Anda di halaman 1dari 27

MASYARAKAT SANTRI, PRIYAYI, DAN ABANGAN

KASUS JAWA

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Masyarakat Muslim Indonesia

Dosen pembimbing :

Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum

Kelompok 5:

Faizal Rafi’ul Umam (11210210000074)

Isnarti (11210210000095)

Rafika Hasuna (11210210000096)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN HUMAINORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat kepada kami
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar dan tepat waktu. Makalah ini berisi
pembahasan mengenai "Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan: Kasus Jawa". Laporan
ini telah kami susun dengan baik atas bantuan dan dukungan berbagai pihak antara lain;
Bapak Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum. sebagai dosen mata kuliah Masyarakat Muslim
Indonesia. Demikian kami ucapkan terima kasih atas waktu, tenaga dan pikiran yang telah
diberikan kepada kami.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa hasil makalah ini jauh dari
kata sempurna. Kami selaku penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sekalian. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kelompok kami
khususnya dan untuk teman-teman di jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada umumnya.  

Ciputat, 08 Mei 2023

Penyusun

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | I


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................I
KATA PENGANTAR...............................................................................................................II

DAFTAR ISI............................................................................................................................III

BAB I : PENDAHULUAN........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................1

1.3 Tujuan...................................................................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN.........................................................................................................3

2.1 Adat dan Islam di Jawa: Tradisi


Selametan ............................................................................................................3

2.2 Kaum Santri, Priyayi, dan Abangan dalam Masyarakat Jawa: Teori dan
Perdebatan.........................................................................................................12

2.3 Karya-Karya Sastra Keislaman dalam Bahasa dan Aksara Jawa......................17

BAB III : PENUTUP...............................................................................................................22

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................24

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | II


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sejak sebelum agama Islam masuk ke tanah Jawa, masyarakat Jawa telah
memiliki keyakinan terhadap adanya Tuhan dan hal-hal ghaib. Tentu saja Tuhan yang
mereka yakini bukanlah Allah SWT, melainkan para dewa. Mereka juga percaya dengan
adanya mahkluk-makhluk ghaib, seperti arwah nenek moyang atau penunggu tempat-
tempat tertentu yang tidak kasat mata yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka.
Hal itulah yang membuat mereka melakukan beberapa adat dan ritual untuk melindungi
mereka dari hal-hal yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh makhluk ghaib tersebut.
Masyarakat Jawa dari dulu sampai sekarang masih kental dengan adat dan istiadat.
Banyak sekali adat dan tradisi yang kerap mereka laksanakan. Salah satu contohnya
adalah selametan. Mulai dari awal terbentuknya manusia di dalam kandungan sampai
manusia itu kembali ke Sang Pencipta, semua tidak akan lepas dengan yang namanya
selametan. Namun, setelah agama Islam datang dan masuk ke tanah Jawa, adat dan
istiadat yang telah mendarah daging pada masyarakat Jawa tersebut tidak begitu saja
dihilangkan, melainkan diselipi dengan unsur-unsur keislaman di dalamnya.
Di Jawa sendiri terdapat pembagian kelompok berdasarkan kepercayaan dalam
agama, antara lain yaitu: Kaum santri, priyayi, dan abangan. Mereka ini memiliki
pandangan dan ideologinya masing-masing mengenai aspek-aspek dalam agama serta
adat dan tradisi di Jawa. Banyaknya adat dan tradisi serta heterogennya masyarakat Jawa
tersebut akhirnya beberapa karya sastra keislaman dalam bahasa dan aksara Jawa.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas timbul permasalahan yang perlu dibahas dalam
makalah ini, sebagaimana berikut :
1. Apa yang menjadi perdebatan dari Teori Santri, Abangan dan Priyayi?
2. Bagaimana perkembangan tradisi Selametan ?
3. Apa saja karya sastra islam islam jawa?

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 1


1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan penyusunan
makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perdebatan dari teori Santri, Abanan dan Priyayi dalam
masyarakat jawa.
2. Untuk memahami bagaimana islam masuk dan diterima di Jawa melalui akulturasi
budaya seperti mempertahankan tradisi Selametan.
3. Untuk mengetahui karya-karya pujangga muslim di Jawa.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 2


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Adat dan Islam di Jawa: Tradisi Selametan

Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adat diartikan sebagai
aturan atau perbuatan yang dilakukan sejak zaman dahulu.1 Adat ini membentuk suatu
kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun dari zaman nenek moyang sampai
sekarang, di mana dalam pelaksanaannya diatur oleh tata cara dan aturan yang
mengikat. Di Jawa sendiri terdapat banyak sekali adat yang biasanya dilakukan, salah
satu contohnya adalah adat selametan. Agama Islam masuk ke Jawa disaat adat dan
budaya Hindu-Budha telah menyatu dan mengakar kuat dalam diri dan kehidupan orang
Jawa.2 Sehingga adat yang ada tersebut tidak dapat dihapus dan dihilangkan, namun
bisa ditambahkan dengan unsur keislaman di dalamnya (akulturasi).

Keunikan adat dan budaya Jawa terletak pada kemampuannya dalam


mempertahankan bentuk aslinya, meskipun banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor
budaya luar. Dengan masuknya agama Islam di Jawa justru membuat adat dan
budayanya lebih beragam dan bervariasi bahkan menemukan identitas mereka.

SELAMETAN

a. Makna Selametan

Tradisi selametan di daerah Jawa sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu.
Tradisi ini dulunya diadakan oleh para nenek moyang untuk meminta keselamatan
dan keberkahan kepada Pangeran (sebutan Tuhan oleh orang Jawa) dan roh penjaga
daerah tersebut dengan menyajikan makanan dan sesajen di tempat-tempat tertentu,
seperti perempatan jalan, di bawah pohon rindang, atau di makam leluhur yang
dikeramatkan. Sesajen tersebut biasanya berisi kemenyan dan berbagai macam bunga
yang biasa disebut dengan kembang setaman. Hal itulah yang menjadikan tradisi
selametan ini sebagai kebiasaan dan masih dilestarikan sampai sekarang oleh orang-
orang Jawa di beberapa daerah. Seiring berjalannya waktu, selametan ini ditambahkan
dengan unsur-unsur keislaman didalamnya, seperti do’a yang awalnya berbahasa Jawa

1
Adat. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 9 Mei 2023, dari https://kbbi.web.id/adat
2
Ummi Sumbulah, “ISLAM JAWA DAN AKULTURASI BUDAYA: Karakteristik, Variasi dan Ketaatan
Ekspresif”, Jurnal el Harakah, Vol.14 No.1 (2012), hal. 52.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 3


alus (krama) ditambahkan dengan doa-doa dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berbahasa
Arab, serta doa-doa tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dan para wali
yang ada di tanah Jawa.

