Anda di halaman 1dari 8

Islam Agama dan Budaya Dalam Perspektif

Muhammadiyah

Syamsul Hidayat
Universitas Muhamamdiyah Surakarta
Majelis Tabligh PP Muhamadiyah

Harus diakui bahwa memang ada permasalahan yang dihadapi oleh umat
Islam dalam membedakan antara agama dan budaya, antara ibadah dan
muamalah, antara urusan agama dan urusan dunia, antara sunnah dan
bid’ah. Secara teoritis perbedaan antara keduanya dapat dijelaskan, tapi
dalam praktek kehidupan kedua hal tersebut seringkali rancu, kabur, dan
tidak mudah untuk dibedakan.

MASALAH LIMA “ُ‫”اخلُ خم خُسُائُلُُاُلخُمُس‬


Rumusan awal mengenai Islam dalam pandangan Muhammadiyah tertuang
dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai “Masâilul
Khamsah” (Masalah Lima) tanpa ada rujukan nashnya (baik berupa nash al-
Quran maupun as-Sunnah).
Dari rumusan “Masâilul Khamsah” terkandung rumusan fundamental
(pandangan dasar) tentang Islam dalam pandangan Muhammadiyah, yang
tertuang dalam penjelasan mengenai: agama, dunia, ibadah, sabilullah dan
qiyas.

Ke-1: Masalah Agama


1. Agama yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w.
ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Quran dan yang terdapat
dalam as-Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan
larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia
dan akhirat.
2. Agama adalah apa yang disyari’atkan Allah dengan perantaraan nabi-
nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta
petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
Ke-2: Masalah Dunia
Yang dimaksud “urusan dunia” dalam sabda Rasulullah s.a.w.: “kamu lebih
mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas
diutusnya para Nabi (yaitu perkara-perkara/ pekerjaan-pekerjaan/urusan-
urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia).

Ke-3: Masalah Ibadah


Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan
menaati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan
mengamalkan segala yang diizinkan Allah.
Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus:
1. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah
2. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-
perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu.

Ke-4 : Masalah Sabilullah


Sabilullah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridhaan Allah, berupa
segala amalan yang diizinkan oleh Allah untuk memuliakan kalimat (agama)-
Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.

Ke-5 : Masalah Qiyas


Setelah persoalan qiyas dibicarakan dalam waktu tiga kali sidang, dengan
mengadakan tiga kali pemandangan umum dan satu kali Tanya-jawab
antara kedua belak pihak
Setelah mengikuti dengan teliti akan jalannya pembicaraan dan alasan-
alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak dan dengan menginsyafi
bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekadar
mentarjihkan di antara pendapat yang ada, tidak berati menyalahkan
pendapat yang lain.
1. Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-
Quran dan al-Hadits
2. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi
dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang
tidak bersangkutan dengan ibadah mahdhah padahal untuk alasan
atasnya tiada terdapat nash sharih dan tegas) di dalam al-Quran atau
as-Sunnah shahihah maka dipergunakanlah alasan dengan jalan
ijtihad dan istinbath dari pada nash-nash yang ada melalui persamaan
‘illat ; sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf.

