Anda di halaman 1dari 19

Perspektif Masyarakat dan Ulama terhadap Tradisi Tahlilan di Indonesia

Disusun Oleh:
Kelompok 4 | ABT 1C
Anggota:
1. Aqillatul Khayana (2305421060)
2. Amanda Finalistiani Putri (2305421107)
3. Muhammad Gibran (2305421061)
4. Nabila Zalfa Sadari (2305421067)

ADMINISTRASI BISNIS TERAPAN


ADMINISTRASI NIAGA
POLITEKNIK NEGERI JAKARTA
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas
rahmat dan hidayah-Nya, peneliti dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Perspektif
Masyarakat dan Ulama terhadap Tradisi Tahlilan di Indonesia dengan tepat waktu.

Makalah ini membahas mengenai perspektif masyarakat dan pandangan agama Islam
terhadap tradisi tahlilan sehingga pembaca dapat mengetahui lebih dalam terkait sejarah dan
hal-hal mengenai tradisi tahlilan.

Dalam penyusunan makalah, peneliti tak lepas dari pihak-pihak yang telah membantu
dari awal hingga makalah dapat terselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu, peneliti
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Riza Hadikusuma, M. Ag selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Pendidikan Agama


Islam,
2. orang tua peneliti yang sudah mendoakan dan mendukung agar pembuatan makalah
ini berjalan dengan lancar,
3. anggota kelompok yang telah berjuang bersama untuk menyelesaikan makalah ini,
4. teman-teman Administrasi Bisnis Terapan 1C yang namanya tidak dapat disebutkan
satu per satu.

Peneliti menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, peneliti berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan pembuatan karya tulis
yang akan datang. Peneliti mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau informasi yang
kurang berkenan.

Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan memberi manfaat bagi pembaca.

Depok, 8 Desember 2023

Peneliti

i
ABSTRAK
Budaya Islam adalah tatanan nilai-nilai kehidupan religius yang didasarkan pada pemikiran
manusia. Budaya Islam mengacu pada cara hidup yang didasarkan pada perintah-perintah
dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad. Pengaruh budaya Islam dalam kehidupan
masyarakat dapat ditemukan dalam ritual-ritual masyarakat itu sendiri. Namun, masyarakat
muslim sering kali sulit membedakan antara budaya yang didasarkan pada pemikiran
manusia dan tatanan yang didasarkan pada sumber ajaran. Budaya tahlilan di masyarakat
sudah mengakar dan menjadi kegiatan rutin pada waktu khusus seperti memperingati orang
yang meninggal dunia dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran, shalawat, dan mengirimkan
doa kepada orang yang sudah meninggal. Meskipun sampai saat ini masih terdapat pro dan
kontra dari masyarakat mengenai tradisi tahlilan yang dianggap bid'ah. Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen kualitatif. Metode ini merupakan
metode penelitian yang menggunakan data kualitatif dengan cara mengumpulkan dan
menganalisis dokumen-dokumen. Jenis penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
mengenai pandangan masyarakat terhadap tradisi tahlilan dari berbagai sisi. Penelitian ini
juga menginterpretasikan data yang ada dan menggambarkan kondisi apa adanya. Selain itu,
mengidentifikasi tradisi tahlilan dalam perspektif masyarakat, sebagian masyarakat masih
terpengaruh oleh adat istiadat. Masyarakat pun mengikuti dalil-dalil mazhab sebagai
indikator tradisi tahlilan. Ditinjau dari segi Al-'Urf Ash-Shahih, tahlilan merupakan tradisi
yang baik dan benar dengan dalil-dalil dari berbagai ulama sehingga tradisi tahlilan
diperbolehkan. Sedangkan dari segi Al-'Urf Al-Munkar, tahlilan merupakan tradisi yang
buruk karena dianggap bid'ah. Tradisi tahlilan berakar dari adat istiadat Hindu, kemudian
diadopsi oleh masyarakat Islam Tuban dengan berbagai nama seperti Mitung Dina, Nyatus,
Nelung Dino, Matang Puluh, dan Nyewu. Meskipun tradisi ini dilakukan untuk mendoakan
orang yang sudah meninggal, tetapi pandangan masyarakat dan Islam terhadap tahlilan
berbeda-beda. Meskipun memiliki manfaat dan tujuan yang baik, beberapa ulama
menolaknya sebagai bid'ah. Namun, sebagian masyarakat masih mempertahankan tradisi ini
karena sudah menjadi kebiasaan. Tradisi tahlilan dilakukan dengan membacakan ayat-ayat
suci Al-Quran dan doa-doa untuk orang yang meninggal dunia dan umumnya dilakukan pada
7 hari pertama, 40 hari pertama, 100 hari pertama, dan 1000 hari pertama setelah kematian.