Selamatan berasal dari kata “selamat” atau “slamet” oleh orang Jawa, yang
berarti “tidak ada apa-apa yang akan menimpa (Gak ana apa-apa)”, baik itu sial,
penyakit, marabahaya, bencana, dan yang lainnya. Sedangkan dalam bahasa Arab,
kata selamat disamakan dengan kata “salamah” yang berarti selamat atau bahagia dan
“mutmainnah” yang berarti ketenangan atau ketentraman.3 Dalam buku yang berjudul
“Agama Jawa” karya Clifford Geertz, selamatan diartikan sebagai upacara keagamaan
versi Jawa yang didalamnya mengandung unsur sosial kehidupan dan wadah
pertemuan serta silaturrahmi bagi masyarakat yang diundang.4 Mengapa mengandung
unsur sosial? Karena orang yang melaksanakan selametan akan mengundang orang-
orang terdekat mereka, seperti sanak keluarga dan handai taulan. Tidak hanya itu,
mereka juga akan mengundang tetangga terdekat dengan rumahnya dan orang-orang
miskin yang ada di sekitar kediamannya. Hal ini menunjukkan bahwa selametan tidak
hanya bertujuan untuk meminta keselamatan dan keberkahan kepada Tuhan tetapi
juga wadah memperbaiki hubungan antar sesama dan menghindari perseteruan.

Menurut kepercayaan orang Jawa, mengadakan selamatan berarti melindungi


diri orang yang melaksanakan, keluarganya, orang-orang yang di sekitarnya, dan
orang-orang yang diundang dalam acara tersebut dari gangguan makhluk halus atau
arwah leluhur yang ingin berbuat jahat pada mereka, sehingga mereka tidak diganggu
atau selamat. Mereka percaya bahwa makhluk-makhluk halus tersebut akan
mendatangkan aura negatif bagi kehidupan mereka, seperti dapat menyebabkan
kecelakaan atau yang lainnya. Mengadakan selamatan juga merupakan bentuk
penghormatan bagi orang lain, terutama orang yang diundang dan hadir dalam acara
tersebut. Karena pada selametan orang-orang tersebut diperlakukan sama, tidak
memandang strata sosial atau status sosial mereka.5

3
Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (London: Springer Science & Business Media,
2010), hal. 121.
4
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 3.
5
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal 7

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 4


Dalam buku yang berjudul “Java, Indonesia and Islam” karya Mark
Woodward, Selametan adalah memberikan makanan baik yang matang maupun yang
mentah kepada orang yang ada di sekitar rumah, terutama orang-orang miskin atau
orang yang kekurangan (shadaqah), dengan niat ikhlas tanpa mengharapkan imbalan
sedikitpun (hadiah dari hati).6 Dengan memberikan makan orang miskin, sama halnya
dengan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan mereka. Sebutan slametan juga
dapat disamakan dengan “Kanduri/kenduri”, dalam bahasa Persia artinya taplak meja.
Namun istilah kenduri ini lebih banyak digunakan oleh orang Melayu dan orang
Aceh. Sama halnya di Jawa, Kenduri di Aceh dilaksanakan dengan menyajikan
makanan untuk tamu undangan di bulan-bulan tertentu dalam kalender Hijriyah.7
Semakin berkembangnya zaman dan perubahan kehidupan masyarakat terutama di
daerah perkotaan, selametan kini jarang dilakukan. Namun di beberapa daerah
terutama di Jawa, selamatan ini masih memiliki daya tariknya tersendiri dengan
segala keunikannya.

b. Pelaksanaan Selametan

Waktu selametan dilaksanakan pada saat menjelang sore atau malam, sekitar
jam 5 sore sampai jam 8 malam. Alasan kenapa selametan umumnya dilaksanakan
pada sore atau malam hari adalah karena pada waktu-waktu tersebut kebanyakan
orang sudah ada di rumah dan sudah pulang dari tempat kerja mereka masing-masing.
Hari pelaksanaan selametan juga tidak sembarangan dipilih, harus ditentukan terlebih
dahulu berdasarkan sistem hitungan Jawa dalam kalender Jawa. Orang Jawa
menyebutnya sebagai petungan (hitungan). Hal itu bertujuan untuk menentukan hari
yang bagus dan cocok, jadi tidak asal melaksanakan. Orang yang diundang dan hadir
dalam upacara selametan itu adalah kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan dari
kalangan keluargalah yang bertugas menyiapkan makanan di dapur. Mereka akan
diundang 15-20 menit sebelum acara selametan dilaksanakan. Tuan rumah
mengundang tamu undangan berdasarkan wilayah teritorial dari kediamannya.
Maksudnya tidak semua orang yang ada di daerah tersebut diundang atau dibatasi. 8
Slametan baru dimulai setelah para tamu undangan datang dan memenuhi tempat
6
Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (London: Springer Science & Business Media,
2010), hal. 113.
7
Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (London: Springer Science & Business Media,
2010), hal. 117.
8
Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (London: Springer Science & Business Media,
2010), hal. 122.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 5


yang telah disediakan oleh tuan rumah. Mereka akan duduk secara bersila
mengelilingi hidangan yang ditempatkan di tengah-tengah area selametan.9

Pada saat pembukaan acara selametan, tuan rumah akan menyampaikan


beberapa hal. Penyampaian beberapa hal tersebut dalam bahasa Jawa disebut dengan
ujub. Isi dari ujub yaitu:

a) Penyampaian ucapan syujur dan terima kasih kepada tamu undangan.


b) Penyampaian niat khusus sang tuan rumah.
Maksud dari niat khusus ini tuan rumah mengadakan selametan untuk apa?
Apakah untuk memperingati Maulid Nabi, kelahiran anak, atau yang lainnya.
c) Penyampaian maksud umum.
Artinya tuan rumah berharap agar dirinya, keluarganya, dan tamu undangan
mendapatkan berkah dan keselamatan dari acara tersebut.
Penyampaian ujub ini dilakukan dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus
(Krama Inggil). Setelah ujub ini dilakukan, tahap selanjutnya adalah pembacaan ayat-
ayat Al-Qur’an dan do’a yang dipimpin oleh seorang ahli agama yang disebut dengan
moden. Atau bisa juga tuan rumah menunjuk salah satu orang yang pandai dan paham
bahasa Arab yang telah belajar agama di pesantren untuk memimpin jalannya acara
selametan.
Acara selametan dilaksanakan secara khidmat dari awal sampai akhir. Di akhir
acara tuan rumah akan memberikan semacam bayaran kepada moden atas jasanya
memimpin do’a, yang disebut dengan wajib.10 Setelah acara selesai, dilanjutkan
dengan acara makan bersama. Jenis makanan yang disuguhkan biasanya beraneka
ragam. Tetapi yang paling khusus dan harus ada yaitu kue apem dan nasi tumpeng
sebagai simbolis orang Jawa kuno.11
Dalam acara selametan ini ada suatu kepercayaan yang diyakini oleh sebagian
orang Jawa. Mereka percaya bahwa pada saat selametan, makhluk halus dan arwah
para leluhur ikut dalam perjamuan tersebut. Ikut makan makanan (sari makanan atau
bau makanan) yang ada dalam acara selametan.12 Makanan yang tidak habis nantinya
9
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 4.
10
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 6.
11
Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (London: Springer Science & Business Media,
2010), hal. 124.
12
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 8.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 6


akan dibungkus dan dibawa pulang (berkat/berkah). Setelah itu para tamu undangan
meminta izin kepada tuan rumah untuk pulang dan selesailah acara selametan
tersebut.

c. Jenis-Jenis Selametan

Selametan menurut jenisnya terbagi menjadi 4, yaitu:13

a) Berkaitan dengan fase atau siklus dalam kehidupan manusia.


