KASUS JAWA
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Masyarakat Muslim Indonesia
Dosen pembimbing :
Kelompok 5:
Isnarti (11210210000095)
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat kepada kami
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar dan tepat waktu. Makalah ini berisi
pembahasan mengenai "Masyarakat Santri, Priyayi, dan Abangan: Kasus Jawa". Laporan
ini telah kami susun dengan baik atas bantuan dan dukungan berbagai pihak antara lain;
Bapak Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum. sebagai dosen mata kuliah Masyarakat Muslim
Indonesia. Demikian kami ucapkan terima kasih atas waktu, tenaga dan pikiran yang telah
diberikan kepada kami.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa hasil makalah ini jauh dari
kata sempurna. Kami selaku penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sekalian. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kelompok kami
khususnya dan untuk teman-teman di jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada umumnya.
Penyusun
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................I
KATA PENGANTAR...............................................................................................................II
DAFTAR ISI............................................................................................................................III
BAB I : PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.3 Tujuan...................................................................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN.........................................................................................................3
2.2 Kaum Santri, Priyayi, dan Abangan dalam Masyarakat Jawa: Teori dan
Perdebatan.........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................24
PENDAHULUAN
Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adat diartikan sebagai
aturan atau perbuatan yang dilakukan sejak zaman dahulu.1 Adat ini membentuk suatu
kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun dari zaman nenek moyang sampai
sekarang, di mana dalam pelaksanaannya diatur oleh tata cara dan aturan yang
mengikat. Di Jawa sendiri terdapat banyak sekali adat yang biasanya dilakukan, salah
satu contohnya adalah adat selametan. Agama Islam masuk ke Jawa disaat adat dan
budaya Hindu-Budha telah menyatu dan mengakar kuat dalam diri dan kehidupan orang
Jawa.2 Sehingga adat yang ada tersebut tidak dapat dihapus dan dihilangkan, namun
bisa ditambahkan dengan unsur keislaman di dalamnya (akulturasi).
SELAMETAN
a. Makna Selametan
Tradisi selametan di daerah Jawa sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu.
Tradisi ini dulunya diadakan oleh para nenek moyang untuk meminta keselamatan
dan keberkahan kepada Pangeran (sebutan Tuhan oleh orang Jawa) dan roh penjaga
daerah tersebut dengan menyajikan makanan dan sesajen di tempat-tempat tertentu,
seperti perempatan jalan, di bawah pohon rindang, atau di makam leluhur yang
dikeramatkan. Sesajen tersebut biasanya berisi kemenyan dan berbagai macam bunga
yang biasa disebut dengan kembang setaman. Hal itulah yang menjadikan tradisi
selametan ini sebagai kebiasaan dan masih dilestarikan sampai sekarang oleh orang-
orang Jawa di beberapa daerah. Seiring berjalannya waktu, selametan ini ditambahkan
dengan unsur-unsur keislaman didalamnya, seperti do’a yang awalnya berbahasa Jawa
1
Adat. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 9 Mei 2023, dari https://kbbi.web.id/adat
2
Ummi Sumbulah, “ISLAM JAWA DAN AKULTURASI BUDAYA: Karakteristik, Variasi dan Ketaatan
Ekspresif”, Jurnal el Harakah, Vol.14 No.1 (2012), hal. 52.
Selamatan berasal dari kata “selamat” atau “slamet” oleh orang Jawa, yang
berarti “tidak ada apa-apa yang akan menimpa (Gak ana apa-apa)”, baik itu sial,
penyakit, marabahaya, bencana, dan yang lainnya. Sedangkan dalam bahasa Arab,
kata selamat disamakan dengan kata “salamah” yang berarti selamat atau bahagia dan
“mutmainnah” yang berarti ketenangan atau ketentraman.3 Dalam buku yang berjudul
“Agama Jawa” karya Clifford Geertz, selamatan diartikan sebagai upacara keagamaan
versi Jawa yang didalamnya mengandung unsur sosial kehidupan dan wadah
pertemuan serta silaturrahmi bagi masyarakat yang diundang.4 Mengapa mengandung
unsur sosial? Karena orang yang melaksanakan selametan akan mengundang orang-
orang terdekat mereka, seperti sanak keluarga dan handai taulan. Tidak hanya itu,
mereka juga akan mengundang tetangga terdekat dengan rumahnya dan orang-orang
miskin yang ada di sekitar kediamannya. Hal ini menunjukkan bahwa selametan tidak
hanya bertujuan untuk meminta keselamatan dan keberkahan kepada Tuhan tetapi
juga wadah memperbaiki hubungan antar sesama dan menghindari perseteruan.
