Nurlinda
2101010032
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. LATAR BELAKANG........................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................3
C. TUJUAN MASALAH........................................................................................3
D. MANFAAT.........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................5
A. TRADISI TAHLILAN........................................................................................5
B. KITAB AL-HAWI..............................................................................................8
A. JENIS PENELITIAN..........................................................................................10
B. SUMBER PENELITIAN....................................................................................10
C. INSTRUMEN PENELITIAN.............................................................................10
D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA..................................................................10
E. TEKNIK ANALISIS DATA..............................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tradisi tahlilan yang berisi nilai-nilai keagamaan, menjadi salah satu praktek
keagamaan yang begitu khas di Indonesia. Tahlilan merupakan ibadah ghairu mahdhah
sekaligus praktek keagamaan yang sampai saat ini masih terus dipraktekan oleh
masyarakat Islam khususnya warga nahdliyin. Sebagai agama yang dianut oleh
mayoritas masyarakat di Indonesia, tentunya praktek ibadah tahlilan mejadikan
karakteristik bagi warga nahdliyin yang begitu adaptif terhadap budaya lokal.
Tradisi tahlilan merupakan salah satu budaya masyarakat di Indonesia yang hingga
sekarang masih terpelihara. Hal ini terkait tidak saja pada kepercayaan yang bersifat
teologis akan manfaat tahlilan bagi pembacanya, tetapi juga pada persoalan tradisi sosio-
kultural yang menyertainya. Sudah menjadi tradisi di kalangan umat Islam
Indonesia, bila ada seseorang yang wafat, maka keluarga almarhum mempunyai
tanggung jawab moral untuk menyelenggarakan tahlilan. Selama mengikuti prosesi
tahlilan, sama sekali tidak terlihat hal-hal yang dikhawatirkan oleh kelompok yang
menolak tahlilan, yakni bahwa acara semacam ini bisa membuat orang menjadi syirik
(menduakan Tuhan) atau bid‟ah (mengada-ada).
Tradisi tahlilan ini sendiri memiliki beberapa manfaat. Yang pertama melatih dan
membiasakan kita untuk membaca Al-Qur’an dan Zikir, menjaga dan memelihara
hubungan silaturahim, menyambung hubungan kekerabatan dan persaudaraan antara
umat Islam, serta beribadah dan mencari ridha Allah.
Tahlilan sebagaimana yang dipahami secara umum oleh masyarakat saat ini pada
hakikatnya adalah aktivitas berzikir bersama yang dilakukan oleh sekelompok orang.
1
2
Sejumlah orang yang berkumpul, lalu membaca sejumlah kalimat zikir kepada Allah
yang satu diantaranya adalah kalimat tahlil, laa ilaaha illallah. Tahlilan pada dasarnya
adalah kalimat zikir ada banyak kalimat zikir yang bisa dilantunkan. Sekelompok orang
bisa secara bersama-sama membaca tasbih, takbir, tahmid, istighfar, tahlil dan kalimat-
kalimat lainnya yang mengingatkan mereka kepada Allah.
Selama ini kita sering mendapatkan sejarah tentang tahlilan dari berbagai buku
maupun media sosial. Kebanyakan mengatakan bahwa tradisi tahlilan itu adalah
peninggalan ajaran Hindu Budha, terutama tahlilan yang dimaksud adalah di Indonesia.
Sebenarnya tahlilan itu sebuah istilah yang dipakai oleh orang Indonesia untuk menamai
sebuah majelis yang berisi pembacaan kalimat toyyibah, surat-surat Al-Qur’an, Tahlil
dan ditutup dengan Do’a, yang dilakukan secara bersama-sama.
Di dalam buku tersebut menguak bahwa tradisi bacaan Tahlil sebagaimana yang
dilakukan kaum muslimin Indonesia sekarang itu sama atau mendekati dengan tahlil
(tahlilan) yang dilakukan oleh kaum muslimin di Yaman. Hal itu dikarenakan tahlil yang
berlaku di Indonesia ini dahulu disebarkan oleh Wali Songo. Lima orang dari Wali
Songo itu adalah termasuk Habib (Keturunan Nabi SAW) dengan marga Ba’alawy yang
berasal dari Hadramaut Yaman, terutama dari Kota Tarim.
