Anda di halaman 1dari 43

Tugas Mata Kuliah Agama Islam

Sistem Sosial dan Aturan Pergaulan dalam


Islam

Oleh:

Ratna Kuatiningsari 101711233003


Soffie Herninda 101711233015
Adamina Dinda Roseprilla 101711233027
Anisa Jannatin Naim 101711233032
Ade Lia Ramadani 101711233039

PRODI S1 GIZI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sosial memiliki makna pergaulan serta hubungan manusia dan kehidupan
kelompok manusia terutama dalam masyarakat yang teratur Manusia
merupakan makhluk sosial yang dimana pengertian makhluk sosial adalah tiap
manusia membutuhkan untuk berinteraksi dan berhubungan dengan satu sama
lain. Dimana manusia tidak dapat terlepas dengan pengaruh manusia yang
lain. Sistem sosial secara umum adalah suatu sistem yang terdiri dari elemen-
elemen sosial. Elemen tersebut terdiri atas tindakan-tindakan sosial yang
dilakukan individu-individu yang  berinteraksi satu dengan yang lainnya.
Dalam sistem sosial terdapat individu-individu yang  berinteraksi dan
bersosialisasi sehingga tercipta hubungan-hubungan sosial. Keseluruhan
hubungan sosial tersebut membentuk struktur sosial dalam kelompok maupun
masyarakat yang akhirnya akan menentukan corak masyarakat tersebut.
Dalam sudut pandang islam, sistem sosial adalah perhubungan sesama
manusia melalui ikatan undang-undang Rabbani untuk mencapai kehidupan
masyarakat yang harmonis dan damai. Dimana dalam islam pengaturan
mengenai interaksi antar sesama muslim sudah diatur sedemikian rupa
sehingga dapat menciptakan hubungan persaudaraan yang baik. Islam adalah
agama yang mulia dan mengatur segala aspek kehidupan termasuk pergaulan.
Dalam islam ada beberapa etika yang harus dipenuhi dan hal ini disebut
dengan etika islam.

B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Memenuhi tugas mata kuliah agama islam
2. Mengetahui dan memahami sistem sosial menurut islam
3. Mengetahui sistem pergaulan dalam islam
4. Memahami prinsip pergaulan dalam islam
5. Mengetahui batas-batas antara laki-laki dengan perempuan
menurut aturan dalam islam
C. Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Dapat memahami prinsip sistem sosial menurut islam
2. Dapat memahami sistem pergaulan dalam islam
3. Dapat mengimplementasikan prinsip pergaulan dalam islam
4. Mendapat pembelajaran berdasarkan studi kasus yang didapat
BAB II
ISI
A. Pengertian Sistem Sosial Islam
Beberapa ahli sosiologi menterjemahkan sistem sosial dengan istilah
yang berbeda-beda. Ada yang mengemukakan dengan lembaga
kemasyarakatan, bangunan social ataupun lembaga social. Pranata berarti
sistem tingkah laku social yang bersifat resmi serta adat istiadat dan norma
yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat. Dengan demikian
sistem sosial erat hubungannya dengan budaya manusia. Bagi ummat Islam
tentu saja hal ini berasal dari ajaran dasar yaitu pengembangan dari al-
Qur’an dan al-Hadits. Dilihat dari aspek kesejarahan maka sistem sosial
dalam masyarakat Islam yang pernah menonjol adalah dalam bidang
hukum, politik atau pemerintahan, peradilan, keamanan, kesehatan dan
kesejahteraan.
B. Sumber Sistem Sosial Islam
Sumber Hukum Islam adalah Wahyu Allah Swt yang dituangkan di
dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat al-Qur’an yang
berhubungan dengan hokum tidak banyak bila dibandingkan dengan jumlah
keseluruhan ayat. Demikian pula bila dibandingkan dengan masalah yang
harus diberi ketetapan hokum yang selalu muncul dalam kehidupan di dunia
ini. Ayat-ayat al-Qur’an yang agak terinci hanya hokum ibadah dan hokum
keluarga. Namun demikian secara umum Allah menerangkan bahwa semua
masalah (pokok-pokoknya) terdapat dalam al-Qur’an. Allah Swt berfirman:
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab” (Q.S. Al-An’am/6:
38).2
Pada masa sahabat apabila mereka menghadapi suatu masalah yang
harus dipecahkan mereka lebih dahulu berpegang pada nash al Qur’an
kemudian al-Hadits. Namun apabila tidak ditemui pemecahannya mereka
berijtihad untuk menemukan hukumnya. Dalam berijtihad mereka
berpegang pada pengalaman dalam bidang syariat, pergaulan mereka
dengan Nabi dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-
Hadits. Terkadang mereka menetapkan hokum dengan qiyas yaitu
mengqiyaskan sesuatu yang ada nashnya. Terkadang pula hokum ditetapkan
sesuai dengan kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Dengan demikian
para sahabat memperkaya bahkan mengembangkan hokum Islam. Memang
terdapat perbedaan pemahaman antara para mujtahid dalam memahami yang
tersurat atau tersirat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, lebih-lebih ketika Islam
telah meluas dan ummat Islam mengenal berbagai intuisi, pemikiran dan
budaya dimana Islam berkembang. Ketika masing-masing pemahaman itu
mendapat pengikut maka lahirlah apa yang dinamakan madzhab dalam fiqh.
Madzhab itu muncul dan berkembang dalam perjalanan sejarah Islam ketika
kondisi social, politik dan ekonomi menuntut keberadaannya. Dalam
literature Islam tentang madzhab dalam fiqh yang pertamakali dikenal
adalah yang beridentifikasi dengan kota tempat tinggal mujtahid/ pimpian
madzhab. Maka dikenallah madzhab Kuffah, Madinah dan Syiria. Sangat
sulit untuk menentukan kapan madzhab itu muncul, keberadaannya
bertahap, tumbuh dengan perlahan-lahan menurut kebutuhan situasi dan
kondisinya dan menurut catatan sejarah, tidak seorang mujtahid yang
sengaja atau mengaku dirinya membentuk madzhab. Dikalangan
ulama/mujtahidin dalam ijtihadnya terdapat perbedaan-perbedaan, mereka
masing-masing mempunyai dasar yang mereka pegangi, kemudian
pendapatnya itu tersebar ke mana mana dan dianut oleh masyarakat kaum
muslimin.3
Pada abad II H/VIII M madzhab tidak lagi diidentifikasikan dengan
tempat melainkan dikaitkan dengan nama kelompoknya, maka lahirlah
Madzhab Ashhab Auza’I (pengikut auza’i) di Syria, Madhab Ashhab Abu
Hanifah di Kuffah, Ashhab Malik Ibn Anas di kalangan penduduk Madinah.

