Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu ciri paling mendasar dari konsep Aswaja adalah moderat
(tawasuth). Konsep ini tidak hanya mampu menjaga para pengikut Aswaja
tidak terjerumus pada perilaku keagamaan yang ekstrim, berdakwah secara
destruktif (merusak), melainkan mampu melihat dan menilai fenomena
kehidupan masyarakat secara proporsional.
Dalam kehidupan tidak bisa dipisahkan dari yang namanya tradisi dan
budaya. Karena tradisi dan budaya merupakan sebuah kreasi manusia yang
dilakukan secara berulang-ulang dengan disengaja untuk memenuhi
kebutuhan dalam memperbaiki kualitas hidupnya.
Salah satu karakter dasar dari setiap tradisi dan budaya adalah
perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri.
Menghadapi budaya atau tradisi, yang terkandung dalam ajaran Aswaja telah
disebutkan dalam sebuah kaidah “al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-
akhdzu bil jadidil al-ashlah”, yaitu mempertahankan kebaikan warisan masa
lalu, mengambil hal yang baru yang lebih baik.
Menurut KH. Muhyidin Abdusshomad menjelaskan seputar persoalan
bid’ah (mengada-ada dalam beribadah). Karena saat ini, banyak ormas islam
yang mengaku pengikut Aswaja tidak paham mana yang dikatakan bid’ah
atau sebaliknya.
Ajaran dan nilai-nilai tradisi dalam Aswaja ternyata tidak ada yang
tidak sejalan dengan ajaran pokok islam. Meskipun juga, terkadang kelompok
lain memandang bahwa tradisi dan budaya yang biasanya dilakukan adalah
bid’ah. Tradisi dan budaya harus disikapi secara proporsional, arif dan
bijaksana, khususnya bagi para pengikut aswaja. Karena dalam tradisi dan
budaya lainnya yang dilakukan dianggap bid’ah masih ada nilai-nilai baiknya
dan mengandung filosofis yang tinggi. Tradisi tersebut tidak harus
dihilangkan dan dilarang.

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 1
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU?
2. Bagaimana Landasan terhadap Tradisi dan Budaya?
3. Bagaimana Sikap terhadap Tradisi dan budaya?
4. Bagaimana Contoh Tradisi dan Budaya dikalangan NU?

1.3. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU
2. Untuk Mengetahui Landasan terhadap Tradisi dan Budaya
3. Untuk Mengetahui Sikap terhadap Tradisi dan budaya
4. Untuk Mengetahui Contoh Tradisi dan Budaya dikalangan NU

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU


Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan disengaja, dan
bukan terjadi secara kebetulan (KH. Abdurrahman Navis dkk, 2012).
Menurut Syaikh Shalih bin Ghanim al-Sadlan, ulama dari Saudia Arabia
berkata bahwa adat (tradisi) adalah sesuatu yang menjadi keputusan pikiran
banyak orang dan diterima oleh orang-orang yang memiliki karakter yang
normal.
Budaya adalah kreasi manusia yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan dalam memperbaiki kualitas hidupnya (aswajanu.net).
Budaya adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
berhubugan dengan benda, rasa melahirkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial
untuk megatur kehidupan bermasyarakat, termasuk tradisi dan adat istiadat,
sedangkan cipta berhubungan dengan kemampuan intelektual yang melahirkan
filsafat dan ilmu pengetahuan. Bentuk kebudayaan sangat bervariasi dan sangat
dipengaruhi oleh tingkat berfikir, norma dan nilai yang berkembang di dalam
masyarakat.
Tradisi dan budaya adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan
gejala atau pun penjelasan-penjelasan yang mempunyai ciri-ciri mistis.
Secara umum, tradisi dan budaya dalam islam dapat dibedakan menjadi
dua: tradisi dan budaya yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam al-
Quran dan sunnah, dan  tradisi dan budaya yang tidak memiliki dalil, baik dalam
al-Quran maupun dalam sunnah. Salah satu contoh tradisi dan budaya bentuk
pertama adalah shalat, sedangkan contoh ritual kedua adalah marhabaan,
perinngatan hari (bulan) kelahiran Nabi Muhammad saw (muludan Sunda), dan
tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya menunaikan
ibadah haji.

