Anda di halaman 1dari 17

ETIKA PENGAJAR, GURU & DOSEN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Etika Akademik
Dosen pengampu : Muallif Masyhuri

Disusun Oleh:

Kelompok 4
Ariqah Luthfiyah (0501213138)
M. Rivaldhy Harahap (0501222130)
Nia Safira R. Pane (0501221011)
Risky Amelia Siregar (0501222227)

PRODI EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT. Karena atas berkat, rahmat, dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Etika Pengajar, Guru &
Dosen”. Tak lupa kita kirimkan sholawat serta salam kepada junjugan kita Nabi Muhammad
SAW, yang telah menjadi suri tauladan umat manusia. Serta kami menghaturkan terima kasih
kepada Dosen Pengampuh Kami Bapak Muallif Masyhuri selaku dosen Etika Akademk yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.

Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan beberapa pengetahuan kepada
para pembaca tentang materi yang terkait. Kami menyadari bahwa makalah ini tentu belum
sempurna dan masih memiliki kesalahan. Baik dari penyusunan, penulisan, maupun bahasanya.
Oleh karena itu, kami akan menerima segala kritik dan saran, khususnya dari dosen mata kuliah
agar dapat kami jadikan pembelajaran dan bekal agar lebih baik lagi dimasa yang akan datang.

Medan, 12 April 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................. i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................. 7
2.1 Etika Pengajar, Guru Dan Dosen ..................................................................................... 7
1. Perspektif Ibn Jama'ah tentang Etika Personal. ........................................................... 7
2. Perspektif Syekh Zarnuji ............................................................................................... 12
3. Perspektif Imam Nawawi. .............................................................................................. 13
B. Relevansi Etika Pengajar dengan Konteks Kekinian. ................................................. 16
BAB III PENUTUP...................................................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kita akan mendiskusikan bagian yang sangat penting dalam diskursus etika akademik.
Secara sederhana kita dapat berkata, bahwa dalam membangun iklim akademik atau suasana
akademik yang baik, penekanan etika bukan hanya pada murid atau sang pembelajar. Tidak kalah
pentingnya untuk tidak takan sangat penting, maka guru adalah pihak yang pertama dan utama
untuk menunjukkan dan menampilkan etika akademik baik dalam konteks pembelajaranmaupun
dalam relasi dan aktivitas keilmuannya sehari-hari.

Tentu kita masih ingat dengan kearifan tradisional kita yang mengatakan, "Guru Kencing
berdiri murid kencing berlari". Maknanya murid akan selalu mencontoh dan meniru gurunya.
Suka atau tidak suka, guru adalah contoh teladan yang hidup bagaimana praktik etika itu
sesungguhnya dalam dunia akademik.

Diskusi berikut ini akan berbicara tentang etika pengajar, guru atau dosen. Merujuk kepada
Ibn Jama'ah sebagaimana yang dijelaskan oleh Hasan Asari, tema ini atau adab ilmuwanitu dapat
dibagi kepada tiga hal; etika personal, etika dalam mengajar dan etika bergaul dengan murid.
Imam Nawawi mambaginya kepada empat isu penting, etika personal guru, etika guru dalam
belajar, etika guru dalam mengajar dan tentang ujian dan kerelaan mengajar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka adapun masalah-masalah


yangakan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep Etika Pengajar dari perspektif Ibn Jama’ah, Syekh Zarnuji &
Imam Nawawi?
b. Apa yang menjadi relevansi Etika Pengajar dengan Konteks Kekinian ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etika Pengajar, Guru Dan Dosen

Sebelum kita mendiskusikan etika guru, kita akan membahas satu artikel yang ditulis oleh
Much Hasan Darojat yang berjudul, Kode Etik Guru dan Murid Menurut Ibn Jama'ah dan Al-
Jarnuzi. Di awal artikelnya, Darojat dengan merujuk kepada Naquib Al-Attas menekankan bahwa
dalam Islam inti dan tujuan Pendidikan adalah untuk pembentukan dan penanaman akhlak mulia.
Harapannya adalah bagaimana murid menjadi orang yang beradab dan mampu memahami fungsi
dan peran dalam segala aspek kehidupan baik terhadap Allah SWT dan orang lain maupun alam
sekitarnya

