Anda di halaman 1dari 5

: Ade Irwanto

“Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (sunnism) adalah kelompok, paham atau aliran keagamaan
mayoritas umat Islam.”

​“Sebelumnya saya bingung karena baru kali ini mendengar kriteria minimal pembuatan essai
menggunakan banyaknya page/lembar, karena sebelumnya di ranah pekerjaan, yang saya jumpai
adalah banyaknya word/kata yang dimana rata-rata 1000 kata, jadi mohon maáf jika essai ini tidak
memenuhi kriteria yang di inginkan.”

ASWAJA
Sampai saat ini memang belum ada pengertian yang lebih epistmologis (nazhariyatul
ma'rifat) yang mendefinisikan Aswaja secara tuntas dan menyeluruh. Kalaupun istilah
Aswaja sering discbut dalam buku-buku klasik maupun dalam wacana pengajaran agama di
pesantren, biasanya itu demi penyederhanaan cara penyebutan dan kepraktisan saja. Begitu
pula terminologi yang sudah berlaku di kalangan Nahdliyin saat ini juga masih memerlukan
penyempurnaan.

Ini bukan berarti bahwa pengertian yang kita anut saat ini keliru. Namun, pengertian
Aswaja yang ada selama ini masih dibatasi pada mazhab-mazhab tertentu. Misalnya, dalam
perkara akidah mengikuti salah satu dari aliran Imam Abu Al-Hasan Al-Asy‘ari (w. 324 H)
atau aliran Imam Abu Al-Manshur Al-Maturidi (w. 333 H). Dalam soal-soal ‘ubudiyyah
mengikuti salah satu dari imam mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah (w. 150 H), Malik ibn
Anas (w. 179 H), Muhammad ibn Idris Asy-Syafi‘i (w. 204 H), dan Alimad ibn Hanbal (w. 230
H). Dalam bei'-tasawuf mengikuti salali satu dari dua imam besar sufi, yakni Abu Al-Q^sim
Al-Junaidi Al-Baghdadi (w. 297 H) dan Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H).
Pengertian semacam ini merupakan suatu definisi atau ta'rijyang praktis dan
memang sangat kondusif pada masa NU didirikan oleh
K.H. Hasyim Asy'ari. Sebagai ilustrasi, pada saat itu orang lebil1mengerti dengan
contoh konkret. Misalnya, ada yang mengatakan begini: "Esok pada Hari Kiamat nanti,
semua orang akan dibangkitkan bersama​ sama dengan imamnya masing-masing. Kalau
saya nanti dipanggil, dan saya mengatakan mengikut guru saya (Hasyim Asy'ari misalnyal,
tentu akan Jebih gampang pada Hari Kiamat nanti. Tetapi kalau saya mengata​ kan guru saya
adalah kebenaran (al-haq) misalnya, tentu akan Sl\sall dan tidak akan nyambung." Jadi,
memang ini hanyalah penyederhanaan konsep yang praktis dan kondusif bagi Nahdliyin,
warga NU.
Secara logika ​(manthiqi) definisi tersebut tidaklah memenuhi kaidah umum dalam
peristilahan. Soalnya , ketentuan tentang sinkronisasi antara al-ji11s (genus) dan alfashf
(pembeda, separasiJ yang dipersyarat​ kan dalam ilmu mantiq belumlah terpenuhi dalam
definisi itu. Jika tidak demikian, berarti ghair ma 'qul, tidak masuk aka!. Misalnya ada
ketentuan yang mengatakan ​"La yunalu at-tashawwur ilia bil-had, Wa la yashihhu
al-had illa idza kana jamián wa manián”

Artinya, Sebuah definisi tidak akan bisa terbentuk sempurna dari batasan-batasan.
Dan, sebuah definisi hanya sah apabila mencakup unsur-unsur yang dikandungnya, dan
mengeluarkan yang bukan isi atau esensinya.