Mulai dari fase kelahiran, khitanan, pernikahan, sampai kematian semua harus
dilaksanakan selametan.
b) Berkaitan dengan hari-hari besar dalam Islam.
Seperti Grebeg Maulud, tradisi suroan (malam 1 Muharram), dan yang lainnya.
c) Terkait kegiatan sosial.
Seperti bersih desa, sedekah bumi, sedekah laut, dan sebagainya.
d) Berkaitan dengan suatu kejadian besar atau penting.
Selametan jenis ini waktu pelaksanaannya tidak tetap atau waktunya bebas sesuai
dengan waktu terjadinya suatu kejadian penting. Contohnya selametan karena
pindah rumah, ganti nama, sembuh dari penyakit, dll.

d. Selametan Dalam Fase Kehidupan Manusia


1. Kelahiran
Ada beberapa tahapan selametan dalam fase kelahiran yang harus
dilaksanakan.Dari awal di kandungan sampai bayi menginjak 1 tahun. Hal itu
dilaksanakan secara berurutan sesuai tahap-tahapannya, anatara lain:14
a) Ngupati
Upacara selametan yang dilaksanakan ketika usia kandungan menginjak 4
bulan. Ngupati ini berasal dari kata “kupat/ketupat” yaitu makanan yang
berasal dari beras yang dibungkus dengan daun kelapa yang masih muda
atau janur. Terdapat kepercayaan bahwa pada usia kandungan 4 bulan, ruh
akan ditiupkan ke kandungan.15
13
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 31.
14
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 48.
15
Aris Widodo, Islam dan Budaya Jawa; Pertautan antara Ajaran Islam, Pemahaman, dan Praktek
Islam di Kalangan Muslim Jawa (Surakarta: Kaukaba Dipantara, 2016), hal. 69.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 7


b) Tingkeban
Tingkeban ini dilaksanakan pada saat usia kandungan menginjak 7 bulan.
Acara ini dilakukan pada saat kehamilan anak pertama dan dilaksanakan di
rumah sang calon ibu. Acara ini dibuka dengan penyampaian ujub oleh
seorang tetua adat setempat dan dilanjutkan dengan berdoa bersama dengan
para tamu undangan yang hadir. Dalam acara ini juga terdapat sesajen yang
ditujukan untuk makhluk halus dan arwah leluhur setempat agar acara
berjalan dengan lancar dan kehamilannya selamat sampai saatnya
melahirkan. Setelah prosesi doa dan makan bersama, barulah prosesi yang
paling penting dan terakhir dilaksanakan yaitu siraman. Menurut
kepercayaan orang Jawa, tidak melaksanakan tingkeban sama saja dengan
sebuah penghinaan, karena menyamakan calon orang tua tersebut dengan
hewan yang tidak mengenal aturan.
c) Babaran
Babaran ini dilaksanakan pada saat hari kelahiran sang bayi. Dimana ketika
sang bayi telah lahir ke dunia, maka harus dilaksanakan selametan secara
sederhana atau dalam ruang lingkup keluarga saja. Acara ini dibarengi
dengan prosesi penguburan ari-ari. Namun, untuk saat ini selametan ini
sudah mulai ditinggalkan.
d) Pasaran
Pasaran dilaksanakan pada 5 hari setelah kelahiran bayi atau pada saat tali
pusar si bayi telah terlepas. Acara ini ditandai dengan pemberian nama oleh
orang tua si bayi. Di acara ini terdapat hidangan berupa makanan kecil dan
makanan ringan yang bermacam-macam yang biasa dikenal oleh orang
Jawa dengan sebutan jajan, di mana jajan ini harus dibeli di pasar. Jajan ini
melambangkan interaksi dengan sesama yang menjadi kebiasaan orang
Jawa, seperti berkumpul. Selain itu juga memeliki makna di dalamnya,
yaitu kelak si bayi diharapkan akan tumbuh menjadi pribadi yang memiliki
jiwa sosial yang tinggi dan suka dengan keramaian.
e) Selapanan
Selapanan dilaksanakan pada 35 hari setelah hari kelahiran. Acara ini
hampir sama dengan pasaran, tetapi tidak ada jajanan di dalamnya. Hanya
pembacaan doa dan makan bersama.
f) Pitonan
Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 8
Acara selametan pitonan ini berasal dari kata “pitu” yang artinya tujuh.
Pitonan ini dilaksanakan pada saat bayi berusia 7 bulan. Namun, untuk
sekarang ini acara pitonan sudah jarang dilaksanakan karena dianggap tidak
terlalu penting. Acara ini menghakhiri siklus selametan dalam fase
kelahiran.
2. Khitanan (Sunatan)
Khitanan atau sunatan telah dimulai sejak abad ke 16 sebelum datangnya Islam
di Jawa. Khitanan ini biasanya dilaksanakan ketika anak berusia 10-15 tahun.
Namun ada juga yang melakukannya pada usia 5 tahun, seperti yang dilakukan
oleh kalangan santri. Bahkan terkadang dilaksanakan ketika sang anak telah
siap. Dahulu prosesi sunatan dilaksanakan oleh calak atau bong, yakni sebutan
bagi seorang ahli penyunatan. Namun, sekarang ini sunatan telah ditangani oleh
seorang mantri, di mana telah didukung oleh alat dan teknologi yang canggih.
Sama halnya dengan adat selametan lainnya, sunatan ini juga menggunakan
sistem petungan, dengan memilih hari dan waktu yang cocok dan baik menurut
orang Jawa. Selain itu juga terdapat sesajen yang dipersembahkan untuk
makhluk halus yang ditempatkan di dalam rumah. Dalam sunatan ini terdapat
suatu prosesi penting yang disebut dengan manggulan, di mana sang tuan rumah
akan menyajikan berbagai macam makanan yang melambangkan setiap orang
dalam selametan tersebut bebas atau terhindar dari rasa iri dan dengki. 16
Biasanya sebelum acara suanatan dimulai, sang anak akan berendam kurang
lebih 1 jam di dalam bak mandi. Setelah itu proses sunatan dilaksanakan. Di
Jawa biasanya pada malam harinya akan ada hiburan berupa wayang kulit
semalam suntuk.
3. Pernikahan (Kepanggihan)
Adat Pernikahan biasanya dilaksanakan di rumah pengantin perempuan. Hari
dan waktu pelaksanaannya juga ditentukan dengan sistem petungan, bahkan
arah masuknya mempelai pria juga diperhitungkan. Di Jawa, orang tua
pengantin perempuan memiliki kewajiban untuk mengadakan pesta pernikahan
besar bagi sang anak serta membiayai pesta tersebut. Namun, ada juga yang
biaya pestanya ditanggung oleh pihak mempelai pria apabila mereka terburu-
buru untuk menikah. Pihak mempeli pria juga harus memberikan 2 macam

