Anda di halaman 1dari 4

NAMA : YUDI AULIA RAHMAN

NO BP : 2016510021
JURUSAN : TEKNIK GEODESI
PERTEMUAN KE – 5

AGAMA DAN BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

1. Agama Dan Budaya


Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama bersumber
dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama adalah “karya” Allah, sedangkan
budaya adalah karya manusia. Dengan demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya
pun bukan bagian dari agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan
saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi dan rasul,
Allah Sang Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah, manusia, alam
semesta dan hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang
disebut agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang
memeluknya.
Di tengah masyarakat, kita melihat praktek-praktek keberagamaan yang bagi sebagian
orang tidak terlalu jelas apakah ia merupakan bagian dari agama atau budaya. Ambil contoh
Misalnya, sekatenan. Sekaten adalah sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh
hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Menurut cerita rakyat kata Sekaten
berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Para pengunjung sekatenan yang
menyatakan ingin “ngrasuk” agama Islam setelah mengikuti kegiatan syiar agama Islam tersebut,
dituntun untuk mengucapkan 2 (dua) kalimat syahadat (syahadatain). Dalam pengamalannya
Islam tidak membumi hanguskan semua budaya tersebut. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam
dan budaya. Di mana budaya menjadi sebuah metode/alat untuk menyampaikan Islam. Contoh
yang populer adalah bagaimana Islam mengajarkan untuk mendoakan kebaikan dan kemenangan
di hari Idul Fitri.
Islam adalah agama yang di ridhai Allah. Sebagaimana termaktub dalam surat al-Maidah,
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku
bagimu, dan telah aku ridhai Islam sebagai agamamu”. (QS. al-Maidah: 3). Bahkan Allah
menguatkan firmanNya di dalam surat al-‘Imran, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah
Islam”. (QS. al-‘Imran: 19). Sejak zaman Rasulullah saw, Islam disampaikan dengan beragam
cara, didakwahkan kepada umat dengan berbagai metode. Metode tersebut adalah sebuah cara
untuk menyampaikan esensi ajaran Islam sendiri.
Dalam perkembangannya Islam tidak dapat dipisahkan dengan budaya, bahkan Islam
merangkul budaya untuk menyampaikan ajarannya. Namun, apakah pengertian budaya dan
bagaimana Islam memandangnya? Budaya adalah kelakuan yang berlaku pada masyarakat dan
lingkungan tertentu. Dahulu kebiasaan memberikan makanan untuk berhala adalah budaya di
kalangan masyarakat jahiliyah Arab. Namun, setelah Rasul datang beliau mengubah kebiasaan
jahiliyah tersebut, dan menggantikannya dengan ajaran Islam. Misalnya, kebiasaan memberikan
makanan untuk berhala, diganti beliau dengan mengajarkan bersedekah. Begitu pula pada
generasi berikutnya, wali sembilan di Jawa misalnya. Para wali mengubah kebiasaan atau budaya
masyarakat pada saat itu, dan menggantinya dengan kegiatan yang bernilai ibadah.
Pada prinsipnya, Islam datang ke suatu daerah (termasuk ke jazirah Arabia sebagai
tempat kelahirannya) tidak untuk menghapuskan semua produk budaya termasuk tradisi yang
sudah hidup di tengah masyarakat. Ada tradisi Arab (masa jahiliah) yang dilarang, ada yang
dibiarkan, ada yang dikembangkan, dan ada yang diislamkan dan dijadikan bagian dari ajaran
Islam. Pertanyaan pokok, dalam menghadapi beragam budaya dan tradisi di tengah masyarakat,
adalah apakah budaya dan tradisi itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok akidah, syariah dan
akhlak Islam?