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 3
2.2. Landasan terhadap Tradisi dan Budaya
Salah satu ciri yang paling dasar dari aswaja adalah moderat (tawasuth).
Sikap ini tidak saja mampu menjaga para pengikut aswaja dari keterperosokan
kepada perilaku keagamaan yang ekstrem, tapi juga mampu melihat dan menilai
fenomena kehidupan secara proporsional.
Bagi ASWAJA, tradisi dan budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran
islam dapat dijadikan sebagai sarana dakwah. Baik tradisi dan budaya yang lama
maupun yang baru. Keduanya dapat diterima berdasarkan kaidah “Memelihara
hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik”.
Dalam pandangan ASWAJA, kehadiran Islam bukanlah untuk menolak
segala tradisi yang telah mapan dan mengakar menjadi kultur budaya masyarakat,
melainkan sekedar untuk melakukan pembenahan-pembenahan dan pelurusan-
pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan risalah Rasulullah
saw. Budaya yang telah mapan menjadi nilai normatif masyarakat dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, maka Islam akan mengakulturasikannya
bahkan mengakuinya sebagai bagian dari budaya dan tradisi Islam itu sendiri.
Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

‫ َﻣﺎ َﺭﺁﻩُ ْﺍﻟ ُﻤ ْﺴﻠِ ُﻤﻮْ ﻥَ َﺣ َﺴﻨًﺎ ﻓَﻬُ َﻮ ِﻋ ْﻨ َﺪ ﻪﻠﻟﺍِ َﺣ َﺴ ٌﻦ‬.


‘’Apa yang dilihat orang Muslim baik, maka hal itu baik di sisi Allah. ‘’
(HR.Malik)

َ َ‫ ﻗ‬g ‫ﻖ ﺑِﻬَﺎ‬
ِ‫ﺎﻝ َﺭﺳُﻮْ ُﻝ ﻪﻠﻟﺍ‬ ُّ ‫ْﺚ َﻭ َﺟ َﺪﻫَﺎ ﻓَﻬُ َﻮ ﺃَ َﺣ‬
ُ ‫ﺿﺎﻟَﺔُ ْﺍﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻦ ﻓَ َﺤﻴ‬
َ ُ‫ْﺍﻟ َﻜﻠِ َﻤﺔُ ْﺍﻟ ِﺤ ْﻜ َﻤﺔ‬
“Kalimat hikmah (kebaikan) adalah kekayaan orang Mukmin yang hilang, sekira
ia menemukannya maka ia paling berhak dengannya.’’ (HR. At-Turmudzi)
Dengan demikian, amaliah tradisi dan budaya keagamaan ASWAJA (NU),
seperti diba’an, pembacaan barzanji, terbangan atau hadrah, burdah, manaqib dan
amaliah lainnya tidak bisa divonis sebagai praktek bid’ah bahkan syirik. Sebab
sekalipun terdapat kaidah fiqh yang menyatakan:
‫ﺍﺄْﻟ َﺻْ ُﻞ ﻓِﻲ ْﺍﻟ ِﻌﺒَﺎ َﺩ ِﺓ ﺍﻟﺘَّﺤْ ِﺮ ْﻳ ُﻢ‬
“Hukum asal ritual ibadah adalah haram”
Namun perlu ditegaskan di sini, bahwa kaidah itu tidak berlaku mutlak
tanpa pengecualian. Ritual ibadah yang tidak ada dalil khâsh (khusus) yang