Dalam Islam sendiri tidak ada larangan atau pun anjuran dalam pelaksanaan tradisi
tahlilan ini. Tetapi diperbolehkan selagi kegiatan ini tidak melanggar syari’ah dan
memiliki maksud dan tujuan yang baik, maka itu diperbolehkan dalam islam. Namun
tidak sedikit orang yang menganggap tradisi tahlilan ini tidak baik, karena tidak
berdasarkan dalil. Salah satunya adalah Wahabi Salafi, yang seringkali memfitnah dan
3
menganggap tahlilan ini tidak sesuai dengan dalil. Bahkan ia juga menggap bahwa
tahlilan ini rujukan yang berasal dari agama Hindu.
Namun ada beberapa kitab yang menunjukkan dalil-dalil tentang tahlilan, dan
mebuktikan bahwa tahlilan ini bukanlah rujukan yang berasal dari agama Hindu,
melainkan berasal dari nabi kita sendiri. Salah satu kitab yang membahas tentang
Tahlilan adalah kitab Al-Hawi Al-Kabir.
Kitab Al-Hawi diciptakan oleh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi.
Al-Mawardi adalah seorang qodhi/hakim besar dalam pemerintahan Daulah Abbasiyyah.
Kitab al-Hawi al-Kabir ini sendiri telah diterbitkan secara lengkap untuk pertama kalinya
oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyah di Beirut pada tahun 1414H/1994M yang ketebalannya
mencapai 18 jilid. Kitab Al-Hawi terkenal sebagai kitab Fiqih terlengkap dalam Mazhab
Imam Syafi-i. Kitab Al-Hawi merupakan tafsir terbesar, terpanjang dan meliki banyak
jilid. Kitab ini memuat berbagai kajian tafsir yang terkandung dalam kitab-kitab pokok
dalam berbagai bidang, di antaranya: qira’at, tafsir, i’rob, ilmu Al Quran,
balaghah, lathaif-lathaif dan berbagai kelimuan lain terkait Al Quran.
Alasan yang melatar belakangi penelitian ini karena terdapat beberapa pendapat
yang menganggap bahwa tradisi ini tidak sesuai dengan syariat agama Islam dan tidak
terdapat dalil yang dapat menguatkan tradisi tersebut. Namun dalam kitab Al-Hawi
sendiri terdapat dalil yang memberikan penjelasan tentang tradisi tahlilan ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian laatar belakang tersebut, adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan tradisi tahlilan?
2. Bagaimana penjelasan kita Al-Hawi tentang tradisi tahlilan?
C. TUJUAN MASALAH
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, ada pun tujuan dalam penelitian ini sebagai
berikut.
1. Untuk mengetahui tradisi tahlilan.
2. Untuk mengetahui penjelasan kitan Al-Hawi tentang tradisi tahlilan.
4
D. MANFAAT
1. Teoretis
Adapun manfaat teoretis penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
sumbangsi keilmuan dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan tafsir terkait tradisi tahlilan
menurut kitab Al-Hawi.
2. Praktis
Adpun manfaat praktis dalam penelitan ini yaitu:
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang tradisi tahlilan.
b. Penelitian ini diharpkan dapat menjadi bahan rujukan untuk peneliti selanjutnya
yang akan melakukan penelitian terkait tradisi tahlilan.
c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada peneliti secara
khusus dan masyakat secara umum terkait tahlilan
BAB II
KAJIAN TEORI
A. TRADISI TAHLILAN
Tradisi (Bahasa Latin : traditio, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian
yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi
bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara,
kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. 1 Hal yang paling mendasar dari tradisi
adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun
(sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.1
Berdasarkan sudut pandang etimologis, kata tahlil atau tahlilan berasal dari
ٛ
Bahasa Arab dengan bentuk mashdar dari fiil madli dari ْٓاهال،همٓ ٚ، همyang mengandung
arti “ekspresi kesenangan” atau “ekspresi keriangan”. Kata ini bisa juga memiliki arti
mengucapkan kalimah thayyibah "( الا ٓنبالهللاLaa ilaaha illallah") atau dalam Bahasa
Indonesia artinya “tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah” atau dengan kata lain
yaitu “pengakuan seorang hamba yang mengi’tikadkan bahwa tiada tuhan yang wajib
disembah kecuali Allah semata. Pengertian tahlilan menurut istilah adalah: “bersama-
sama mengucapkan kalimah thayyibah dan berdoa bagi orang yang sudah meninggal
dunia”. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tahlil adalah
bersama-sama melakukan doa bagi orang yang sudah meninggal dunia.2
Tradisi tahlilan merupakan suatu persinggungan antara Islam dan budaya lokal.
