Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ETIKA AKADEMIK

ETIKA PENGAJAR, GURU DAN DOSEN


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Akademik
Dosen Pengampu : Dra. Saudatus Saniah Tanjung, M. Pd

Disusun Oleh : Kelompok 3


Dela Alifianisa Nasution : 0506232087
Eko Prasetyo : 0506232115
Sri Anggraini : 0506232130
M. Rehan Kurniawan : 0506232135

PRODI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A 2024
KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur, kami mengucapkan Alhamdulillah kepada Allah SWT.,
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami. Terima kasih kami
sampaikan atas keberhasilan menyelesaikan makalah Etika Akademik ini sesuai dengan
batas waktu yang telah ditentukan.
Tidak lupa, penghargaan setinggi- tingginya kami sampaikan kepada semua pihak
yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Khususnya, kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Saudatus Saniah Tanjung, M. Pd dosen
pengampu yang telah memberikan saran dan bimbingan berharga sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Sebagai penulis, kami sadar bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, baik dari segi tata bahasa maupun substansi. Oleh karena itu, kami dengan
rendah hati menerima setiap saran dan kritik yang dapat membantu perbaikan pada makalah-
makalah mendatang.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif. Apabila
terdapat ketidaksesuaian dalam penulisan atau materi yang diangkat, kami memohon maaf
yang sebesar-besarnya. Dengan penuh rasa hormat, kami menyerahkan makalah ini sebagai
bentuk hasil kerja keras dan dedikasi kami. Terima kasih.

Medan, 22 Maret 2024

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................2
C. Tujuan Masalah .......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Etika Guru, Dosen dan Pengajar serta etika Personal Seorang Pengajar ................3
B. Relevansi Etika Pengajar dengan Konteks Kekinian ..............................................13
C. Implementasi Wahdatul Ulum dengan Etika Pengajar, Dosen dan Guru................15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................................17
B. Saran ........................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Etika merupakan ilmu yang mempelajari soal kebaikan (dan keburukan) didalam hidup
manusia, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan
pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.
Etika dalam masyarakat kampus atau dapat disebut sebagai etika akademik bersifat universal
karena etika berdasarkan kepada ilmu dan kearifan, sedangkan tata krama pergaulan kampus
akan berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Etika merupakan suatu hal yang sangat
berhubungan dengan mahasiswa. Etika berperan penting bagi pribadi mahasiswa itu sendiri
maupun orang lain. Etika akademik merupakan konsep penilaian sifat kebenaran atau
kebaikan dari tindakan sosial berdasarkan tradisi yang dimiliki oleh individu. Etika
akademik merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan, karena mempengaruhi
bagaimana siswa berinteraksi dengan dosen dan berpikir dalam konteks akademik.
Kita akan mendiskusikan bagian yang sangat penting dalam diskursus etika akademik.
Secara sederhana kita dapat berkata, bahwa dalam membangun iklim akademik atau suasana
akademik yang baik, penekanan etika bukan hanya pada murid atau sang pembelajar. Tidak
kalah pentingnya untuk tidak mengatakan sangat penting, maka guru adalah pihak yang
pertama dan utama untuk menunjukkan dan menampilkan etika akademik baik dalam
konteks pembelajaran maupun dalam relasi dan aktivitas keilmuannya sehari-hari.
Diskusi berikut ini akan berbicara tentang etika pengajar, guru atau dosen. Merujuk
kepada Ibn Jama'ah sebagaimana yang dijelaskan oleh Hasan Asari, tema ini atau adab
ilmuwan itu dapat dibagi kepada tiga hal; etika personal, etika dalam mengajar dan etika
bergaul dengan murid. Imam Nawawi mambaginya kepada empat isu penting, etika personal
guru, etika guru dalam belajar, etika guru dalam mengajar dan tentang ujian dan kerelaan
mengajar. Penulis akan terlebih dahulu mengacu kepada Ibn Jama'ah sebagaimana telah
dijelaskan oleh Hasan Asari tentu saja dengan memberikan notasi terhadap butir-butir yang
telah dituliskan Ibn Jama'ah.

1
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan etika dalam profesi Guru, Dosen dan Pengajar? dan
bagaimana etika personal seorang pengajar?
2. Bagaimana relevansi etika pengajar dengan konteks era kekinian?
3. Bagaimana implementasi Wahdatul ulum didalam etika pengajar, guru dan dosen?
3. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian etika dalam profesi Guru, Dosen dan Pengajar, serta
mengetahui bagaimana etika personal seorang pengajar.
2. Untuk mengetahui bagaimana relevansi etika pengajar dengan konteks era kekinian.
3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi Wahdatul ulum didalam etika pengajar,
guru dan dosen.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Etika Guru, Dosen dan Pengajar