3
Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (London: Springer Science & Business Media,
2010), hal. 121.
4
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 3.
5
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal 7
b. Pelaksanaan Selametan
Waktu selametan dilaksanakan pada saat menjelang sore atau malam, sekitar
jam 5 sore sampai jam 8 malam. Alasan kenapa selametan umumnya dilaksanakan
pada sore atau malam hari adalah karena pada waktu-waktu tersebut kebanyakan
orang sudah ada di rumah dan sudah pulang dari tempat kerja mereka masing-masing.
Hari pelaksanaan selametan juga tidak sembarangan dipilih, harus ditentukan terlebih
dahulu berdasarkan sistem hitungan Jawa dalam kalender Jawa. Orang Jawa
menyebutnya sebagai petungan (hitungan). Hal itu bertujuan untuk menentukan hari
yang bagus dan cocok, jadi tidak asal melaksanakan. Orang yang diundang dan hadir
dalam upacara selametan itu adalah kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan dari
kalangan keluargalah yang bertugas menyiapkan makanan di dapur. Mereka akan
diundang 15-20 menit sebelum acara selametan dilaksanakan. Tuan rumah
mengundang tamu undangan berdasarkan wilayah teritorial dari kediamannya.
Maksudnya tidak semua orang yang ada di daerah tersebut diundang atau dibatasi. 8
Slametan baru dimulai setelah para tamu undangan datang dan memenuhi tempat
6
Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (London: Springer Science & Business Media,
2010), hal. 113.
7
Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (London: Springer Science & Business Media,
2010), hal. 117.
8
Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (London: Springer Science & Business Media,
2010), hal. 122.
c. Jenis-Jenis Selametan
16
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 62.
2.2 Kaum Santri, Priyayi, dan Abangan dalam Masyarakat Jawa: Teori dan
Perdebatan
a. Perdebatan Seputar Santri, Abangan, dan Priyayi
Menurut para Ahli, Kelemahan yang paling menonjol dari teori Greertz ialah
ketidaksesuaian sistem klasifikasi Santri-Abangan-Priyayi dengan kondisi istilah-
istilah tersebut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, karena istilah-istilah
tersebut, khususnya “santri” dan “abangan” sebenarnya bukan istilah yang digunakan
secara merata di seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.21 Selama
penelitiannya di Pare antara Mei 1953 hingga September 1954, Greertz mengambil
tiga istilah di atas dari nasumbernya. Kemudian menganalisis tiga istilah tersebut
dengan tajam. Jadi, seperti yang diakuinya, istilah tersebut bukanlah istilah yang
mengada-ngada.22
20
Mubyarto, Teori Geertz: Model Realistik tapi Cepat Usang (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 4.
21
Zamahsari Dhofier, Santri Abangan dalam kehidupan orang jawa: teropong dari pesantren" dalam
agama jawa dan tantangan zaman (Jakarta: LP3ES, 1983) hlm. 181.
22
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 8.
Karena subjek penelitian Geertz adalah agama atau tradisi keagamaan Jawa,
maka masalah “Priyayi” yang ia klasifikasikan sebagai tradisi Jawa yang inferior
menjadi “menguap” di mata para ahli. Masalah “Priyayi” bukanlah masalah agama
melainkan masalah stratifikasi sosial vertikal dalam masyarakat Jawa. Sedangkan
masalah Santri-Abangan termasuk dalam kategori struktur keagamaan horizontal
Jawa. Di sinilah kesalahan Geertz dalam mencampurkan dua struktur terlihat untuk
pertama kalinya. Dalam masyarakat Jawa, istilah "Priyayi" digunakan untuk
membedakannya dengan orang biasa "Wong cilik" dan tidak ada kaitannya dengan
urusan agama.
b. Teori Santri
Istilah Santri dalam kamus bahasa Indonesia adalah seseorang yang berusaha
mempelajari agama Islam dengan sungguh-sungguh. Di sisi lain, menurut Nurkolish
Majid, etimologi kata “santri” dapat dilihat dari dua sudut. Pendapat pertama adalah
23
Mubyarto, Teori Geertz: Model Realistik tapi Cepat Usang (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 1.