Antara Agama dan Budaya


Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama
bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama
adalah “karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia. Dengan
demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian
dari agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali,
melainkan saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama, yang
dibawa oleh para nabi dan rasul, Allah Sang Pencipta menyampaikan ajaran-
ajaran-Nya mengenai hakekat Allah, manusia, alam semesta dan hakekat
kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang
disebut agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh manusia-
manusia yang memeluknya.
Di tengah masyarakat, kita melihat praktek-praktek keberagamaan yang
bagi sebagian orang tidak terlalu jelas apakah ia merupakan bagian dari
agama atau budaya. Ambil contoh tradisi tahlilan. Tidak sedikit di kalangan
umat Islam yang beranggapan bahwa upacara tahlilan adalah kewajiban
agama, yang harus mereka selenggarakan meskipun untuk itu harus
berhutang. Mereka merasa berdosa kalau tidak mengadakan tahlilan ketika
ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Padahal yang diperintahkan
oleh agama berkaitan dengan kematian adalah “memandikan, mengkafani,
menyalatkan, mengantar ke makan, memakamkan, dan mendoakan”.
Sangat simple dan hampir tidak memerlukan biaya. Ini berarti bahwa
upacara tahlilan pada dasarnya adalah tradisi, bagian dari budaya bangsa,
yang mungkin telah ada sebelum datangnya Islam, yaitu tradisi kumpul-
kumpul di rumah duka, yang kemudian diislamkan atau diberi corak
Islam. Yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah membenahi pemahaman
dan penyikapan umat terhadap praktek-praktek keberagamaan seperti itu
secara proporsional.
Sekedar perbandingan bisa dikemukakan di sini kewajiban agama yang
bernama qurban (sekali setahun) dan aqiqah (sekali seumur hidup). Qurban
dan Aqiqah adalah perintah agama meskipun kedudukan hukum fikihnya
hanya sunnah mu`akkadah. Tapi di tengah masyarakat muslim secara umum,
qurban dan aqiqah ini kalah pamor dibandingkan dengan tahlilan. Apakah
ini berarti umat Islam lebih peduli terhadap urusan kematian daripada
urusan kehidupan? Wallahu ’alam. Yang pasti bahwa “sanksi sosial” yang
dijatuhkan kepada orang yang tidak mengadakan tahlilan lebih keras
dibandingkan dengan orang yang tidak melaksanakan qurban dan aqiqah.
Adalagi produk budaya yang disalahpahami sebagai bagian dari agama
sehingga dianggap sebagai bid’ah. Misalnya kesenian yang bercorak Islam.
Banyak puisi madah nabawi (pujian kepada Nabi) ditulis dalam bahasa Arab,
kemudian dilagukan dan diiringi dengan musik. Lagu dan musik semacam ini
di Indonesia disebut lagu atau musik shalawat. Karena shalawat itu bagian
dari ibadah dan kalimat-kalimatnya sudah diajarkan oleh Nabi SAW, maka
puisi madah nabawi (yang kalimatnya berbeda dengan yang diajarkan oleh
Nabi), apalagi lagu dan musiknya, serta merta dinilai sebagai bid’ah.
Anehnya, puji-pujian kepada Nabi yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yang
kemudian dilagukan dan diiringi musik, tidak dimasukkan dalam katagori
bid’ah. Puisi-puisi pujian untuk Nabi (termasuk yang ditulis dalam bahasa
Arab) adalah produk budaya dengan muatan cinta kepada Rasulullah SAW
dan doa kepada Allah SWT.
Pada prinsipnya, Islam datang ke suatu daerah (termasuk ke jazirah Arabia
sebagai tempat kelahirannya) tidak untuk menghapuskan semua produk
budaya termasuk tradisi yang sudah hidup di tengah masyarakat. Ada tradisi
Arab (masa jahiliah) yang dilarang, ada yang dibiarkan, ada yang
dikembangkan, dan ada yang diislamkan dan dijadikan bagian dari ajaran
Islam. Pertanyaan pokok, dalam menghadapi beragam budaya dan tradisi di
tengah masyarakat, adalah apakah budaya dan tradisi itu tidak
bertentangan dengan pokok-pokok akidah, syariah dan akhlak Islam?