Akhlak mulia seorang guru merupakan prasarat mutlak yang harus dimiliki dalam
proses pendidikan bagi murid-muridnya dalam pengantarnya, Ibn Jama'ah menyebutkan
bahwa buku Tadkira al'Sami ditujukan untuk mengarahkan kepada guru dan murid
tentang adab menuntut ilmu. Di antara penekanan yang menjadi fokus Ibn Jama'ah
adalah masalah yang berkenaan dengan akhlak bagi keduanya, karena inilah yang
menjadi fokus pembahasan dalam bukunya. Dalam tradisi Islam, hubungan seorang
guru dan murid tidak sekedar memiliki hubungan personal saja. Lebih dari itu, mereka
memilikl hubungan jiwa dan spiritual yang dapat menjadikan rapat keduanya. Dengan
demikian transfer ilmu dari guru kepada murid tidak sekedar untuk mengajarkan materi,
tetapi juga transfer nilai dan akhlak yang dicontohkan oleh guru akan tersampaikan
untuk itu, diperlukan keseriusan niat yang tulus untuk ibadah dan kebersihan hati
sebagai wadah untuk diterimanya ilmu.
Kita tidak akan temukan hal ini dalam tradisi selain Islam tradisi di Barat yang
berkembang hingga saat ini menunjukkan hubungan guru dan murid sekedar hubungan
instruksional yang terbatas pada aspek sosial saja, tidak ada aspek-aspek spiritual yang
menjadi prioritas bagi hubungan keduanya. Sehingga yang terjadi dalam kegiatan
transfer ilmu hanya sekedar pengajaran materi yang tidak dibarengi dengan pendidikan
akhlak dan sikap (ta'dib). Seorang guru tidak perlu mempraktikkan ilmunya, sebab
baginya hal itu sekedar pengetahuan teori. Yang dituju adalah sekedar pencapaian
profesionalisme. Bahkan, para ilmuwan pun, seandainya secara pribadi bermoral buruk
dan tidak bertanggungjawab dengan keluarganya, tetap akan menjadi rujukan bagi
komunitas mereka.
1. Perspektif Ibn Jama’ah tentang etika Personal
a. Dua belas adab personal seorang pengajar
Satu, pengajar senantiasa dekat Allah, sendirian maupun bersama orang lain.
Memelihara amanah ilmu pengetahuan dan kecerdasan, serta pemahaman yang
diberikan kepadanya. Pengajar yang dekat kepada Allah, punya sikap tenang,
mantap, tekun, wara', rendah hati dan penuh pengabdian.

3
Al- Qur’an surat Al- Anfal ayat 27:
‫اَمٰ ٰنتِ ُكم‬ َ‫سو َل َوتَ ُخونُ ْٓوا اَمٰ ٰنتِ ُكم َواَنتُم تَعلَ ُمون‬
ُ ‫الر‬ َ ٰ ‫ٰ ْٓياَيُّ َها الَّذِينَ ٰا َمنُوا َل ت َ ُخونُوا‬
َّ ‫ّللا َو‬
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui."
Dua, pengajar harus memelihara ilmu pengetahuan sebagaimana para ulama
salaf memeliharanya. Allah menciptakan ilmu pengetahuan sebagai keutamaan dan
kemuliaan.
Tiga, pengajar harus zuhud dan menghindari kekayaan material berlebihan. la
butuh materi sekedar memungkinkan keluarga hidup nyaman, sederhana, tidak lagi
diganggu persoalan nafkah.
Empat, pengajar tidak menjadikan ilmu sebagai alat mencapai tujuan duniawi
seperti kemuliaan, kekayaan, ketenaran, atau bersaing dengan orang lain. Secara
spesifik, pengajar tidak boleh mengharapkan muridnya menghormati melalui
pemberian harta benda atau bantuan lain.
Lima, pengajar harus terhindar dari tindakan tercela atau kurang pantas, baik
agama maupun adat. la juga harus menghindar dari tempat yang citranya kurang baik,
walaupun tidak melakukan hal terlarang.
Enam, pengajar melaksanakan ajaran agama dan mendukung syiar. la harus
melaksanakan salat berjama'ah di masjid, mengucapkan salam kepada khawas
maupun orang awam, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, seta
sabar dalam kesusahan. la berupaya menghidupkan sunnah dan memerangi bid'ah
sera terlibat dalam kegiatan agama dan apa yang mengandung kemaslahatan umat
Islam.
Tujuh, pengajar dapat memelihara amalan sunat, baik berupa perbuatan
maupun perkataan. la rutin membaca al-Qur'an, do'a, serta zikir galbi dan lisäni siang
dan malam. la rutin melaksanakan ibadah sunat, salat, puasa, haji, dan bershalawat
kepada Nabi Muhammad.
Delapan, pengajar memperlakukan masyarakat dengan akhlak mulia. la harus
berwajah ceria, rajin bertegur sapa dengan salam, dapat menahan amarah, membantu
orang yang ditimpa susah, senang memberi daripada menerima, berlaku adil, senang
membantu, lemah lembut kepada orang miskin, para jiran, kerabat, dan murid-
muridnya.