Dalam perspektif Islam, akhlak mulia seorang guru merupakan prasyarat mutlak yang
harus dimiliki dalam rangka proses Pendidikan bagi murid-muridnya. Sampai di sini, menjadi
penting melihat apa yang dijelaskan Ibn Jama'ah di dalam bukunya, yaitu buku Tazkirah al-Sami
ditujukan untuk mengarahkan kepada guru dan murid tentang menuntut ilmu. Terlebih dari itu,
bagaimana keduanya membangun relasi.

Di dalam artikel tersebut, Darojat terlebih dahulu membahas kode etik seorang guru baik
menurut Ibn Jama'ah ataupun Syekh Jarnuji. Namun dalam pembahasannya, Darojat lebih banyak
mengkaji pemikiran Ibn Jama'ah terutama dalam konteks etika Guru. Agaknya hal ini disebabkan
karena Syekh Zamuji tampaknya tidak banyak membahas atau dengan kata lain pembahasan
penulis kita Al-Ta'lim itu tidak rinci.

1. Perspektif Ibn Jama'ah tentang Etika Personal.

a. 12 Adab Personal Seorang Pengajar.


Pertama, ilmuwan harus senantiasa dekat dengan Allah, sendirian maupun bersama orang
lain. Ilmuwan yang dekat kepada Allah, punya sikap tenang, mantap, tekun, wara', rendah hati dan
penuh pengabdian.

Kedua, ilmuwan harus memelihara ilmu pengetahuan sebagaimana para ulama salaf
memeliharanya. Allah mencip takan ilmu pengetahuan sebagai keutamaan dan kemuliaan.

7
Ketiga, ilmuwan harus zuhud dan menghindari kekayaan material berlebihan. Ibn Jamaah
menekankan, ilmuwan semustinya paham, harta hanya beban yang memberatkan.

Keempat, ilmuwan tidak menjadikan ilmu sebagai alat mencapai tujuan duniawi seperti
kemuliaan, kekayaan, ketenaran, atau bersaing dengan orang lain. Secara spesifik, ilmuwan tidak
boleh mengharapkan muridnya menghormati melalui pemberian harta benda atau bantuan lain.

Kelima, ilmuwan harus terhindar dari tindakan tercela atau kurang pantas, baik agama

maupun adat. Ilmuwan di tuntut tidak melakukan hal buruk, juga menghindari munculnya
prasangka orang lain.

Keenam, ilmuwan melaksanakan ajaran agama dan mendukung syiar. la harus


melaksanakan salat berjama'ah di masjid, mengucapkan salam kepada khawas maupun orang
awam, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, seta sabar dalam kesusahan

Ketujuh, ilmuwan dapat memelihara amalan sunat, baik berupa perbuatan maupun
perkataan. la rutin membaca al-Qur'an, do'a, serta zikir galbi dan lisäni siang dan malam,
melaksanakan ibadah sunat, salat, puasa, haji, dan bershalawat kepada Nabi Muhammad.
Berkenaan dengan bacaan al-Qur'än, Ibn Jamà' ah menganjurkan ilmuwan mempunyai wirid dan
ayat al-Qur'an yang dibaca setiap hari.

Kedelapan, ilmuwan memperlakukan masyarakat dengan akhlak mulia. la harus berwajah


ceria, rajin bertegur sapa dengan salam, dapat menahan amarah, membantu orang yang ditimpa
susah, berlaku adil tetapi tidak selalu menuntut keadilan, bisa menciptakan suasana santai,
berupaya memenuhi kebutuhan sendiri dan tak menggantungkan diri pada orang lain, senang
membantu, lemah lembut kepada orang miskin, para jiran, kerabat, dan murid-muridnya.

Kesembilan, ilmuwan membersihkan dir dari akhlak buruk dan menumbuhkan akhlak
terpuji. Ibn Jama'ah memberikan uraian contoh akhlak buruk seperti dengki pemarah, sombong
dan riya'; serta contoh akhlak baik, seperti ikhlas, teguh pendirian, tawakkal, syukur, dan sabar.

