Anda di halaman 1dari 6

Antara Agama dan Budaya Dalam Perspektif Islam

AHMAD FUAD EFFENDI 6 Feb 2016Esai, Khasanah

Harus diakui bahwa memang ada permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam
dalam membedakan antara agama dan budaya, antara ibadah dan muamalah,
antara urusan agama dan urusan dunia, antara sunnah dan bidah. Secara teoritis
perbedaan antara keduanya dapat dijelaskan, tapi dalam praktek kehidupan
kedua hal tersebut seringkali rancu, kabur, dan tidak mudah untuk dibedakan.

Antara Agama dan Budaya

Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama
bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama
adalah karya Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia. Dengan
demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari
agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan
saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para
nabi dan rasul, Allah Sang Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya
mengenai hakekat Allah, manusia, alam semesta dan hakekat kehidupan yang
harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang disebut agama itu,
mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang
memeluknya.

Di tengah masyarakat, kita melihat praktek-praktek keberagamaan yang bagi


sebagian orang tidak terlalu jelas apakah ia merupakan bagian dari agama atau
budaya. Ambil contoh tradisi tahlilan. Tidak sedikit di kalangan umat Islam
yang beranggapan bahwa upacara tahlilan adalah kewajiban agama, yang harus
mereka selenggarakan meskipun untuk itu harus berhutang. Mereka merasa
berdosa kalau tidak mengadakan tahlilan ketika ada anggota keluarga yang
meninggal dunia. Padahal yang diperintahkan oleh agama berkaitan dengan
kematian adalah memandikan, mengkafani, menyalatkan, mengantar ke
makan, memakamkan, dan mendoakan. Sangat simple dan hampir tidak
memerlukan biaya. Ini berarti bahwa upacara tahlilan pada dasarnya adalah
tradisi, bagian dari budaya bangsa, yang mungkin telah ada sebelum datangnya
Islam, yaitu tradisi kumpul-kumpul di rumah duka, yang kemudian diislamkan
atau diberi corak Islam. Yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah membenahi
pemahaman dan penyikapan umat terhadap praktek-praktek keberagamaan
seperti itu secara proporsional.

Sekedar perbandingan bisa dikemukakan di sini kewajiban agama yang


bernama qurban (sekali setahun) dan aqiqah (sekali seumur hidup). Qurban dan
Aqiqah adalah perintah agama meskipun kedudukan hukum fikihnya
hanya sunnah mu`akkadah. Tapi di tengah masyarakat muslim secara umum,
qurban dan aqiqah ini kalah pamor dibandingkan dengan tahlilan. Apakah ini
berarti umat Islam lebih peduli terhadap urusan kematian daripada urusan
kehidupan? Wallahu alam. Yang pasti bahwa sanksi sosial yang dijatuhkan
kepada orang yang tidak mengadakan tahlilan lebih keras dibandingkan dengan
orang yang tidak melaksanakan qurban dan aqiqah.

Adalagi produk budaya yang disalahpahami sebagai bagian dari agama


sehingga dianggap sebagai bidah. Misalnya kesenian yang bercorak Islam.
Banyak puisi madah nabawi (pujian kepada Nabi) ditulis dalam bahasa Arab,
kemudian dilagukan dan diiringi dengan musik. Lagu dan musik semacam ini di
Indonesia disebut lagu atau musik shalawat. Karena shalawat itu bagian dari
ibadah dan kalimat-kalimatnya sudah diajarkan oleh Nabi SAW, maka puisi
madah nabawi (yang kalimatnya berbeda dengan yang diajarkan oleh Nabi),
apalagi lagu dan musiknya, serta merta dinilai sebagai bidah. Anehnya, puji-
pujian kepada Nabi yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yang kemudian
dilagukan dan diiringi musik, tidak dimasukkan dalam katagori bidah. Puisi-
puisi pujian untuk Nabi (termasuk yang ditulis dalam bahasa Arab) adalah
produk budaya dengan muatan cinta kepada Rasulullah SAW dan doa kepada
Allah SWT.

Pada prinsipnya, Islam datang ke suatu daerah (termasuk ke jazirah Arabia


sebagai tempat kelahirannya) tidak untuk menghapuskan semua produk budaya
termasuk tradisi yang sudah hidup di tengah masyarakat. Ada tradisi Arab
(masa jahiliah) yang dilarang, ada yang dibiarkan, ada yang dikembangkan, dan
ada yang diislamkan dan dijadikan bagian dari ajaran Islam. Pertanyaan pokok,
dalam menghadapi beragam budaya dan tradisi di tengah masyarakat, adalah
apakah budaya dan tradisi itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok akidah,
syariah dan akhlak Islam?