4
Sembilan, pengajar membersihkan diri dari akhlak buruk dan menumbuhkan
akhlak terpuji.
Sepuluh, seorang pengajar harus memperdalam ilmu pengetahuan terus
menerus. Ibn Jama' ah menekankan keseriusan, keuletan, dan konsistensi sebagai
prasyarat keberhasilan. Sepanjang hidup ilmuwan dituntut mengkombinasikan
kegiatan ilmiah dan ibadah.
Al-Qur’an surat Asy-Syura: 83
ٰ ‫ب هَب لِي ُحك ًما َّواَلحِ قنِي ِبال‬
َ‫صلِحِ ين‬ ِ ‫َر‬
Artinya: "(Ibrahim berdoa), "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku ilmu dan
masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh,"
Sebelas, para pengajar tidak boleh segan belajar dari yang lebih rendah jabatan,
keturunan, atau usia. Ilmu dan hikmah bisa ada dimana saja dan bisa diperoleh
melalui siapa saja. Sikap yang benar adalah menganggap ilmu pengetahuan sebagai
barang hilang yang akan diambil kembali.
Duabelas, para pengajar mentradisikan menulis dalam bidang yang ditekuni
dan dikuasai. Menulis adalah bagian penting kegiatan ilmuwan selain membaca,
meneliti dan merenung.
b. Dua belas kode etik dalam mengajar
Ibn Jama'ah ingin seorang pengajar atau guru mengabdikan hidup secara total
kepada kegiatan ilmiah. Ilmu ditempatkan sebagai concern utama kehidupan
ilmuwan, dan urusan lain urutan berikutnya.
Satu, menjelang mengajar, seorang pendidik membersihkan diri dari hadas dan
kotoran, merapikan diri, serta mengenakan pakaian bagus. Ibn Jama'ah mengutipkan
kisah Imam Malik bin Anas yang selalu mandi, merapikan diri, memakai pakaian
baik, dan mengenakan sorban, setiap kali orang datang belajar hadis.
Dua, Ibn Jama'ah mengingatkan, pengajar menjaga posisi duduk dalam batas
kesopanan, misal tidak meninggikan sebelah kaki, meluruskan kaki, atau menopang
badan dengan tangan. la juga tidak melakukan gerakan badan, tangan dan mata, atau
tertawa berlebihan yang dapat mengurangi ketenangan. Ibn Jama'ah menambahkan,
hendaknya agar tidak mengajar dalam keadaan lapar dan haus, marah, atau sakit,
sebab dikhawatirkan berpengaruh terhadap kejernihan pikiran.
Tiga, hendaknya duduk pada posisi yang bisa dilihat seluruh yang hadir.
Menetapkan posisi berdasarkan pengetahuan, usia, kesalehan, dan kemuliaan. la
harus memuliakan dan lemah lembut kepada seluruh yang hadir.

5
Empat, sebelum memulai pelajaran, guru hendaknya membaca ayat al-Qur'an
agar berkah, mendo'akan diri sendiri, hadirin, dan kaum muslimin. Kemudian
membaca ta'awwuz, basmalah, hamdalah salawat kepada Nabi dan keluarganya,
serta memohon ridha bagi kaum salawat ke para guru. Agar tujuan mendirikan dan
menyediakan wagaf bagi lembaga tercapai.
Lima, jika mengajarkan beberapa disiplin ilmu dalam sehari maka harus
mendahulukan yang lebih mulia dan lebih penting. Misal harus mendahulukan
mengajarkan tafsir al-Qur'an, kemudian hadis pelajaran kemudian usul al-din,
kemudian usul al-fiqh, kemudian mazhab, kemudian khilaf (perbandingan mazhab),
kemudian nahu atau jadal dan seterusnya.
Enam, pengajar mengatur suara agar tidak terlalu lemah hingga sulit didengar
yang hadir, juga tidak terlalu keras hingga mengganggu orang di luar majlis. Jika
selesai menjelaskan, guru sebaiknya berhenti sejenak, memberi kesempatan mereka
yang ingin bertanya. Jika guru tidak memberi kesempatan bertanya, maka
mengakibatkan hilangnya kesempatan.
Tujuh, seorang pengajar menjaga majlis agar tidak menjadi ajang kebisingan,
atau perdebatan yang tidak jelas sebab hanya mengakibatkan kelupaan. Jika terjadi,
guru harus mengingatkan hadirin bahwa hal tersebut tidak baik. Ia mengingatkan,
tujuan berkumpul adalah mencari kebenaran, membersihkan jiwa dan memperoleh
manfaat. Bertengkar tidak pantas bisa menjadi bibit permusuhan.
Delapan, mengingatkan orang yang berlebihan dalam debat, atau bigung dalam
debat, atau jelek tata krama, atau tak mau tenang setelah ditemukan kebenaran.
Sembilan, seorang pengajar harus bersikap adil dalam memberikan pelajaran.
la mendengar saksama pertanyaan murid meskipun masih junior. Bila murid tidak
mampu bertanya dengan kalimat baik, guru harus berupaya menangkap makna dan
membahasakan pertanyaan tersebut secara baik.
Sepuluh, guru harus memberi penghargaan sewajarnya terhadap orang asing
(bukan anggota kelas yang hadir secara reguler) yang datang ketika majelis sudah
berlangsung, dengan mempersilahkan dan menerima dengan baik.
Sebelas, sebelum mengakhiri pelajaran dengan ucapan Wallahu alam seperti
halnya mufti mengakhiri jawaban tertulis. Hendaknya menghayati maknanya,
sehingga kegiatan mengajar dimulai dan ditutup dengan kesadaran tentang Allah.
Ketika kelas bubar, guru tetap di tempat untuk beberapa saat. Agar tidak berdesakan