Kesepuluh, ilmuwan memperdalam ilmu pengetahuan terus menerus. Ibn Jama'ah

8
menekankan keseriusan, keuletan, dan konsistensi sebagai prasyarat keberhasilan ilmuwan.
Sepanjang hidup ilmuwan dituntut mengkombinasikan kegiatan ilmiah dan ibadah.

Kesebelas, ilmuwan tidak boleh segan belajar dari yang lebih rendah jabatan, keturunan,
atau usia. Ilmu dan hikmah bisa ada di mana saja dan bisa diperoleh melalui siapa saja.

Keduabelas, ilmuwan mentradisikan menulis dalam bidang yang ditekuni dan dikuasai. Ibn
Jama'ah menyatakan, menulis bisa memperkuat hafalan, mencerdaskan hati, mengasah bakat,
memperjelas ungkapan, menghasilkan popularitas atau pujian, menghasilkan imbalan, serta
mengekalkan dan mewariskan ilmu pengetahuan hingga akhir masa

b. 12 Kode Etik dalam Mengajar

Pertama, menjelang mengajar, ilmuwan membersihkan diri dari hadas dan kotoran,
merapikan diri, serta mengenakan pakaian bagus. Ini dimaksudkan untuk memuliakan ilmu
pengetahuan dan agama, bukan maksud lain.

Kedua, keluar dari tempat tinggal, Menuju tempat mengajar, hendaknya ia mengingat
Allah. Sampai di majelis, ia mengucap salam kepada yang hadir. Ibn Jama'ah menambahkan,
ilmuwan agar tidak mengajar dalam keadaan lapar dan haus, marah, atau sakit, sebab
dikhawatirkan berpengaruh terhadap kejernihan pikiran.

Ketiga, hendaknya duduk pada posisi yang bisa dilihat seluruh yang hadir. la harus
memuliakan & lemah lembut kepada seluruh yang hadir. la memperhatikan serius bila orang
mengajukan pertanyaan.

Keempat, sebelum memulai pelajaran, ilmuwan hendaknya membaca ayat al-Qur'an agar
berkah, mendo'akan diri sendiri, hadirin, dan kaum muslimin. Kemudian membaca ta'awwuz,
basmalah, hamdallah, salawat kepada Nabi dan keluarganya, serta memohon ridha bagi kaum
muslimin, para guru, mendo'akan hadirin dan orang tua.

Keenam, ilmuwan mengatur suara agar tidak terlalu lemah hingga sulit didengar yang
hadir, juga tidak terlalu keras hingga mengganggu orang di luar majlis. Ibn Jama'ah menganjurkan
ilmuwan memperhatikan kalau di antara muridnya terdapat yang lemah pendengaran yang butuh
perhatian khusus. Jika selesai menjelaskan, ilmuwan sebaiknya berhenti sejenak, memberi
9
kesempatan mereka yang ingin bertanya.

Ketujuh, ilmuwan menjaga majlis tidak menjadi ajang senda gurau, kebisingan, atau
perdebatan yang tidak jelas sebab hanya mengakibatkan kelupaan. Jika terjadi debat tak terkendali,
ilmuwan harus mengingatkan hadirin bahwa hal tersebut tidak baik.

Kedelapan, mengingatkan orang yang dalam debat, atau bingung dalam debat, jelek tata
kramanya & yang mencaci sesama. la harus menegur orang yang tidur dalam majlis, berbicara
sesama, tertawa, mengganggu orang lain, berbuat apa saja yang melanggar etika. Ibn Jama'ah
menganjurkan ilmuwan mengangkat naqib untuk mengatur ketertiban majlis.

Kesembilan, ilmuwan harus bersikap adil dalam memberikan pelajaran. Jika ilmuwan
ditanya sesuatu yang tidak diketahui, ia harus mengakui jujur dan terbuka dengan mengatakan
"saya tidak tahu. Ilmuwan hendaknya sadar bahwa menyatakan ketidaktahuan bukan lah
kelemahan; tetapi kejujuran, keberanian, lambang ketaqwaan serta kebersihan jiwa.