Dialog antara Islam dan budaya, sejatinya merupakan realitas yang akan terus menerus
menyertai agama ini. Aktualitas Islam dalam sejarah, telah menjadikan Islam tidak dapat
terlepas dari aspek lokalitas, sehingga dengan karakteristiknya masing-masing akan
menemukan benang merah yang menyatukan dan memperkokoh yang kemudian akan
melahirkan nilai universal (tauhid) atau nilai-nilai keagamaan. Kemudia, adanya
dialektika antara Islam dan budaya lokal merupakan gambaran bagaimana Islam yang
merupakan ajaran normatif universal dari Tuhan diakomodasikan dalam kebudayaan
manusia tanpa kehilangan identitasnya.3
1
“scholar (5),” n.d.
2
Andi Warisno, “Tradisi Tahlilan Upaya Menyambung Silaturahmi Andi Warisno ,” Ri‟Ayah 02 (2017):
69–79.
5
6
Kalau membuka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai
di masa Rasulullah Saw. di masa para sahabatnya dan para Tabi’in maupun Tabi’al-
Tabi’in. Bahkan, acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus-Sunah
seperti Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa
dengan mereka ataupun sesudah mereka. Awalmula acara tersebut berasal dari upacara
peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya
beragama Hindu dan Buddha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan
mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu
seperti halnya waktu tahlilan. Namun, acara tahlilan berbeda dengan prosesi selamatan
agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain dengan
bacaan dari al-Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan doa-doa ala Islam menurut mereka. Dari
aspek historis ini, bisa dikatakan bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi
(pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.5
Tradisi tahlilan hingga saat ini masih kita jumpai di kalangan masyarakat
Nusantara, sekalipun ada di antara masyarakat kita yang mulai meninggalkannya
dengan berbagai alasan, baik alasan ekonomis maupun teologis. Karena ini dianggap
tidak diajarkan oleh Rasulullah secara eksplisit, sebagian masyarakat yang menolak
3
Eka Octalia Indah Librianti dan Zaenal Mukarom, “Budaya Tahlilan sebagai Media Dakwah,” Prophetica :
Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting 5, no. 1 (2019): 1–20,
https://doi.org/10.15575/prophetica.v5i1.1306.
4
Moh Dahlan, “Dialektika Hukum Islam dan Budaya: Kajian terhadap Budaya tahlilan,” Al Mawarid 17 (2007):
10–16.
5
Rhoni Rodin, “Tradisi Tahlilan Dan Yasinan,” IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya 11, no. 1 (2013): 76–
87, https://doi.org/10.24090/ibda.v11i1.69.
7
acara yasinan dan tahlilan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa tahlilan memiliki
landasan normatif, baik dari Al-Qur’an, hadis Nabi, maupun pendapat ulama.6
Jika ditinjau dari sisi historis, maka ada beberapa para ulama, bahkan sampai
saat ini di media sosial menganggap tradisi tahlilan pada zaman Nabi Saw tidak
dicontohkan sebagaimana defenisi hadits. Tahlilan dianggap sebagai sesuatu yang
Bid’ah karena di zaman Nabi SAW tidak ada tahlilan. Dilihat dari definisi, bid‟ah
adalah segala amal peribadatan yang di zaman Nabi SAW yang tidak ada. Selain
ungkapan bid’ah, ada juga ungkapan dari kelompok (penentang tahlilan) mengenai
segala hal yang dilakukan oleh kelompok ormas Islam “pecinta” tahlilan, yang dianggap
tidak memiliki dasar al-Qur‟an dan Hadits. Sehingga dianggap bid’ah biasanya hadits
yang dipakai adalah dhoif (lemah).7
Tahlilan dilaksanakan secara bersama-sama yang dipimpin oleh imam tahlil,
diawali dengan membaca hadharah kepada Nabi, sahabat dan seterusnya. Kemudian
pembacaan tahlil dan Al-Qur’an serta pembacaan do’a.8 Ada pun nilai-nilai pendidikan
islam yang terkandung dalam pelaksanaan tahlilan terbagi menjadi tiga yaitu.
6
Ahmad Mas’ari, “Tradisi Tahlilan : Potret Akulturasi Agama dan Budaya Khas Islam Nusantara Tradition
Tahlilan : Portrait Acculturation Islam Religion and Culture Typical Nusantara,” KONTEKSTUALITA Jurnal
Penelitian Sosial dan Keagamaan 33, no. 1 (2017): 78–95.
7
Wely Dozan, “Hadits-Hadits Tahlilan: Analisis Konflik dan Nilai-Nilai Sosial Masyarakat,” Al-Bayan: Jurnal
Ilmu al-Qur’an dan Hadist 3, no. 2 (2020): 195–211, https://doi.org/10.35132/albayan.v4i2.92.