Antara Ibadah dan Muamalah

Agama Islam membawa ajaran-ajaran yang secara garis besar berdasarkan


klasifikasi para ulama terdiri dari akidah, syariah dan akhlak. Akidah
mencakup pokok-pokok keimanan, yang intisarinya adalah tauhid. Syariah
adalah sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
dengan sesama manusia dan alam semesta. Syariah dibedakan menjadi dua,
yaitu yang mengatur tatacara ibadah murni (ibadah mahdhah) dan tatacara
hubungan dengan sesama manusia dan alam (muamalah). Adapun akhlak
adalah ajaran tentang baik-buruk berkaitan dengan sikap jiwa, perangai,
karakter, dan perilaku manusia kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak merupakan satu sistem yang saling
berkait-berkelindan, tidak bisa dipisah-pisahkan, dan saling berhubungan secara
korelatif.
Yang sering menimbulkan masalah dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan
ibadah (mahdhah) dan muamalah. Mengenai ibadah ini ada kaidah ushul-fikih
yang menyatakan: Al-ashlu fil ibadati at-tahrim illa ma syaraahullah wa
rasuluh (ibadah itu pada dasarnya dilarang kecuali yang diperintahkan oleh
Allah dan Rasul-Nya). Allah SWT sudah menetapkan pokok-pokoknya,
sedangkan Rasulullah SAW menjelaskan tata-caranya. Dalam hal ibadah ini
dasar utamanya adalah mengikuti perintah dan contoh dari Nabi SAW. Disini
tidak berlaku analogi, logika, atau alasan-alasan. Oleh karena itu dalam hal
ibadah tidak ada ruang untuk kreativitas, kecuali menyangkut sarana
penunjangnya. Perbedaan masih dimungkinkan menyangkut hal-hal yang tidak
pokok karena dalil-dalil naqlinya yang multi-tafsir disamping persoalan yang
menyangkut kuat-lemahnya sebuah hadis. Sepanjang ada landasan dalil
naqlinya, perbedaan harus ditolerir.

Berkaitan dengan ibadah mahdhah ini yang sering menjadi perdebatan adalah
amalan di sekitar pelaksanaan ibadah. Misalnya, bacaan taawwudz,
basmalah dan shalawat oleh muadzin sebelum mengumandangkan adzan,
melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram dalam shalat, dan bersalam-
salaman sesudah shalat berjamaah. Satu pihak berpendapat hal itu tidak
diperbolehkan karena tidak ada contoh dari Nabi SAW. Pihak lain
memperbolehkan karena hal itu dilakukan di luar (sebelum atau sesudah)
ibadah. Masalahnya, karena amalan itu dilakukan secara rutin dan berurutan
langsung dengan pelaksanaan ibadah, maka bisa menimbulkan kesan atau
pemahaman bahwa amalan itu bersifat wajib dan merupakan bagian dari syarat
atau rukun ibadah. Pemahaman ini yang harus diluruskan.

Jika dalam hal ibadah dasar utamanya adalah mengikuti perintah dan contoh
dari Rasulullah SAW, maka dalam hal muamalah dasar utamanya untuk
sebagian besar ketentuan syariah adalah pemahaman terhadap hakekat, tujuan,
alasan, dan masalahat di balik ketentuan tersebut. Dengan kata lain, dalam hal
muamalah ketentuan syariah tidak seketat seperti dalam ibadah, dalam arti
masih ada ruang untuk mempertimbangkan berbagai variabel dan ruang untuk
kreativitas. Dalam hubungan ini ada sebagai misal kaidah ushul fikih yang
berkaitan dengan muamalah, al-hukmu yaduru maal illati wujudan wa
adaman (hukum itu bisa berubah menjadi ada dan tidak ada berdasarkan
alasan-alasannya).

Jika dalam hal ibadah terdapat kaidah semua dilarang kecuali yang
diperintahkan, maka dalam hal non-ibadah, termasuk adat, tradisi, dan produk-
produk budaya, kaidahnya adalah semua boleh kecuali yang dilarang (al-
ashlu fil adati al-ibahah illa ma warada tahrimuhu). Dalam hal ini, kreativitas
atau kepeloporan untuk menciptaan kebaikan-kebaikan justru didorong,
sebagaimana ucapan Nabi SAW Man sanna sunnatan hasanah falahu ajruhu
wa ajru man amila bihu badahu (Barangsiapa mempelopori suatu kebaikan,
maka ia akan memperoleh pahala kebaikan yang dia lakukan itu, dan pahala
siapa saja yang melakukan kebaikan itu sesudahnya).