Kesepuluh, ilmuwan harus memberi penghargaan Sewajarnya terhadap orang asing (bukan
anggota kelas yang hadir secara reguler) yang datang ketika majelis sudah berlangsung, dengan
mempersilahkan dan menerima dengan baik

Kesebelas, ilmuwan mengakhiri pelajaran dengan ucapan Wallahu a'lam seperti halnya
mufti mengakhiri jawaban tertulis. Hendaknya menghayati maknanya, se- hingga kegiatan
mengajar dimulai dan ditutup dengan kesadaran tentang Allah.

Keduabelas, ilmuwan harus mengetahui keahlian dan mengajarkan bidang keahlian itu.
Sekali-kali tidak dibenarkan mengajarkan sesuatu yang bukan bidangnya. Ilmuwan mesti memiliki
kesadaran dan keberanian mengakui keter batasan pengetahuan. Dan hanya mengajarkan apa yang
benar-benar merupakan bidang keahliannya.

c. 13 Kode Etik Bergaul dengan Murid

Seyyed Hossein Nasr menyimpulkan transmisi ilmu pengetahuan (dalam pendidikan

Islam) selalu memiliki aspek yang sangat personal, di mana seorang penuntut ilmu mencari
seorang ilmuwan, bukan lembaga, lalu mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada ilmuwan tersebut.
10
Hubungan yang terjalin antara ilmuwan dan murid selalu intim; seorang murid menghormati
ilmuwan yang menjadi gurunya seperti seorang ayah danmematuhinya bahkan dalam persoalan-
persoalan pribadi yang tak langsung berkaitan dengan pendidikannya secara formal
Pertama, dalam mengajar, ilmuwan bertujuan mencapai keridaan Allah, menyebar ilmu
pengetahuan, menghidupkan agama Islam, menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan,
mengharapkan pahala Allah melalui orang yang memperoleh ilmu darinya dan mengamalkannya.
Kedua, ilmuwan tidak boleh berhenti mengajar murid walaupun tujuan murid tidak benar.
Sebab, dengan belajar niatnya diharapkan dapat berubah lurus.
Ketiga, ilmuwan mendorong murid mencintai ilmu pengetahuan dan belajar setiap waktu
demi kemajuan. la mengingatkan murid bahwa Allah memberi derajat tinggi bagi ahli ilmu
pengetahuan.
Keempat ilmuwan mencintai murid sebagaimana mencintai diri sendiri. Karena itu, ia
memperhatikan sungguh- sungguh, sebagaimana memperhatikan anak sendiri: sabar dan penuh
kasih sayang.
Kelima, dalam memberi pelajaran, ilmuwan hendaknya menggunakan penyampaian yang
paling mudah dicema dan dipahami murid. la tidak dibenarkan menyembunyikan ilmu
pengetahuan dari murid, harus terbuka menjawab pertanyaan, sepanjang persoalan sudah pada
tempatnya.
Keenam, ilmuwan harus sungguh-sungguh dalam mengajar ilmu pengetahuan dengan
selalu mempertimbangkan daya serap. la dapat memulai dengan menyajikan persoalan. lalu
menjelaskan dengan contoh, serta memberitahu sumber informasi pembahasan tersebut.
Ketujuh, selesai menjelaskan masalah, ada baiknya Melemparkan pertanyaan untuk
menguji pemahaman dan ingatan murid. Murid yang mengingat dan memahami persoalan perlu
diberi pujian, sementara yang belum paham mesti dihadapi dengan lembut dan sabar.
Kedelapan, ilmuwan hendaknya mengatur waktu kapan menguji hafalan murid tentang
prinsip dan dalil ber kenaan materi pelajaran. la memuji mereka yang hafal, dan menganjurkan
peningkatan hafalan bagi yang belum, dengan memberi motivasi, sera memberi penjelasan
relevansi materi bagi peningkatan pengetahuan.
Kesembilan, jika ilmuwan melihat murid berusaha terlalu keras dalam belajar, hingga
melampaui kemampuan, ia harus menasehati dengan lemah lembut agar istirahat dan mengurangi
intensitas belajar sementara waktu.
Kesepuluh, ilmuwan harus menjelaskan prinsip dasar ilmu yang diajarkan, serta
memberitahu sumber utama yang tersedia dalam kajian.
Kesebelas, ilmuwan harus berlaku adil terhadap semua murid. Di luar aspek ilmiah,