Kata Kunci: Kebudayaan Islam, Tradisi Masyarakat Islam, Tahlilan.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
ABSTRAK................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................1
1.3 Tujuan......................................................................................................................1
BAB 2 LANDASAN TOERI...................................................................................................3
2.1 Pengertian Budaya Islam..........................................................................................3
2.2 Pengertian Tradisi....................................................................................................3
2.3 Pengertian Mazhab...................................................................................................3
BAB 3 METODOLOGI...........................................................................................................5
BAB 4 PEMBAHASAN...........................................................................................................6
4.1 Tahlilan Menurut Ajaran Islam................................................................................6
4.2 Tradisi Tahlilan Timbul di Masyarakat....................................................................7
4.3 Pandangan Ulama terhadap Tradisi Tahlilan...........................................................8
4.4 Tujuan Masyarakat Melakukan Tradisi Tahlilan...................................................11
BAB 5 PENUTUP...................................................................................................................13
5.1 Kesimpulan............................................................................................................13
5.2 Saran.......................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14

iii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Budaya Islam merupakan hasil proses akulturasi panjang yang dibawa oleh para
ulama pada masa pra-Islam sebagai interaksi atas perbedaan suku, adat, ras, dan
golongan dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara. Dengan kata lain, budaya
Islam adalah suatu tatanan nilai kehidupan beragama berdasarkan pemikiran manusia.
Budaya Islam mengacu pada cara hidup manusia berdasarkan perintah dalam sumber
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad Saw. Islam merupakan agama yang
universal serta mudah untuk beradaptasi di berbagai tempat maupun waktu. Pengaruh
budaya Islam terhadap kehidupan masyarakat dapat dijumpai dalam ritual masyarakat itu
sendiri. Fenomena ini sangat kental pada masyarakat beragama Islam di Indonesia,
dimana budaya Islam telah menjadi adat istiadat pada suatu daerah.

Namun, kenyataannya masyarakat beragama Islam seringkali kesulitan untuk


membedakan antar budaya berdasarkan pemikiran manusia dengan tatanan berdasarkan
sumber ajaran. Dengan perkembangan yang ada, tidak jarang telah merubah agama itu
sendiri menjadi sebuah tradisi keagamaan yang dianggap wajib. Hal ini relevan dengan
pemahaman tahlilan dalam pandangan masyarakat.

Budaya tahlilan dalam masyarakat telah mengakar dan menjadi aktivitas rutin
pada waktu khusus seperti memperingati orang yang telah meninggal dengan
membacakan ayat-ayat Al-Quran, shalawat, dan mengirim doa kepada orang yang telah
meninggal, kemudian dikemas secara berjamaah. Tradisi ini bertujuan untuk
memberikan simpati dan empati kepada keluarga yang ditinggal wafat. Tradisi ini telah
berkembang atas proses dakwah Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di
Nusantara. Namun hingga saat ini, masih terdapat pro kontra dari masyarakat terkait
tradisi tahlilan yang dianggap bid’ah.

1.2 Rumusan Masalah

Dari pemaparan pada latar belakang, peneliti memfokuskan penelitian tersebut


dalam suatu rumusan masalah. Adapun rumusan masalah tersebut sebagai berikut:

1. Apa itu tahlilan menurut ajaran islam?


2. Bagaimana tradisi tahlilan timbul di masyarakat?
3. Bagaimana pandangan ulama terhadap tradisi tahlilan?
4. Apa yang menjadi tujuan masyarakat untuk melakukan tradisi tahlilan?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan konsep tahlilan menurut ajaran Islam untuk memperoleh pemahaman


yang komprehensif tentang praktik ini.

1
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu timbulnya tradisi tahlilan di masyarakat
Islam untuk memahami peran sejarah praktik ini.
3. Menganalisis pandangan agama Islam terhadap tradisi tahlilan untuk menentukan
sejauh mana praktek ini sejalan dengan ajaran agama.
4. Mengidentifikasi tujuan-tujuan yang masyarakat harapkan dari pelaksanaan tradisi
tahlilan untuk memahami motivasi dan makna di balik praktik ini.
5. Mengevaluasi sejauh mana tradisi tahlilan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma
agama Islam.

2
BAB 2

LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Budaya Islam

Kebudayaan dilahirkan dari olah akal budi, jiwa, atau hati nurani manusia. Faktor
yang mempengaruhi adanya kebudayaan yaitu tempat, waktu, dan kondisi masyarakat
sehingga lahirlah suatu bentuk kebudayaan khusus, seperti kebudayaan Islam. Hati
nurani manusia mempunyai batas dan dipengaruhi oleh pengalaman, termasuk
pengalaman pribadi maupun masyarakat di sekitarnya. Aktivitas hati nurani manusia
yang berupa kebudayaan dan peradaban diyakini atau diharapkan membawa kebaikan
bagi masyarakat yang menghasilkan kebudayaan dari peradaban tersebut, tetapi belum
tentu baik menurut pandangan masyarakat lain. Oleh karena itu, sejak awal manusia
lahir, Allah Yang Maha Mengetahui keterbatasan manusia, telah memberikan wahyu
sebagai petunjuk arah hati nurani manusia agar tidak berkembang dan melahirkan
kebudayaan atau peradaban yang bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan
yang akan dianggap menguntungkan sekelompok masyarakat tertentu, tetapi akan
merugikan sekelompok masyarakat lainnya.

2.2 Pengertian Tradisi

Tradisi adalah suatu pola perilaku, kebiasaan, atau kepercayaan yang berkembang
dalam suatu masyarakat sehubungan dengan nilai, norma, hukum, dan aturan yang telah
menjadi aspek kehidupan yang berasal dari masa lalu dan berulang kali diamalkan secara
turun temurun sehingga menjadi warisan yang dilestarikan, dilakukan, dan dipercaya
hingga saat ini. Tradisi biasanya didasarkan pada falsafah hidup masyarakat setempat
dan diolah berdasarkan pandangan dan nilai-nilai kehidupan yang diakui kebenaran dan
kegunaannya. Jauh sebelum lahirnya agama, masyarakat telah memiliki pandangan
tentang dirinya. Sebagai sistem budaya, tradisi menyediakan seperangkat model prilaku
yang berasal dari sistem nilai dan gagasan utama. Tradisi juga merupakan suatu sistem
menyeluruh yang terdiri dari aspek-aspek yang memberi makna pada perilaku ajaran,
perilaku ritual, dan beberapa jenis perilaku lainnya dari manusia atau sekelompok
manusia yang melakukan tindakan satu sama lain.