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 4
melegalkannya namun tidak bertentangan dengan dalil-dalil 'âm (umum) dan tidak
ada dalil sharîh (tegas) yang melarangnya, maka termasuk pengecualian yang
tidak bisa diharamkan dengan dasar kaidah ini. Ritual- ritual ibadah seperti ini
juga tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah, karena masih memiliki dasar legalitas
hukum berupa dalil-dalil 'âm . Dan memang seperti inilah ghalibnya
amaliahtradisi dan budaya ritualitas kelompak ASWAJA (NU) yang senantiasa
dilestarikan. Sekalipun sebagian diantaranya tidak terdapat dalil-dalil khusus yang
melegalkannya, namun semuanya tidak ada yang keluar dan bertentangan dengan
dalil-dalil umum yang melegalkannya. Adapun hadits yang menyatakan :
‫ ﺿﻼﻟﺔ‬y‫ ﺑﺪﻋﺔ‬y‫ ﻭﻛﻞ‬y‫ ﺑﺪﻋﺔ‬y‫ ﻣﺤﺪﺛﺔ‬y‫ ﻭﻛﻞ‬y‫ ﻣﺤﺪﺛﻬﺎ‬y‫ ﺍﻷﻣﻮﺭ‬y‫ ﺷﺮ‬y‫ ﻓﺈﻥ‬y‫ ﺍﻷﻣﻮﺭ‬y‫ ﻭﻣﺤﺪﺛﺎﺕ‬y‫ ﻭﺇﻳﺎﻛﻢ‬y‫ﺃﻵ‬
‘’ Ingatlah, takutlah kalian kepada pembuat bid'ah, karena seburuk-buruknya
perkara adalah perkara yang baru, dan sebagian hal yang baru adalah bid'ah,
dan sebagian bid'ah adalah sesat.’’ (HR. Ibn Majah).
Maka hadits ini harus dibaca dan diproporsikan hanya dalam konteks ritual
ibadah yang sama sekali tidak memiliki dasar hukum, baik berupa dalil khusus
ataupun dalil umum. Karena kata ‫ ﻛﻞ‬dalam redaksi hadits di atas, tidak bermakna
"setiap" atau "seluruh", melainkan "sebagian". Sebab, kalau kata ‫ ﻛﻞ‬diartikan
"setiap" atau "seluruh", bagaimana mungkin sahabat Umar bin Khattab
mengatakan: ‫ ﻫَ ِﺬ ِﻩ‬yُ‫ ْﺍﻟﺒِ ْﺪ َﻋﺔ‬y‫ﺖ‬
ِ ‫( ﻧِ ْﻌ َﻤ‬se baik-baiknya bid'ah adalah (jama'ah tarawih) ini )
pada saat beliau memiliki ide bid'ah melaksankan shalat tarawih secara berjamaah
yang tidak dikenal di masa hidup Rasulullah saw.
Dari berbagai macam pendapat yang ada, sebenarnya islam memberikan
apresiasi terhadap kegiatan tradisi dan budaya sebagai sesuatu yang bersifat
mubah (diperbolehkan). Segala yang bernilai “mubah” dapat berubah nilainya
menjadi haram, makruh, sunnah dan bahkan wajib, karena ada hal-hal yang
menyertainya, seperti : niat atau latar belakang melakukannya, akibat yang
ditimbulkannya (manfaat dan madlaratnya) dan kesesuaiannya dengan ketentuan-
ketentuan agama.
Atas dasar pemikiran tersebut, NU mempunyai kepedulian untuk
mengembangkan tradisi dan budaya sebagai salah satu sarana dakwah. Usaha ini
tampak jelas ketika pada tahun 1962 NU menyetujui prakarsa H. Jamaluddin
Malik, mendirikan Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia, disingkat

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 5
LESBUMI. Lembaga ini selain bertugas memelihara seni dan budaya muslim juga
berperan sebagai pencegah berkembangnya seni budaya yang dikembangkan oleh
kelompok Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) yang ditangani oleh PKI.
Jenis-jenis kesenian yang dikembangkan oleh Lesbumi meliputi, Seni
Kaligrafi (menulis indah huruf Al-Qur’an), Qira’ah (seni baca Al-Qur’an), seni
Qasidah Rebana dan seni Theater dengan menampilkan cerita-cerita bernapaskan
Islam. Jenis-jenis kesenian yang dikembangkan oleh LESBUMI ini sampai
sekarang tetap mewamai perkembangan seni budaya nasional.
Misalnya dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ditemukan bagian
seni yang dilombakan (dimusabaqahkan) yaitu Musabaqah Khot Al-Qur’an
(MKQ). Demikian juga seni Qasidah yang sampai sekarang banyak diminati dari
segala lapisan masyarakat. Selain Lesbumi ada juga ISHARI (Ikatan Seni Hadrah
Indonesia). Kesenian ini merupakan seni membaca shalawat Nabi dengan diiringi
rebana (terbang) sehinggan dikenal dengan sebutan (terbangan)