2. Ibadah Dan Muamalah


Agama Islam membawa ajaran-ajaran yang secara garis besar berdasarkan klasifikasi
para ulama terdiri dari akidah, syariah dan akhlak. Akidah mencakup pokok-pokok keimanan,
yang intisarinya adalah tauhid. Syariah adalah sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan alam semesta. Syariah dibedakan menjadi
dua, yaitu yang mengatur tatacara ibadah murni (ibadah mahdhah) dan tatacara hubungan
dengan sesama manusia dan alam (mu’amalah). Adapun akhlak adalah ajaran tentang baik-buruk
berkaitan dengan sikap jiwa, perangai, karakter, dan perilaku manusia kepada Tuhan, sesama
manusia, dan alam. Akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak merupakan satu sistem yang saling
berkait-berkelindan, tidak bisa dipisah-pisahkan, dan saling berhubungan secara korelatif.
Jika dalam hal ibadah dasar utamanya adalah mengikuti perintah dan contoh dari
Rasulullah SAW, maka dalam hal muamalah dasar utamanya untuk sebagian besar ketentuan
syariah adalah pemahaman terhadap hakekat, tujuan, alasan, dan masalahat di balik ketentuan
tersebut. Dengan kata lain, dalam hal muamalah ketentuan syariah tidak seketat seperti dalam
ibadah, dalam arti masih ada ruang untuk mempertimbangkan berbagai variabel dan ruang untuk
kreativitas. Dalam hubungan ini ada sebagai misal kaidah ushul fikih yang berkaitan dengan
muamalah, ”al-hukmu yaduru ma’al ’illati wujudan wa ’adaman” (hukum itu bisa berubah
menjadi ada dan tidak ada berdasarkan alasan-alasannya). Jika dalam hal ibadah terdapat kaidah
“semua dilarang kecuali yang diperintahkan”, maka dalam hal non-ibadah, termasuk adat, tradisi,
dan produk-produk budaya, kaidahnya adalah “semua boleh kecuali yang dilarang” (al-ashlu fil
’adati al-ibahah illa ma warada tahrimuhu). Dalam hal ini, kreativitas atau kepeloporan untuk
menciptaan kebaikan-kebaikan justru didorong, sebagaimana ucapan Nabi SAW “Man sanna
sunnatan hasanah falahu ajruhu wa ajru man ’amila bihu ba’dahu” (Barangsiapa mempelopori
suatu kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala kebaikan yang dia lakukan itu, dan pahala
siapa saja yang melakukan kebaikan itu sesudahnya).

3. Sunnah Dan Bid’ah


As-Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), yang dimaksudkan sebagai
tasyri’ (pensyariatan) yang harus diikuti dan diteladani oleh ummat Islam. Yang dimaksud
dengan pensyariatan adalah penetapan sesuatu sebagai bagian dari syariat agama. Tersirat makna
dari definisi ini bahwa tidak semua ucapan, perbuatan, dan penetapan dari Nabi disebut as-
Sunnah. Permasalahannya adalah bagaimana memastikan bahwa ucapan, perbuatan, dan
penetapan Nabi itu dimaksudkan atau tidak dimaksudkan sebagai pensyariatan.
Adapun Bid’ah secara etimologis bermakna “ciptaan baru”. Bid’ah masuk ke dalam
terminologi agama berdasarkan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari
Iryadh ibn Sariyah. Dia berkata, “Rasulullah SAW pada suatu hari memberikan nasehat yang
sangat mengesankan, membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Seorang dari
kami berkata, “nasehat itu seakan-akan merupakan nasehat perpisahan ya Rasul, maka
berikanlah kepada kami nasehat lagi”. Nabi SAW bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar
bertakwa kepada Allah, mau mendengarkan dan menaati (nasehat yang baik) meskipun dari
seorang budak habasyi. Barang siapa mengalami hidup sesudahku, akan menyaksikan banyak
perselisihan, maka hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur
Rasyidin, pegangilah erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian. Hindarkan diri kalian dari
perkara-perkara baru, karena setiap yang baru itu bid’ah, setiap bid’ah itu sesat. Hadis lain
riwayat An-Nasa’i dari Jabir ibn Abdullah dengan redaksi yang sama tapi dengan tambahan
“dan setiap kesesatan itu masuk neraka”. Kemudian hadis yang bersumber dari ’Aisyah
diriwayatkan oleh Imam Muslim menjelaskan batasan frasa “perkara-perkara baru”, Nabi SAW
bersabda: “Barang siapa melakukan amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amalan itu
ditolak”. Dari hadis ini dipahami bahwa yang dimaksud dengan “perkara baru” adalah dibidang
agama. Dengan demikian, secara terminoliogis bid’ah adalah “ciptaan baru dalam urusan
agama”. Pengertian “urusan agama” yang paling dekat dengan pikiran adalah masalah akidah
dan ibadah. Jadi bid’ah adalah hal berkaitan dengan akidah yang tidak diajarkan dan amal ibadah
yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Adapun bila ada anjurannya, baik berbentuk
wajib atau sunnah dengan didukung dalil-dalil syar’i terhadap anjuran tersebut, maka hal itu
bagian dari agama meskipun terdapat perselisihan diantara alim ulama dalam sebagian masalah.
Definisi lain mengatakan “bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang
bentuknya menyerupai syari‘at, tujuannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada
Allah SWT”.
Dari hadis-hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuatu disebut bid’ah apabila
memenuhi tiga unsur: (1)Kebaruan atau pembaruan. Ini mencakup semua kreasi atau ciptaan
baru yang belum ada sebelumnya, bisa baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan bisa mencakup
semua hal baik urusan agama maupun urusan dunia. (2) Sesuatu yang baru itu dinisbatkan
kepada atau dianggap sebagai bagian dari syariat agama. Batasan ini berdasarkan hadis dari
’Aisyah yang menyebut “fi amrina” (dalam urusan kami, maksudnya urusan agama). Dengan
demikian, kreasi baru dalam bidang kebudayaan dalam arti luas tidak disebut bid’ah. (3)Sesuatu
yang baru itu tidak punya landasan atau rujukan dari syariah yang sahih.