Selanjutnya pada abad III H madzhab-madzhab ini beridentifikasi


dengan nama seseorang, maka lahirlah madzhab Abu Hanifah (w. 150
H/767 M), madzhab Malik Ibnu Anas (w. 179 H/795 M), madzhab Asy-
Syafi’I (w. 204 H/820 M) dan madzhab Ibnu Hambal (w. 241 H/855 M).
Sebenarnya masih banyak lagi madzhab, akan tetapi empat madzhab itulah
yang lebih dikenal dan dapat bertahan hingga sekarang. Tampaknya yang
mendorong timbulnya ilmu fiqh lebih banyak didorong oleh kebutuhan
agama. Lain halnya yang mendorong timbulnya ilmu Tauhid/Kalam lebih
didominasi oleh factor politik, seperti timbulnya Madzhab Khawarij, dan
Murji’ah.

Sejak keberadaannya, madzhab fiqh itu menjadi panutan atau identik


dengan taklid, dan taklid dipandang sebagai sumber keterbelakangan, maka
mulai abad kesembilan belas Masehi yaitu yang disebut abad kebangkitan
ummat Islam, timbullah gerakan yang mencanangkan kembali kepada al-
Qur’an dan al-Hadits atau setidak-tidaknya dalam kondisi ittiba atau
mengikuti metode berfikir yang tertuang dalam kaidah usul fiqh atau kaidah
fiqhiyah yang dipakai oleh para imam madzhab yang disesuaikan dengan
kondisi dan tempat ia berada, yang pada gilirannya akan hilanglah fanatisme
terhadap madzhab tertentu. Hal ini didorong pula oleh kebutuhan kehidupan
yang semakin pragmatis akibat adanya tantangan modernisasi dan
globalisasi.

C. Asas-Asas Sistem Sosial Islam


Al-Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa Allah yang Maha Kuasa
terlibat dalam penciptaan, dan bahwa tak ada wujud diwaktu manapun yang
tak memerlukan Allah. Termasuk adanya akal menyebabkan manusia
mengenal generalitas berbagai hal serta garis-garis utama kebenaran dan
kebatilan. Tetapi dalam hal-hal mendetai dan halus ia memerlukan tuntunan
lain. Akal tidak mempunyai kemampuan untuk melihat semua detail.
Misalnya, semua orang bijaksana tahu bahwa keadilan adalah baik, dan
kedzaliman adalah buruk. Tetapi mereka tak dapat membedakan detail-
detail kasus keadilan dan kedzaliman untuk menentukan dimana tepatnya
keadilan dan kedzaliman itu. Hal ini dapat sampai pada suatu titik dimana
kebenaran dipandang sebagai kebatilan, dan keadilan sebagai kedzaliman.
Allah Yang Maha bijaksana yang menciptakan manusia untuk mencapai
kesempurnaan secara sukarela tidak membiarkannya tanpa tuntunan
semacam itu. Allah telah menimpali kekurangannya dalam pemahaman dan
pengenalan dengan wahyu dan kenabian (nubuwwah).
Tuntunan tersebut ada tuntunan umum dan tuntunan khusus.
Tuntunan umum yakni tuntunan yang meliputi kaum mukmin dan kaum
kafir, yang bajik maupun yang durhaka. Sedangkan tuntunan khusus yakni
tuntunan yang hanya untuk kaum mukmin, dimana orang kafir tidak berhak
atasnya. Tuntunan khusus hanya meliputi orang-orang yang secara ikhlas
beribadah kepada Allah Swt.

Untuk memperoleh tuntunan khusus Ilahi dan sekaligus terangkul


dalam kewalian khusus Allah kita harus menghargai nikmat Allah,
membuang egoism dan menggantikannya dengan takwa. Ini tak tercapai
dengan slogan semata, tak akan didapat dengan melaksanakan shalat belaka.
Untuk itu hati manusia harus diserahkan kepada Allah dan motif amal
perbuatan haruslah suci. Semangat keakuan dan kelompok harus dihapus
dari kehidupannya; maksud dan tujuannya haruslah hanya demi
kesempurnaannya. Ia harus menghasratkan tuntunan Allah bagi dirinya dan
orang lain dan tidak menghendaki apapun selain keridlaan Allah Swt.