2.3 Pengertian Mazhab

Menurut Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran (paham atau
pendapat) yang ditempuh oleh mujtahid dalam menegakkan hukum Islam berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadist. Sedangkan Abdurrahman mengatakan, bahwa mazhab dalam
istilah Islam berarti pendapat atau paham aliran seorang alim besar dalam Islam yang
digelari imam seperti mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Syafi'i, mazhab Imam
Ahmad Ibn Hanbal, mazhab Imam Malik, dan lainnya. Sesuatu dianggap mazhab bagi
seseorang apabila cara atau jalan tersebut menjadi suatu ciri khas. Bermazhab sering
disebut bertaklid, tetapi bermazhab bukan tingkah laku orang awam saja melainkan sikap
yang wajar dari seorang yang tahu diri. Imam Bukhari, ahli hadits yang paling terkenal,

3
masih tergolong orang yang bermazhab Syafi’i. Jadi, ada tingkatan mazhab atau
bertaqlid, semakin tinggi kemampuan seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat
bermazhab-nya, sehingga semakin longgar keterikatannya dan kemungkinan akan
berijtihad sendiri.

4
BAB 3

METODOLOGI

Dalam penyusunan makalah ini peneliti perlu mencari informasi-informasi yang


diperlukan terkait topik penelitian yang dipilih. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode yang dihasilkan dari data-data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau media-media yang
bersangkutan untuk mengidentifikasi masalah sosial dengan menonjolkan proses yang sesuai
dengan data dan fakta. Studi dokumen merupakan metode kualitatif yang peneliti rasa cukup
untuk meneliti permasalahan ini. Studi dokumen merupakan suatu teknik pengumpulan data
baik sumber dari dokumen maupun buku, dengan cara mempelajari sumber yang
dikumpulkan untuk mendapatkan data atau informasi yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti. Dengan demikian, metode penelitian ini memanfaatkan data kualitatif dengan
mengumpulkan dan menganalisis dokumen yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran
sudut pandangan masyarakat terhadap tradisi tahlilan dari berbagai sisi.

5
BAB 4

PEMBAHASAN
4.1 Tahlilan Menurut Ajaran Islam

Tahlilan atau tahlil mempunyai arti yang sama, yaitu berasal dari bahasa arab
(hallala-yuhallilu-tahlilan) yang berarti membaca La ilaha illa Allah. Tahlilan adalah
pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir)
yang bacaannya diberikan kepada roh (orang mati) yang disebutkan oleh pembaca atau
pemiliknya. Tahlilan biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu, misalnya tujuh hari
berturut-turut setelah meninggalnya seseorang, pada hari ke-40, ke-100, atau ke-1000.
Tahlilan juga sering diadakan pada malam Jumat atau malam-malam tertentu lainnya.
Usai tahlilan, biasanya pemilik pesta menawarkan makan di tempat atau dibawa pulang.

Hakikat Tahlilan adalah: Pertama, pahala pembacaan Al-Quran dan kalimat thayyibah
kepada almarhum. Kedua, khususkan membaca pada waktu-waktu tertentu dalam sehari,
yaitu tujuh hari berturut-turut setelah kematian seseorang, hari ke-40, hari ke-100, dan
seterusnya. Ketiga, sedekah kepada almarhum berupa persembahan makanan kepada
peserta tahlil.

Dalil tentang hukum tahlilan:

‫ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﻪﻠﻟﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺇﻟﻰﺍﻟﻤﻮتى‬

‫ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻓن ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻳﻮﻡ‬: ‫ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ‬
‫ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﻣﻦ‬
١٩٨ :‫ص‬,۲:‫ج‬, ‫ﺍﻟﻤﺎﺋﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻨﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻟﻒ عام (الحاوي للفتاوي‬

Rasulullah Saw bersabda: “Doa dan shodaqoh itu hadiah kepada mayit.”

Berkata Umar: “Shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan
shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh di
hari ke tujuh akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya
lalu sedekah di hari ke-40 akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai
kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari.”
(Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198)

\‫ ﻓﻴﻄﻌﻤﻮﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﺨﻠﻔﻮﺍ‬،‫ ﻭﺃﻣﺮ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻃﻌﺎما‬، ‫ﻓﻠﻤﺎ ﺍﺣﺘﻀﺮﻋﻤﺮ ﺃﻣﺮ ﺻﻬﻴﺒﺎ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ‬
‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ‬، ‫ ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺟﻌﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﺟﺊ ﺑﺎﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﻭﺿﻌﺖ ﺍﻟﻤﻮﺍﺋﺪ ! ﻓﺄﻣﺴﻚ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻬﺎ ﻟﻠﺤﺰﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻢ ﻓﻴﻪ‬، ‫ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ‬
‫ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﻪﻠﻟﺍ ﺻﻠﻰ ﻪﻠﻟﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪ ﻣﺎﺕ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﻣﺎﺕ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ‬: ‫ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻄﻠﺐ‬
‫ ﺛﻢ ﻣﺪ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻳﺪﻩ ﻓﺄﻛﻞ ﻭﻣﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻳﺪﻳﻬﻢ ﻓﺄﻛﻠﻮﺍ‬، ‫ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﺇﻧﻪ ﻻﺑﺪ ﻣﻦ ﺍﻻﺟﻞ ﻓﻜﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ‬