Perbedaan yang sangat menonjol antara abangan dan santri adalah abangan tidak
acuh pada doktrin dan terpikat dengan ritual (upacara), sedangkan santri lebih
mementingkan doktrin dan mengatur aspek-aspek ritual Islam yang menipis.25 Untuk
mempertahankan doktrin, Santri mengembangkan model pendidikan berkelanjutan
yang khas dan terus menerus dilakukan. Diantaranya ialah, Pondok (model santri
tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik
Islam tradisional) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh Gerakan modernis.
Pertemuan antara model pondok dan sekolah memunculkan variasi Pendidikan yang
baru dan upaya santri untuk mengintegrasikan pelajaran doktrin ke dalam sekolah
umum/sekuler. Model ibadah santri termasuk shalat, shalat Jum'at dan puasa di
Mojokuto dalam banyak hal masih dipengaruhi oleh perbedaan antara santri modern
dan konservatif. Diantaranya pembahasan seputar khutbah, teraweh, tadarus dan
24
Musayyadah Diana Al,“Pengaruh konsep diri dan kepercayaan diri terhadap kemampuan
komunikasi interpersonal santri usia dewasa awal dipondok pesantren sunan ampel Kediri” ( Kediri: IAIN Kediri
2023), hal. 15.
25
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1989) hal. 199.
c. Teori Priyayi
26
Subair, Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan politik identitas kebudayaan Jawa dalam jurnal
DIALEKTIKA Vol.9 No.2, (Ambon: IAIN Ambon, 2015), hal. 41.
27
Subair, Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan politik identitas kebudayaan Jawa dalam jurnal
DIALEKTIKA Vol.9 No.2, (Ambon: IAIN Ambon, 2015), hal. 42.
d. Teori Abangan
Kata Abangan berasal dari kata “Abang” yang artinya merah. Namun ada
pendapat lain bahwa kata ini berasal dari “aba” yang berarti “masih enggan” atau
“belum patuh”. Keseimbangan adalah kata "that" yang berarti tunduk atau patuh.
Dengan demikian “aba” bila diucapkan dalam bahasa Indonesia (Jawa) menjadi
“abangan”, sedangkan “that” atau isim fail nya “muthi’in” menjadi “mutiban”.29
28
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1989), hal. 430.
29
Simuh, Munculnya istilah Abangan (Yogyakarta: Gelaria, 1987), hal. 6.
Contoh kakawin:
Dari dua pendapat di atas, tentu Sastra Islam Jawa tidak masuk dari kategori yang
pertama. Sehigga Sastra Jawa yang sudah mengandung nilai-nilai ajaran Islam ada pada
kategori Sastra Jawa madya yang mana tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan
bahasa. Selalu ada kaitan antara Sastra dan bahasa. Sudah tentu bahasa yang digunakan
Sastra Jawa madya adalah bahasa Jawa madya, yakni bahasa percampuran antara kuna
dan baru. Bahasa Jawa mulanya ditulis dengan turunan aksara Pallawa yang berasal dari
India Selatan. Aksara tersebut yang menjadi permulaan aksara Jawa modern atau
30
Nyoman I Saman, “Abangan Santri dan Priyayi dalam pergulatan politik di era orde baru”
(Denpasar: Universitas Udayana, 2017), hal. 8.
31
Afendi Widayat Suwardi, "Sejarah Sastra Jawa" ( Yogakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta , 2005), hal. 7 & 91.