6
dengan murid ketika bubar. Alasan lain, memberi kesempatan murid yang masih
punya pertanyaan.
Duabelas, pengajar harus mengetahui keahlian dan mengajar kan bidang
keahlian itu. Sekali-kali tidak dibenarkan kan bidang bukan bidangnya. Siapa
melakukan hal tersebut maka termasuk mempermainkan agama dan menyebarkan
kerusakan di tengah masyarakat luas. Dan hanya mengajarkan apa yang benar-benar
merupakan bidang keahliannya.
c. Tiga Belas kode etik bergaul dengan murid
Banyak sumber menunjukkan, pendidikan Islam menampilkan hubungan guru-
murid yang baik berdasarkan cinta, rasa hormat, dan persahabatan, serta penuh
nuansa personal.
Satu, dalam mengajar seorang pengajar bertujuan mencapai keridaan Allah,
menyebar ilmu pengetahuan, menghidupkan agama Islam, menegakkan kebenaran
dan menghancurkan kebatilan, memajukan umat dengan memperbanyak tenaga
pendidik, mengharapkan pahala Allah melalui orang yang memperoleh ilmu
darinya dan mengamalkannya, memperoleh berkat dari doa mereka, dan menjadi
bagian dari silsilah ilmu antara Rasulullah dan murid nya, serta memperbesar
jumlah orang yang menyebarkan wahyu dan agama Allah.
Dua, guru tidak boleh berhenti mengajar murid walaupun tujuan murid tidak
benar.
Tiga, pengajar mendorong murid mencintai ilmu pengetahuan dan belajar
setiap waktu demi kemajuan. la mengingatkan murid bahwa Allah memberi derajat
tinggi bagi ahli ilmu pengetahuan.
Empat, pengajar mencintai murid sebagaimana mencintai diri sendiri. Karena
itu, ia memperhatikan sungguh-sungguh, sebagaimana memperhatikan anak
sendiri: sabar dan penuh kasih sayang.
Lima, dalam memberi pelajaran, pengajar hendaknya menggunakan
penyampaian yang paling mudah dicerna dan dipahami murid. la tidak dibenarkan
menyembunyikan ilmu pengetahuan dari murid, harus terbuka menjawab
pertanyaan, sepanjang persoalan sudah pada tempatnya.
Enam, pengajar harus sungguh-sungguh dalam mengajar ilmu pengetahuan
dapat memulai dengan menyajikan persoalan, lalu menjelaskan dengan contoh,
kemudian menyajikan dalil yang berkenaan, serta sumber informasi pembahasan
tersebut.

7
Tujuh, selesai menjelaskan masalah, ada baiknya melemparkan pertanyaan
untuk menguji pemahaman dan ingatan murid yang mengingat dan memahami
persoalan perlu diberi pujian; sementara yang belum paham mesti dihadapi dengan
lembut dan sabar. Tujuannya adalah mengantisipasi murid yang tidak berani
bertanya, atau mengungkapkan, karena segan, malu, dan sebagainya.
Delapan, pengajar hendaknya mengatur waktu kapan menguji hafalan murid
tentang prinsip dan dalil berkenaan materi pelajaran. Ada baiknya menganjurkan
murid untuk belajar kelompok, karena sangat membantu memantapkan
pemahaman. Juga efektif mendorong dan mengasah penggunaan daya analisis
murid.
Sembilan, jika pengajar melihat murid berusaha terlalu keras dalam belajar,
hingga melampaui kemampuan, ia harus menasehati dengan lemah lembut agar
istirahat dan mengurangi intensitas belajar sementara waktu.
Sepuluh, pengajar harus menjelaskan prinsip dasar ilmu yang diajarkan, serta
memberitahu sumber utama yang tersedia dalam kajian. Jika mungkin, ia harus
mengajarkan ilmu pendukung relevan atau paling tidak memberitahu apa yang
harus didalami murid untuk membangun dasar keahlian yang mapan dalam
disiplin tertentu.
Sebelas, seorang pengajar harus berlaku adil terhadap semua murid. Hanya
boleh memberi perlakukan istimewa berdasarkan kelebihan ilmu pengetahuan,
kesungguhan belajar, atau kebaikan etika. Di luar aspek ilmiah, ilmuwan
memperlakukan semua murid sebaik mungkin, antara lain harus mencoba
mengingat nama- nama mereka, asalnya, latar belakang sosial ekonomi, serta
mendo'akan kebaikan untuk semua.
Duabelas, jika mengetahui ada yang melakukan perbuatan haram atau makruh,
atau sesuatu yang bisa melalaikan dari kegiatan belajar, atau berperilaku buruk
terhadap guru dan orang lain, atau terlalu menyia-nyiakan waktu untuk berbincang
tanpa faedah, atau bergaul dengan orang kurang baik, maka pengajar harus
berupaya mencegah. la bisa mulai dengan memberi peringatan secara terbuka di
depan semua murid.
Tigabelas, pengajar senantiasa membantu murid sesuai kemampuan, baik
moral maupun material. Ada pula guru yang senang hati membayar biaya
akomodasi muridnya dan mengharuskan mereka makan di rumahnya sendiri.
2. Perspektif Syekh Zarnuji Darojat