11
ilmuwan memperlakukan semua murid sebaik mungkin; antara lain harus mencoba mengingat
nama-nama mereka, asalnya, latar belakang sosial ekonomi, seta mendo'akan kebaikan untuk
semua.
Keduabelas, ilmuwan memperhatikan saksama perilaku murid baik zahir maupun batin.
Jika mengetahui ada yang melakukan perbuatan haram atau makruh, atau sesuatu yang bisa
melalaikan dari kegiatan belajar, atau berperilaku buruk terhadap guru dan orang lain, ia bisa mulai
dengan memberi peringatan secara terbuka di depan semua murid.

Ketigabelas, ilmuwan senantiasa membantu murid sesuai kemampuan, baik moral maupun
material. Mutakallim besar, Imam al-Haramayn al Juwayni, menghabiskan warisan orang tua
untuk membantu murid. Bahkan, setelah warisan habis, ia terus membantu mereka dengan gaji
sendiri. Ada pula guru yang senang hati membayar biaya akomodasi muridnya dan mengharuskan
mereka makan di rumahnya sendiri.

Berbeda dengan Hasan Asari yang membahas Kode Etik Guru pada tiga hal, etik personal,
kode etik dalam mengajar dan relasi guru dan murid dan dibahas dengan rinci, Darojat, hanya
membahasnya dan kemungkinan menggabungkannya kepada kode etik guru yang terbagi kepada
lima hal saja.
1. Seorang guru hendaknya selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjalankan
sunnah Rasulullah seperti Sholat jama'ah di masjid, membaca Al-Qur'an dan lain-lain.
2. Berakhlak mulia dan berinteraksi dengan siapapun secara sopan.
3. Ilmu yang dimilikinya tidak dimaksudkan untuk tujuan atau hal- hal yang bersifat duniawi.
Jika dimaksudkan untuk duniawi, maka sama maknanya orang itu merendahkan ilmu dan
pada saat yang sama ia juga merendahkan dirinya.
4. Menjaga ilmu dengan belajar terus menerus.
5. Berkarya dengan menulis. Menulis adalah aktivitas seorang guru dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan

2. Perspektif Syekh Zarnuji

Darojat di dalam artikelnya yang telah disebut di atas tidak banyak membahas Syekh
Zarnuji berkaitan dengan etika guru Berbeda dengan etika murid sebagaimana terlihat berikut ini.
Agaknya hal ini disebabkan isu ini tidak banyak dibahas. Jika dirujuk karya Syekh Zamuji, tidak
ada spesifik yang berbican tentang etika guru.
Kendatipun tidak spesifik sebagaimana halnya Ibn Jama 'ah, di dalam bukunya Syekh

12
Zarnuji menggunakan terminologi penuntut ilmu atau murid dan pada sisi lain juga digunakan kata
orang yang berilmu. Paling tidak bisa dipahami, ketika kata orang yang berilmu yang digunakan
maka maknanya bisa saja guru. Sebagai contoh, menurut Syekh Zarnuji, orang yang berilmu
hendaklah bersikap simpatik, menjauhkan diri sifat irihati dan cemburu. Orang yang berilmu tidak
terlibat dalam permusuhan.

3. Perspektif Imam Nawawi.

A. Etika Personal Guru


Pertama, Mengharap Ridha Allah SWT. Menurut Imam Nawawi, seorang guru harus
menjadikan ridha Allah sebagai tujuan belajarnya. Ia tak boleh mejadikan keuntungan duniawi
sebagai tujuan belajar mengajar seperti memperkaya diri sendiri dan lain sebagainya.
Kedua, seorang guru harus senantiasa berprilaku baik. Segala tindak tanduknya harus
sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Imam Nawawi menekankan seorang guru harus hidup
sederhana. Guru sejatinya memiliki sifat-sifat terpuji, rendah hati, berkepribadian kalem dan tidak
banyak bercanda.