Ketika Umar sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin


shalat dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang,
maka ketika hidangan–hidangan ditaruhkan, orang–orang tak mau makan karena
sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib:

6
“Wahai hadirin, sungguh telah wafat Rasulullah Saw dan kita makan dan minum
setelahnya, lalu wafat Abu Bakar dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu
adalah hal yang pasti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau mengulurkan
tangannya dan makan, maka orang–orang pun mengulurkan tangannya masing–masing
dan makan.

4.2 Tradisi Tahlilan Timbul di Masyarakat

Pengembangan dan penyebaran agama Islam di pulau Jawa dilakukan oleh para
ulama yang berjumlah sembilan atau yang dikenal sebagai Wali Songo. Para ulama
tersebut menyebarkan dan menyiarkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya
beragama Hindu dan Buddha sehingga sulit untuk menghilangkan adat istiadat
keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam. Wali Songo membagi dua aliran
dalam menanggulangi masalah adat istiadat yang terdahulu, yaitu Aliran Giri dan Aliran
Tuban.

Aliran Giri adalah aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para
pendukungnya Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifudin (Sunan Drajat), dll. Aliran ini
mengharuskan untuk membuang jauh-jauh segala adat istiadat terdahulu yang
bertentangan dengan syariat Islam tanpa kompromi dengan ajaran Buddha, Hindu, serta
keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang mengikuti aliran ini dinamakan aliran
Islam Putih. Sedangkan, Aliran Tuban adalah aliran yang dipimpin oleh R.M Syahid
(Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Muria, Sunan Gunung Djati, Sunan Kudus,
dan Sunan Bonang. Aliran ini membiarkan pengikutnya untuk mengerjakan adat istiadat
terdahulu yang sangat melekat dan sulit untuk dihilangkan, yang penting para
pengikutnya mau memeluk agama Islam. Maka para wali dengan aliran Tuban berusaha
agar adat istiadat terdahulu tetap diwarnai keislaman. Pengikut aliran ini jauh lebih
banyak dibandingkan aliran Giri karena kemoderatannya. Aliran Tuban dianggap sebagai
aliran Islam Abangan karena disangka mencampuradukan syariat Islam dengan agama
lain.

Tradisi Tahlilan diambil dari beberapa adat istiadat agama Hindu, salah satunya
adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu keyakinan bahwa manusia setelah mati sebelum
memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali ke dunia ada yang menjadi dewa,
manusia, binatang, bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan, dll. sesuai dengan
amal perbuatannya selama hidup, dari satu sampai tujuh hari roh tersebut masih berada di
lingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke-40, ke-100, dan ke-1000 dari kematiannya,
roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut
harus diadakan upacara saji-sajian, bacaan mantra-mantra serta nyanyian suci untuk
memohon kepada dewa-dewa agar rohnya Si Fulan menjalani karma menjadi manusia
yang lebih baik. Dengan berbagai pendapat dan perdebatan para wali maka terjadilah
musyawarah untuk meluruskan hal tersebut. Berdasarkan hasil musyawarah, secara resmi
upacara Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang Islam aliran Tuban yang pada akhirnya
dikenal dengan nama Mitung Dina, Nyatus, Nelung Dino, Matang Puluh, dan Nyewu.

7
Keadaan umat Islam semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya semenjak para
wali meninggal dunia. Terjadi peperangan antara para wali dengan bawahan pimpinan
raja pada masa itu. Sehingga ulama-ulama yang merupakan penegak Islam yang
sebenarnya meninggal dan ulama-ulama moderat menyesuaikan diri dengan keadaan
masyarakat yang ada, sehingga semakin melekatlah adat istiadat terdahulu pada orang-
orang Islam termasuk upacara adat yang memperingati kematian seseorang. Maka istilah
Tahlilan hanya lebih dikenal di Jawa saja, seandainya ada di pulau lain itu adalah
rembesan dari pulau Jawa. Di negara Arab, Mesir, dan negara-negara lainnya sama
sekali tidak mengenal tradisi Tahlilan ini.

Masyarakat Indonesia terutama masyarakat di Jawa sudah tidak asing lagi dengan
tradisi tahlilan. Tradisi yang berkembang umumnya dilakukan untuk upaya mendoakan
orang yang telah meninggal. Tradisi tahlilan merupakan ritual adat yang telah ada dari
zaman dahulu hingga kini yang sangat erat dengan nilai-nilai Islam. Namun, ada
beberapa masyarakat yang telah menghilangkan budaya tersebut dari kehidupannya
karena menganggap bahwa budaya tahlilan tidak sesuai dengan teologis maupun budaya
yang mereka pegang. Masyarakat yang tidak melaksanakan tahlilan tidak akan
mendapatkan hukum secara pidana karena tradisi ini bukan suatu hal yang wajib
dilakukan secara hukum, tetapi masih banyak masyarakat lain yang memberikan
gunjingan terhadap masyarakat sekitar yang tidak melaksanakan tradisi tersebut.