Antara Ibadah dan Muamalah


Agama Islam membawa ajaran-ajaran yang secara garis besar —
berdasarkan klasifikasi para ulama — terdiri dari akidah, syariah dan akhlak.
Akidah mencakup pokok-pokok keimanan, yang intisarinya adalah tauhid.
Syariah adalah sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan alam semesta.
Syariah dibedakan menjadi dua, yaitu yang mengatur tatacara ibadah murni
(ibadah mahdhah) dan tatacara hubungan dengan sesama manusia dan alam
(mu’amalah). Adapun akhlak adalah ajaran tentang baik-buruk berkaitan
dengan sikap jiwa, perangai, karakter, dan perilaku manusia kepada Tuhan,
sesama manusia, dan alam. Akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak
merupakan satu sistem yang saling berkait-berkelindan, tidak bisa dipisah-
pisahkan, dan saling berhubungan secara korelatif.
Yang sering menimbulkan masalah dalam hal ini adalah yang berkaitan
dengan ibadah (mahdhah) dan muamalah. Mengenai ibadah ini ada kaidah
ushul-fikih yang menyatakan: “Al-ashlu fil ’ibadati at-tahrim illa ma syara’ahullah
wa rasuluh” (ibadah itu pada dasarnya dilarang kecuali yang diperintahkan
oleh Allah dan Rasul-Nya). Allah SWT sudah menetapkan pokok-pokoknya,
sedangkan Rasulullah SAW menjelaskan tata-caranya. Dalam hal ibadah ini
dasar utamanya adalah mengikuti perintah dan contoh dari Nabi SAW. Disini
tidak berlaku analogi, logika, atau alasan-alasan. Oleh karena itu dalam hal
ibadah tidak ada ruang untuk “kreativitas”, kecuali menyangkut sarana
penunjangnya. Perbedaan masih dimungkinkan menyangkut hal-hal yang
tidak pokok karena dalil-dalil naqlinya yang multi-tafsir disamping persoalan
yang menyangkut kuat-lemahnya sebuah hadis. Sepanjang ada landasan
dalil naqlinya, perbedaan harus ditolerir.
Berkaitan dengan ibadah mahdhah ini yang sering menjadi perdebatan
adalah amalan di sekitar pelaksanaan ibadah. Misalnya, bacaan ta’awwudz,
basmalah dan shalawat oleh muadzin sebelum mengumandangkan adzan,
melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram dalam shalat, dan bersalam-
salaman sesudah shalat berjamaah. Satu pihak berpendapat hal itu tidak
diperbolehkan karena tidak ada contoh dari Nabi SAW. Pihak lain
memperbolehkan karena hal itu dilakukan di luar (sebelum atau sesudah)
ibadah. Masalahnya, karena amalan itu dilakukan secara rutin dan berurutan
langsung dengan pelaksanaan ibadah, maka bisa menimbulkan kesan atau
pemahaman bahwa amalan itu bersifat wajib dan merupakan bagian dari
syarat atau rukun ibadah. Pemahaman ini yang harus diluruskan.
Jika dalam hal ibadah dasar utamanya adalah mengikuti perintah dan
contoh dari Rasulullah SAW, maka dalam hal muamalah dasar utamanya
untuk sebagian besar ketentuan syariah adalah pemahaman terhadap
hakekat, tujuan, alasan, dan masalahat di balik ketentuan tersebut. Dengan
kata lain, dalam hal muamalah ketentuan syariah tidak seketat seperti
dalam ibadah, dalam arti masih ada ruang untuk mempertimbangkan
berbagai variabel dan ruang untuk kreativitas. Dalam hubungan ini ada
sebagai misal kaidah ushul fikih yang berkaitan dengan muamalah, ”al-hukmu
yaduru ma’al ’illati wujudan wa ’adaman” (hukum itu bisa berubah menjadi ada
dan tidak ada berdasarkan alasan-alasannya).
Jika dalam hal ibadah terdapat kaidah “semua dilarang kecuali yang
diperintahkan”, maka dalam hal non-ibadah, termasuk adat, tradisi, dan
produk-produk budaya, kaidahnya adalah “semua boleh kecuali yang
dilarang” (al-ashlu fil ’adati al-ibahah illa ma warada tahrimuhu). Dalam hal ini,
kreativitas atau kepeloporan untuk menciptaan kebaikan-kebaikan justru
didorong, sebagaimana ucapan Nabi SAW “Man sanna sunnatan hasanah falahu
ajruhu wa ajru man ’amila bihu ba’dahu” (Barangsiapa mempelopori suatu
kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala kebaikan yang dia lakukan itu,
dan pahala siapa saja yang melakukan kebaikan itu sesudahnya).
Antara Urusan Agama dan Urusan Dunia