D. Kaidah-Kaidah Sistem Sosial Islam


Tidak semua pemecahan masalah hokum atas berbagai kehidupan
manusia di dunia ini dirinci secara jelas dan tegas dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullaah Saw. Oleh karena itu lewat pendekatan linguistic (al-
qawaaid al-lughawiyyah) para ahli ushul berusaha menetapkan kaidah-
kaidah hokum. Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab akan dapat
dipahami kandungan hokum-hukumnya dengan pemahaman yang sahih
(valid) dengan memperhatikan bahasa Arab dan cara-cara pemahamannya.
Pendekatan linguistic itu saja tidaklah memadai dan tidak cukup membantu
memahami kaidah hokum. Oleh karena itu, berkenaan dengan persoalan ini
para ahli ushul menetapkan kaidah-kaidah hokum yang dikenal dengan
istilah al-qawaaid al-tasyri’iyyah. Para imam madzhab dalam
mengistinmbatkan suatu hokum memiliki kerangka pikir tertentu yang dapat
dijadikan sebagai aturan pokok, sehingga hasil ijtihadnya dapat dievaluasi
secara obyektif oleh penerus-penerusnya. Kendati demikian kemampuan
imam madzhab tidaklah sama, ketidaksamaan itu adakalanya
dilatarbelakangi oleh kondisi serta lingkungan dimana ia berada. Oleh
karena itu ia mencoba membahas generalisasi pokok-pokok pikirannya
melaluli kaidah-kaidah dasar sebagai acuan dalam beristinbat. Melalui
kaidah-kaidah dasar tersebut dapat diketahui titik relevansi antara satu
ijtihad dengan ijtihad lainnya. Aturan-aturan pokok inilah yang disebut
dengan al-qawaid al-fiqhiyyah.
Kajian fiqh sangatlah luas, oleh karena itu perlu adanya kristalisasi
berupa kaidah-kaidah fiqhiyyah yang sifatnya universal. Kaidah-kaidah ini
berfungsi sebagai klarifikasi terhadap masalah-masalah furu’menjadi
beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari
masalah-masalah yang serupa. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah ini
para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengeluarkan hokum bagi suatu
masalah.9
Kaidah-kaidah yang dibentuk oleh para ulama pada dasarnya
berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah
pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat
cabang. Sebagian ulama menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan
istilah al-qawaid al-khams (kaidah-kaidah yang lima). Kelima kaidah
tersebut:
1. Setiap perkara tergantung pada niatnya.
2. Kemadharatan harus dihilangkan.
3. Adat dapat dipertimbangkan menjadi hokum.
4. Kesulitan (kesempitan) dapat menarik kemudahan.
5. Keyakinan tidak dapat hilang oleh keraguan.

E. Bidang-Bidang Sistem Sosial Islam

Berkenaan dengan ketertiban masyarakat, adalah ummah bertujuan


sebagai saksi bagi perwujudan perutusan Tuhan seperti yang tertera dalam
Al-Qur’an atau terutama pelaksanaan ibadah dan amanah. Untuk
melaksanakan ketertiban social berdasar pada semua ini, maka ahli-ahli
fikih Islam telah menghimpun dan menyusun peraturan-peraturan Tuhan
untuk menciptakan system yang disebut syari’ah atau Undang-Undang Suci
Islam. Undang-undang ini dari segi sejarahnya telah diatur di bawah Lima
kategori umum:

1 Kepercayaan (I’tiqadat) yang terdiri dari enam pasal tentang


kepercayaan Islam.
2 Akhlak atau adab yang membahas tentang keutamaan-keutamaan atau
kebaikan akhlak.
3 Persembahan kepada Tuhan dan ibadah yang diuraikan dalam rukun
Islam yang lima.
4 Muamalah yang membicarakan tentang kewajiban individu dalam
masyarakat dan meliputi perjanjian, jaminan, perkongsian dan
perniagaan disamping hal-hal yang termasuk di bawah tajuk undang-
undang perdata atau keluarga seperti perkawinan, mahar, talak,
warisan, anak angkat, dan lain-lain.
5 Hukuman (‘Uqubat) yang berhubungan dengan pencurian, perzinaan,
saksi palsu, dan lain-lain.
Kelima prinsip ini menunjukkan bagaimana luasnya hukum Islam yang
sebenarnya meliputi semua tingkah laku manusia. Selanjutnya aspek agama
dan moral meliputi semuanya, maka semua tindakan dibagikan kepada yang
berikut ini:

1. Wajib (fard), baik sebagai individu atau sebagai kumpulan.


2. Dianggap baik (Sunnah, mandub, mustahab).
3. Mubah atau boleh dibuat.
4. Makruh atau dianggap tidak baik.
5. Dilarang (haram).