8
Di dalam artikelnya yang telah disebut di atas tidak banyak membahas Syekh
Zarnuji berkaitan dengan etika guru berbeda dengan etika murid sebagaimana terlihat
berikut ini. Agaknya hal ini disebabkan isu ini tidak banyak dibahas. Jika dirujuk
karya Syekh Zamuji, tidak ada spesifik yang berbicara tentang etika guru.
Kendatipun tidak spesifik sebagaimana halnya Ibn Jama 'ah, di dalam bukunya
Syekh 13 Zarnuji menggunakan terminologi penuntut ilmu atau murid dan pada sisi
lain juga digunakan kata orang yang berilmu. Paling tidak bisa dipahami, ketika kata
orang yang berilmu yang digunakan maka maknanya bisa saja guru. Sebagai contoh,
menurut Syekh Zarnuji, orang yang berilmu hendaklah bersikap simpatik,
menjauhkan diri sifat irihati dan cemburu. Orang yang berilmu tidak terlibat dalam
permusuhan.
3. Perspektif Imam Nawawi
a. Etika Personal Guru
Pertama, Mengharap ridho Allah SWT. Menurut Imam Nawawi, seorang guru
harus menjadikan ridha Allah sebagai tujuan belajarnya. Ia tak boleh mejadikan
keuntungan duniawi sebagai tujuan belajar mengajar seperti memperkaya diri sendiri
dan lain sebagainya.
Kedua, seorang guru harus senantiasa berperilaku baik. Segala tindak
tanduknya harus sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Imam Nawawi menekankan
seorang guru harus hidup sederhana. Guru sejatinya memiliki sifat-sifat terpuji,
rendah hati, berkepribadian kalem dan tidak banyak bercanda.
Ketiga, seorang guru harus menjauhi sifat-sifat tercela. Dalam konteks belajar-
mengajaria tidak boleh mengancam muridnya, menghasut ataupun menghina.
Keempat, seorang guru harus mendawamkan (melanggengkan) zikiri-zikirnya
danbanyak membaca kalimat-kalimat thayyibah.
Kelima, seorang guru harus merasa bahwa dirinya berada dalam pengawasan
Allah SWT. Ia tidak boleh sembarangan bersikap dan bertindak.
Keenam, seorang guru tidak boleh menggunakan ilmu yang dimiliki sesukanya.
Menggunakan ilmunya untuk membuat orang takut.
Ketujuh, seorang guru harus menghindarkan diri dari perbuatan yang boleh
sekalipun namun berpotensi mengandung hal-hal yang dimakruhkan apa lagi
diharamkan.
b. Etika Belajar
1. Seorang guru harus memiliki sikap rendah hati.

9
2. Segala aktivitas keilmuan diposisikan sebagai tujuan utama.
3. Seorang guru harus menulis buku sebagai bukti kepakarannya.
4. Perlu waspada dan ekstra hati-hati dalam menuliskan sesuatu.
5. Seorang guru tidak tergesa-gesa untuk mempublikasikan tulisannya.
6. Seorang guru harus mampu menjelaskan konsep keilmuannya sehingga mudah
ditangkap murid-muridnya
7. Berkenaan karya ilmiah, seorang guru harus mampu menawarkan hal-hal baru
c. Etika Mengajar
1. Ketika mengajar, seorang guru harus meniatkannya karena Allah SWT.
2. Guru tidak menghalangi siapapun yang ingin belajar kendatipun bisa jadi niat
mereka belum sepenuhnya benar.
3. Dalam mendidik muridnya hendaknya secara bertahap.
4. Seorang guru harus mencintai ilmu yang ditekuninya atau ilmu yang
diajarkannya.
5. Guru harus peduli dengan murid-muridnya. Ia mengenal secara baik murid-
muridnya.
6. Seorang guru memberikan hal yang muridnya sukai atau cintai.
7. Guru ramah dalam menyampaikan pelajarannya sehingga murid-muridnya
senang mengikuti pelajaran darinya.
8. Tidak boleh menyembunyikan hal-hal yang ia ketahui padahal muridnya telah
pula mempertanyakannya.
9. Guru tidak diperkenankan mengajarkan hal-hal yang belum dapat diterima
murid- muridnya.
10. Tidak boleh mengunggulkan atau menyombongkan dirinya atas guru-guru yang
lain.
11. Seorang guru harus semangat dan serius ketika mengajar.
12. Seorang guru hendaklah mengabsen murid- muridnya dan mengetahui keadaan
muridnya yang tidak hadir.
13. Bersungguh-sungguh dalam memberi penjelasan sehingga murid-muridnya
benar-benar paham dengan apa yang disampaikannya
4. Perspektif Al-Ghazali
Dengan merujuk Ihya 'Ulum Al-Din dan beberapa kitab Al-Ghazali lainnya,
Hasan Asari menjelaskan bahwa Al-Ghazali dalam melihat relasi guru dengan ilmu,

10
terlebih dahulu memberi perumpaman yaitu hubungan seseorang dengan harta yang
terbagi ke dalam 4 kondisi yaitu:
a. Kondisi mencari dan mengumpul harta kekayaan.
b. Kondisi menyimpan dan memelihara harta yang telah dikumpulkan dalam jumlah
cukup.
c. Kondisi membelanjakan hartanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
d. Kondisi membelanjakan hartanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan juga
untuk kepentingan orang lain. Biasanya orang jenis ini disebut dermawan.
Adapun kaitannya dengan ilmu, kondisi seseorang alim dengan ilmunya juga
terbagi kepada empat kondisi yaitu:
a. Kondisi belajar dan menuntut ilmu pengetahuan. Kondisi mengetahui dan
menyimpan apa yang telah dipelajari. Kondisi merenungkan dan menikmati apa
yang telah diketahui.
b. Kondisi mengetahui & menyimpan apa yang dipelajari.
c. Kondisi merenungkan dan menikmati apa yang telah diketahui.
d. Kondisi menyebarluaskan dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah
dipelajari dan dikuasai kepada orang lain.
Hasan Asari menyatakan dengan melihat empat perumpamaan di atas, kondisi
terbaik tentulah seorang dermawan yang hartanya untuk orang lain. Demikian juga
dengan alim atau pengajar, yang terbaik tentunya bukan mereka yang hanya mencari
dan mengum pulkan ilmunya sebanyak-banyaknya dan hanya dinikmatinya sendiri.
Yang terbaik adalah mereka yang memiliki ilmu yang banyak dan ia menyebarkan
ilmunya tersebut kepada orang lain. Dalam Bahasa yang berbeda, orang seperti ini
selalu berupaya untuk mencerdaskan orang lain, memberdayakan orang lain dengan
ilmu yang dimilikinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan, ilmuwan juga
dermawan dengan ilmunya. Di dalamnya dirinya juga tersimpul banyak kebaikan-
kebaikan dan kehalusan budi. Dengan merujuk kepada Hasan Asari, kewajiban
guru itu adalah:
a. Mencintai muridnya dan memperlakukan mereka seba gaimana ia
memperlakukan anaknya sendiri.
b. Seorang guru tidak berharap gaji dari muridnya dan juga tidak mengharapkan
pemberian apapun bentuknya. Justru dalam hal ini, guru, dosen, dan para alim
harus mencontoh Rasulullah yang tidak berharap apapun dari dakwahnya.