Istilah “urusan agama” dan “urusan dunia” ini berasal dari sabda Nabi SAW.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW berjalan dengan
beberapa sahabat dan melihat orang-orang berada di pucuk pohon-pohon
korma. Rasul bertanya: “apa yang mereka lakukan di sana?”. Dijawab:
“mereka sedang mengawinkan bunga-bunga korma agar berbuah”. Nabi
berkata: “saya kira itu tidak perlu”. Setelah mendengar perkataan Nabi itu
mereka berhenti melakukan pengawinan. Ternyata pohon korma mereka
kurang banyak buahnya. Merekapun mengadukan hal tersebut kepada
Nabi. Jawaban Nabi atas pengaduan ini ada beberapa versi riwayat.
Menurut riwayat Imam Muslim, bersumber dari Thalhah ibn Ubaidillah,
beliau menjawab: “yang aku katakan itu pendapatku, jangan aku
dipersalahkan karena pendapatku, tapi kalau aku mengatakan sesuatu yang
berasal dari Allah, kalian wajib mengambilnya”. Sedangkan yang bersumber
dari Rafi’ ibn Al-Khadij, Nabi menjawab: “kalau aku perintahkan sesuatu
berkaitan dengan agama ambillah, tapi kalau aku berkata berdasarkan
pendapatku, maka aku hanyalah seorang manusia (yang bisa salah bisa
benar)”. Adapun Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban meriwayatkan
jawaban Nabi adalah “Kalian lebih tahu mengenai urusan dunia kalian. Jika
berkaitan dengan urusan dunia, itu terserah kalian, tapi kalau berkaitan
dengan urusan agama, serahkan kepadaku”.
Beberapa riwayat di atas berbeda tapi tidak bertentangan satu sama lain.
Intinya, ada urusan-urusan agama yang otoritasnya milik Allah dan
Rasulullah; dan ada urusan-urusan dunia yang otoritasnya “didelegasikan”
kepada umat termasuk Muhammad SAW dalam kedudukannya sebagai
manusia (basyar). Disini timbul persoalan, apa batasan antara urusan agama
dan urusan dunia?. Ada yang berpendapat bahwa “urusan agama” yang
merupakan otoritas Allah dan Rasul-Nya adalah yang berkaitan dengan
akidah dan ibadah (mahdhah) saja; di luar kedua aspek itu adalah “urusan
dunia” yang merupakan otoritas manusia untuk mengaturnya. Yang lain
berpendapat bahwa terminologi urusan agama dan urusan dunia tidak ada
kaitannya dengan soal otoritas pengaturannya. Dalam kedua urusan itu
manusia harus mengikuti dan menjalankan aturan Allah. Pendapat pertama
bertentangan dengan hakekat agama Islam yang didefinisikan sebagai
“sistem keyakinan dan tata-ketentuan Ilahi yang mengatur segala pri-
kehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam berbagai hubungan”.
Pendapat kedua tidak sesuai dengan inti pesan dari hadis Nabi SAW diatas.
Jalan tengah dari kedua pendapat ini adalah (1) dalam aspek akidah dan
ibadah (yang oleh para ulama disebut sebagai agama dalam arti sempit),
ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulullah bersifat mutlak. (2) dalam aspek
muamalah, Allah dan Rasulullah memberikan patokan-patokan atau prinsip-
prinsip, sedangkan penjabaran dan aplikasinya diserahkan kepada ijtihad
manusia. (3) dalam aspek Akhlak, Allah dan Rasulullah mengajarkan nilai-
nilai kebaikan universal (al-khair) yang bersifat mutlak, sedangkan kebaikan-
kebaikan kultural (al-ma’ruf) disesuaikan dengan budaya yang bersifat relatif
dan bisa berubah-ubah.
Antara Sunnah dan Bid’ah
As-Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan),
yang dimaksudkan sebagai tasyri’ (pensyariatan) yang harus diikuti dan
diteladani oleh ummat Islam.
Yang dimaksud dengan pensyariatan adalah penetapan sesuatu sebagai
bagian dari syariat agama. Tersirat makna dari definisi ini bahwa tidak
semua ucapan, perbuatan, dan penetapan dari Nabi disebut as-Sunnah.
Permasalahannya adalah bagaimana memastikan bahwa ucapan,
perbuatan, dan penetapan Nabi itu dimaksudkan atau tidak dimaksudkan
sebagai pensyariatan.
Definisi yang lain menyebutkan bahwa lingkup dari As-Sunnah adalah
masalah-masalah keagamaan, yaitu menyangkut akidah dan ibadah, di luar
itu tidak termasuk sunnah. Perkataan dan perbuatan Nabi SAW berkaitan
dengan rincian Rukun Iman dan Rukun Islam adalah As-Sunnah yang harus