F. Laki-laki dan Perempuan dalam Islam


1. Perbedaan Yang Wajib Diimani
Allah telah menciptakan manusia, baik pria maupun wanita, dengan
suatu fitrah tertentu yang berbeda dengan hewan. Wanita adalah manusia,
sebagaimana halnya pria. Masing-masing tidak berbeda dari lainnya dari
aspek kemanusiaannya. Yang satu tidak melebihi yang lainnya pada aspek ini.
Allah telah mempersiapkan kedua-duanya untuk mengarungi kancah
kehidupan dengan sifat kemanusiaannya. Allah telah menjadikan pria dan
wanita untuk hidup bersama dalam satu masyarakat. Allah juga telah
menetapkan bahwa kelestarian jenis manusia bergantung pada interaksi kedua
jenis tersebut dan pada keberadaan keduanya pada setiap masyarakat. Karena
itu, tidak boleh memandang salah satunya kecuali dengan pandangan yang
sama atas yang lain, bahwa ia adalah manusia yang mempunyai berbagai ciri
khas manusia dan segala potensi yang mendukung kehidupannya.
Allah telah menciptakan pada masing-masingnya potensi kehidupan
(thâqah hayawiyyah), yaitu potensi yang juga diciptakan Allah pada yang
lainnya. Allah telah menjadikan pada masing-masingnya kebutuhan jasmani
(hâjât ‘udhwiyyah) seperti rasa lapar, rasa dahaga, atau buang hajat; serta
berbagai naluri (gharâ’iz), yaitu naluri mempertahankan diri (gharîzah al-
baqa’), naluri melestarikan keturunan (gharîzah al-naw’), dan naluri beragama
(gharizah altadayyun). Kebutuhan jasmani maupun naluri-naluri ini ada pada
masing-masing jenis kelamin. Allah juga menjadikan pada keduanya daya
pikir, yaitu daya pikir yang ada pada pria dan wanita. Sebab, akal yang
terdapat pada pria adalah akal yang juga terdapat pada wanita; karena akal
yang diciptakan Allah adalah akal manusia bukan akal pria atau akal wanita
saja. (Taqiyuddin, 2014)
Namun, laki-laki dan perempuan, menurut kodrat, syari’at, indra dan
akal, jelas-jelas berbeda. Baik secara fisik, nilai-nilai maupun ketetapan
syari’at untuk masing-masingnya. Karena Allah Azza wa Jalla telah
menciptakan jenis manusia menjadi dua jenis, laki-laki dan perempuan.
‫ق ال َّزوْ َج ْي ِن ال َّذ َك َر َو ْاألُنثَى‬
َ َ‫َوأَنَّهُ َخل‬
Artinya: “Dan bahwasanya Dialah (Allah) yang menciptakan
berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan”. [An Najm : 45].
Keduanya sama-sama berhak menghuni dunia, tetapi menurut
kekhususan masing-masing. Keduanya sama-sama berhak meramaikan bumi
dengan peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hal ini, secara
umum tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Tentang tauhid,
aqidah, iman, Islam, pahala dan siksa. Begitu pula tentang hak dan kewajiban
syari’at secara umum.

َ ‫ت ْال ِج َّن َو ْا ِإل‬


‫نس إِالَّلِيَ ْعبُ ُدو ِن‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembahKu”. [Adz Dzariyat : 56].
ً‫صالِحًا ِّمن َذ َك ٍر أَوْ أُنثَى َوهُ َو ُم ْؤ ِم ٌن فَلَنُحْ يِيَنَّهُ َحيَاةً طَيِّبَة‬
َ ‫َم ْن َع ِم َل‬
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik”. [An Nahl : 97].
Akan tetapi, Allah Azza wa Jalla juga telah menetapkan takdir bahwa
laki-laki tidak sama dengan perempuan. Mulai dari bentuk fisik, gerak-gerik
sampai sifat-sifatnya. Dalam diri laki-laki ada pembawaan kekuatan fisik yang
lebih sempurna. Sementara pada diri perempuan tidak sekuat laki-laki. Sebab
perempuan harus mengalami haid, hamil, melahirkan, menyusui, mengurusi
anak yang disusuinya dan melakukan pendidikan bagi lahirnya generasi masa
depan. Itulah, mengapa wanita dicipta dari tulang rusuk Adam Alaihissallam.
Jadi wanita adalah bagian dari laki-laki, pengikut laki-laki dan merupakan
nikmat bagi laki-laki.
Sementara laki-laki mendapat kepercayaan mengurus kebutuhan
wanita, menjaga dan memberikan nafkah kepadanya dan kepada
keturunannya.
Perbedaan secara fisik ini berakibat pada perbedaan kemampuan, baik
fisik, akal, pemikiran, perasaan, kemauan, pekerjaan maupun daya kerjanya.
Dari perbedaan dalam banyak hal di atas, melahirkan sejumlah besar
konsekuensi hukum syari’at bagi keduanya. Dengan hikmah Allah Yang Maha
Mengetahui, ada beberapa perbedaan hukum berkaitan dengan tugas dan
kewajiban bagi laki-laki dan wanita. Masing-masing disesuaikan dengan
keadaannya. Sehingga hidup menjadi sempurna, utuh dan masing-masing
dapat melaksanakan tugasnya.
Secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tugas kepada
laki-laki dengan beberapa hukum yang sesuai dengan fisiknya, ototnya,
kemampuannya, daya kerjanya, kesabarannya, keuletannya dan kekuatan
kerjanya di luar rumah untuk mencari nafkah bagi orang yang ada di dalam
rumah.
Sedangkan kepada wanita, Allah Azza wa Jalla memberikan tugas-
tugas khusus yang sesuai dengan fisik, kemampuan, keahlian, daya kerja dan
daya tahan tubuhnya yang lebih lemah. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
memberikan sejumlah pekerjaan kepada wanita untuk menyelesaikan urusan-
urusan di dalam rumah serta mendidik generasi masa depan yang ada di
rumahnya.
Itulah kehendak kauniyah (ketetapan takdir) Allah dalam hal
penciptaan dan pemberian anugerah terhadap laki-laki dan perempuan. Dari
sana, kemudian Allah menetapkan kehendak syar’iyah (ketetapan syari’at)-
Nya bagi masing-masing. Maka, bertemulah dua kehendak Allah tersebut bagi
kemaslahatan hamba, keramaian dunia, dan teraturnya kehidupan individu
manusia, rumah, jama’ah serta masyarakat.
Beberapa contoh hukum yang dikhususkan bagi masing-masing
perempuan dan laki-laki diantaranya: laki-laki adalah pemimpin bagi
rumahnya. Dia bertanggung jawab memelihara, menjaga dan mengontrol
kehormatan rumah tangganya. Dia harus mencegah dan memberikan
perlindungan agar tidak terjadi kehinaan serta kerusakan dalam rumah
tangganya. Disamping bertanggung jawab mencari mata pencaharian untuk
menafkahi semua penghuni rumahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ْض َوبِ َمآأَنفَقُوا ِم ْن‬


