Harus diakui bahwa memang ada permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam
dalam membedakan antara agama dan budaya, antara ibadah dan muamalah,
antara urusan agama dan urusan dunia, antara sunnah dan bidah. Secara teoritis
perbedaan antara keduanya dapat dijelaskan, tapi dalam praktek kehidupan
kedua hal tersebut seringkali rancu, kabur, dan tidak mudah untuk dibedakan.
Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama
bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama
adalah karya Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia. Dengan
demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari
agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan
saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para
nabi dan rasul, Allah Sang Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya
mengenai hakekat Allah, manusia, alam semesta dan hakekat kehidupan yang
harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang disebut agama itu,
mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang
memeluknya.
Berkaitan dengan ibadah mahdhah ini yang sering menjadi perdebatan adalah
amalan di sekitar pelaksanaan ibadah. Misalnya, bacaan taawwudz,
basmalah dan shalawat oleh muadzin sebelum mengumandangkan adzan,
melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram dalam shalat, dan bersalam-
salaman sesudah shalat berjamaah. Satu pihak berpendapat hal itu tidak
diperbolehkan karena tidak ada contoh dari Nabi SAW. Pihak lain
memperbolehkan karena hal itu dilakukan di luar (sebelum atau sesudah)
ibadah. Masalahnya, karena amalan itu dilakukan secara rutin dan berurutan
langsung dengan pelaksanaan ibadah, maka bisa menimbulkan kesan atau
pemahaman bahwa amalan itu bersifat wajib dan merupakan bagian dari syarat
atau rukun ibadah. Pemahaman ini yang harus diluruskan.
Jika dalam hal ibadah dasar utamanya adalah mengikuti perintah dan contoh
dari Rasulullah SAW, maka dalam hal muamalah dasar utamanya untuk
sebagian besar ketentuan syariah adalah pemahaman terhadap hakekat, tujuan,
alasan, dan masalahat di balik ketentuan tersebut. Dengan kata lain, dalam hal
muamalah ketentuan syariah tidak seketat seperti dalam ibadah, dalam arti
masih ada ruang untuk mempertimbangkan berbagai variabel dan ruang untuk
kreativitas. Dalam hubungan ini ada sebagai misal kaidah ushul fikih yang
berkaitan dengan muamalah, al-hukmu yaduru maal illati wujudan wa
adaman (hukum itu bisa berubah menjadi ada dan tidak ada berdasarkan
alasan-alasannya).
Jika dalam hal ibadah terdapat kaidah semua dilarang kecuali yang
diperintahkan, maka dalam hal non-ibadah, termasuk adat, tradisi, dan produk-
produk budaya, kaidahnya adalah semua boleh kecuali yang dilarang (al-
ashlu fil adati al-ibahah illa ma warada tahrimuhu). Dalam hal ini, kreativitas
atau kepeloporan untuk menciptaan kebaikan-kebaikan justru didorong,
sebagaimana ucapan Nabi SAW Man sanna sunnatan hasanah falahu ajruhu
wa ajru man amila bihu badahu (Barangsiapa mempelopori suatu kebaikan,
maka ia akan memperoleh pahala kebaikan yang dia lakukan itu, dan pahala
siapa saja yang melakukan kebaikan itu sesudahnya).
Istilah urusan agama dan urusan dunia ini berasal dari sabda Nabi SAW.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW berjalan dengan beberapa
sahabat dan melihat orang-orang berada di pucuk pohon-pohon korma. Rasul
bertanya: apa yang mereka lakukan di sana?. Dijawab: mereka sedang
mengawinkan bunga-bunga korma agar berbuah. Nabi berkata: saya kira itu
tidak perlu. Setelah mendengar perkataan Nabi itu mereka berhenti melakukan
pengawinan. Ternyata pohon korma mereka kurang banyak buahnya.
Merekapun mengadukan hal tersebut kepada Nabi. Jawaban Nabi atas
pengaduan ini ada beberapa versi riwayat. Menurut riwayat Imam Muslim,
bersumber dari Thalhah ibn Ubaidillah, beliau menjawab: yang aku katakan itu
pendapatku, jangan aku dipersalahkan karena pendapatku, tapi kalau aku
mengatakan sesuatu yang berasal dari Allah, kalian wajib mengambilnya.