Ketiga, seorang guru harus menjauhi sifat-sifat tercela. Dalam konteks belajar-mengajaria
tidak boleh mengancam muridnya, menghasut ataupun menghina.
Keempat, seorang guru harus mendawamkan (melanggengkan) zikiri-zikirnya danbanyak
membaca kalimat-kalimat thayyibah.
Kelima, seorang guru harus merasa bahwa dirinya berada dalam pengawasan Allah SWT.Ia
tidak boleh sembarangan bersikap dan bertindak.
Keenam, seorang guru tidak boleh menggunakan ilmu. nya sesukanya. Menggunakan
ilmunya untuk membuat orang takut.
Ketujuh, seorang guru harus menghindarkan diri dari perbuatan yang boleh sekalipun
namun berpotensi mengandung hal-hal yang dimakruhkan apa lagi diharamkan

B. Etika Belajar
1. Seorang guru harus memiliki sikap rendah hati.
2. Segala aktivitas keilmuan diposisikan sebagai tujuan utama.
3. Seorang guru harus menulis buku sebagai bukti kepakarannya.
4. Perlu waspada dan ekstra hati-hati dalam menuliskan sesuatu.
5. Seorang guru tidak tergesa-gesa untuk mempublikasikan tulisannya.
6. Seorang guru harus mampu menjelaskan konsep keilmuannya sehingga mudah ditangkap
13
murid-muridnya.
7. Berkenaan karya ilmiah, seorang guru harus mampu menawarkan hal-hal baru

C. Etika Mengajar
1. Ketika mengajar, seorang guru harus meniatkannya karena Allah SWT.
2. Guru tidak menghalangi siapapun yang ingin belajar kendatipun bisa jadi niat mereka belum
sepenuhnya benar.
3. Dalam mendidik muridnya hendaknya secara bertahap.
4. Seorang guru harus mencintai ilmu yang ditekuninya atau ilmu yang diajarkannya.
5. Guru harus peduli dengan murid-muridnya. Ia mengenal secara baik murid-muridnya
6. Seorang guru memberikan hal yang muridnya sukai atau cintai.
7. Guru ramah dalam menyampaikan pelajarannya sehingga murid-muridnya senang mengikuti
pelajaran darinya.
8. Tidak boleh menyembunyikan hal-hal yang ia ketahui padahal muridnya telah pula
mempertanyakannya.
9. Guru tidak diperkenankan mengajarkan hal-hal yang belum dapat diterima murid- muridnya.
10. Tidak boleh mengunggulkan atau menyombongkan dirinya atas guru-guru yang lain.
11. Seorang guru harus semangat dan serius ketika mengajar.
12. Seorang guru hendaklah mengabsen murid- muridnya dan mengetahui keadaan muridnya
yang tidak hadir.
13. Bersungguh-sungguh dalam memberi penjelasan sehingga murid-muridnya benar-benar
paham dengan apa yang disampaikannya.

4. Perspektif Al-Ghazali

Dengan merujuk Ihya 'Ulum Al-Din dan beberapa kitab Al-Ghazali lainnya, Hasan Asari
menjelaskan bahwa Al-Ghazali dalam melihat relasi guru dengan ilmu, terlebih dahulu memberi
perumpaman yaitu hubungan seseorang dengan harta yang terbagi ke dalam 4 kondisi

a. Kondisi mencari dan mengumpul harta kekayaan.


b. Kondisi menyimpan dan memelihara harta yang telah dikumpulkan dalam jumlah cukup.
c. Kondisi membelanjakan hartanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
d Kondisi membelanjakan hartanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan juga untuk
kepentingan orang lain. Biasanya orang jenis ini disebut dermawan

14
Adapun kaitannya dengan ilmu, kondisi seseorang alim dengan ilmunya juga terbagi
kepada empat kondisi yaitu:

a Kondisi belajar dan menuntut ilmu pengetahuan. Kondisi mengetahui dan menyimpan apa yang
telah dipelajari. Kondisi merenungkan dan menikmati apa yang telah diketahui.
b. Kondisi mengetahui & menyimpan apa yang dipelajari
c. Kondisi merenungkan dan menikmati apa yang telah diketahui
d. Kondisi menyebarluaskan dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dan
dikuasai kepada orang lain.