11
c. Seorang guru hendaknya mengenal dengan baik kemampaun muridnya dan
penguasaan bidang ilmu muridnya agar sang guru dapat menyesuaikan makam
ilmu muridnya.
d. Guru wajib mengajarkan akhlak kepada muridnya dan menjadi bagian yang
paling penting sekaligus rumit.
e. Guru wajib mengajarkan kepada murid-muridnya untuk menghormati ilmu
pengetahuan baik ilmu yang diminatinya ataupun ilmu di luar dari yang
diminatinya.
f. Guru wajib mempertimbangkan daya tangkap dan kemampuan intelektual
muridnya dan dapat menyesuaikannya dalam proses pembelajaran.
g. Guru harus memberi perhatian kepada murid-murid yang bisa saja mengalami
ketertinggalan dari murid-murid lainnya. Dan tentu tidak membiarkannya terus
tertinggal.
h. Guru adalah tauladan yang baik bagi murid-muridnya. Praktik hidupnya sejatinya
sama dan selaras denga napa yang diajarkannya kepada murid-muridnya.
Menurut Edward Shils dalam bukunya Etika Akademis yang paling utama bagi
seorang pengajar adalah kewajiban kebenaran terhadap apa yang diajarkannya atau
apa yang ditelitinya. Dengan Bahasa lainnya, Shills ingin mengatakan seorang
pengajar harus memiliki komitmen yang kuat terhadap kebenaran. Namun pada sisi
lain, pengajar yang notabene seorang intelektual hendaknya orang yang jujur &
rendah hati untuk menerima kebenaran dari pihak lain. Terbuka dkritik jika ia kelina
atau salah dalam aktivitas akademiknya.
Menurut Edward Shils dalam bukunya Etika Akademis yang paling utama bagi
seorang pengajar adalah kewajiban kebenaran terhadap apa yang diajarkannya atau
apa yang ditelitinya. Dengan Bahasa lainnya, Shills ingin mengatakan seorang
pengajar harus memiliki komitmen yang kuat terhadap kebenaran. Namun pada sisi
lain, pengajar yang notabene seorang intelektual hendaknya orang yang jujur &
rendah hati untuk menerima kebenaran dari pihak lain. Terbuka dkritik jika ia kelina
atau salah dalam aktivitas akademiknya.
B. Relevansi Etika Pengajar dengan Konteks Kekinian
Etika personal guru, etika mengajar sampai kepada etika relasi murid dan guru telah
menunjukkan secara jelas dan tegas bahwa dalam pandangan Islam, proses belajar dan
mengajar bukan lah sebatas apa yang disebut dengan memberikan ilmu pengetahuan.
Mengajar bukanlah memindahkan sejumlah ilmu pengetahuan. Belajar bukanlah

12
sebatas aktivitas menerima ilmu pengetahuan dari guru. Namun lebih dari itu, proses
mengajar sesungguhnya adalah aktivitas yang memiliki dimensi rohani- spiritual. Proses
yang didalamnya tidak hanya melibatkan manusia tetapi juga Allah SWT sebagai sang
pemilik seluruh ilmu pengetahuan.
Tidaklah mengherankan jika para ulama klasik Islam, menempatkan jiwa yang
bersih atau suci menjadi syarat utama baik dalam orang yang akan belajar atau menuntut
ilmu ataupun orang yang mengajar. Setelah jiwa yang bersih kemudian diminta untuk
meluruskan niatnya. Para ulama seperti Ibn Jama'ah, Syekh Zarnuji, Al- Ghazali dan
lainnya, mengingatkan bahwa para guru untuk melakukan tugasnya semata mata karena
Allah SWT dan mengharap ridho nya.
Ada hal utama dari seorang guru setelah tugasnya mengajar yaitu adalah
memperhatikan muridnya. Memperhatikan dengan sungguh murid muridnya dalam
konteks belajar mengajar. Dalam pemikiran Al Ghazali, perhatian ini sama dengan
perhatian seorang ayah dengan anaknya. Bukan saja kecenderungan muridnya,
peminatan muridnya ataupun kemampuan intelektualnya, tetapi ia juga harus
memperhatikan kondisi ruhaniyah spiritual muridnya. Makanya Al Ghazali menekan
keharus guru untuk membersihkan jiwa muridnya, tentu saja setelah ia sendiri
membersihkan jiwanya.
Tentu saja tugas terakhir ini tidak mudah bagi seorang guru. Keteladanan menjadi
satu satunya cara untuk menjadikan murid muridnya memiliki jiwa yang bersih sehingga
dengan jiwa yang bersih itu guru dan muridnya memiliki frekuensi yang sama untuk
mengikuti proses belajar mengajar. Dengan menggunakan kata salik, Al Ghazali ingin
menegaskan bahwa menuntut ilmu itu tidak obahnya seorang salik yang sedang mendaki
dan menuju puncak spiritual.
Dengan demikian, sudah jelaslah bahwa dalam pandangan Islam kegiatan mengajar
bukanlah hanya bernuansa transformasi ilmu pengetahuan. Justru mengajar adalah
aktivitas spiritual yang melibatkan dimensi spiritual manusia. Hal ini bisa di pahami
karena dalam pandangan Islam pandangan ini akan terus diulang-ulang dalam berbagai
konteks, ilmu pengetahuan apapun dalam bentuk dan jenisnya, semuanya bersumber
dari Allah SWT.
Shills sangat menegaskan bahwa orientasi pengajar, aktivitas, tujuan ataupun
proses akademik yang dilakukannya adalah, dalam rangka kebenaran. Kebenaran
menjadi bingkai sekaligus tujuan dari proses mengajar tersebut. Ketika shill
menegaskan bahwa guru, pengajar atau dosen tidak boleh diskriminatif terhadap