ٍ ‫ْضهُ ْم َعلَى بَع‬
َ ‫ال ِّر َجا ُل قَ َّوا ُمونَ َعلَى النِّ َسآ ِء بِ َما فَض ََّل هللاُ بَع‬
‫أَ ْم َوالِ ِه ْم فَالصَّا‬
‫ات‬ ِ ‫ات لِ ْل َغ ْي‬
ُ ‫ب بِ َما َحفِظَ هللاُ لِ َح‬ ٌ َ‫َات َحافِظ‬
ٌ ‫قَانِت‬
Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebahagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang
ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). [An Nisa’ : 34].
Bisa diperhatikan bagaimana al Qur’an al Karim menggunakan bahasa
“tahta (dibawah)” ketika mengukuhkan kepemimpinan laki-laki. FirmanNya.

ٍ ُ‫وح َوا ْم َرأَتَ ل‬


‫وط َكانَتَا تَحْ تَ َع ْب َد ْي ِن ِم ْن‬ ٍ ُ‫ب هللاُ َمثَالً لِلَّ ِذينَ َكفَرُوا ا ْم َرأَتَ ن‬
َ ‫ض َر‬
َ
‫صالِ َحي ِْن‬
َ ‫ِعبَا ِدنَا‬
Artinya: “Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai
perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah (kendali)
dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami”.[At Tahrim : 10].
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Tahta (berada di bawah
kendali)” merupakan maklumat, bahwa kedua orang perempuan (isteri Nuh
dan Luth) itu tidak memiliki kekuasaan apa-apa terhadap suami masing-
masing. Kekuasaan justeru hanya ada di tangan suami terhadap isteri masing-
masing. Maka, selamanya wanita tidak bisa disetarakan dengan laki-laki,
apalagi berada di atasnya.
Contoh lain yaitu kenabian atau kerasulan tidak pernah ada, kecuali
pada laki-laki. Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫وحي إِلَ ْي ِهم ِّم ْن أَ ْه ِل ْالقُ َرى‬