Sastra Jawa secara umum dapat terbagi menjadi dua kategori yakni yang ditulis
dalam bentuk prosa atau puisi. Untuk bentuk prosa biasanya disebut gancaran dan
berbentuk puisi biasa dikenal dengan istilah tembang. Suwardi menyebut Sastra Jawa
madya puisi adalah yang paling banyak berkembangi, yaitu dalam bentuk kidung. Yang
berbentun prosa ataupun drama sangat jarang ditemukan. Dari pelbagai naskah itu kita
aka menjumpai naskah yang berupa Babad, Serat-serat, sastra pewayangan, dan sastra
suluk dalam bentuk sastra Jawa baru.33
Contoh kidung
Setelah periode Sastra Jawa madya, kemudian muncul periode Sastra Jawa Baru
atau biasa dikenal juga dengan Sastra Jawa Pesisir. Sastra Jawa Pasisir berlangsung
sekitar tiga abad, dimulai sekitar tahun 1500 M.34 Pada abad ke-15 dan ke-16 Islam
berkuasa di Jawa. Kekuasaan politik berpindah dari Istana pedalaman Majapahit kepada
dinasti Muslim yang berkuasa di berbagai distrik maritim dan pusat perdagangan di
Pantai Utara. Di distrik-distrik ini, dari Surabaya dan Gresik di timur hingga Cirebon
dan Banten di barat, sastra Jawa yang diremajakan berkembang di bawah pengaruh
Islam. Di periode ini karya Sastra Jawa sudah mulai dipengaruhi oleh pengaruh agama
dan kebudayaan Islam. Salah satu bentuknya adalah sastra mistik yang dikenal dengan
suluk (dalam bentuk tembang) dan wirid (dalam bentuk prosa). Suluk sendiri populer di
pesisir utara pulau Jawa, mulai dari Gresik, lalu Demak dan Cirebon kemudian barulah
berkembang ke pedalaman di kawasan pesantren yang biasanya berbentuk puisi
tembang macapat .35 Selain hal di atas, di pondok pesantren juga terjadi kegiatan olah
sastra yang cukup produktif. kegiatan olah sastra yang dijiwai dengan semangat
32
Afendi Widayat Suwardi, "Sejarah Sastra Jawa" ( Yogakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta , 2005), hal. 2.
33
Afendi Widayat Suwardi, "Sejarah Sastra Jawa" ( Yogakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta , 2005), hal. 7 & 91.
34
Theodore G. Th. Pigeaud, Literature of java. Vol. 3. (Springer Science & Business Media,
2013), hal. 45.
35
Syamsul Hadi, "Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di Indonesia"
(Humaniora 2, 1995), hal. 90.
Istilah suluk berasal dari kata Arab salaka-yasluku-sulukan yang berarti melalui
jalan (Munawwir, 1997:653). Dalam KBBI (2008:1352) kata suluk mempunyai arti
jalan ke arah kesempurnaan batin. Suluk menurut Pigeaud merupakan derivasi dari
bahasa Arab suluk, perjalanan (kehidupan mistik). Namun ia mengemukakan perbedaan
makna suluk dalam bahasa Jawa berarti lagu dan dalam bahasa Arab berarti perjalanan
hidup mistik. Sebagai aturan, suluk mistik Jawa bukanlah nyanyian panjang dalam
bentuk macapat, berisi penjelasan tentang konsep mistik, atau kadang-kadang istilah
mistis yang samar. Seringkali suluk berupa pertanyaan yang diajukan oleh seorang
murid kepada tuannya, anak laki-laki atau cucu laki-laki kepada ayah atau kakeknya,
istri kepada suaminya, dsb. Dan jawaban yang diberikan oleh pihak yang memiliki ilmu
mistik. Pergantian tanya jawab itu sesuai dengan fungsi pelajaran syair suluk yang
dinyanyikan dalam komunitas ahli mistik, baik laki-laki maupun perempuan. Bagian
bijak dari Serat Cëntini menunjukkan bahwa nyanyian suluk adalah ciri dari pertemuan
keagamaan para ahli mistisisme. Sementara beberapa suluk, mungkin berasal dari
periode yang relatif awal, ditulis dalam bahasa sederhana, yang lain dipenuhi dengan
ekspresi samar dan teka-teki Jawa yang terkenal, sandiwara sastra, yang disebut
wangsalan, yang tidak dapat dipahami oleh orang yang belum tahu.