Hasan Asari menyatakan dengan melihat empat perumpamaan di atas, kondisi yang
terbaik adalah mereka yang memiliki ilmu yang banyak dan ia menyebarkan ilmunya tersebut
kepada orang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan, ilmuwan juga dermawan dengan
ilmunya. Di dalamnya dirinya juga tersimpul banyak kebaikan-kebaikan dan kehalusan budi.
Dengan merujuk kepada Hasan Asari, kewajiban guru itu adalah:

a. Mencintai muridnya dan memperlakukan mereka seba gaimana ia memperlakukan anaknya


sendiri.
b. Seorang guru tidak berharap gaji dari muridnya dan juga tidak mengharapkan pemberian
apapun bentuknya. Justru dalam hal ini, guru, dosen, dan para alim harus mencontoh Rasulullah
yang tidak berharap apapun dari dakwahnya.
c. Seorang guru hendaknya mengenal dengan baik kemampaun muridnya dan penguasaan bidang
ilmu muridnya agar sang guru dapat menyesuaikan makam ilmu muridnya.
d. Guru wajib mengajarkan akhlak kepada muridnya dan menjadi bagian yang paling penting
sekaligus rumit.
e. Guru wajib mengajarkan kepada murid-muridnya untuk menghormati ilmu pengetahuan baik
ilmu yang diminatinya ataupun ilmu di luar dari yang diminatinya.
f. Guru wajib mempertimbangkan daya tangkap dan kemampuan intelektual muridnya dan dapat
menyesuaikannya dalam proses pembelajaran.
g. Guru harus memberi perhatian kepada murid-murid yang bisa saja mengalami ketertinggalan
dari murid-murid lainnya. Dan tentu tidak membiarkannya terus tertinggal.
h. Guru adalah tauladan yang baik bagi murid-muridnya. Praktik hidupnya sejatinya sama dan
selaras denga napa yang diajarkannya kepada murid-muridnya.
15
Menurut Edward Shils dalam bukunya Etika Akademis yang paling utama bagi seorang

pengajar adalah kewajiban kebenaran terhadap apa yang diajarkannya atau apa yang ditelitinya.
Dengan Bahasa lainnya, Shills ingin mengatakan seorang pengajar harus memiliki komitmen yang
kuat terhadap kebenaran. Namun pada sisi lain, pengajar yang notabene seorang intelektual
hendaknya orang yang jujur & rendah hati untuk menerima kebenaran dari pihak lain. Terbuka
dkritik jika ia kelina atau salah dalam aktivitas akademiknya.

Dalam konteks mahasiswa, dua hal yang penting dari Shills adalah, dosen berkewajiban
menyampaikan kepada mahasiswa komitmen dan keberpihakan kepada kebenaran. Juga mengajar
kan mahasiwa alat untuk menemukan kebenaran ilmiah lewat metode penelitian yang handal;
metode penelitian dan metode pengukurannya.

B. Relevansi Etika Pengajar dengan Konteks Kekinian.

Etika personal guru, etika mengajar sampai kepada etika relasi murid dan guru telah
menunjukkan secara jelas dan tegas bahwa dalam pandangan Islam, proses belajar dan mengajar
bukanlah sebatas apa yang disebut dengan transfer ilmu pengetahuan. Mengajar & belajar
bukanlah sebatas aktivitas menerima ilmu pengetahuan dari sang guru. Namun lebih dari itu,
proses mengajar & belajar sesungguhnya adalah aktivitas yang memiliki dimensi ruhani- spiritual.
Proses yang di dalamnya tidak hanya melibatkan manusia tetapi juga Allah SWT sebagai sang
pemilik seluruh Ilmu pengetahuan.
Para ulama seperti Ibn Jama'ah, Syekh Zarnuji, Al-Ghazali dan lainnya, mengingatkan
para guru untuk melakukan tugasnya semata-mata karena Allah dan mengharap ridhanya. Tidak
dimaksudkan untuk mencari popularitas, ketenaran, apa lagi kepentingan material duniawi.
Mengajar adalah aktivitas spiritual yang melibatkan dimensi-dimensi spiritual manusia.