16
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 62.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 9


hadiah atau seserahan, yaitu paningset (perhiasan dan pakaian) serta sasrahan
(seekor sapi atau kerbau dan peralatan rumah tangga).17 Namun, untuk saat ini
pemberian berupa hewan ternak sudah jarang dilakukan. Tahapan dalam
pernikahan adat Jawa, yaitu:
 Midodareni
Acara pembacaan doa bersama untuk meminta agar pasangan tersebut
nantinya tidak akan pernah terpisahkan dan selalu bersama sampai akhir
hayat. Umumnya dilaksanakan pada malam sebelum ijab qabul. Hanya calon
pengantin perempuan yang hadir dalam acara ini, sedangan calon mempelai
pria tidak. Karena mereka masih dalam proses pingitan.
 Upacara membeli kembang mayang
Ibu dari pengantin perempuan nantinya akan membeli kembang mayang
kepada seorang pembuat kembang mayang tersebut. Kembang mayang ini
terbuat dari batang pohon pisang yang ditambahi dengan ornamen dari
dedaunan, biasanya dari daun kelapa yang masih muda (janur) yang dilekuk-
lekuk.
 Prosesi Ijab qabul
 Temu manten
Bertemunya dua mempelai yang diiringi oleh 2 anak laki-laki dan
perempuan yang membawa kembang mayang. Setelah itu kedua mempelai
saling melemparkan gulungan daun sirih.
 Sembahan
Pengantin perempuan bersalaman dan melakukan sikap sembahan kepada
suaminya.
 Prosesi saling bertukar kembang mayang
 Prosesi menginjak telur dan mencuci kaki mempelai pria
Pengantin perempuan melakukan sikap berlutut di hadapan suaminya,
sedangkan mempelai pria berdiri dan menginjak telur. Setelah itu pengantin
perempuan tadi mencuci kaki suaminya dengan air kembang.
 Prosesi jalan bersama menuju tempat resepsi
Ayah dari pengantin perempuan akan menuntun merak ke tempat duduk
dengan sehelai selendang yang menyelimuti ke dua pengantin.
17
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 65.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 10


 Prosesi makan nasi kuning oleh pengantin pria dan wanita.
 Prosesi menuangkan uang dan biji-bijian
Proses ini diawali oleh ayah pengantin perempuan menuangkan uang dan
biji-bijian tersebut kepada sang menantu dan dilanjut penganytin pria
menuangkannya ke dalam gulungan kain yang dibawa oleh pengantin
perempuan.
 Pelemparan kembang mayang ke atap rumah
 Acara selesai
4. Kematian
Jalannya pemakaman atau layatan ini akan dipimpin oleh seorang ahli agama
yang disebut moden. Pelaksanaan tiap prosesi juga dilakukan dengan cepat.
Mengapa? Karena orang Jawa percaya bahwa arwah orang yang telah
meninggal itu tidak menentu atau berkeliaran sampai jasadnya dikuburkan.18
Sebagian pelayat dari kaum perempuan akan berada di dapur memasak makanan
untuk persiapan selamatan. Sedangkan kaum laki-laki mempersiapkan
perlengkapan dan kebutuhan si jenazah. Setelah moden datang, prosesi pada
layatan dimulai, seperti memandikan, mengkafani, menyolatkan jenazah dan
proses penguburan jenazah sampai selesai. Setelah prosesi tersebut selesai, maka
jenazah akan diletakkan di dalam keranda dan dibawa ke halaman rumah.
Biasanya orang terdekat seperti sanak saudara akan berjalan di bawah keranda
tersebut bolak-balik sebanyak 3 kali. Hal itu melambangkan rasa ikhlas melepas
kepergian si jenazah dari pihak keluarga.
Setelah itu akan ada orang yang bertugas membagikan uang koin ke beberapa
orang yang ada di tempat tersebut dan pelemparan sebuah kendi yang berisi air
sampai pecah. Hal itu merupakan simbol keikhlasan. Baru setelah itu jenazah
diberangkatkan menuju ke pemakaman. Di sepanjang perjalanan nantinya akan
ada orang yang menabur campuran beras kuning, uang koin dan bunga. Setelah
proses pemakaman selesai, orang-orang akan kembali ke rumah untuk
melaksanakan selametan. Makanan yang disajikan dalam selametan tersebut
yaitu kue apem dan makanan yang terbuat dari tepung beras yang dibentuk bulat
serta 2 tumpeng nasi putih.19
18
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 89.
19
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 92.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 11


Di Jawa sendiri terdapat selametan yang lebih besar yang harus dilaksanakan
oleh pihak keluarga dari orang yang telah meninggal tersebut. Selametan
tersebut meliputi selametan pada hari ke 3 setelah kematian, hari ke-7, hari ke
40, hari ke 100 dan ke 1000 hari setelah kematian.

2.2 Kaum Santri, Priyayi, dan Abangan dalam Masyarakat Jawa: Teori dan
Perdebatan
a. Perdebatan Seputar Santri, Abangan, dan Priyayi

Berbeda dengan istilah “Santri-Abangan” yang pertama kali dipopulerkan


(lagi-lagi oleh Geertz, namun masih dengan banyak kebingungan), kemudian kajian
terhadap kedua istilah tersebut menjadi lebih jelas, terfokus dan spesifik.

Seperti disebutkan sebelumnya, penelitian Greertz dan temuan selanjutnya


dari "Mojokerto" (inisial kota Pare di Jawa Timur) sangat kontroversial. berdasarkan
model penelitiannya Mubyarto berpendapat "realistis akan tetapi cepat ketinggalan
zaman".20 Teori yang dikembangkan oleh Greertz tidak akan bertahan lama,
dikarenakan ruang lingkup yang diteliti sangat spesifik dan sementara, sedangkan
hasilnya bermaksud untuk memberikan makna umum kepada keseluruhan
(generalisasi) dari jenis keragaman Jawa. Bukan dari jenis masyarakat yang
homogen.