4. Urusan Agama Dan Dunia


Istilah “urusan agama” dan “urusan dunia” ini berasal dari sabda Nabi SAW.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW berjalan dengan beberapa sahabat dan
melihat orang-orang berada di pucuk pohon-pohon korma. Rasul bertanya: “apa yang mereka
lakukan di sana?”. Dijawab: “mereka sedang mengawinkan bunga-bunga korma agar berbuah”.
Nabi berkata: “saya kira itu tidak perlu”. Setelah mendengar perkataan Nabi itu mereka berhenti
melakukan pengawinan. Ternyata pohon korma mereka kurang banyak buahnya. Merekapun
mengadukan hal tersebut kepada Nabi. Jawaban Nabi atas pengaduan ini ada beberapa versi
riwayat. Menurut riwayat Imam Muslim, bersumber dari Thalhah ibn Ubaidillah, beliau
menjawab: “yang aku katakan itu pendapatku, jangan aku dipersalahkan karena pendapatku, tapi
kalau aku mengatakan sesuatu yang berasal dari Allah, kalian wajib mengambilnya”. Sedangkan
yang bersumber dari Rafi’ ibn Al-Khadij, Nabi menjawab: “kalau aku perintahkan sesuatu
berkaitan dengan agama ambillah, tapi kalau aku berkata berdasarkan pendapatku, maka aku
hanyalah seorang manusia (yang bisa salah bisa benar)”. Adapun Imam Ahmad, Ibnu Majah dan
Ibnu Hibban meriwayatkan jawaban Nabi adalah “Kalian lebih tahu mengenai urusan dunia
kalian. Jika berkaitan dengan urusan dunia, itu terserah kalian, tapi kalau berkaitan dengan
urusan agama, serahkan kepadaku”.
Beberapa riwayat di atas berbeda tapi tidak bertentangan satu sama lain. Intinya, ada
urusan-urusan agama yang otoritasnya milik Allah dan Rasulullah; dan ada urusan-urusan dunia
yang otoritasnya “didelegasikan” kepada umat termasuk Muhammad SAW dalam kedudukannya
sebagai manusia (basyar). Disini timbul persoalan, apa batasan antara urusan agama dan urusan
dunia?. Ada yang berpendapat bahwa “urusan agama” yang merupakan otoritas Allah dan Rasul-
Nya adalah yang berkaitan dengan akidah dan ibadah (mahdhah) saja; di luar kedua aspek itu
adalah “urusan dunia” yang merupakan otoritas manusia untuk mengaturnya. Yang lain
berpendapat bahwa terminologi urusan agama dan urusan dunia tidak ada kaitannya dengan soal
otoritas pengaturannya. Dalam kedua urusan itu manusia harus mengikuti dan menjalankan
aturan Allah. Pendapat pertama bertentangan dengan hakekat agama Islam yang didefinisikan
sebagai “sistem keyakinan dan tata-ketentuan Ilahi yang mengatur segala pri-kehidupan dan
penghidupan asasi manusia dalam berbagai hubungan”. Pendapat kedua tidak sesuai dengan inti
pesan dari hadis Nabi SAW diatas.

Anda mungkin juga menyukai