Antara Urusan Agama dan Urusan Dunia

Istilah urusan agama dan urusan dunia ini berasal dari sabda Nabi SAW.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW berjalan dengan beberapa
sahabat dan melihat orang-orang berada di pucuk pohon-pohon korma. Rasul
bertanya: apa yang mereka lakukan di sana?. Dijawab: mereka sedang
mengawinkan bunga-bunga korma agar berbuah. Nabi berkata: saya kira itu
tidak perlu. Setelah mendengar perkataan Nabi itu mereka berhenti melakukan
pengawinan. Ternyata pohon korma mereka kurang banyak buahnya.
Merekapun mengadukan hal tersebut kepada Nabi. Jawaban Nabi atas
pengaduan ini ada beberapa versi riwayat. Menurut riwayat Imam Muslim,
bersumber dari Thalhah ibn Ubaidillah, beliau menjawab: yang aku katakan itu
pendapatku, jangan aku dipersalahkan karena pendapatku, tapi kalau aku
mengatakan sesuatu yang berasal dari Allah, kalian wajib mengambilnya.
Sedangkan yang bersumber dari Rafi ibn Al-Khadij, Nabi menjawab: kalau
aku perintahkan sesuatu berkaitan dengan agama ambillah, tapi kalau aku
berkata berdasarkan pendapatku, maka aku hanyalah seorang manusia (yang
bisa salah bisa benar). Adapun Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban
meriwayatkan jawaban Nabi adalah Kalian lebih tahu mengenai urusan dunia
kalian. Jika berkaitan dengan urusan dunia, itu terserah kalian, tapi kalau
berkaitan dengan urusan agama, serahkan kepadaku.

Beberapa riwayat di atas berbeda tapi tidak bertentangan satu sama lain. Intinya,
ada urusan-urusan agama yang otoritasnya milik Allah dan Rasulullah; dan ada
urusan-urusan dunia yang otoritasnya didelegasikan kepada umat termasuk
Muhammad SAW dalam kedudukannya sebagai manusia (basyar). Disini
timbul persoalan, apa batasan antara urusan agama dan urusan dunia?. Ada yang
berpendapat bahwa urusan agama yang merupakan otoritas Allah dan Rasul-
Nya adalah yang berkaitan dengan akidah dan ibadah (mahdhah) saja; di luar
kedua aspek itu adalah urusan dunia yang merupakan otoritas manusia untuk
mengaturnya. Yang lain berpendapat bahwa terminologi urusan agama dan
urusan dunia tidak ada kaitannya dengan soal otoritas pengaturannya. Dalam
kedua urusan itu manusia harus mengikuti dan menjalankan aturan Allah.
Pendapat pertama bertentangan dengan hakekat agama Islam yang didefinisikan
sebagai sistem keyakinan dan tata-ketentuan Ilahi yang mengatur segala pri-
kehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam berbagai hubungan.
Pendapat kedua tidak sesuai dengan inti pesan dari hadis Nabi SAW diatas.
Jalan tengah dari kedua pendapat ini adalah (1) dalam aspek akidah dan ibadah
(yang oleh para ulama disebut sebagai agama dalam arti sempit), ketentuan-
ketentuan Allah dan Rasulullah bersifat mutlak. (2) dalam aspek muamalah,
Allah dan Rasulullah memberikan patokan-patokan atau prinsip-prinsip,
sedangkan penjabaran dan aplikasinya diserahkan kepada ijtihad manusia. (3)
dalam aspek Akhlak, Allah dan Rasulullah mengajarkan nilai- nilai kebaikan
universal (al-khair) yang bersifat mutlak, sedangkan kebaikan-kebaikan
kultural (al-maruf) disesuaikan dengan budaya yang bersifat relatif dan bisa
berubah-ubah.

Antara Sunnah dan Bidah

As-Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shallallahu alaihi
wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fiil (perbuatan), taqrir (penetapan),
yang dimaksudkan sebagai tasyri (pensyariatan) yang harus diikuti dan
diteladani oleh ummat Islam. Yang dimaksud dengan pensyariatan adalah
penetapan sesuatu sebagai bagian dari syariat agama. Tersirat makna dari
definisi ini bahwa tidak semua ucapan, perbuatan, dan penetapan dari Nabi
disebut as-Sunnah. Permasalahannya adalah bagaimana memastikan bahwa
ucapan, perbuatan, dan penetapan Nabi itu dimaksudkan atau tidak
dimaksudkan sebagai pensyariatan.