Tradisi tahlilan dilakukan dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran, kalimat


thayyibah, serta doa untuk orang yang telah meninggal. Tahlilan berasal murni dari
tradisi Indonesia yang bercampur dengan adat istiadat, maka tahlilan ini diambil dari
budaya-budaya terdahulu yang kemudian dikemas dalam Islami. Karena di dalam ritual
tersebut disisipkan suatu nilai-nilai ibadah, seperti adanya bacaan-bacaan Al-Quran,
shalawat, dan lain sebagainya (Hafni, 2020). Umumnya, tahlilan dilaksanakan pada 7
hari pertama, 40 hari pertama, 100 hari pertama, dan 1000 hari pertama setelah kematian.
Bukan hanya itu saja, biasanya orang-orang yang menghadiri suatu acara tahlilan akan
mendapatkan hidangan yang dikenal dengan istilah berkat dan buku yasin sebagai
peringatan hari ke-40 seseorang yang telah meninggal. Pemberian tersebut tergolong
dalam wujud kebudayaan yang merupakan hasil karya buatan manusia. Selain itu, tradisi
ini sering kali dijadikan sebagai ajang untuk bersilaturahmi antar masyarakat atau antar
keluarga.

4.3 Pandangan Ulama terhadap Tradisi Tahlilan

Pada dasarnya, tahlilan merupakan bentuk dzikir yang berupa pujian kepada Allah
dengan mengucapkan (‫“ )ال إله إال هللا وحده ال شريك له‬Tiada Tuhan selain Allah. Dia tidak
memiliki sekutu”, pahalanya diberikan kepada yang telah wafat/ahli mayit.

Pandangan Ulama terhadap tradisi tahlilan, tergantung dari sudut pandang dan
interpretasi agama yang dipegang oleh individu itu sendiri. Beberapa ulama memandang
tradisi Tahlilan sebagai bentuk bid’ah, yaitu inovasi praktik keagamaan yang tidak
memiliki dasar dalam ajaran islam. Sementara itu, ulama lain dapat menganggap tradisi

8
Tahlilan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur sebagai pengingat akan kematian
dan akhirat. Meskipun demikian, tradisi Islam penting untuk senantiasa merujuk pada
sumber-sumber ajaran yaitu Al-Qur’an dan Sunnah dalam suatu praktik dengan nilai dan
ajaran Islam yang otentik, bukan sekedar dasar tradisi atau kepercayaan lain yang
terpisah. Selain itu, pemahaman terhadap konsep-konsep etika dan nilai-nilai yang
dipegang dalam ajaran islam, termasuk pandangan terhadap tradisi, juga memiliki peran
penting dalam menentukan sikap terhadap praktik keagamaan di dalam masyarakat.

Namun, dalam pandangan lain disebutkan bahwa Tahlilan dalam Ushul Fiqih,
memiliki istilah Al-'Urf yang berarti tradisi. Syekh Abu Zuhrah rahimahullah
mengatakan, bahwa para ulama yang menetapkan 'Urf sebagai dalil, mensyaratkan
bahwa tidak ditemukan dalil dalam Al-Qur'an dan Sunnah, serta hal tersebut tidak
bertentangan dengannya. Namun, apabila bertentangan, maka 'Urf tersebut mardud atau
tertolak, seperti minum khamr dan makan riba. (Ushul Fiqih, Hal. 418.)

Disebutkan dalil mengenai tahlilan dalam mazhab Maliki oleh Syekh Ad-Dasuqi:

‫ َص اَل ًة َك اَن َأْو َص ْو ًم ا َأْو َح ًّج ا َأْو َص َد َقًة َأْو ِقَر اَء َة‬،‫ ِع ْنَد َأْهِل الُّس َّنِة َو اْلَج َم اَع ِة‬،‫َأَّن اِإْل ْنَس اَن َلُه َأْن َيْج َعَل َثَو اَب َع َم ِلِه ِلَغْيِر ِه‬
‫ َوَيِص ُل َذ ِلَك إَلى اْلَم ِّيِت َو َيْنَفُعُه‬،‫ُقْر آٍن َأْو اَأْلْذ َك اَر إَلى َغْيِر َذ ِلَك ِم ْن َجِم يِع َأْنَو اِع اْلِبِّر‬

Artinya, “Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang lain,
menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa shalat, puasa, haji, sedekah,
bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai
kepada mayit dan bermanfaat baginya.” (Haq, 2019)

Al-‘Urf terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Al-'Urf Ash-Shahih (tradisi yang baik dan benar)

Al-’Urf Ash-Shahih artinya tradisi yang tidak berasal dari Al-Qur'an ataupun
As-Sunnah. Namun, isinya tidak bertentangan dengan Islam baik umum dan
khususnya. Konteks ini menjadi hukum bid’ah walaupun tidak ada dasar
ketentuannya dari baginda Nabi Muhammad Saw. tetapi tidak menjadi pertentangan
dengan syariat maka tradisi tersebut diperbolehkan. Dengan hal ini, beberapa ulama
menyikapi mengenai tradisi tahlilan disetarakan dengan dalil.

