DISUSUN OLEH
Pebri Nofa Hedianto 173700064
Hanif Zulfikri 173700063
Vidi Tio Putra W 173700075
Menurut ahli budaya, kata kebudayaan merupakan gabungan dari 2 kata, yaitu
budi dan daya. Budi mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhitar,
perasaan. Daya mengandung makna tenaga, kekuatan, kesanggupan. Jadi kebudayaan
adalah kumpulan segala usaha dan upaya manusia yang di kerjakan dengan
mempergunakan hasil pendapat budi untuk memperbaiki kesempurnaan hidup.
Al-Qur’an memandang kebudayaan itu sebagai suatu proses, dan meletakan
kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas
kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu
perbuatan. Oleh karena itu secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil akal,
budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari nilai – nilai
kemanusiaan, namun bisa jadi lepas dari nilai – nilai Ketuhanan.
Kebudayaan adalah alam pikiran atau mengasah budi. Usaha kebudayaan adalah
pendidikan. Kebudayaan adalah pergaulan hidup diantara manusia dengan alam
semesta. Boleh jadi kebudayaan adalah usaha manusia melakukan tugas hidup sebagai
khalifah fil ardli (wakil Tuhan di bumi).
Dilihat dari berbagai tujuan dan sudut pandang tentang definisi kebudayaan,
menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan suatu persoalan yang sangat luas,
namun esensinya adalah bahwa kebudayaan itu melekat dengan diri manusia. Artinya,
manusialah itu pencipta kebudayaan. Kebudayaan itu hadir bersama dengan kelahiran
manusia sendiri. Dari penjelasan tersebut kebudayaan itu dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu kebudayaan sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai sutau produk.
Al Qur’an memandang kebudayaan itu merupakan suatu proses, dan meletakkan
kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas
kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu
perbuatan. Oleh karena itu, secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil akal,
budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai
kemanusiaan, namun bisa jadi lepas dari nilai-nilai ketuhanan.
Kebudayaan Islam adalah hasil akal, budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia
yang berlandaskan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk
berkiprah dan berkembang. Hasil akal, budi rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh
nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban.
Dalam perkembangannya kebudayaan perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-
aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu
hewani dan setan, sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi
untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga
menghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban Islami.
Oleh karena itu, misi kerasulan Muhammad SAW sebagaimana dalam sabdanya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Artinya Nabi Muhammad
SAW, mempunyai tugas pokok untuk membimbing manusia agar mengembangkan
kebudayaan sesuai dengan petunjuk Allah.
Awal tugas kerasulan Nabi meletakkan dasar-dasar kebudayaan Islam yang
kemudian berkembang menjadi peradaban Islam. Ketika dakwah Islam keluar dan
Jazirah Arab, kemudian tersebar ke seluruh dunia, maka terjadilah suatu proses panjang
dan rumit, yaitu asimilasi budaya setempat dengan nilai-niali Islam itu sendiri,
kemudian menghasilkan kebudayaan Islam, kemudian berkembang menjadi suatu
peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.
Dalam istilah bahasa arab, adat dikenal dengan istilah ‘adat atau ‘urf yang berarti
tradisi. Kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda. Dalam
pembahasan lain, ‘adat atau ‘urf dipahami sebagai sesuatu kebiasaan yang telah berlaku
secara umum di tengah-tengah masyarakat. Di seluruh penjuru negeri atau pada suatu
masyarakat tertentu yang berlangsung sejak lama.
Dari definisi tersebut, para ulana menetapkan bahwa sebuah tradisi yang bisa
dijadikan sebagai sebuah pedoman hukum adalah:
1. Tradisi yang telah berjalan sejak lama yang dikenal oleh masyarakat umum.
2. Diterima oleh akal sehat sebagai sebuah tradis yang baik.
3. Tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.
Menurut para ulama’ adat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar untuk
menetapkan hukum syara’ apabila tradisi tersebut telah berlaku secara umum di
masyarakat tertentu. Sebaliknya jika tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak
dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut
dilakukan.
Syarat lain yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. Artinya,
sebuah tradisi bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan
dengan nash al-Qur’an maupun al-Hadis. Karena itu, sebuah tradisi yang tidak
memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi
masyarakat. Nash yang dimaksudkan disinimaadalah nash yang bersifat qath’i (pasti),
yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak
memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.
Namun demikian, ulama’ masih melakukan penafshilan (perincian) mengenai
hubungan antara ‘urf atau ‘adat (tradisi) dengan syara’. Dalam beberapa masalah, tradisi
bisa dibenarkan meskipun bertantangan dengan nash. Pertentangan ini secara khusus
adalah mengenai bahasa, yakni antara bahasa yang dipakai dalam nash al-Qur’an atau
al-Hadis dengan bahasa yang lumrah digunakan atau diungkapakan dalam msyarakat.
Sedangkan jika ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf atau adat dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. ‘Urf Sahih, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat,
tidak bertentangan dengan ajaran agama, sopan santun, dan budaya yang luhur.
Misalnya pemberian pihak laki-laki kepada calon istrinya dalam pelaksanaan
pinangan dianggap sebagai hadiah, bukan mahar. Ini seperti juga kebiasaan
penduduk kota Baghdad dulunya untuk menyiapkan makan siang bagi tukang yang
bekerja dalam pembangunan rumah.