8
Sara Dolnicar et al., “Scholar (3),” Annals of Tourism Research, 2015,
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0160738315000444.
8
B. KITAB AL-HAWI
Nama yang diberikan oleh pengarang sendiri sebenarnya hanya satu kata yaitu
“Al-Hawi” ()الح^^^^اوي. Secara bahasa, lafaz “Al-Hawi” bisa dimaknai sebagai
“penghimpun”. Barangkali maksud pengarang memberi nama kitabnya dengan kata ini
adalah untuk menunjukkan keluasan pembahasannya sehingga sudah meliputi dan
mencakup semua pembahasan fikih secara lengkap, komplit dan tuntas. Pemilihan nama
ini sebenarnya juga meniru ulama lain yang bernama Ibnu Al-Qodhi yang juga memiliki
karangan dengan judul sama. Di masa belakangan, nama “Al-Hawi” ini diberi sifat “Al-
Kabir” (yang besar) oleh para ulama karena isinya yang tidak hanya menghimpun
ijtihad-ijtihad mazhab Asy-Syafi’i tetapi juga mazhab-mazhab yang lain. Akhirnya nama
lengkap kitab ini terkenal dengan sebutan “Al-Hawi Al-Kabir” ()الحاوي الكبير.10
10
Muafa, “No Title,” 2018, https://irtaqi.net/2018/01/27/mengenal-kitab-al-hawi-al-kabir-karya-al-mawardi/.
11
Muafa.
9
Berkata Umar: “shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan
shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh di
hari ke tujuh akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya
lalu sedekah dihari ke 40 akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai
kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari.”
[Referensi: (Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198)].12
12
Akhyar Nasution, “dalil tahlilan,” 2018, https://pwnusumut.or.id/2018/08/02/dalil-tahlilan/.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menjelaskan suatu fenomena dengan
sedalam-dalamnya dengan cara pengumpulan data yang sedalam-dalamnya pula, yang
menunjukkan pentingnya kedalaman dan detail suatu data yang diteliti. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang mempunyai sifat deskriptif, penelitian ini lebih
cenderung menggunakan analisis. Dalam penelitian ini proses dan makna lebih banyak
ditonjolkan dengan menggunakan landasan teori sebagai panduan untuk fokus pada
penelitian berdasarkan fakta yang ada di lapangan.
Data penelitian kualitatif biasanya berbentuk teks, foto, cerita, gambar, artifacts,
dan bukan berupa angka-angka hitung-hitungan. Data dikumpulkan bilamana arah dan
tujuan penelitian sudah jelas dan juga bila sumber data yaitu informan atau partisipan
sudah diidentifikasi, dihubungi serta sudah mendapatkan persetujuan atas keinginan
mereka untuk memberikan informasi yang dibutuhkan.
B. SUMBER PENELITIAN
Sumber penelitian ini diperoleh dari internet yang berupa dokumen, jurnal, artikel
dan lain sebagainya. Pengumpulan data dilakukan dengan mengeksplorasi dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan materi yang diteliti.
C. INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendapat Imam Nawawi
tentang hukum mengqadha shalat.
10
11
Andi Warisno. “Tradisi Tahlilan Upaya Menyambung Silaturahmi Andi Warisno .”
Ri‟Ayah 02 (2017): 69–79.
Dahlan, Moh. “Dialektika Hukum Islam dan Budaya: Kajian terhadap Budaya tahlilan.” Al
Mawarid 17 (2007): 10–16.
Dozan, Wely. “Hadits-Hadits Tahlilan: Analisis Konflik dan Nilai-Nilai Sosial Masyarakat.”
Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Hadist 3, no. 2 (2020): 195–211.
https://doi.org/10.35132/albayan.v4i2.92.
Librianti, Eka Octalia Indah, dan Zaenal Mukarom. “Budaya Tahlilan sebagai Media
Dakwah.” Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and
Broadcasting 5, no. 1 (2019): 1–20. https://doi.org/10.15575/prophetica.v5i1.1306.
Mas’ari, Ahmad. “Tradisi Tahlilan : Potret Akulturasi Agama dan Budaya Khas Islam
Nusantara Tradition Tahlilan : Portrait Acculturation Islam Religion and Culture Typical
Nusantara.” KONTEKSTUALITA Jurnal Penelitian Sosial dan Keagamaan 33, no. 1
(2017): 78–95.
Rodin, Rhoni. “Tradisi Tahlilan Dan Yasinan.” IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya 11,
no. 1 (2013): 76–87. https://doi.org/10.24090/ibda.v11i1.69.
12
13