andhaku datullahu
Pangeraning manungsa
isnipat rongpuluh
Artinya :
lewat kanjeng Sunan Bonang yang waktu itu sedang memberikan petuah,
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Terlepas dari perdebatan itu, para penyebar agama Islam di Jawa menggunakan
cara akulturasi budaya agar Islam bisa diterima oleh masyarakat Jawa. Tidak
menghilangkan kebiasaan atau adat masyarakat Jawa yang sudah berlangsung turun-
temurun, akan tetapi mengisi adat dan budaya tersebut dengan nilai-nilai keislaman
seperti halnya tradisi Selametan. Tradisi selametan di daerah Jawa sudah ada sejak
ribuan tahun yang lalu. Tradisi ini dulunya diadakan oleh para nenek moyang untuk
meminta keselamatan dan keberkahan kepada Pangeran (sebutan Tuhan oleh orang
Jawa) dan roh penjaga daerah tersebut dengan menyajikan (sesajen) makanan dan
sesajen di tempat-tempat tertentu, seperti perempatan jalan, di bawah pohon rindang,
atau di makam leluhur yang dikeramatkan. Saat masuknya Islam, Selametan pun
dibumbuhi unsur-unsur keislaman seperti adanya do’a yang awalnya menggunakan
bahasa Jawa Krama kemudian ditambah dengan do’a dari ayat-ayat Al-qur’an dan
seterusnya.
Selain mempengaruhi isi dari tradisi lokal di Jawa, Islam pun turut berpengaruh
dalam perkembangan kesusastraan Jawa. Terbukti bahwa banyak karya-karya sastra
Jawa yang berisikan nilai-nilai keislaman seperti suluk, wirid, babad, serat-serat dan
yang lainnya. Karya-karya keislaman Jawa pada abad ke 15 M masih banyak yang
menggunakan aksara Jawa dan berisikan penjelasan tentang konsep mistik. Kemunduran
kekuasaan Majapahit menjadi titik mula munculnya karya sastra Jawa yang bernafaskan
keislaman. Hingga pada masa kerajaan Islam mulai banyak para pujangga-pujangga
keraton produktif membuatkan serat-serat untuk para Raja.
Woodward, Mark. (2010). Java, Indonesia and Islam (Vol. 3). London: Springer Science &
Business Media.
Widodo, A. (2016). Islam dan Budaya Jawa; Pertautan antara Ajaran Islam, Pemahaman,
dan Praktek Islam di Kalangan Muslim Jawa. Surakarta: Kaukaba Dipantara.
______. Arti Kata – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, [online],
(https://kbbi.web.id/adat, diakses tanggal 9 Mei 2023).
Mubyarto. (1985). Teori Geertz: Model Realistik tapi Cepat Usang. Jakarta: Gramedia.
Dhofier, Zamahsari. (1983). Santri Abangan dalam kehidupan orang jawa: teropong dari
pesantren" dalam agama jawa dan tantangan zaman. Jakarta: LP3ES.
Diana Al, Musayyadah. (2023). “Pengaruh konsep diri dan kepercayaan diri terhadap
kemampuan komunikasi interpersonal santri usia dewasa awal dipondok pesantren
sunan ampel Kediri”. Kediri: IAIN Kediri.
Simuh. (1987). Munculnya istilah Abangan. Yogyakarta: Gelaria.
Saman, Nyoman I. (2017). “Abangan Santri dan Priyayi dalam pergulatan politik di era orde
baru”. Denpasar: Universitas Udayana.
Suwardi, Afendi Widayat. (2005). Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Pigeaud, Theodore G. Th. (2013). Literature of java. Jurnal Springer Science & Business
Media, Vol. 3.
Hadi, Syamsul. (1995). "Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di Indonesia".
Humaniora 2.
Sutarti, Sutarti. (1981). Suluk Seh Siti Jenar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.