2.3. Sikap terhadap Tradisi dan budaya


Banyak orang yang mepertentangkan antara tradisi, budaya dengan agama.
Hal ini karena agama berasal dari Tuhan yang bersifat sacral (ukhrawi), sedang
budaya adalah kreasi manusia yang bersifat profan (duniawi). Akan tetapi sejak
diturunkan, agama tidak bisa dilepaskan dari budaya sebagai perangkat untuk
mengekspresikannya.
Namun sikap yang dapat di ambil adalah tetap mempertahankan tradisi
dan budaya yang sudah ada atau mengkreasikannya setara dengan mengikuti
perkembangan zaman. Namun tidak melebihi atau mengurangi atau bahkan
melakukannya demi kepentingan buruk (sara). Karna sesungguhnya budaya dan
tradisi juga ikut berpengaruh dalam perkembangan agama.
Dalam tradisi dan budaya segala sesuatunya harus dipertanggung
jawabkan. Tanggung jawab budaya warga NU didasarkan pada pendirian bahwa :
Islam adalah agama yang fitri yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan
yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti
suku, bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut. Berdasarkan
prinsip tersebut, maka dalam menyikapi keaneka ragaman budaya atau tradisi dan

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 6
memecahkan segala macam persoalan kebudayaan, maka warga NU selalu
berpandangan, bersikap dan berperilaku sebagai berikut :
a. Proporsional Normatif
Masalah tradisi dan budaya dengan yang wajar, diukur dan dinilai dengan
norma-norma hokum dan ajaran agama.
b. Obyektif-Selektif
Tradisi dan budaya yang baik dalam arti menurut norma agama, dari manapun
datangnya dapat diterima dan bahkan bila perlu dikembangkan untuk
kemaslahatan masyarakat banyak.
c. Adaptif-Akomodatif
Warga NU tidak boleh kontradiktif dengan segala bentuk tradisi dan budaya
yang ada. Bahkan terhadap jenis tradisi dan budaya yang sekiranya bebas dari
nilai-nilai agama, sedapat mungkin diwarnai dengan nilai-nilai agama sebagai
bagian dari aksi dakwah kultural.
d. Elastis
Warga NU tidak boleh aperiori dengan selalu menerima dan berpegang
kepada yang lama dengan menolak segala macam yang baru atau sebaliknya
selalu mengejar yang baru dan menolak yang lama.

2.4. Contoh Tradisi dan Budaya dikalangan NU


2.4.1 Diba’an
Diba’an menurut bahasa berasal dari kata ad Diba’I yakni nama
sebuah kitab yang berisis tentang bacaan shalawat dan sejarah perjuangan
nabi Muhammad SAAW. Mulai sejak sebelum lahir sampai beliau wafat.
Sedangkan menurut istilah, diba’an adalah membaca shalawat
dengan bacaan-bacaan tertentu disertai irama lagu yang mengasyikkan.
Diba’an disebut juga Marhabanan, karena dalam pelaksanaannya banyak
terdengar bacaan marhaban yang berarti “selamat datang”.
Kegiatan tersebut dinamakan juga dengan Jam’iyahan, karena
dilakukan sebagai sarana pertemuan anggota Jam’iyah. Diba’an diadakan
secara rutin setiap malam Jum’at atau Senin bertempat di masjid,
langgar/musholah atau rumah-rumah penduduk secara bergilliran. Diba’an

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 7
juga dilaksanakan di rumah-rumah penduduk yang mempunyai hajat
walimah (resepsi) tertentu, seperti :
a. Walimatul Tasmiyah (resepsi pemberian nama bayi)
b. Walimatul Khitan (resepsi khitanan)
c. Walimatul Arus (resepsi pernikahan)
d. Walimatul Hanili (resepsi tingkepan)
e. Walimatul Hajji (resepsi sykuran pergi/datang dari ibadah haji)
f. Tasyakuran menempati rumah baru atau tasyakuran ulang tahun
g. Tasyakuran Lulus ujian atau kenaikan kelas
Dalam diba’an yang terpenting adalah membaca shalawat Nabi
Muhammad SAW. Membaca sholawat Nabi merupakan anjuran dalam
agama islam.
Tujuan membaca shalawat Nabi Muhammad SAW adalah :
a. Melaksanakan perintah Allah SWT, sehingga membaca shalawat
Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu bentuk ibadah.
b. Mengharapkan syafa’at Rasulullah SAW, sebab orang yang
mencintai Rasulluah kelak akan bersama beliau di surga.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Kelak di akhirat,
manusia akan digiring dan dikelompokkan bersama orang yang
dicintai”.
c. Menela’ah sejarah hidup dan kepribadian Rasulullah SAW,
sehingga dapat meneladani akhlak beliau.
d. Menambah syiar agama islam
Untuk mencapai tujuan utama di atas, para ulama NU mencari
kitab-kitab yang layak dibaca dalam acara diba’an. Kitab itu berisi bacaan
shalawat, sekaligus berisi uraian sejarah hidup dan kepribadian Rasulullah
SAW.
Diantara kitab yang terkenal adalah kitab “Al Maulidud DIba’I dan
Al Barzanji”. Kitab Al Maulidud Diba’I ditulis oleh Imam Wajihuddin
Abdur Rohman bin Ali bin Muhammad Asy-Syaibani Az-Zubaidi Asy-
Syafi’I yang terkenal dengan julukan “Ibnud Diba”. Kitab ini telah diberi
komentar dan dilengkapi dengan dalil-dalil yang bersumber dari hadits