Definisi yang lain menyebutkan bahwa lingkup dari As-Sunnah adalah masalah-
masalah keagamaan, yaitu menyangkut akidah dan ibadah, di luar itu tidak
termasuk sunnah. Perkataan dan perbuatan Nabi SAW berkaitan dengan rincian
Rukun Iman dan Rukun Islam adalah As-Sunnah yang harus diikuti. Tapi
perkataan dan perbuatan Nabi SAW di luar itu tidak termasuk dalam As-
Sunnah. Definisi ini memaknai agama secara sempit, karena hanya menyangkut
akidah dan ibadah. Padahal agama Islam mencakup berbagai aspek kehidupan.
Tapi pendapat sebaliknya yang memasukkan semua hal dari Nabi SAW
(termasuk cara berjalan, cara makan, bentuk pakaian, dan sejenisnya) ke dalam
pengertian As-Sunnah juga berlebihan. Jalan tengahnya menurut hemat penulis
adalah sebagaimana dikemukakan pada alinea terakhir sub-bab Urusan Agama
dan Urusan Dunia.

Adapun Bidah secara etimologis bermakna ciptaan baru. Bidah masuk ke


dalam terminologi agama berdasarkan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud dari Iryadh ibn Sariyah. Dia berkata, Rasulullah SAW pada suatu
hari memberikan nasehat yang sangat mengesankan, membuat hati kami
bergetar dan air mata kami bercucuran. Seorang dari kami berkata, nasehat itu
seakan-akan merupakan nasehat perpisahan ya Rasul, maka berikanlah kepada
kami nasehat lagi. Nabi SAW bersabda: Aku wasiatkan kepada kalian agar
bertakwa kepada Allah, mau mendengarkan dan menaati (nasehat yang baik)
meskipun dari seorang budak habasyi. Barang siapa mengalami hidup
sesudahku, akan menyaksikan banyak perselisihan, maka hendaklah kalian
berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin,
pegangilah erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian. Hindarkan diri
kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap yang baru itu bidah, setiap
bidah itu sesat. Hadis lain riwayat An-Nasai dari Jabir ibn Abdullah dengan
redaksi yang sama tapi dengan tambahan dan setiap kesesatan itu masuk
neraka. Kemudian hadis yang bersumber dari Aisyah diriwayatkan oleh
Imam Muslim menjelaskan batasan frasa perkara-perkara baru, Nabi SAW
bersabda: Barang siapa melakukan amalan yang tidak ada perintah dari kami
maka amalan itu ditolak. Dari hadis ini dipahami bahwa yang dimaksud
dengan perkara baru adalah dibidang agama.

Dengan demikian, secara terminoliogis bidah adalah ciptaan baru dalam


urusan agama. Pengertian urusan agama yang paling dekat dengan pikiran
adalah masalah akidah dan ibadah. Jadi bidah adalah hal berkaitan dengan
akidah yang tidak diajarkan dan amal ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Adapun bila ada anjurannya, baik berbentuk wajib atau sunnah
dengan didukung dalil-dalil syari terhadap anjuran tersebut, maka hal itu
bagian dari agama meskipun terdapat perselisihan diantara alim ulama dalam
sebagian masalah. Definisi lain mengatakan bidah adalah suatu cara yang
diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syariat, tujuannya
adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.

Dari hadis-hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuatu disebut bidah


apabila memenuhi tiga unsur: (1) Kebaruan atau pembaruan. Ini mencakup
semua kreasi atau ciptaan baru yang belum ada sebelumnya, bisa baik atau
buruk, terpuji atau tercela, dan bisa mencakup semua hal baik urusan agama
maupun urusan dunia. Oleh karena itu ada unsur kedua yakni (2) Sesuatu yang
baru itu dinisbatkan kepada atau dianggap sebagai bagian dari syariat agama.
Batasan ini berdasarkan hadis dari Aisyah yang menyebut fi amrina (dalam
urusan kami, maksudnya urusan agama). Dengan demikian, kreasi baru dalam
bidang kebudayaan dalam arti luas tidak disebut bidah. Unsur berikutnya, (3)
Sesuatu yang baru itu tidak punya landasan atau rujukan dari syariah yang
sahih. Sebagai contoh, soal qunut subuh, soal shalat tarawih berjamaah dan
jumlah rekaatnya 8 atau 20, tidak termasuk katagori bidah, karena masing-
masing ada landasan syariahnya, meskipun terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama dalam beberapa segi dari permasalahan tersebut.

Wallahu alam bish-shawab.

Anda mungkin juga menyukai