Sumber : ​Siroj Aqil Said, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagai
Inspirasi Bukan Aspirasi, (Bandung, PT Mizan Pustak, 2016) Hal. 411
Kelahiran Aswaja, atau lebih tepatnya terminologi Aswaja, merupakan respon atas
munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami dalil-dalil agama pada abad
ketiga Hijriah. Pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur
Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang berakhir dengan tahkim (arbitrase),
mengakibatkan pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu.

Kubu pertama menolak tahkim dan menyatakan Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, dan
semua yang terlibat dalam tahkim telah kafir karena telah meninggalkan hukum Allah.
Mereka memahami secara sempit QS. Al-Maidah:44: “Barangsiapa yang tidak berhukum
dengan hukum Allah maka mereka telah kafir”. Semboyan mereka adalah laa hukma illallah,
tiada hukum selain hukum Allah. Kubu pertama ini kemudian menjadi Khawarij.
Sedangkan kubu kedua mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali adalah
representasi dari Rasulullah saw, Ali adalah sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah
saw. Keputusan Ali adalah keputusan Rasulullah saw. Kubu kedua ini kemudian menjadi
Syiah. Belakangan, golongan ektstrem (rafidhah) dari kelompok ini menyatakan bahwa tiga
khalifah sebelum Ali tidak sah. Bahkan golongan Syiah paling ekstrem yang disebut Ghulat
mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Saw kecuali beberapa orang saja yang mendukung Ali.
Di sinilah awal mula pertikaian antara Syiah dengan Khawarij yang terus berlangsung hingga
kini.
Aswaja di tanah air terpecah menjadi dua kubu yang saling bersebrangan.
Pencetusnya adalah terjadinya kasus penistaan agama yang sangat kita sesalkan,
perpecahan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena akan memberikan jalan kepada
firqah-firqah sesaat untuk merongrong benteng akidah umat islam.
Toleran tidak berarti kompromistis dengan mencampur adukkan semua unsur
(sinkretis), bukan berarti eksklusif (mengucilkan diri dan menolak semua unsur), Sedangkan
yang dimaksud toleran tidak berarti permisif (menerima/membolehkan apa saja) atau juga
bersikap oportunistik. Toleran adalah sikap terbuka terhadap perbedaan. Termasuk di
dalamnya perbedaan agama. Sementara, perbedaan di tengah umat disikapi sebagai
keniscayaan, sejauh perbedaan tersebut tetap berada pada koridornya ​(majalul-ikhtilaf).​
Karena itu, perbedaan harus disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah, tidak
boleh disikapi secara radikal dan ekstrem.
Moderasi sebagai karakter Aswaja dimaksud sesuai dengan perkembangan historis
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagaimana diuraikan di atas. Sehingga dengan demikian, ​Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah menolak segala bentuk ekstremitas pemikiran maupun gerakan
keagamaan dan mencoba mencarikan jalan tengah sebagai solusi alternatif dari
kecenderungan kedua ekstremitas.
Pertikaian politik yang terjadi di antara para sahabat Nabi saw merupakan ijtihad
para sahabat, bila benar mendapat dua pahala dan bila salah mendapat satu pahala. Aswaja
mengambil sikap tawaquf (diam) atas perselisihan yang terjadi di antara para sahabat dan
menyatakan keadilan para sahabat (hadisnya bisa diterima).

Dalam masalah takfir Aswaja amat berhati-hati, karena bila sembrono efeknya akan
kembali kepada si penuduh. Aswaja tidak akan mudah mengkafirkan ahlul qiblah atau
selama masih mengakui tidak ada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah
utusan allah; mengakui hal-hal prinsip dan sudah pasti dalam agama(al-ma’lum mina diini
biddhoruroh) seperti rukun Islam, rukun iman, dan perkara-perkara gaib seperti surga,
neraka, hisab, shirath, malaikat, jin, peristiwa isra’ dan mi’raj dll. yang informasi mengenai
hal-hal tersebut hanya diketahui dari Kitabullah dan Sunnah Nabi saw yang mutawatir.