ِ ُّ‫َو َمآأَرْ َس ْلنَا ِمن قَ ْبلِكَ إِالَّ ِر َجاالً ن‬
Artinya : “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-
laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri”. [Yusuf :
109].
Para Ahli tafsir menerangkan ayat di atas: Allah tidak pernah
mengutus seorangpun nabi perempuan, malaikat, jin atau orang badui. Contoh
lain laginya yakni perwalian umum atau kuasa perwalian umum, seperti dalam
pengadilan, surat-surat kuasa dan semua perwalian lainnya seperti wali nikah,
tidak boleh terjadi kecuali bagi laki-laki.
Laki-laki juga diberi kekhususan dalam banyak persoalan ibadah yang
tidak diberikan kepada wanita. Misalnya, kewajiban berjihad, shalat jum’at,
shalat jama’ah, adzan, iqamah dan lain-lain. Urusan thalak juga berada di
tangan laki-laki, bukan di tangan perempuan.
Demikian pula, anak-anakpun dinasabkan kepada bapaknya, bukan
kepada ibunya. Laki-laki memiliki kelipatan ganda dibanding wanita dalam
hal waris, diyat (pidana ganti rugi), persaksian, pemerdekaan budak dan
aqiqah.
Hukum-hukum khusus bagi laki-laki yang disebutkan di atas maupun
hukum-hukum khusus lainnya, sebagaimana dimaksudkan dengan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
ِ ‫َولِل ِّر َجا ِل َعلَ ْي ِه َّن َد َر َجةٌ َوهللاُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬
Artinya:”Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. [Al
Baqarah : 228].
Sedangkan hukum-hukum yang khusus dikenakan kepada wanita
cukup banyak. Tersusun dalam bab-bab ibadah, mu’amalah, pernikahan
beserta kaitan-kaitannya, peradilan dan lain-lain. Itu semua sudah diketahui
jelas dalam Al Qur’an, Sunnah serta kitab-kitab fiqh. Bahkan banyak yang
dibukukan secara tersendiri, semenjak dahulu hingga kini. Di antaranya
berkaitan dengan hukum hijab (tutup aurat) dan dengan pemeliharaan terhadap
kehormatannya.
Hukum-hukum yang dikhususkan oleh Allah bagi masing-masing laki-
laki dan perempuan ini memberikan beberapa kesimpulan. Di antaranya tiga
hal berikut :
Pertama : Wajib mengimani dan menerima perbedaan-perbedaan yang
ada antara laki-laki dan perempuan, baik secara fisik, nilai-nilai maupun
ketetapan-ketetapan syari’at bagi masing-masing. Semua pihak harus rela
menerima ketetapan takdir dan ketetapan syari’at yang ditentukan untuk
masing-masing. Dan harus meyakini, bahwa perbedaan-perbedaan ini
merupakan inti keadilan itu sendiri. Di dalamnya terdapat keteraturan hidup
masyarakat manusia.
Kedua : Seorang muslim atau muslimah tidak boleh mengangan-
angankan (irihati terhadap) kekhususan yang ada pada pihak lain. Karena bila
demikian berarti ia murka terhadap takdir Allah, dan tidak rela terhadap
ketentuan hukum serta syari’atNya.
Mestinya ia justeru memohon karunia Allah. Sebab, hal ini merupakan
adab syari’at yang dapat menghilangkan hasad dan membersihkan jiwa wanita
mukminah. Juga untuk menghiasi pribadinya dengan sikap ridha menerima
takdir dan ketentuan Allah Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman dalam QS An Nisa ayat 32 yang artinya:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. [An Nisa’ : 32].
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Mujahid. Dia
mengatakan, bahwa Ummu Salamah berkata, ”Wahai Rasulullah, apakah
kaum laki-laki berperang, sedangkan kami tidak berperang? Kamipun hanya
memperoleh warisan separuh dari kaum laki-laki?” Maka turunlah ayat di atas.
َّ َ‫… َوالَ تَتَ َمنَّوْ ا َماف‬.
ُ‫ض َل هللا‬
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah…
[Diriwayatkan oleh Ath Thabari, Imam Ahmad, Hakim dan lain-lain].
Abu Ja’far Ath Thabari rahimahullah mengatakan,“Maksud Allah
Azza wa Jalla dalam ayat di atas, “janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang
lain”. Disebutkan, bahwa ayat itu turun berkaitan dengan wanita yang
menginginkan kedudukan laki-laki, dan menginginkan apa yang diperoleh
laki-laki. Maka, Allah melarang hamba-hambaNya agar jangan berangan-
angan dengan hal-hal yang batil. Sebab angan-angan semacam itu akan
mengakibatkan pelakunya dengki dan melampaui batas, tanpa alasan yang
benar.”
Ketiga : Jika angan-angan (iri hati) ini saja dilarang -berdasarkan nash
AlQur’an- apalagi mengingkari adanya perbedaan-perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Kemudian menyerukan agar perbedaan-perbedaan itu
dibuang, menuntut persamaan dan mendakwahkannya atas nama persamaan
hak antara laki-laki dan wanita.
Tentu, ini merupakan pandangan atheisme. Sebab, di dalamnya
terdapat penentangan terhadap kehendak Allah, baik kehendak kauniyah
(ketetapan takdir) maupun kehendak syar’iyah (ketetapan syari’atNya),
berkaitan dengan perbedaan-perbedaan antara keduanya, secara fisik maupun
nilai-nilai. Berarti juga membuang ajaran Islam perihal nash-nash syari’atnya
yang qath’i tentang perbedaan-perbedaan itu.
Bila saja persamaan ini terjadi dalam semua sisi hukum, padahal secara
fisik maupun kemampuan berbeda, berarti terjadi keterbalikan fitrah. Tentu
hal tersebut merupakan kedhaliman itu sendiri, baik bagi yang memiliki
kelebihan maupun yang lemah. Bahkan, merupakan kedhaliman bagi
kehidupan masyarakat secara umum. Sebab, berarti menghambat perolehan
hasil lebih bagi yang memiliki kemampuan lebih. Sebaliknya, akan sangat
memberatkan bagi yang lemah, di luar batas kemampuannya.
Kedhaliman semacam itu tidak pernah akan terjadi walaupun hanya
seberat biji sawi, dalam syari’at Allah Yang Maha Bijaksana.
Dengan demikian wanita dalam naungan hukum-hukum Allah yang
luar biasa indah ini, sesungguhnya terjamin keibuannya, wewenangnya
mengatur urusan rumah tangganya dan keleluasaannya membangun generasi
umat mendatang di dalam rumahnya.
2. Peran Perempuan dalam Pandangan Islam
Perempuan dan laki-laki berbeda dalam kodratnya. Allah menegaskan
dalam Al-Quran pada peristiwa kelahiran Maryam dalam Surat Ali Imron ayat
36

36. Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata:
"Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan
Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki
tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia
Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak
keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang
terkutuk."
Perbedaan secara kodrati ini tidak membedakan perempuan dan laki-
laki dalam hal kedudukan namun menentukan perannya dalam kehidupan.
Dari segi fungsi reproduksi perempuan memungkinkan mengandung calon
keturunannya karena perempuan memiliki rahim yang tidak dimiliki oleh laki-
laki. Demikian juga dalam hal pengasuhan dan keberlangsungan bayi saat
masih kecil, perempuan dianugerahi kemampuan untuk menyusui dan
perasaan kasih sayang dan ketahanan tubuh yang lebih dibandingkan dengan
laki-laki. Menurut al-‘Allamah al- Nasafi dalam Munawar, “ kelebihan pria
atas wanita adalah pada: akalnya, keteguhan hati, pola pikir, kekuatan fisik,
kemampuan perang, kesempurnaan puasa dan shalat, adzan, khutbah, jama’ah,
takbir pada hari tasyrik , kesaksian dalam kasus pidana dan qishas dua kali
lipat dalam bagian waris, hak nikah dan talak. ( 2004:214 )
Dari perbedaan itulah maka perempuan dan laki-laki memiliki peran
yang saling melengkapi. Dalam perbedaan peran ini bukan berarti perempuan
harus menggantikan peran laki-laki ataupun sebaliknya, karena masing-
masing memiliki proporsi yang berbeda sesuai dengan kodratnya.
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya.
Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang
berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan
keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama
atau kemanusiaan.
Secara garis besar perempuan memiliki dua peran yaitu peran sebagai
anggota keluarga dan peran sebagai anggota masyarakat.
1) Perempuan sebagai Anggota Keluarga
Di dalam keluarga perempuan dapat berperan sebagai ibu, istri, anak.
Semua peran tersebut menuntut adanya tugas sesuai dengan perannya.
a. Perempuan sebagai Ibu
Sebagai ibu tugas perempuan yang pertama dan utama yang
tidak diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru.
Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik secara
fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan
atau diabaikan oleh faktor material dan kultural apa pun.
Selain itu tugas perempuan adalah Beribadah kepada Allah
subhanahu wata’ala. Tinggalnya ia di dalam rumah merupakan
alternatif terbaik karena memang itu perintah dari Allah subhanahu
wata’ala dan dapat beribadah dengan tenang. Allah subhanahu
wata’ala berfirman (artinya):

Artinya: “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan


janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya”.
b. Perempuan sebagai Istri
Perempuan sebagai istri memiliki peran yang sangat penting.
Istri yang bijaksana dapat menjadikan rumah tangganya sebagai tempat
yang paling aman dan menyenangkan bagi suami. ( Alfan, tanpa tahun:
25) Istri dapat berperan sebagai teman baik, tempat suami
mencurahkan perasaan hatinya. Mendinginkan suasana ketika hati
sedang panas. Sehingga suami memperoleh motivasi baik dalam hal
mencari nafkah maupun beribadah. Telah termaktub dalam Al Qur’an
sebagai petunjuk bagi umat manusia yang datang dari Rabbull Alamin
Allah Yang Maha Memilki Hikmah:
“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah
kalian.” (Al Ahzab: 33)
Maha benar Allah subhanahu wata’ala dalam segala firman-
Nya, posisi perempuan sebagai sang istri atau ibu rumah tangga
memilki arti yang sangat urgen, bahkan dia merupakan salah satu tiang
penegak kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam
mencetak “tokoh-tokoh besar”. Sehingga tepat sekali ungkapan:
“Dibalik setipa orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan
mendidiknya.”
Dengan peran perempuan sebagai istri maka ada beberapa
kewajiban istri terhadap suami. Kewajiaban pertama, adalah taat
sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat bahkan
lebih utama daripada melakukan ibadah-ibdah sunnah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‫الَ يَ ِحلُّ لِ ْل َمرْ أَ ِة أَ ْن تَصُوْ َم َو َزوْ ُجهَا َشا ِه ٌد إِالَّ بِإ ِ ْذنِ ِه‬

“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara


suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapat izin suaminya.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan lebih
ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada
mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu
wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada
menunaikan perkara yang sunnah.’ (Fathul Bari 9/356)
Menjaga rahasia suami dan kehormatannya dan juga menjaga
kehormatan diri sendiri di saat suaminya tidak ada di tempat. Sehingga
menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.
Menjaga harta suami. Rasulullah bersabda:

ٍ ْ‫ َوأَرْ عَاهُ َعلَى زَ و‬،‫َر ِه‬


‫ج فِي‬ ِ ‫ أَحْ نَاهُ َعلَى َولَ ٍد فِي‬: ‫ش‬
ِ ‫صغ‬ ٍ ‫صالِ ُح نِ َسا ِء قُ َر ْي‬
َ ‫َخ ْي ُر نِ َسا ٍء َر ِك ْبنَ ا ِإلبِ َل‬
ِ ‫َذا‬
‫ت يَ ِد ِه‬

“Sebaik-baik wanita penunggang unta, adalah wanita yang


baik dari kalangan quraisy yang penuh kasih sayang terhadap
anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh suami.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Mengatur kondisi rumah tangga yang rapi, bersih dan sehat
sehingga tampak menyejukkan pandangan dan membuat betah
penghuni rumah.
2. Perempuan sebagai Anggota Masyarakat
Peranan  perempuan  dalam  masyarakat  merupakan pokok
persoalan.   Oleh karena kecenderungan  penilaian bahwa normativitas
Islam menghambat ruang gerak perempuan dalam masyarakat.  Hal  ini
didukung  oleh  pemahaman  bahwa tempat terbaik bagi perempuan adalah
di rumah,  sedangkan di luar rumah banyak terjadi kemudharatan.
Pandangan yang paling  umum adalah bahwa keluarnya
perempuan  dari rumah untuk  maksud tertentu dihukumi  dengan  subhat,
antara diperbolehkan  dan tidak. Dalam  bahasan  fiqh ibadah, jika subhat
lebih baik ditinggalkan.  Sedangkan dalam  fiqh muamallah bisa
dijalankan  dengan  rukhshah darurat. Akan tetapi menurut pandangan
Qardhawy (1997:231) bahwa keluarnya perempuan dari rumah untuk
keperluan  tertentu adalah diperbolehkan. Bahkan menahan perempuan  di
dalam rumah hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka  waktu tertentu
sebagai bentuk penghukuman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‫قَ ْد أَ ِذنَ لَ ُك َّن أَ ْن ت َْخرُجْ نَ لِ َح َوائِ ِج ُك َّن‬