Menurut para Ahli, Kelemahan yang paling menonjol dari teori Greertz ialah
ketidaksesuaian sistem klasifikasi Santri-Abangan-Priyayi dengan kondisi istilah-
istilah tersebut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, karena istilah-istilah
tersebut, khususnya “santri” dan “abangan” sebenarnya bukan istilah yang digunakan
secara merata di seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.21 Selama
penelitiannya di Pare antara Mei 1953 hingga September 1954, Greertz mengambil
tiga istilah di atas dari nasumbernya. Kemudian menganalisis tiga istilah tersebut
dengan tajam. Jadi, seperti yang diakuinya, istilah tersebut bukanlah istilah yang
mengada-ngada.22
20
Mubyarto, Teori Geertz: Model Realistik tapi Cepat Usang (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 4.
21
Zamahsari Dhofier, Santri Abangan dalam kehidupan orang jawa: teropong dari pesantren" dalam
agama jawa dan tantangan zaman (Jakarta: LP3ES, 1983) hlm. 181.
22
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 8.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 12


Inti pembahasan dari buku Geertz yaitu, Geertz membedakan tiga (trikotomi)
dari Varian masyarakat Jawa: Orang Jawa memiliki tradisi "Abangan" sebagai petani
miskin dari berbagai animisme, terutama Hidup penuh dengan upacara dan pesta,
pemujaan terhadap hantu dan dewa, dan praktik pengobatan adalah berdasarkan
magic. "Santri" sebagai tradisi keagamaan kedua dikaitkan dengan kelompok
pedagang atau petani yang cukup kaya: tradisi mistik Islam yang mereka lakukan
secara teratur dan taat kepada semua poin ibadah Islam. Sedangkan varian "Priyayi",
yang dianggap berasal dari keturunan aristokrat Hindu atau birokratis, berakar pada
kemegahan Kraton pra-kolonial dan masih mempertahankan dan mengembangkan
etiket ala Kraton yang halus dan juga menganut mistisisme Hindu-Buddha.23

Meskipun secara tegas Geertz menyatakan bahwa ketiga varian tersebut


bukanlah “tipe murni”, dari uraian yang ia coba jelaskan tentang posisi masyarakat
Jawa, jelas bahwa Geertz mendukung pilihan ketiganya, berdasarkan data dan fakta
yang diamati. Hal ini sangat wajar, karena sebelum pemilihan umum (pemilu)
pertama di Indonesia terdapat sangat banyak partai politik, sehingga setiap varian
tersebut berusaha mencari identitasnya di partai-partai tersebut, sehingga munculah
pemilu.

Karena subjek penelitian Geertz adalah agama atau tradisi keagamaan Jawa,
maka masalah “Priyayi” yang ia klasifikasikan sebagai tradisi Jawa yang inferior
menjadi “menguap” di mata para ahli. Masalah “Priyayi” bukanlah masalah agama
melainkan masalah stratifikasi sosial vertikal dalam masyarakat Jawa. Sedangkan
masalah Santri-Abangan termasuk dalam kategori struktur keagamaan horizontal
Jawa. Di sinilah kesalahan Geertz dalam mencampurkan dua struktur terlihat untuk
pertama kalinya. Dalam masyarakat Jawa, istilah "Priyayi" digunakan untuk
membedakannya dengan orang biasa "Wong cilik" dan tidak ada kaitannya dengan
urusan agama. 

b. Teori Santri

Istilah Santri dalam kamus bahasa Indonesia adalah seseorang yang berusaha
mempelajari agama Islam dengan sungguh-sungguh. Di sisi lain, menurut Nurkolish
Majid, etimologi kata “santri” dapat dilihat dari dua sudut. Pendapat pertama adalah

23
Mubyarto, Teori Geertz: Model Realistik tapi Cepat Usang (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 1.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 13


bahwa 'santri' berasal dari kata 'sastri', yaitu kata Sansekerta yang berarti 'melek
huruf'. 

Menurut Nurcholish Madjid, komentar ini tampaknya didasarkan pada kelas


literasi Jawa di mana para santri mencoba untuk mempelajari agama melalui buku-
buku yang ditulis dalam bahasa Arab gundul seperti Kitab Kuning. Lebih lanjut
Zamakhsyari Dhofier mengemukakan bahwa dalam bahasa India istilah santri berarti
orang yang mengetahui kitab suci Hindu, atau ahli kitab suci Hindu. Yang secara
umum dapat dipahami sebagai kitab suci, kitab agama atau kitab ilmu pengetahuan.
Dari beberapa sudut pandang tersebut, sepertinya kata santri yang dipahami saat ini
lebih dekat dengan makna “cantrik”, yaitu orang yang mempelajari agama (Islam)
dan mengikuti majikannya ke mana pun ia pergi dan tinggal. Pondok atau asrama
untuk tempat tinggal santri tidak akan dibangun tanpa adanya santri yang mau
tinggal dan mengikuti guru. yang kemudian disebut Pondok Pesantren. Kesimpulan
dari penjelasan di atas, santri merupakan seorang pelajar yang serius untuk
memperdalam pemahaman agama Islam dan tinggal di pondok pesantren.24 

Perbedaan yang sangat menonjol antara abangan dan santri adalah abangan tidak
acuh pada doktrin dan terpikat dengan ritual (upacara), sedangkan santri lebih
mementingkan doktrin dan mengatur aspek-aspek ritual Islam yang menipis.25 Untuk
mempertahankan doktrin, Santri mengembangkan model pendidikan berkelanjutan
yang khas dan terus menerus dilakukan. Diantaranya ialah, Pondok (model santri
tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik
Islam tradisional) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh Gerakan modernis.
Pertemuan antara model pondok dan sekolah memunculkan variasi Pendidikan yang
baru dan upaya santri untuk mengintegrasikan pelajaran doktrin ke dalam sekolah
umum/sekuler. Model ibadah santri termasuk shalat, shalat Jum'at dan puasa di
Mojokuto dalam banyak hal masih dipengaruhi oleh perbedaan antara santri modern
dan konservatif. Diantaranya pembahasan seputar khutbah, teraweh, tadarus dan