diikuti. Tapi perkataan dan perbuatan Nabi SAW di luar itu tidak termasuk
dalam As-Sunnah. Definisi ini memaknai agama secara sempit, karena hanya
menyangkut akidah dan ibadah. Padahal agama Islam mencakup berbagai
aspek kehidupan. Tapi pendapat sebaliknya yang memasukkan semua hal
dari Nabi SAW (termasuk cara berjalan, cara makan, bentuk pakaian, dan
sejenisnya) ke dalam pengertian As-Sunnah juga berlebihan. Jalan
tengahnya menurut hemat penulis adalah sebagaimana dikemukakan pada
alinea terakhir sub-bab Urusan Agama dan Urusan Dunia.
Adapun Bid’ah secara etimologis bermakna “ciptaan baru”. Bid’ah masuk ke
dalam terminologi agama berdasarkan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud dari Iryadh ibn Sariyah. Dia berkata, “Rasulullah SAW pada
suatu hari memberikan nasehat yang sangat mengesankan, membuat hati
kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Seorang dari kami berkata,
“nasehat itu seakan-akan merupakan nasehat perpisahan ya Rasul, maka
berikanlah kepada kami nasehat lagi”. Nabi SAW bersabda: “Aku wasiatkan
kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mau mendengarkan dan menaati (nasehat
yang baik) meskipun dari seorang budak habasyi. Barang siapa mengalami hidup
sesudahku, akan menyaksikan banyak perselisihan, maka hendaklah kalian berpegang
teguh kepada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin, pegangilah erat-erat, gigitlah
dengan gigi geraham kalian. Hindarkan diri kalian dari perkara-perkara baru, karena
setiap yang baru itu bid’ah, setiap bid’ah itu sesat. Hadis lain riwayat An-Nasa’i dari Jabir
ibn Abdullah dengan redaksi yang sama tapi dengan tambahan “dan setiap kesesatan
itu masuk neraka”. Kemudian hadis yang bersumber dari ’Aisyah diriwayatkan
oleh Imam Muslim menjelaskan batasan frasa “perkara-perkara baru”, Nabi
SAW bersabda: “Barang siapa melakukan amalan yang tidak ada perintah
dari kami maka amalan itu ditolak”. Dari hadis ini dipahami bahwa yang
dimaksud dengan “perkara baru” adalah dibidang agama.
Dengan demikian, secara terminoliogis bid’ah adalah “ciptaan baru dalam
urusan agama”. Pengertian “urusan agama” yang paling dekat dengan
pikiran adalah masalah akidah dan ibadah. Jadi bid’ah adalah hal berkaitan
dengan akidah yang tidak diajarkan dan amal ibadah yang tidak disyariatkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Adapun bila ada anjurannya, baik berbentuk wajib
atau sunnah dengan didukung dalil-dalil syar’i terhadap anjuran tersebut,
maka hal itu bagian dari agama meskipun terdapat perselisihan diantara
alim ulama dalam sebagian masalah. Definisi lain mengatakan “bid‘ah
adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya
menyerupai syari‘at, tujuannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah SWT”.
Dari hadis-hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuatu disebut bid’ah
apabila memenuhi tiga unsur: (1) Kebaruan atau pembaruan. Ini mencakup
semua kreasi atau ciptaan baru yang belum ada sebelumnya, bisa baik atau
buruk, terpuji atau tercela, dan bisa mencakup semua hal baik urusan
agama maupun urusan dunia. Oleh karena itu ada unsur kedua yakni (2)
Sesuatu yang baru itu dinisbatkan kepada atau dianggap sebagai bagian
dari syariat agama. Batasan ini berdasarkan hadis dari ’Aisyah yang
menyebut “fi amrina” (dalam urusan kami, maksudnya urusan agama).
Dengan demikian, kreasi baru dalam bidang kebudayaan dalam arti luas
tidak disebut bid’ah. Unsur berikutnya, (3) Sesuatu yang baru itu tidak
punya landasan atau rujukan dari syariah yang sahih. Sebagai contoh, soal
qunut subuh, soal shalat tarawih berjamaah dan jumlah rekaatnya 8 atau 20,
tidak termasuk katagori bid’ah, karena masing-masing ada landasan
syari’ahnya, meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
dalam beberapa segi dari permasalahan tersebut.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Anda mungkin juga menyukai