13
siswanya. Untuk lebih mudah memahaminya adalah, etika yang non diskriminatif ini
dapat kita kaitkan dengan persoalan nilai.
Faktor- faktor yang sama sekali tak berhubungan dengan masalah akademik tidak
boleh mempengaruhi perhatian atau penilaian dosen kepada mahasiswa. Sebut saja
misalnya suku, sex, agama, ras, organisasi dan lain lain. Nilai adalah potret yang paling
mendekati kondisi asli murid atau mahasiswa. Karena itulah, setiap dosen harus benar
benar objektif dalam masalah penilaian.
Dengan demikian, pada beberapa hal, tentu saja etika mengajar sebagaimana yang
telah di jelaskan di atas memiliki nilai relevansi yang kuat dengan konteks kekinian.
Terlebih lagi pada era, di mana proses belajar dan mengajar dipahami hanya sekedar
aktivitas intelektual semata dan tak terikat erat dengan dimensi spiritual.
Di dalam buku Kunto Wijoyo yang berjudul, muslim tanpa masjid. Buku ini
menggambarkan satu fenomena tumbuhnya generasi muslim yang mengerti tentang
Islam tidak melalui proses transformasi tradisional. Mereka tidak belajar Islam melalui
madrasah, surau, masjid, lembaga pendidikan tradisional, ustad, ulama, syekh ataupun
yang lainnya. Mereka belajar Islam dari internet, dari Facebook, WhatsApp, Website,
Google, YouTube, dan lain sebagainya. Akibatnya mereka tidak memiliki ikatan
emosional sama sekali dengan masjid dan madrasah atau ulama dan ustadznya. Pada
gilirannya mereka adalah generasi-generasi yang kering, mengerti agama dan
memahami agama sebagaimana mereka memahami realitas diri mereka sendiri. Namun
mereka tidak sampai pada jantung Islam. Tidak memahami nilai-nilai
filosofisnya sama sekali.
Etika mengajar ini sejatinya harus dapat diperpegangi dosen atau pengajar untuk saat
ini. Memang ada perubahan besar yang dilakukan para dosen yang melihat mengajar
bukan sebatas tranformasi ilmu pengetahuan tetapi juga didalamnya ada proses apa yang
disebut Al Attas di muka sebagai ta'dib.

C. Implementasi Wahdatul Ulum dengan Etika Pengajar, Dosen dan Guru


Wahdatul Ulum merupakan konsep yang dibawakan oleh Profesor Syahrin ke
Universitas Islam yang dipimpin dan dipersiapkan menjadi pusat penerapan
penggabungan ilmu umum dan ilmu agama dalam upaya memajukan bangsa dan negara
melalui pembangunan peradaban Islam. Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Kajian
Islam UIN Sumatera Utara ini mengembangkan Wahdatul Ulum sebagai paradigma

14
yang diterapkan UIN Sumatera Utara dalam integrasi keilmuan pada semua
pengembangan keilmuan baik pengajaran, penelitian, dan pengabdian.
Sebagai pengajar, penting untuk menanamkan integrasi etika agar konsep Wahdatul
Ulum berpengaruh pada kepribadian mahasiswa tersebut. Secara khusus, kesiapan
untuk membela kebenaran, memperjuangkan keadilan, dan menghormati orang lain
yang memiliki pendapat berbeda.
1. Implementasi Wahdatul ‘Ulum
Berkaitan dengan yang telah ditetapkan dalam Paradigma Wahdatul ‘Ulum
falsafah penuntun dalam memahami ilmu adalah keesaan ilmu (Wahdatul ‘Ulum).
Oleh karena itu, seseorang yang menjadi mahasiswa UIN Sumatera Utara pada
hakekatnya akan mempelajari ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies). Sehingga,
untuk mencapai Wahdatul ‘Ulum, dalam kegiatan belajar mengajar, perlu melakukan
hal berikut :
a. Memaksimalkan kemampuan tenaga pengajar dalam penguasaan ilmu di
bidangnya masing-masing penguasaan materi ilmiah dan metode pengajaran,
penelitian, dan eksperimen.
b. Perkuliahan diprioritaskan menggunakan teknik dialogis, diskusi, dan
eksperimen dalam bidang yang relevan.
c. Perkuliahan dilaksanakan tepat waktu dan dimanfaatkan secara maksimal.
d. Perkuliahan dan diskusi di kelas harus dikuasai dengan menguasai korelasinya
pengetahuan yang dipelajari dengan ilmu di bidang lain.
e. Perkuliahan diupayakan untuk secara maksimal memperkuat kemampuan
mahasiswa dalam bidang kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Selain
penguasaan ilmu, kuliah juga diarahkan untuk menumbuhkan minat dan
kemampuan siswa dalam mengkonkretkan pengetahuan tersebut bagi
perkembangan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
f. Perkuliahan diusahakan mampu menginternalisasikan nilai-nilai atau ilmu- ilmu
tersebut dalam meningkatkan kualitas integritas dan karakter mahasiswa.
2. Hambatan Dosen Mengimplementasikan Wahdatul ‘Ulum
Perubahan paradigma terjadi di Program Magister Komunikasi dan Penyiaran
Islam UIN Sumatera Utara, dimana pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
transdisipliner yang dimana konsep ini menggabungkan kegiatan pembelajaran,
pembuatan kurikulum, pelaksanaan penelitian, dan kerja sukarela. Konsep
pembelajaran yang dibahas dalam artikel ini pada hakikatnya adalah konsep