Sedangkan yang bersumber dari Rafi ibn Al-Khadij, Nabi menjawab: kalau
aku perintahkan sesuatu berkaitan dengan agama ambillah, tapi kalau aku
berkata berdasarkan pendapatku, maka aku hanyalah seorang manusia (yang
bisa salah bisa benar). Adapun Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban
meriwayatkan jawaban Nabi adalah Kalian lebih tahu mengenai urusan dunia
kalian. Jika berkaitan dengan urusan dunia, itu terserah kalian, tapi kalau
berkaitan dengan urusan agama, serahkan kepadaku.
Beberapa riwayat di atas berbeda tapi tidak bertentangan satu sama lain. Intinya,
ada urusan-urusan agama yang otoritasnya milik Allah dan Rasulullah; dan ada
urusan-urusan dunia yang otoritasnya didelegasikan kepada umat termasuk
Muhammad SAW dalam kedudukannya sebagai manusia (basyar). Disini
timbul persoalan, apa batasan antara urusan agama dan urusan dunia?. Ada yang
berpendapat bahwa urusan agama yang merupakan otoritas Allah dan Rasul-
Nya adalah yang berkaitan dengan akidah dan ibadah (mahdhah) saja; di luar
kedua aspek itu adalah urusan dunia yang merupakan otoritas manusia untuk
mengaturnya. Yang lain berpendapat bahwa terminologi urusan agama dan
urusan dunia tidak ada kaitannya dengan soal otoritas pengaturannya. Dalam
kedua urusan itu manusia harus mengikuti dan menjalankan aturan Allah.
Pendapat pertama bertentangan dengan hakekat agama Islam yang didefinisikan
sebagai sistem keyakinan dan tata-ketentuan Ilahi yang mengatur segala pri-
kehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam berbagai hubungan.
Pendapat kedua tidak sesuai dengan inti pesan dari hadis Nabi SAW diatas.
Jalan tengah dari kedua pendapat ini adalah (1) dalam aspek akidah dan ibadah
(yang oleh para ulama disebut sebagai agama dalam arti sempit), ketentuan-
ketentuan Allah dan Rasulullah bersifat mutlak. (2) dalam aspek muamalah,
Allah dan Rasulullah memberikan patokan-patokan atau prinsip-prinsip,
sedangkan penjabaran dan aplikasinya diserahkan kepada ijtihad manusia. (3)
dalam aspek Akhlak, Allah dan Rasulullah mengajarkan nilai- nilai kebaikan
universal (al-khair) yang bersifat mutlak, sedangkan kebaikan-kebaikan
kultural (al-maruf) disesuaikan dengan budaya yang bersifat relatif dan bisa
berubah-ubah.
As-Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shallallahu alaihi
wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fiil (perbuatan), taqrir (penetapan),
yang dimaksudkan sebagai tasyri (pensyariatan) yang harus diikuti dan
diteladani oleh ummat Islam. Yang dimaksud dengan pensyariatan adalah
penetapan sesuatu sebagai bagian dari syariat agama. Tersirat makna dari
definisi ini bahwa tidak semua ucapan, perbuatan, dan penetapan dari Nabi
disebut as-Sunnah. Permasalahannya adalah bagaimana memastikan bahwa
ucapan, perbuatan, dan penetapan Nabi itu dimaksudkan atau tidak
dimaksudkan sebagai pensyariatan.
Definisi yang lain menyebutkan bahwa lingkup dari As-Sunnah adalah masalah-
masalah keagamaan, yaitu menyangkut akidah dan ibadah, di luar itu tidak
termasuk sunnah. Perkataan dan perbuatan Nabi SAW berkaitan dengan rincian
Rukun Iman dan Rukun Islam adalah As-Sunnah yang harus diikuti. Tapi
perkataan dan perbuatan Nabi SAW di luar itu tidak termasuk dalam As-
Sunnah. Definisi ini memaknai agama secara sempit, karena hanya menyangkut
akidah dan ibadah. Padahal agama Islam mencakup berbagai aspek kehidupan.
Tapi pendapat sebaliknya yang memasukkan semua hal dari Nabi SAW
(termasuk cara berjalan, cara makan, bentuk pakaian, dan sejenisnya) ke dalam
pengertian As-Sunnah juga berlebihan. Jalan tengahnya menurut hemat penulis
adalah sebagaimana dikemukakan pada alinea terakhir sub-bab Urusan Agama
dan Urusan Dunia.