Edward Shills sangat menegaskan bahwa orientasi pengajar, aktivitas, tujuan ataupun
proses akademik yang dilakukannya adalah, dalam rangka kebenaran. Bahkan bukan saja,
pengajar yang harus berada dalam lingkaran kebenaran, siswa atau murid juga harus berada dalam
lingkaran kebenaran itu sendiri.

Shills menegaskan bahwa guru, pengajar atau dosen tidak boleh diskriminatif terhadap
16
siswanya. Untuk lebih mudah memahaminya adalah, etika yang non diskriminatif ini dapat kita
kaitkan dengan persoalan pemberian nilai. Etika ini menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan
persoalan nilai. Faktor-faktor yang sama sekali tak berhubungan dengan masalah akademik tidak
boleh mempengaruhi perhatian atau penilaian dosen kepada mahasiswa. Sebut saja misalnya
suku, agama, ras, organisasi & lain-lain. Nilai adalah potret yang paling mendekati kondisi real
murid atau mahasiswa. Karena itulah, setiap dosen harus benar-benar objektif dalam masalah
penilaian.

Dengan demikian, pada beberapa hal, tentu saja etika mengajar sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas memiliki nilai relevansi yang kuat dengan konteks kekinian. Terlebih lagi pada
era, di mana proses belajar dan mengajar dipahami hanya sekedar aktivitas intelektual semata dan
tak terkait erat dengan dimensi spiritual. Bahkan di kampus-kampus Islampun dimensi
spiritualitas dalam proses pembelajaran ini telah mengalami pergeseran secara signifikan.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Guru atau dosen sebagai tenaga profesional harus memenuhi standar persyaratan secara
administrasi, teknik, pakis dan fisik yang merupakan prasyarat terpenting bagi seseorang untuk
menjadi guru. Jelas sekali bahwa profesi pengajar seperti guru dan dosen adalah orang yang terlibat
dalam pendidikan yang tugasnya tidak hanya sekedar mentransfer ilmu dari guru kepadapeserta
didik akan tetapi lebih dari itu.
Guru bertugas mengarahkan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan dan
menjadikan mereka menjadi manusia seutuhnya melalui teladan yang bisa dicontoh, semangatatau
dorongan untuk menjadi lebih baik dan bimbingan atau arahan agar selalu pada jalur kebenaran
dalam mengembangkan potensi yang ada pada dirinya
. Guru atau dosen bertanggung jawab untuk membawa peserta didik pada suatu kedewasaan
atau tingkat kematangan tertentu. Tanggung jawab guru bukan hanya mengajar melainkan mendidik
dan sekaligus berperan sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun peserta
didik dalam belajar. Dalam proses pembelajaran tersebut guru wajib memiliki etika untuk
mewujudkan proses belajar mengajar yang baik.

18
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag. Maret 2022. Etika Akademik “Ikhtiar Mewujudkan Insan
Ululalbab”. Medan:FEBI UIN-SU Press.
Edward Shills, Etika Akademis, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993 Hasan
Asari, Etika Akademis Dalam Islam: Studi tentang Ibn Jama’ah Kitab
Tazkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim Karya Ibn Jama’ah, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2008

Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik:Gagasan Pendidikan Al-Ghazali,


Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999

Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-Lembaga


Pendidikan, Bandung: Citapustaka, 2013

Imam Nawawi, Adab di Atas Ilmu (Adab al-‘Alim wa Al-Muta’allim wa Adab al-
Mufti wa al-Mustafti), Yogyakarta: Diva Press, 2021

Much Hasan Darojat, Kode Etik Guru dan Murid Menurut Ibn Jama’ah dan Al-
Jarnuzi, Dalam Islamia Volume IX, No 2 Agustus 2017

19

Anda mungkin juga menyukai