15
pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran aktif (learning), dimana siswa
diberikan peran yang signifikan dalam proses memperoleh informasi, pengalaman,
dan kompetensi.
Dalam perjalanannya, dosen selaku staf pengajar di UIN Sumatera Utara
menemui hambatan dalam penerapan Wahdatul ‘Ulum yang dimana pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan transdisipliner dibentuk, seperti :
a. Pergeseran fokus pembelajaran dari berbasis instruktur menjadi berpusat pada
mahasiswa. Pembelajaran integrative (terintegrasi) yang berpusat pada siswa
merupakan salah satu ciri khas penerapan pendidikan dalam pembelajaran
berbasis Wahdatul Ulum dan konsep tersebut berubah menjadi transdisipliner
yang dimana Mahasiswa mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran,
yang secara tidak langsung dapat mendorong untuk melanjutkan pendidikan
mereka.
b. Pergeseran teknik/metode ekspositori ke metode partisipatif dalam metodologi
penelitian yang sebelumnya menjadi norma.
c. Strategi yang semula lebih bersifat tekstual, bergeser menjadi lebih kontekstual.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Guru atau dosen sebagai tenaga profesional harus memenuhi standar persyaratan
secara administrasi, teknik, spsikis dan fisik yang merupakan prasyarat terpenting bagi
seseorang untuk menjadi guru. Jelas sekali bahwa profesi pengajar seperti guru dan
dosen adalah orang yang terlibat dalam pendidikan yang tugasnya tidak hanya sekedar
mentransfer ilmu dari guru kepadapeserta didik akan tetapi lebih dari itu. Guru bertugas
mengarahkan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan dan menjadikan mereka
menjadi manusia seutuhnya melalui teladan yang bisa dicontoh,semangat atau dorongan
untuk menjadi lebih baik dan bimbingan atau arahan agar selalu pada jalur kebenaran
dalam mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Guru atau dosen bertanggung
jawab untuk membawa peserta didik pada suatu kedewasaan atau tingkat kematangan
tertentu. Tanggung jawab guru bukan hanya mengajar melainkan mendidik dan
sekaligus berperan sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun
peserta didik dalam belajar. Dalam proses pembelajaran tersebut guru wajib memiliki
etika untuk mewujudkan proses belajar mengajar yang baik.
B. Saran
Sebagai pengajar, memegang tanggung jawab besar dalam membentuk karakter dan
masa depan generasi penerus. Oleh karena itu, sangat penting bagi pengajar untuk selalu
menjunjung tinggi etika profesi. Pengajar harus mengedepankan kejujuran dan
integritas dalam setiap aspek pengajaran, mulai dari persiapan materi hingga interaksi
dengan muridnya. Pengajar juga harus menjadi contoh yang baik dalam segala hal,
termasuk dalam hal menghormati keragaman dan inklusivitas di lingkungan belajar.
Selain itu, perlu terus mengembangkan diri dan memperbarui pengetahuan agar dapat
memberikan pendidikan yang berkualitas dan relevan dengan perkembangan zaman.
Dengan demikian, pengajar tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi murid
untuk menjadi individu yang beretika dan bertanggung jawab dalam kehidupan mereka.

17
DAFTAR PUSTAKA

Darojat Hasan Much. (2017). Kode Etik Guru dan Murid Menurut Ibn Jama’ah dan al-
Jarnuzi. xl(2).
https://repository.darunnajah.ac.id/id/eprint/28/
Sagala, S. (2022). Etika Akademik di Perguruan Tinggi. Jurnal Pendidikan Dan Konseling,
4(6), 8359–8370.
https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jpdk/article/view/9685/7385
Tarigan, A. A. (2022). etika akademik ikhtiar mewujudkan insan ulul albab. Febi Press. h.
70-88
Tanjung, M., Muniruddin, M., & Rangkuti, B. A. F. (2023). Penerapan Paradigma Wahdatul
Ulum dalam Pembelajaran di Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sumatera Utara Medan. Jurnal Komunika
Islamika : Jurnal Ilmu Komunikasi Dan Kajian Islam, 9(2), 112.
https://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/komunika/article/view/14609

18

Anda mungkin juga menyukai