Terdapat dalil oleh Syekh Ad-Dasuqi dalam mazhab Maliki:

‫ َو َحَصَل ِلْلَم ِّيِت َأْج ُر ُه‬، ‫ َج اَز َذ ِلَك‬،‫ َو َأْهَدى َثَو اَب ِقَر اَءِتِه ِلْلَم ِّيِت‬،‫َو ِإْن َقَر َأ الَّرُجُل‬

Artinya, “Jika seseorang membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan pahala bacaannya


kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan dan pahala bacaannya sampai kepada
mayit.” (Ad-Dasuki, 1984)

Adapun dalil mengenai tahlilan yang selaras dalam mazhab Syafi’i oleh imam
Nawawi:

9
‫ َو اَألْفَض ُل َأْن َيُك ْو َن الَّساَل ُم َو الُّد َعاُء‬،‫ َو َيْدُع ْو ِلَم ْن َيُز ْو ُر ُه َوِلَجِم ْيِع َأْهِل اْلَم ْقَبَرِة‬، ‫َو ُيْسَتَح ُّب ِللَّز اِئِر َأْن ُيَس ِّلَم َع َلى اْلَم َقاِبِر‬
‫ َو َيْد ُعو َلُهْم َع ِقَبَها‬، ‫ َو ُيْسَتَح ُّب َأْن َيْقَر َأ ِم َن اْلُقْر آِن َم ا َتَيَّس َر‬،‫ِبَم ا َثَبَت ِفي اْلَحِد ْيِث‬

Artinya, “Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada
(penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur.
Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam
hadis Nabi. Begitu pula, disunnahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an dan
berdoa untuk mereka setelahnya.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5,
h. 311).

Selain itu, dalil mengenai tahlilan juga dikemukakan dalam mazhab Hambali oleh
Syekh Ibnu Qudamah:

‫ َو َأَداُء‬،‫ َو الَّصَد َقُة‬،‫ َو ااِل ْس ِتْغ َفاُر‬، ‫ َأَّم ا الُّد َعاُء‬.‫ إْن َش اَء ُهَّللا‬، ‫ َنَفَع ُه َذ ِلَك‬، ‫ َو َجَعَل َثَو اَبَها ِلْلَم ِّيِت اْلُم ْس ِلِم‬،‫َو َأُّي ُقْر َبٍة َفَع َلَها‬
‫ َفاَل َأْعَلُم ِفيِه ِخ اَل ًفا‬،‫اْلَو اِج َباِت‬

Artinya, “Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada
mayit muslim akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar,
sedekah, dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan
pendapat.” (Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 5, h.
79).

2. Al-'Urf Al-Munkar (tradisi yang tidak baik)

Al-'Urf Al-Munkar berarti tradisi yang tidak berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah
dan isinya pun bertentangan dengan Islam. Hal ini pun termasuk bid’ah. Konteks yang
terdapat dalam tahlilan adalah berkumpul-kumpul di tempat seorang yang telah
wafat/ahli mayit dan terjadi makan-makan di tempat tersebut termasuk bid’ah munkar
dimana haram hukumnya.

Dalam hadits riwayat Muslim, No. 3242, Rasulullah Saw. bersabda:

‫َح َّد َثَنا َأُبو َج ْع َفٍر ُمَحَّم ُد ْبُن الَّصَّباِح َو َع ْبُد ِهَّللا ْبُن َعْو ٍن اْلِهاَل ِلُّي َجِم يًعا َع ْن ِإْبَر اِهيَم ْبِن َس ْع ٍد َقاَل اْبُن الَّصَّباِح َح َّد َثَنا‬
‫ِإْبَر اِهيُم ْبُن َس ْع ِد ْبِن ِإْبَر اِهيَم ْبِن َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن َعْو ٍف َح َّد َثَنا َأِبي َع ْن اْلَقاِس ِم ْبِن ُمَحَّمٍد َع ْن َعاِئَشَة َقاَلْت َقاَل َر ُسوُل‬
‫ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َم ْن َأْح َد َث ِفي َأْم ِر َنا َهَذ ا َم ا َلْيَس ِم ْنُه َفُهَو َر ٌّد‬

Artinya, “Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Shabah dan
Abdullah bin ‘Aun al-Hilali Semuanya dari Ibrahim bin Sa’d. Ibnu Shabah berkata;
telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’d bin Ibrahim bin Abdurrahman bin
Auf telah menceritakan kepada kami ayahku dari al-Qasim bin Muhammad dari
‘Aisyah berkata, “Rasulullah Saw bersabda: ‘Barangsiapa mengada-ngada sesuatu
yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu
tertolak.” (Ilmu Islam, 2023)

Dan akan bertambah bid’ah-nya apabila di tempat tersebut diadakan upacara


yang biasa masyarakat kenal dengan nama “selamatan kematian/tahlilan pada hari

10
pertama dan seterusnya”. Hukum tersebut berdasarkan ijma’ para sahabat yang telah
memasukkan perbuatan tersebut kedalam bagian meratap. Sedangkan meratapi mayit
hukumnya haram karena hal tersebut merupakan salah satu adat jahiliyyah.

Dengan adanya penetapan hukum pada dalil yang melatarbelakangi tradisi


tersebut terkait memberikan suguhan makanan yang telah menjadi tradisi di
lingkungan masyarakat, masih banyak masyarakat yang menolak. Masyarakat merasa
tidak sependapat dengan pada ulama dalam memberikan suguhan terhadap orang yang
berkumpul di rumah ahli mayit. Kemudian tradisi tahlilan menjadi bertolak belakang
dengan ulama yang menetapkan dalil tersebut. Dalam hal ini masyarakat tetap
berpedoman dengan apa yang telah menjadi adat istiadat. Meski tujuan utama yang
menjadi dasar penolakan masyarakat adalah ingin menyedekahkan harta untuk ahli
mayit. Namun, hal ini menjadi salah kaprah oleh masyarakat yang tidak mampu
melihat kondisi yang ada pada dalil yang melarangnya.