2. ‘Urf Fasid (adat kebiasaan yang tidak benar), yaitu suatu yang menjadi kebiasaan
yang sampai pada penghalalan sesuatu yang diharamkan oleh Allah (bertentangan
dengan ajaran agama), undang-undang negara dan sopan santun. Misalnya
menyediakan hiburan perempuan yang tidak memelihara aurat dan kehormatannya
dalam sebuah acara atau pesta, dan akad perniagaan yang mengandung riba.
Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa pada saat Islam datang dahulu,
masyarakat telam mempunyai adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda. Kemudian
Islam mengakui yang baik diantaranya serta sesuai dengan tujuan-tujuan syara’ dan
prisnsip-prinsipnya. Syara’ juga menolak adat istiadat dan tradisi yang tidak sesuai
dengan hukum Islam. Disamping itu ada pula sebagian yang diperbaiki dan diluruskan,
sehingga ia menjadi sejalan dengan arah dan sasarannya. Kemudian juga banyak hal
yang telah dibiarkan oleh syara’ tanpa pembaharuan yang kaku dan jelas, tetapi ia
biarkan sebagai lapangan gerak bagi al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang baik). Disinilah
peran ‘urf yang menentukan hukumnya, menjelaskan batasan-batasannya dan
rinciannya (Al-Qardhawi, 1993: 19).
Telah dijelaskan diatas bahwa sebuah tradisi yang berjalan secara umum di
tengah-tengah masyarakat memeiliki kekuatan hukum bagi mereka. Artinya, tradisi
tersebut dapat dibenarkan untuk terus dipertahankan. Sebaliknya, jika sebuah tradisi
belum berlaku secara umum, maka tradisi tersebut tidak bisa dijadikan sebagai
ketetapan hukum. dalam al-Qur’an juga diceritakan mengenai sebagian kebiasaan
masyarakat Arab yang ditetapkan sebagai hukum. Diantaranya adalah dalam surat an-
Nur ayat 58, yaitu:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita)
yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin
kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika
kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'.
(Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain
dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada
sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.".
Memelihara ‘urf dalam sebagian keadaan juga dianggap sebagai memelihara
maslahat itu sendiri. Hal ini bisa disebut demikian karena diantara maslahat manusia itu
adalah mengakui terhadap apa yang mereka anggap baik dan biasa, dan keadaan
mereka tersebut telah berlangsung selama bertahun-tahun dan dari satu generasi ke
generassi berikutnya. Sehingga ini menjadi bagian dari kehidupan sosial mereka yang
sekaligus sukar untuk ditinggalkan dan berat bagi mereka untuk hidup tanpa kebiasaan
tersebut (Al-Qardhawi, 1993: 21).
Diantara masalah yang bisa dijadikan sebagai ketetapan hukum adalah tradisi
Mitoni. Tradisi mitoni adalah tradisi yang dilakukan untuk selamatan tujuh bulan dari
kehamilan yang ibu atau ketika usia kandungan menginjak tujuh bulan. Tradisi tersebut
lumrah terjadi di daerah Jawa, sehingga tradisi tersebut dapat dibenarkan terus
berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ini disebabkan karena disamping tradisi
semcam itu tidak bertentangan dengan nash, ia juga dianggap tradisi yang baik oleh
masyarakat yang secara turun-temurun melestarikannya lain.
1. Seni Bangunan
Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, dan
makam.Contohnya Masjid Aceh di Aceh.
Masjid adalah tempat ibadahnya orang Islam. Di Indonesia, istilah masjid
biasanya menunjuk pada tempat untuk menyelenggarakan shalat berjama’ah.
Masjid di Indonesia pada zaman madya biasanya mempunyai cirri khas
tersendiri, diantaranya :
a. Atapnya berbentuk “atap tumpang” yaitu atap bersusun. Jumlah atap tumpang itu
selalu ganjil, 3 atau 5 seperti di Jawa dan Bali pada masa Hindu.
b. Tidak adanya menara. Pada masa itu masjid yang mempunyai menara hanya
masjid Banten dan masjid Kudus.
c. Biasanya masjid dibuat dekat istana, berada di sebelah utara atau selatan.
Biasanya didirikan di tepi barat alun-alun. Letak masjid ini melambangkan
bersatunya rakyat dan raja sesama makhluk Allah. Selain di alun-alun, masjid juga
dibangun di tempat-tempat keramat, yaitu makam wali, raja atau ahli agama.
Bentuk perkembangannya sesuai dengan perkembangan zaman. Sekarang
kebanyakan masjid atasnya berbentuk kubah dan ada menara, ini merupakan pengaruh
dari Timur tengah dan India.
Selain bangunan masjid, bentuk akulturasi juga terlihat dari makam, seperti
Makam Sendang Duwur
Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:
a. Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.
b. Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing,
nisannya juga terbuat dari batu.
c. Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup
atau kubba.
d. Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam
dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada
yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi
bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
e. Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan
biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja. Contohnya masjid
makam Sendang Duwur.
2. Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief
yang menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi
pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian,
misalnya ragam hias. Ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang distilir.
4. Sistem Pemerintahan
5. Sistem Kalender
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Cintai budaya,adanya tujuan yang kita ingin capai supaya nantinya terwujudnya budaya
yang menghasilkan nilai-nilai islam di tanah jawa. Jangan mudah terpengaruh oleh budaya
asing yang masuk di wilayah indonesia. Setidaknya mampu menggabungkan budaya di tanah
Jawa dengan budaya yang sedang berkembang.