24
Musayyadah Diana Al,“Pengaruh konsep diri dan kepercayaan diri terhadap kemampuan
komunikasi interpersonal santri usia dewasa awal dipondok pesantren sunan ampel Kediri” ( Kediri: IAIN Kediri
2023), hal. 15.
25
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1989) hal. 199.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 14


akhir puasa. Mengenai shalat, inilah yang membedakan santri dengan abangan dan
priyayi dengan jelas.26 

c. Teori Priyayi

Priyayi mewakili bangsawan Jawa. Sebagian besar dari mereka tinggal di


kota karena ketidakstabilan politik kerajaan pra-kolonial, karena filsafat yang lebih
menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik, upaya Belanda untuk
menjangkau orang-orang pertanian. Mereka merupakan orang yang bergaji
bangsawan, sekretaris, dan profesor. Priyayi pada mulanya merupakan keturunan
dari raja-raja besar Jawa, yang tersisa dari kehidupan kota selama hampir 16 abad
akan tetapi dikembangkan oleh campur tangan Belanda dalam kelompok alat
administrasi pemerintahan. Priyayi melihat dunia dengan konsep yang halus dan
kasar. Alus mengacu pada sikap yang murni, halus, halus, sopan, cantik, lembut,
beradab, dan ramah. Simbolismenya adalah tradisi kromo-inggil, kain halus, musik
lembut. Dan konsep Alus ini bisa mengacu pada hal-hal yang baik. Kebalikan dari
alus adalah kasar , bahasa kasar, perilaku kasar. Ada empat prinsip utama yang
terkandung dalam tata krama priyayi, yaitu bentuk yang pantas untuk peringkat yang
tepat, tidak langsung, kemunafikan, dan menghindari perilaku yang berlebihan atau
di luar kendali. Banyak cara yang dikemukakan oleh para priyayi untuk
menunjukkan sesuatu tetapi tetap mengikuti prinsip. Yang terkesan priyayi adalah
gayanya yang kaku, berlapis-lapis dan formal.27

Priyayi menganggap wayang, gamelan, lakon, joget, tembang dan batik


sebagai lambang seni rupa yang alus. berbeda dengan ludrug, kledek, jarana dan
dongeng sebagai seni rupa yang kasar. Dan kesenian ini mengungkapkan nilai-nilai
Priyayi. Tidak mungkin seorang modjokuto priyayi (misalnya camat) mengundang
ludrug ke pernikahan anaknya. Pandangan keagamaan Priyayi disebut mistisisme.
Mistisisme yang dimaksud adalah seperangkat aturan praktis untuk memperkaya
kehidupan batin manusia berdasarkan analisis atau pengalaman intelektual. Tujuan
dari petualangan mistik adalah untuk belajar tentang Rasa, dan itulah yang harus
dirasakan oleh para Priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk asketisme dan

26
Subair, Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan politik identitas kebudayaan Jawa dalam jurnal
DIALEKTIKA Vol.9 No.2, (Ambon: IAIN Ambon, 2015), hal. 41.
27
Subair, Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan politik identitas kebudayaan Jawa dalam jurnal
DIALEKTIKA Vol.9 No.2, (Ambon: IAIN Ambon, 2015), hal. 42.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 15


meditasi dalam keadaan Ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan
mengarahkannya ke satu tujuan, memfokuskan kemampuan psikologis dan fisik
seseorang pada tujuan yang sempit).28

d. Teori Abangan

Kata Abangan berasal dari kata “Abang” yang artinya merah. Namun ada
pendapat lain bahwa kata ini berasal dari “aba” yang berarti “masih enggan” atau
“belum patuh”. Keseimbangan adalah kata "that" yang berarti tunduk atau patuh.
Dengan demikian “aba” bila diucapkan dalam bahasa Indonesia (Jawa) menjadi
“abangan”, sedangkan “that” atau isim fail nya “muthi’in” menjadi “mutiban”.29

Dengan demikian, konsep "abangan" di Jawa merupakan simbol untuk


sekelompok orang Jawa yang memeluk Islam sebagai agama mereka dan "syahadat"
tetapi belum mengikuti perintah agama mereka, terutama shalat lima waktu.

Praktik keagamaan kelompok Abangan didasarkan pada tradisi Kejawen


mereka yang masih menggunakan perangkat sesaji hingga saat ini. Kelompok
Abangan tidak melakukan salat yang diwajibkan dalam Islam. Kerohanian
masyarakat Abangan didasarkan pada tradisi Jawa dan ritual lokal seperti Nyekar,
Nyadran dan Slameta. Sementara itu, praktik keagamaan kelompok Santri secara
ketat didasarkan pada sumber aslinya, yaitu Alquran, yang mengikuti prinsip
penyucian. Selanjutnya kita dapat mempelajari kelompok santri untuk melihat bahwa
jika seseorang tidak melaksanakan syariat, khususnya shalat fardlu, maka dia tetap
tidak disebut muslim. Pada saat yang sama, kelompok Priyayi mencampurkan
praktik keagamaan antara kelompok Abangan dan kelompok santri. Artinya, praktik
keagamaan tradisi Kejawen masih bertahan hingga saat ini, sebagaimana dapat kita
lihat dari praktik budaya Sungkem marga Cendana 9 (marga Presiden Soeharto),
namun tetap setia pada sumber utama yaitu Al- Qur’an. Praktik budaya sungkeman
sudah lama menjadi tradisi di kalangan bangsawan atau priyayi Jawa, yang penulis
ambil dalam artikel itu dengan semangat Geertz, yang disebutnya golongan Priyayi.
Kategorisasi kognitif antara ketiga kelompok tersebut merupakan tanda pilihan biner
yang masing-masing menegaskan identitas.30 

28
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1989), hal. 430.
29
Simuh, Munculnya istilah Abangan (Yogyakarta: Gelaria, 1987), hal. 6.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 16


2.3 Karya-Karya Sastra Keislaman dalam Bahasa dan Aksara Jawa

Pemaknaan terhadap karya-karya para pujangga muslim di tanah jawa merupakan


adaptasi dari kesusasteraan jawa kuno. Sebelum mengenal karya-karya para Pujangga
muslim di tanah jawa, perlu kiranya mengetahui tenang perjalanan Sastra jawa terlebih
dahulu. Perjalanan Sejarah sastra Jawa sangatlah panjang. Suwardi dalam bukunya yang
berjudul Sejarah Sastra Jawa Kuna, mengemukakan bahwa sastra Jawa bermula saat
ditemukannya sebuah prasasti di Sukabumi, Pare, Kediri. Prasasti tersebut bertanggal
25 Maret tahun 804 Masehi dan isinya bertuliskan bahasa Jawa Kuna. Setelah itu, pada
tahun 856 Masehi ditemukan prasasti yang mengandung sebuah sajak yang disebut
kakawin. Kakawin ini menjadi sajak tertua dalam bahasa Jawa Kuna.31 Kemudian Ia
menyebutkan bahwa sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa, yaitu: Pertama,
Sastra Jawa Kuna. Kedua, Sastra Jawa Tengahan (Madya). Ketiga, Sastra Jawa Baru,
dan keempat, Sastra Jawa Modern. Ungkapan Suwardi tidak beda jauh dengan teori dari
Theodore G. Th. Pigeaud mengenai perkembangan sastra jawa yang terbagi menjadi 4
era, dalam bukunya Literature of Java (Volume I: “Development of Javanese
Literature : Four Eras, Hal. 4-8.”) Empat era tersebut, yakni: 1. Periode Pra-Islam,
selama enam abad (tahun 900- 1500 ), terutama di Jawa Timur, sampai merosotnya
kerajaan Majapahit, 2. Periode Jawa-Bali, selama empat abad (tahun 1500-1900), 3.
Periode Pesisir Jawa Utara, selama tiga abad (tahun 1500-1800), 4. Periode Renaisance
sastra klasik (tahun 1700-1900) di Surakarta dan Yogyakarta.