4.4 Tujuan Masyarakat Melakukan Tradisi Tahlilan

Tahlilan merupakan bacaan yang terdiri dari ayat Al-Qur’an, shalawat, tahlil
dan tahmid. Yang diperuntukan pada orang yang sudah meninggal dimana dilakukan
pembacaan kalimat tahlil secara bersamaan. Tradisi tahlilan sudah ada sejak di zaman
Wali Songo. Dengan kata lain, tahlilan merupakan akulturasi budaya dan agama
dimana bertujuan untuk menunjukkan rasa simpati dan empati pada keluarga yang
ditinggalkan, serta untuk mendoakan orang yang telah meninggal

Menurut para Ulama NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan bahwa tahlilan tidak


ada dalil yang menguatkan dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits Nabi
Muhammad Saw., tetapi kenapa mereka masih melakukan tradisi tahlilan tersebut,
dikarenakan para ulama-ulama memiliki pendapat yang berbeda, bahwa tahlilan
dilakukan untuk keluarga yang telah meninggal mempunyai tujuan tertentu sebagai
berikut:
1. Melatih diri kita membaca kalimat thayyibah seperti, lailaha illalah,
subhanallah, dan astaghfirullah. Jika saat akhir hayat kita dapat membaca
kalimat tahlil insyaAllah kita dijamin masuk surga milik Allah Swt. Tidak
mudah memang untuk mengucapkan kalimat thayyibah menjelang sakaratul
maut, karena pada saat itu godaan syaitan sangat besar dengan menyamar
menjadi sosok yang menjadi kebahagiaan kita saat kita masih hidup sehat.
Maka kalimat thayyibah sangat penting bagi umat Islam. Dengan membaca
kalimat tahlil saat di akhir hayat kita dapat membuat kita meninggal dalam
keadaan husnul khatimah.
2. Menguatkan sesama umat muslim. Silaturahmi terjalin di kalangan umat Islam
dengan cara menghibur dan mempertebal kesabaran mereka terhadap anggota
keluarga yang tersisa, termasuk umat Islam di rumah, teman dekat, dan
tetangga yang ditinggalkan almarhum.
3. Menjaga kerukunan antar tetangga. Kita harus menyadari bahwa kita tidak
sendirian dalam hidup ini. Kita hidup bahagia bersama tetangga dekat rumah
11
kita. Ketika terjadi bencana seperti kebakaran, kita selalu meminta bantuan
kepada tetangga. Tidak mungkin menghubungi pemadam kebakaran secara
langsung karena memerlukan waktu untuk tiba dan ada proses yang harus
dilakukan. Untuk itu tradisi Tahlilan diadakan untuk mempererat
keharmonisan antar tetangga. Tradisi tahlilan diadakan untuk mempertemukan
masyarakat dalam satu tempat. Ketika orang-orang berkumpul, mereka
mengenal satu sama lain. Dengan saling memahami kabar satu sama lain, kita
bisa membangun hubungan yang lebih erat.

Tradisi Tahlilan tidak hanya dapat digunakan sebagai penghiburan bagi


anggota keluarga yang masih hidup, tetapi juga sebagai media dakwah dalam
pertemuan-pertemuan Majelis yang biasanya diisi dengan ceramah keagamaan
tentang kematian. Selain itu, tradisi ini juga dapat memberikan dampak positif
terhadap lingkungan sosial sebagai ajang silaturahmi dimana masyarakat berkumpul
dan makan bersama makanan yang disediakan oleh anggota keluarga yang masih
hidup.

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum tradisi tahlilan Sebagian ulama


madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menegaskan bahwasannya mengirimkan
bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada orang yang telah meninggal itu
hukumnya mubah yaitu boleh. Sedangkan syekh Ad-Dasuqi dari madzhab Maliki
mengatakan: “Jika seseorang membaca Al-Qur'an dan menghadiahkan pahala bacaan
kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan dan pahala bacaannya sampai kepada
mayit.” (Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi alas sykabir, Juz 4. Hal.173)

Tradisi tahlilan hingga saat ini masih dapat ditemukan dikalangan masyarakat,
khususnya masyarakat pulau Jawa. Namun, ada juga masyarakat yang telah
meninggalkan tahlilan ini karena berbagai alasan. Sebagian masyarakat tak lagi bisa
melakukan karena alasan keuangan. Namun, ada juga yang meninggalkannya karena
alasan teologi atau hukum agama. Tradisi ini dianggap tidak diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Akan tetapi, bagi yang masih melakukan tradisi tahlilan tentunya
dianggap memiliki dasar pemikiran dari Al-Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW,
maupun pendapat dari para ulama/ahli agama yang memperbolehkan.