Aswaja juga tidak mudah memvonis sesat sebuah pemikiran atau pendapat
seseorang yang berangkat dari dalil yang tidak tegas (ijtihadi) atau masih terbuka ruang
perbedaan pendapat di dalamnya. Aswaja amat menghargai perbedaan pendapat karena
perbedaan pendapat di kalangan umat adalah rahmat.

Mengenai perbuatan manusia, Aswaja berpendapat bahwa perbuatan manusia pada


dasarnya diciptakan oleh Tuhan, namun manusia memiliki kuasa (kasb) atas perbuatannya
yang bersamaan dengan kehendak Tuhan.

Dalam memahami teks Al-Quran dan sunnah, Aswaja berpendapat bahwa ada ruang
bagi akal untuk memahami teks. Artinya ada teks yang mengandung makna haqiqi dan ada
teks yang mengandung makna majazi(metaforis) yang membuka ruang akal (tafsir) untuk
memahaminya.

Mengenai perbuatan dosa atau masuk surga dan neraka manusia, Aswaja
berpendapat manusia divonis telah berdosa di dunia apabila telah melanggar hukum-hukum
syariat sedangkan di akhirat mutlak adalah keputusan Allah.

Mengenai sifat Allah, Aswaja berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Dzat (esensi)
dan Sifat (atribut) adalah dua hal yang berbeda namun tak dapat dipisahkan, seperti halnya
sifat manis yang melekat pada gula. Antara atribut manis dan esensi pada gula keduanya
menyatu, namun tak bisa dilepaskan satu sama lain. Sifat senantiasa menyatu dengan Dzat
(esensi).

Terkait dengan politik dan kekuasaan, Aswaja menyatakan haram hukumnya bughot
(memberontak) meskipun pemerintahan itu zhalim,karena hanya akan menimbulkan
pertikaian dan pertumpahan darah yang tak berkesudahan di kalangan umat. Namun
pemerintahan hasil kudeta adalah pemerintahan yang sah karena terkait dengan
kesejahteraan umat dan legalnya beberapa hukum syariat.

Aswaja tidak menolak tradisi dan kebudayaan yang sudah lama berkembang dan
mendarah daging di tengah masyarakat, asal tidak bertentangan dengan syariat. Namun bila
bertentangan dengan syariat, Aswaja menolak perubahan dilakuan secara radikal dan
revolusioner. Perubahan harusdilakukan secara bertahap.Atau tidak harus merubahnya,
tetapi mewarnai tradisi dan kebudayaan tersebut sehingga cocok dengan ajaran Islam.

Dengan demikian, Aswaja mengajarkan kita untuk lebih selektif terhadap pranata
budaya kontemporer, tidak serta merta mengadopsinya sebelum dipastikan benar-benar
mengandung maslahat. Demikian juga terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak
boleh meremahkan dan mengabaikannya sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi relevan
dan mengandung maslah}at.​ Sebaiknya tradisi-tradisi tersebut perlu direaktualisasi sesuai
dengan perkembangan aktual apabila masih mengandung relevansi dan kemaslahatan.
Karakter ini berseberangan dengan keyakinan sementara kelompok yang cara
beragamanya skriptualis, tekstualis dan juga formalis. Sehingga memandang bahwa segala
apa yang tidak didapati pada amalan rasulullah dan para sahabatnya dianggap serba bid’ah
dan sesat. Padahal, menurut paham Aswaja, tidak semua hal yang tidak didapati pada nass
(al-Qur’an dan al-Sunnah) bisa disebut ​bid’ah dlalalah (​ sesat)​, s​ ebaliknya, terdapat juga
bid’ah ​yang baik ​(hasanah)​.

Anda mungkin juga menyukai