Contoh kakawin:

Dari dua pendapat di atas, tentu Sastra Islam Jawa tidak masuk dari kategori yang
pertama. Sehigga Sastra Jawa yang sudah mengandung nilai-nilai ajaran Islam ada pada
kategori Sastra Jawa madya yang mana tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan
bahasa. Selalu ada kaitan antara Sastra dan bahasa. Sudah tentu bahasa yang digunakan
Sastra Jawa madya adalah bahasa Jawa madya, yakni bahasa percampuran antara kuna
dan baru. Bahasa Jawa mulanya ditulis dengan turunan aksara Pallawa yang berasal dari
India Selatan. Aksara tersebut yang menjadi permulaan aksara Jawa modern atau

30
Nyoman I Saman, “Abangan Santri dan Priyayi dalam pergulatan politik di era orde baru”
(Denpasar: Universitas Udayana, 2017), hal. 8.
31
Afendi Widayat Suwardi, "Sejarah Sastra Jawa" ( Yogakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta , 2005), hal. 7 & 91.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 17


Hanacaraka yang terus digunakan hingga saat ini. Begitupun perkembangan selanjutnta,
berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, dipergunakan juga huruf Arab
untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Dan sampai di
saat bangsa Eropa datang ke Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa
Jawa.32

Sastra Jawa secara umum dapat terbagi menjadi dua kategori yakni yang ditulis
dalam bentuk prosa atau puisi. Untuk bentuk prosa biasanya disebut gancaran dan
berbentuk puisi biasa dikenal dengan istilah tembang. Suwardi menyebut Sastra Jawa
madya puisi adalah yang paling banyak berkembangi, yaitu dalam bentuk kidung. Yang
berbentun prosa ataupun drama sangat jarang ditemukan. Dari pelbagai naskah itu kita
aka menjumpai naskah yang berupa Babad, Serat-serat, sastra pewayangan, dan sastra
suluk dalam bentuk sastra Jawa baru.33

Contoh kidung

Setelah periode Sastra Jawa madya, kemudian muncul periode Sastra Jawa Baru
atau biasa dikenal juga dengan Sastra Jawa Pesisir. Sastra Jawa Pasisir berlangsung
sekitar tiga abad, dimulai sekitar tahun 1500 M.34 Pada abad ke-15 dan ke-16 Islam
berkuasa di Jawa. Kekuasaan politik berpindah dari Istana pedalaman Majapahit kepada
dinasti Muslim yang berkuasa di berbagai distrik maritim dan pusat perdagangan di
Pantai Utara. Di distrik-distrik ini, dari Surabaya dan Gresik di timur hingga Cirebon
dan Banten di barat, sastra Jawa yang diremajakan berkembang di bawah pengaruh
Islam. Di periode ini karya Sastra Jawa sudah mulai dipengaruhi oleh pengaruh agama
dan kebudayaan Islam. Salah satu bentuknya adalah sastra mistik yang dikenal dengan
suluk (dalam bentuk tembang) dan wirid (dalam bentuk prosa). Suluk sendiri populer di
pesisir utara pulau Jawa, mulai dari Gresik, lalu Demak dan Cirebon kemudian barulah
berkembang ke pedalaman di kawasan pesantren yang biasanya berbentuk puisi
tembang macapat .35 Selain hal di atas, di pondok pesantren juga terjadi kegiatan olah
sastra yang cukup produktif. kegiatan olah sastra yang dijiwai dengan semangat

32
Afendi Widayat Suwardi, "Sejarah Sastra Jawa" ( Yogakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta , 2005), hal. 2.
33
Afendi Widayat Suwardi, "Sejarah Sastra Jawa" ( Yogakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta , 2005), hal. 7 & 91.
34
Theodore G. Th. Pigeaud, Literature of java. Vol. 3. (Springer Science & Business Media,
2013), hal. 45.
35
Syamsul Hadi, "Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di Indonesia" 
(Humaniora 2, 1995), hal. 90.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 18


keagamaan menjadikan pondok-pondok pesantren menjadi pusat kesusastraan
pada waktu itu. Pegeaud dalam Hadi (2003:447) menyatakan bahwa pada abad 15
—16 (zaman pesisir) kegiatan sastra berpindah ke kota-kota pesisir yang
merupakan pusat perdagangan dan penyebaran Islam. Berbagai sastra yang
bercorak tasawuf atau sufistik banyak digubahdi sana seperti, primbon, wirid,dan
suluk.

Istilah suluk berasal dari kata Arab salaka-yasluku-sulukan yang berarti melalui
jalan (Munawwir, 1997:653). Dalam KBBI (2008:1352) kata suluk mempunyai arti
jalan ke arah kesempurnaan batin. Suluk menurut Pigeaud merupakan derivasi dari
bahasa Arab suluk, perjalanan (kehidupan mistik). Namun ia mengemukakan perbedaan
makna suluk dalam bahasa Jawa berarti lagu dan dalam bahasa Arab berarti perjalanan
hidup mistik. Sebagai aturan, suluk mistik Jawa bukanlah nyanyian panjang dalam
bentuk macapat, berisi penjelasan tentang konsep mistik, atau kadang-kadang istilah
mistis yang samar. Seringkali suluk berupa pertanyaan yang diajukan oleh seorang
murid kepada tuannya, anak laki-laki atau cucu laki-laki kepada ayah atau kakeknya,
istri kepada suaminya, dsb. Dan jawaban yang diberikan oleh pihak yang memiliki ilmu
mistik. Pergantian tanya jawab itu sesuai dengan fungsi pelajaran syair suluk yang
dinyanyikan dalam komunitas ahli mistik, baik laki-laki maupun perempuan. Bagian
bijak dari Serat Cëntini menunjukkan bahwa nyanyian suluk adalah ciri dari pertemuan
keagamaan para ahli mistisisme. Sementara beberapa suluk, mungkin berasal dari
periode yang relatif awal, ditulis dalam bahasa sederhana, yang lain dipenuhi dengan
ekspresi samar dan teka-teki Jawa yang terkenal, sandiwara sastra, yang disebut
wangsalan, yang tidak dapat dipahami oleh orang yang belum tahu.