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 8
oleh seorang ulama bernama Muhammad bin Alawi bin Abbas dalam kitab
yang berjudul “Maulidul Hafidz Ibnud Diba”. Sedangkna kitab Al Barzanji
ditulis oleh Imam Ja’far Al Madani.
Bacaan shalawat yang berbentuk buku atau kitab antara lain :
shalawat Dala'il, shalawat Bakriyah, shalawat Diba'iyyah dan lain-lain.
Sedangkan yang berbentuk tulisan singkat antara lain shalawat Nariyah,
shalawat Rajabiyah, shalawat Munjiyat, shalawat Fatih, shalawat Sa’adah,
shalawat Badriyah dan lain- lain.

2.4.2 Berzanji
Suatu doa-doa, pujian-pujian dan penceritaan riwayat Nabi
Muhammad saw yang dilafalkan dengan suatu irama atau nada yang biasa
dilantunkan ketika kelahiran, khitanan, pernikahan, dan maulid Nabi
Muhammad SAW. Isi berzenji tertutur tentang kehidupan Muhammad,
yang disebutkan bertuurt-turut yaitu silsilah keturunnya, masa kanak-
kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Di dalamnya juga
mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki NAbi Muhammad serta
berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Nama berzanji diambil dari nama pengarangnya yaitu Syekh Ja’far
Al-berzanji bin Hasan bin Abdul Karim. Ia lahir di Madina tahun 1690
dan meninggal tahun 1766. Berzanji berasal dari nama sebuah tempat di
kursdistan, berzanji. Karya tersebut sebenarnya berjudul iqd al-jawahir
(bahasa arab, artinya kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan
kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, meskipun kemudian lebih
terkenal dengan nama penulisnya.
Pada saat ini, perayaan maulid dengan berzanji seperti itu sudah
berkurang, dan umumnya lebih terfokus di pesantren-pesantren kalangan
Nahdlatul Ulama(Nahdiyin). Buku berzanji tidaklah sukar didaptkan,
bahkan sekarang ini sudah banyak beredar dengan terjemahannya.
Lantunan shawalat dan puji-pujian atas Nabi. Dengan suara merdu,
diiringi alunan nada rebana menjadikan pesona keceriaan bulan Maulid.

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 9
2.4.3 Terbangan atau Hadrah

Terbangan adalah sebuah acara pembacaan shalawat bersama-sama


secara bergantian. Ada bagian dibaca biasa, namun pada bagian-bagian lain
lebih banyak menggunakan lagu. Kitab yang biasa dibaca adalah Berzanji
atau Diba’, kemudian diiringi music rebana, yang dalam Bahasa Jawa
disebut terbang. Karena beberapa orang sedang memainkan alat music
terbang itulah acara tersebut dinamakan terbangan.
Seni ini memiliki semangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Namun hadrah atau yang lebih populer dengan musik terbangan (rebana
bahasa jawa) tersebut tak lepas dari sejarah perkembangan dakwah Islam
para Wali Songo.
Acara terbangan biasa dilakukan ketika warga NU mempunyai
hajat : mantu, khitanan, haul, mengiringi pengantin, mauled Nabi, dan lain
sebagainya. Para penggemar seni hadrah (terbang) itu diwadahi dalam
sebuah organisasi bernama ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik
Indonesia), yang kini masuk ke dalam Banom NU Jam’iyah Ahli Thariqah
al-Muktabarah An-Nahdliyah.

