab berupa shighot
mashdar dari fi’il madli hallala yang berarti membaca kalimat tayyibah La Ilaha
Illallah.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya di Negara Indonesia khususnya, tahlil
dikonotasikan sebagai ritual keagamaan yang memuat susunan literatur ayat-ayat
al-Qur`an, dzikir, guna mendoakan orang-orang yang telah meninggal dunia.
Penyematan rangkaian dzikir dengan istilah tahlil ini sesuai dengan kaidah
gramatika arab berupa dzikru al-juz` wa irodatu al-kull (menyebutkan sebagian isi
dan menghendaki keseluruhan).
Tahlil biasanya dibaca saat berziarah ke pekuburan, saat kematian seseorang, atau
di berbagai event-event keagamaan seperti pengajian, selamatan dll. Khususnya
di tanah Jawa, pembacaan tahlil ditradisikan oleh komunitas masyarakat dan
direalisasikan setiap malam Jumat yang bertempat di rumah-rumah penduduk
secara bergiliran.
Tradisi tahlil agaknya telah mengakar kuat dalam lubuk hati masyarakat muslim
Jawa. Terbukti, dalam setiap acara-acara keagamaan, tahlil selalu menjadi
konsumsi menu utama dalam berbagai rangkaian event acara. Meski demikian,
kita perlu mengetahui secara konkrit problematika tahlil ini. Baik dari sejarah
penyusunannya, hukum membacanya, ataupun tendensi pengambilan hukumnya.
Mengingat begitu maraknya berbagai komunitas muslim yang berasumsi bahwa
tahlil termasuk bid’ah dan perbuatan dosa yang menyebabkan kekufuran.
Hukum Tahlil

26
Terkait pembacaan hukum tahlil, diperlukan berbagai tinjauan mengenai
permasalahan-permasalahan yang terkait di dalamnya. Seperti hukum membaca
dzikir, memintakan ampun bagi orang-orang setelah meninggal dunia dan lain-
lain. Berikut akan dibahas satu persatu beserta beberapa tendensi dalil agar
mendapat kesimpulan yang akurat dan jelas.
Membaca al-Quran dan Dzikir
Membaca al-Qur’an sangat dianjurkan agama. Dengan membacanya hati
seseorang menjadi tenang, di samping itu al-Qur`an merupakan kitab suci yang
memuat petunjuk bagi umat manusia. Perintah membaca al-Qur`an ini tertera
dalam firman Allah swt:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-kitab (Al-Quran).”(QS.
Al-`Ankabut; 45)
Bahkan membaca al-Qur`an termasuk ibadah terbaik bagi umat islam,
sebagaimana sabda Rasulullah saw:
‫ض ُل ِعبَا َد ِة ُأ َّمتِي قِ َرا َءةُ ْالقُرْ آ ِن‬
َ ‫َأ ْف‬
“Yang paling utama dari ibadah umatku adalah membaca al-Quran.” (HR.
Baihaqi)
Sama dengan keutamaan al-Quran, pembacaan dzikir juga dikategorikan sebaga
ibadah yang sangat dianjurkan oleh agama. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa
firman Allah swt seperti berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah,
dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu
pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab; 41-42)

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Setelah membaca pemaparan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa budaya
dan tradisi merupakan dua hal yang berbeda. Baik dari segi pengertian, proses
terbentuknya dan juga sifatnya. Budaya adalah pola kejiwaan yang di
dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup yang dasar, inseting (insting),
perasaan, dengan pikiran, kemauan dan fantasi yang kita namakan budaya. dan
tradisi "sesuatu yang hadir, dan menyertai kekinian kita" maka mengangkat
dan menyibukkan diri dengan tradisi adalah masalah yang absah dan bisa
dibenarkan
2. Budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan untuk
memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu, salah satu karakter dasar dari
setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan
itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh manusia, maka budaya juga bersifat
beragam sebagaimana keberagaman manusia.
3. Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat
memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Nilai-
nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara
personal maupun social. Dalam hal ini, berlaku kaidah “al-muhafadzatu ‘ala al-
qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu melestarikan
kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru yang
lebih baik.
4. Contoh-contoh dari tradisi dan budaya dalam aswaja sangatlah banyak. entah
itu yang bersifat sunnah atau wajib, diantaranya ada sholat terawih saat bulan
ramadhan yang hukumnya sunnah, tahlil mendoakan orang yang sudah
meninggal, bahkan budaya yang berbasis seni seperti hadra.

28
3.2 Saran
Makalah in sangat jauh dari kata sempurna, kurang lebihnya kami
mohon maaf. Saran dan kririkan anda sangat membantu kelengkapan
makalah ini. Kami ucapakan terima kasih.

29
DAFTAR PUSTAKA

Http://kelompoksatue.wordpress.com/2014/06/18/makalah-aswaja-implementasi-dlm-
berbagai-bidang/
Muchtar, Masybudi, dkk. 2009. Aswaja an-nahdliyah.Surabaya : Khalista.

30

Anda mungkin juga menyukai