Contoh Suluk Seh Siti Jenar:36

Nahen wonten Wali hambeg luwih

nguni asal wrejid bangsa sudra

antuk wenganing tyas bolong

tarbukaning Hyang Weruh

Sunan Benang ingkang murwani


36
Sutarti Sutarti,” Suluk Seh Siti Jenar” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981),
hal. 7 & 91.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 19


tatkala mejang tekad

muruk mirid kawruh

ring Jeng Sunan Kalijaga

neng madyaning rawa nitih giyota di

Sitibang antuk jarwa.

Mila mangke tyasnyarda kelair

umahywa tekad kajabariyah

kadariyah mangsud tyase

andhaku datullahu

budi eling den anggep Gusti

Pangeraning manungsa

isnipat rongpuluh

mawujud kidam Ian baka

muka1Iapahlil kawadis nyulayani

gumlamya barang anyar.

Artinya :

Ada seorang Wali yang sangat sakti,

yang dahulu berasal dari orang kebanyakan saja.

Ia memperoleh wangsit dari Yang Maha Kuasa,

lewat kanjeng Sunan Bonang yang waktu itu sedang memberikan petuah,

mengajarkan ilmu pada Sunan Kali Jaga.

Pembeberan ilmu itu terjadi di atas perahu di tengah lautan.

Pada waktu itulah Sitihang (nama wali sakti itu) mendengar,

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 20


bahwa akan lahir suatu ilmu kebatinan baru

yang disebut "Tekad Kajahariyah Kadariyah".

Artinya mengakui tentang adanya zat atau roh Allah

dan selalu ingat akan Tuhan, Tuhannya manusia.

Ia mempunyai dua puluh ragam sifat.

Ia yang ada tanpa dijadikan dan kekal adanya.

Sedang Mukallapahlil kawadis

berawal dari bergemanya ilmu yang baru itu.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 21


Pemaknaan terhadap klasifikasi kehidupan masyarakat muslim di Jawa yang
dikemukakan oleh Geertz menuai perdebatan. Pasalnya teori tersebut dimaksudkan
untuk pemaknaan secara global namun ruang lingkup yang diteliti bersifat sementara dan
sangat spesifik. Santri, Abangan dan Priyayi yang disebutkan oleh Geertz dianggap
memiliki kelemahan oleh para ahli, terutama dalam memasukan istilah “Priyayi” sebagai
dianggap berasal dari keturunan aristokrat Hindu atau birokratis, berakar pada
kemegahan Kraton pra-kolonial dan masih mempertahankan dan mengembangkan etiket
ala Kraton yang halus dan juga menganut mistisisme Hindu-Buddha. Para ahli
membantah bahwa masalah “Priyayi” bukanlah masalah agama melainkan masalah
stratifikasi sosial vertikal dalam masyarakat Jawa.

Terlepas dari perdebatan itu, para penyebar agama Islam di Jawa menggunakan
cara akulturasi budaya agar Islam bisa diterima oleh masyarakat Jawa. Tidak
menghilangkan kebiasaan atau adat masyarakat Jawa yang sudah berlangsung turun-
temurun, akan tetapi mengisi adat dan budaya tersebut dengan nilai-nilai keislaman
seperti halnya tradisi Selametan. Tradisi selametan di daerah Jawa sudah ada sejak
ribuan tahun yang lalu. Tradisi ini dulunya diadakan oleh para nenek moyang untuk
meminta keselamatan dan keberkahan kepada Pangeran (sebutan Tuhan oleh orang
Jawa) dan roh penjaga daerah tersebut dengan menyajikan (sesajen) makanan dan
sesajen di tempat-tempat tertentu, seperti perempatan jalan, di bawah pohon rindang,
atau di makam leluhur yang dikeramatkan. Saat masuknya Islam, Selametan pun
dibumbuhi unsur-unsur keislaman seperti adanya do’a yang awalnya menggunakan
bahasa Jawa Krama kemudian ditambah dengan do’a dari ayat-ayat Al-qur’an dan
seterusnya.

Selain mempengaruhi isi dari tradisi lokal di Jawa, Islam pun turut berpengaruh
dalam perkembangan kesusastraan Jawa. Terbukti bahwa banyak karya-karya sastra
Jawa yang berisikan nilai-nilai keislaman seperti suluk, wirid, babad, serat-serat dan
yang lainnya. Karya-karya keislaman Jawa pada abad ke 15 M masih banyak yang
menggunakan aksara Jawa dan berisikan penjelasan tentang konsep mistik. Kemunduran
kekuasaan Majapahit menjadi titik mula munculnya karya sastra Jawa yang bernafaskan
keislaman. Hingga pada masa kerajaan Islam mulai banyak para pujangga-pujangga
keraton produktif membuatkan serat-serat untuk para Raja.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 22


DAFTAR PUSTAKA

Woodward, Mark. (2010). Java, Indonesia and Islam (Vol. 3). London: Springer Science &
Business Media.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 23


Geertz, Clifford. (2013). Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa.
Depok: Komunitas Bambu.

Widodo, A. (2016). Islam dan Budaya Jawa; Pertautan antara Ajaran Islam, Pemahaman,
dan Praktek Islam di Kalangan Muslim Jawa. Surakarta: Kaukaba Dipantara.

______. Arti Kata – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, [online],
(https://kbbi.web.id/adat, diakses tanggal 9 Mei 2023).

Sumbulah, Ummi. (2012). “ISLAM JAWA DAN AKULTURASI BUDAYA: Karakteristik,


Variasi dan Ketaatan Ekspresif”. Jurnal el Harakah, Vol.14 No.1, 52.

Mubyarto. (1985). Teori Geertz: Model Realistik tapi Cepat Usang. Jakarta: Gramedia.
Dhofier, Zamahsari. (1983). Santri Abangan dalam kehidupan orang jawa: teropong dari
pesantren" dalam agama jawa dan tantangan zaman. Jakarta: LP3ES.
Diana Al, Musayyadah. (2023). “Pengaruh konsep diri dan kepercayaan diri terhadap
kemampuan komunikasi interpersonal santri usia dewasa awal dipondok pesantren
sunan ampel Kediri”. Kediri: IAIN Kediri.
Simuh. (1987). Munculnya istilah Abangan. Yogyakarta: Gelaria.
Saman, Nyoman I. (2017). “Abangan Santri dan Priyayi dalam pergulatan politik di era orde
baru”. Denpasar: Universitas Udayana.
Suwardi, Afendi Widayat. (2005). Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Pigeaud, Theodore G. Th. (2013). Literature of java. Jurnal Springer Science & Business
Media, Vol. 3.
Hadi, Syamsul. (1995). "Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di Indonesia".
Humaniora 2.
Sutarti, Sutarti. (1981). Suluk Seh Siti Jenar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan | 24

Anda mungkin juga menyukai