2.4.4 Burdah
Burdah merupakan suatu qasidah (lagu-lagu) yang berisi syair
tentang pujian/ sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Syair tersebut

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 10
diciptakan oleh Imam Al Busiri dari Mesir. Di indonesia, burdah tersebut
sering dilantunkan terutama oleh kaum nahdliyin.
Qashidah burdah memang selalu didengungkan oleh para
penciptanya setiap saat. Di berbagai negeri islam, baik di negeri naegeri
arab maupun ‘ajam’ (non arab), ada majelis-majelis khusu untuk
pembacaan burdha dan penjelasan bait-baitnya. Tak henti-hentinya
muslimin di seluruh penjuru dunia menjadikannya sebagai luapan
kerinduan para nabi. Burdah bukan sekedar karya, ia dibaca karena
keindahan kata-katanya .
Qashidah burdah adalah salah satu karya paling populer dalam
khazanah sastra islam. Isinya sajak-sajak pujian kepada nabi muhammad
saw, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan. Hingga
kini buedah masih sering dibacakan di berbagai pesantren salaf dan pada
peringatan maulid nabi. Banyak pula yang menghafalnya. Karya itu telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti persia, turki, urdu,
punjabi, swahili, pastum, indonesia/melayu, inggris, prancis, jerman, italia.
Pengarang qashidah burdha adalah Al-Bushiri (610-695H/1213-
1296 M). Nama lengkapnya Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin
Zaid Al-Bushiri. Selain Muhammad bin Zaid Al-Bushiri. Selain menulis
Burdha, Al-Bushiri juga menulis beberapa qashidah lain. Diantaranya al-
qashidah a-mudhariyah dan al=qashidah al-hamziyah.

2.4.5 Manaqib
Manaqib menurut bahasa berarti sejarah atau riwayat hidup.
Sedangkan menurut istilah Manaqib adalah riwayat hidup orang yang
sudah dikenal kebaikannya pada Allah, maupun kepada sesame manusia.
Manaqiban adalah membaca buku catatan riwayat hidup seorang syeikh
(guru) tarekat yang menjelaskan kisah-kisahnya, kekeramatannya dan
nasehat-nasehatnya. Sumbernya diambil dari riwayat para murid, keluarga,
sahabat dan orang-orang yang dekat dengannya.

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 11
Manaqiban termasuk perbuatan terpuji yang dapat mendorong
seseorang untuk mencintai dan meneladani para ulama dan auliya. Hal ini
sangat dianjurkan dalam islam.
Manaqiban merupakan salah satu amaliyah di kalangan warga NU.
Dalam acara ini dibacakan manaqib seorang ulama atau waliyullah, di
samping memperbanyak dzikir, itighfar, shalawat atas Nabi dan berkirim
do’a kepadanya. Acara manaqiban bertujuan :
a. Memperbanyak dzikir dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah SWT.
b. Melatih dan secara terus menerus berusaha membersihkan diri dari
pengaruh hawa nafsu
c. Meneladani para ulama dan waliyullah, sehingga dapat mencotoh
perilaku mereka dalamberibadah maupun dalam kehidupan
kemasyarakata.
Manaqiban yang dilakukan oleh warga NU adalah kegiatan
membaca manaqib Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dan bacaan lainnya
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena itu manqiban disebut
juga qadiran.
Dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang
waliyullah yang banyak beribadah siang dan malam. Beliau sangat
menyayangi orang fakir, bagi beliau seorang fakir yang sabar lebih utama
dari pada seorang kaya yang bersyukur. Seorang fakir yang bersyukur
lebih utama dari keduanya dan seorang faqir yang sabar dan bersyukur
lebih utama dari semuanya.
Beliau menasihatkan agar selalu taat dan bakti kepada allah,
memperbanyak dzikir, ibadah dan mensucikan diri dari segala dosa dengan
memperbanyak taubat. Syekh Abdul Qadir Al Jailani selama hidup banyak
menghadapi cobaan, tetapi belaiau berhasil memerangi hawa nafsu yang
selalu dekat dengan Allah SWT.
Kegiatan manaqiban diawali bacaan surat Al Fatihah yang
pahalanya dihadiahkan kepada nabi Muhammad Saw, para sahabat dan
tabi’in, para auliya dan ulama, kaum muslimin/muslimat khususnya