12
BAB 5

PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Tahlilan merupakan pembacaan kalimat thayyibah yang dibacakan untuk arwah


(mayit) oleh para pembaca. Tahlilan juga memiliki arti membaca dzikir, doa-doa, dan
ayat Al-Qur’an kepada jenazah yang telah meninggal. Tradisi tahlilan merupakan tradisi
yang ada sejak zaman dahulu terutama peradaban Islam masyarakat Jawa yang
disebarkan oleh Wali Songo, tradisi ini merupakan akulturasi budaya-budaya yang ada di
Indonesia yang kemudian dikemas secara islami. Kini tradisi tahlilan sudah menjadi
praktik umum di Indonesia untuk mengenang/mendoakan orang yang telah meninggal,
Meskipun beberapa ulama ada yang mendukung sebagai acara yang sah, pandangan
tahlilan beragam di antara ulama lain, beberapa ulama lainnya berpendapat tahlilan
adalah praktik yang tidak disarankan agama. Tradisi ini terus diperjuangkan dan
diperdebatkan dalam konteks keagamaan, pengaruhnya dalam mengenang orang yang
telah meninggal tetaplah signifikan dalam masyarakat tempat praktik ini berakar.

5.2 Saran

1. Tradisi tahlilan sebaiknya tetap dilestarikan di tengah masyarakat Indonesia karena


memiliki manfaat baik secara spiritual maupun sosial. Namun, pelaksanaannya perlu
terus dimurnikan dan disesuaikan dengan tuntunan ajaran Islam yang sebenarnya.
2. Dalam tradisi tahlilan, hendaknya lebih menitikberatkan pada pembacaan ayat-ayat
Al-Qur’an, doa-doa, dan dzikir, bukan pada suguhan makanan atau sesaji. Pahala
yang didapat dari membaca Al-Qur’an dan berdzikir jauh lebih besar dibanding
makanan yang disuguhkan.
3. Perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan terhadap masyarakat mengenai makna dan
tujuan tahlilan yang sebenarnya sesuai tuntunan Islam. Hal ini untuk menghilangkan
anggapan masyarakat bahwa tahlilan identik dengan makanan dan sesajen belaka.
4. Perlu ada pemahaman bahwa tahlilan bukan kewajiban agama, sehingga tidak perlu
adanya tekanan sosial atau gunjingan apabila ada yang tidak melaksanakannya.
5. Hendaknya mengundang tetangga dan kerabat dari latar belakang agama apapun tanpa
memandang perbedaan keyakinan untuk menjalin silaturahmi.

13
DAFTAR PUSTAKA
Amien, A. B., Rahmah, S., & Heryana, E. (2022, April). Resistensi Budaya Tahlilan pada
Masyarakat Pragaan Daya. Kajian Living Hadis, 2(1), 13. uinsgd.
10.15575/jra.v2i1.16910

Asikin, H. (2021, Agustus 16). Persepsi Tradisi Tahlilan Dalam Masyarakat Indonesia.
(Studi Kritis Ayat-ayat Tahlilan Dalam Kitab Tafsīr Al-Misbaḥ Karya Prof. Dr. M.
Quraish Shihab), 1, 186. from https://repository.ptiq.ac.id/id/eprint/11/

Chin, T. (2023). Tahlil | Sejarah, Tata Cara dan Manfaat [Complete]. CHEAP CAR
INSURANCE. Retrieved December 8, 2023, from https://pondokislam.com/tahlil/

Dr. MH. Zainudin, MA. (2015, September 26). TAHLILAN DALAM PERSPEKTIF (Historis,
Sosiologis, Psikologis, Antropologis). UIN Malang. Retrieved November 30, 2023,
from https://uin-malang.ac.id/r/150901/tahlilan-dalam-perspektif-historis-sosiologis-
psikologis-antropologis.html

Hatimah, H., Emawati, E., & Husni, M. (2021). Tradisi Tahlilan Masyarakat Banjar di

Kecamatan Pahandut Kota Palangka Raya. Syams: Jurnal Kajian Keislaman, 2(1).

Haq, H. (2019, December 30). Hukum Tahlilan Menurut Mazhab Empat. NU Online.
Retrieved November 28, 2023, from https://nu.or.id/syariah/hukum-tahlilan-menurut-
mazhab-empat-bpZVe

Ilmu Islam. (2023). Hadits Muslim Nomor 3242 - Kumpulan Hadits. Ilmu Islam. Retrieved
December 8, 2023, from https://ilmuislam.id/hadits/27192/hadits-muslim-nomor-3242

Rachmat, F. O., Nuramalia, A. R., Alfazriani, R. S., & Fajrussalam, H. (Oktober, 1).
PERSPEKTIF MASYARAKAT TERHADAP TAHLIL SEBAGAI BAGIAN DARI
KEBUDAYAAN INDONESIA. 7(1), 72. 10.24235/oasis.v7i1.10924

Riadi, Muchlisin. (2020). Pengertian, Fungsi, Jenis dan Sumber-sumber Tradisi. Retrieved
12/2/2023, from https://www.kajianpustaka.com/2020/08/pengertian-fungsi-jenis-
dan-sumber-tradisi.html

Silviana, A. P. (2022, April 4). Fenomena Budaya Tahlilan yang Berkembang di Masyarakat

Jawa. Retrieved from Kumparan.com:


https://kumparan.com/aghniaputri01/fenomena-budaya-tahlilan-yang-berkembang-di-
masyarakat-jawa-1xntiOQR5Hs/full

Siregar, R. H. (2021, February 7). Pandangan Islam Terhadap Tradisi Tahlilan dan Yasinan,
Bolehkah? Kalam. Retrieved November 30, 2023, from
https://kalam.sindonews.com/read/327576/69/pandangan-islam-terhadap-tradisi-
tahlilan-dan-yasinan-bolehkah-1612692153

14
Soekmono. (1961). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Tri Karya.

Zuhn, K. S. (1979). Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia.

Bandung: Al Ma’arif.

15

Anda mungkin juga menyukai