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 12
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Sesudah membaca Al Fatihah, membaca
ayat-ayat Al Quran, istighatsah, Tahlilan, dilanjutkan membaca manaqib
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dan diakhiri dengan do’a yang dibaca
bersama-sama.
Kitab yang memuat sejarah pribadi Syeikh Abdul Qadir dan
banyak beredar di Indonesia adalah Kitab an-Nur al-Burhany. Dalam kitab
tersebut dikisahkan tentang manaqib (sifat-sifat pribadi yang mulia)
Syeikh, di antaranya :
a. Gurunya adalah Nabi Khidir as.
b. Sewaktu masih bayi, tidak pernah mau menyusu pada ibunya ketika
bulan Ramadhan.
c. Setiap waktu bersikap zuhud, berpakaian sederhana, kendaraannya
bighal dan kalau berjalan tanpa mengenakan alas kaki.
d. Makananya selalu dari barang halal.
e. Jarang tidur, ibadah malamnya isstiqamah. Sepanjang hidupnya antara
shalat isya’ dan shubuh selalu dilakukan dengan berwudhu satu kali,
karena dia tidak pernah batal. Sujudnya lama sekali
f. Madzhabnya mengikuti Imam Syafi’i dan Imam Hambali
g. Pancaran kesufiannya dalam beribadah kepada Allah mempunyai
kesan yang menakjubkan
h. Karena kedekatannya dengan Allah, dia mempunyai banyak karamah
yang dipercaya sebagai tanda kewaliannya.
Dengan sering membaca, mendengar dan mencermati manaqib
tersebut diharapkan akan membentuk pribadi muslim yang berakhlaqul
karimah.

BAB III
PENUTUP

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 13
3.1. Kesimpulan
Tradisi dan budaya adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan
gejala atau pun penjelasan-penjelasan yang mempunyai ciri-ciri mistis. Tradisi
dan budaya dalam islam dapat dibedakan menjadi dua: tradisi dan budaya yang
mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam al-Quran dan sunnah, dan  tradisi
dan budaya yang tidak memiliki dalil.
Dalam menyikapi keaneka ragaman budaya atau tradisi dan memecahkan
segala macam persoalan kebudayaan, maka warga NU selalu berpandangan,
bersikap dan berperilaku proporsional normative, obyektif-Selektif, adaptif-
akomodatif, dan elastis. Contoh Tradisi dan Budaya dikalangan NU diba’an,
berzanji, terbangan atau hadrah, burdah, dan manaqib.

3.2. Saran
1. Sebaiknya tradisi dan budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran
islam dapat dijadikan sebagai sarana dakwah.
2. Sebaiknya budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, Islam
dapat mengakulturasikannya bahkan mengakuinya sebagai bagian dari
budaya dan tradisi Islam itu sendiri.
3. Sebaiknya orang yang mepertentangkan antara tradisi, budaya dengan
agama diberi penjelasan yang jelas agar tidak dianggap bid’ah
4. Sebaiknya agama tidak bisa dilepaskan dari budaya sebagai perangkat
untuk mengekspresikannya.
5. Sebaiknya masnyarakat dapat mempertahankan tradisi dan budaya yang
sudah ada atau mengkreasikannya setara dengan mengikuti
perkembangan zaman
6. Sebaiknya tradisi dan budaya segala sesuatunya harus dipertanggung
jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 14
Thoha, As’ad. 2012. Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an. Sidoarjo : Al MAktabah

Fadeli, Sulaiman dan Mohammad Subhan. 2007. Antologi NU;Sejarah, Istilah,


Amaliyah, Uswah. Surabaya : Khalista.

Navis, Abdurrahman dkk. 2013.Risalah Ahlussunnah Waljama’ah dari


Pembiasan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amaliah NU. Surabaya :
Khalista.

Abdusshomad, Muhyidin. 2008. Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi. Surabaya :


Khalista.

http://wikipedia-ensiklopedia.com, 23.15/11oktober2015
http://wikipedia-ensiklopedia.com, 21.00/09oktober2015

Kelompok 10
Tradisi dan Budaya menurut Aswaja NU dan contohnya 15

Anda mungkin juga menyukai