“Allah telah mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan


hajat kalian.” (Muttafaqun ‘alahi)
Perempuan   sebagai  bagian  tak  terpisahkan  dari   umat
mendapat  perlakuan yang sama persis dengan  laki-laki. Baik dalam
urusan ibadah dan Muamallah, tiada kelebihan laki-laki atas perempuan.
Dengan demikian perempuan mempunyai hak yang sama dalam usaha
melakukan perbaikan  (ishlah) dalam masyarakat.
Namun demikian ada profesi yang masih menjadi perdebatan
diantara para ulama, bahwa perempuan tidak bisa menduduki dua profesi
yaitu sebagai pemimpin dalam pengertian al-wilayatul-kubra  atau  al-
imamatul-uzhma  (pemimpin  tertinggi) dan qodhi.
Dalam bidang kepemimpinan Islam bertolak dari status manusia
sebagai khalifah di muka bumi. Akhir Surat Al Ahzab mempertegas
kekhalifahan manusia di muka bumi ini sebagai pengembang amanat
Allah SWT untuk mengolah, memelihara dan mengembangkan bumi.
Inilah tugas pokok manusia tidak berbeda antara perempuan dan laki-laki.
Ini yang dalam hukum Islam disebut taqlidiyyah ( Munir, 1999:69)
Namun kepemimpinan  perempuan  merupakan  persoalan  pelik
yang  sampai  saat  ini  terus  menjadi perbincangan. Lingkup
perbincangan  tersebut  bermula  dari  tatanan syari'ah  yang memberikan
barrier  berupa  sinyalemen hadits bahwa tidak akan beruntung suatu
masyarakat jika kepemimpinan diserahkan kepada wanita. (Hr. Bukhari)
Menurut Yusuf Qardhawy, hadits ini adalah  Shahih sebab
periwayatannya  dari Abu  Bakrah yang  kemudian dikutip  Bukhari.
Sedangkan hadits  yang  diriwayatkan oleh Bukhari  termasuk  ke dalam
hadist  yang  shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan, ada yang
difahami secara  tekstual, ataupun difahami secara  kontekstual.
Pemahaman secara tekstual akan menyimpulkan bahwa haram hukum
wanita menjadi kepala  pemerintahan. Sedangkan pemahaman secara
kontekstual, bahwa  hadits  tersebut berkaitan  dengan diangkatnya
seorang  wanita  Persia menjadi  pemimpin meski disekitarnya  terdapat
banyak calon   pemimpin  yang memadai,  hanya  karena   hukum kerajaan
menghendaki demikian. (Qardhawy,1997:246)

G. Sistem Pergaulan dalam Islam


Islam adalah agama yang mulia dan mengatur segala aspek kehidupan
termasuk pergaulan. Dalam islam ada beberapa etika yang harus dipenuhi dan
hal ini disebut dengan etika islam. Etika islami adalah sistem atau tata cara
yang mengatur tingkah laku seseorang terutama dalam masyarakat. Etika islam
adalah etika yang dilandasi oleh hukum islam dan mutlak mengikat semua
umat muslim terutama dalam pergaulan.
Pokok dasar etika islam tercantum dalam alqur’an seperti firman Allah dalam
Al qur’an surat Al qalam ayat 4 dan Ali Imran ayat 104 yang bunyinya
”Hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru kepada kebaikan
(al-khair) menyerukan kepada ma’ruf (yang baik) dan melarang dari
perbuatan munkar dan itulah orangorang yang bahagia” (Q.S. Ali-Imran:
104)

”Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang


agung”. (Al Qalam ; 4)

Dalam agama islam ada beberapa aspek atau hal menyangkut pergaulan
yang harus diketahui diantaranya adalah dengan siapa kita bergaul dan
bagaimana cara bergaul dengan orang lain. Secara umum pergaulan dalam
agama islam dibedakan menjadi dua, yaitu: pergaulan antar sesama muslim dan
pergaulan antara muslim dengan penganut agama lain (non-muslim).

1. Pergaulan dengan sesama muslim

Dari An- Nu’man bin Basyir r.a berkata, Rosulullah saw. bersabda,


“Perumpamaan orang- orang yang beriman dalam hal saling mencintai,
saling menyayangi dan kasih mengasihi adalah seperti satu tubuh, dimana
apabila ada salah satu anggota tubuh yang mangaduh kesakitan maka
anggota-anggota tubuh yang lainnya ikut merasakannya yaitu dengan
tidak bisa tidur dan merasa demam.” (H.R Bukhari Muslim)

Begitu indahnya islam yang mengajarkan untuk saling melindungi,


berinteraksi antara sesama muslim sehingga terwujudnya rasa saling
mengenal satu sama lain walaupun berbeda suku, bangsa dan warna kulit.

Dari Abu Hurairah RA berkata ” Kewajiban orang muslim terhadap


orang muslim lain enam perkara. Orang beratnya kepada beliau; apakah
itu ya Rasulallah? Jawab Rasulallah SAW.: “ Jika berjumpa dengannya
diberi salam, jika diundang mendatanginya, jika dimintanya nasihat
diberikan, jika bersin dan ia menyebut nama Allah, dido’akan dengan
beroleh rahmat,jika ia sakit ditengok dan jika ia meninggal diantarkan”.
(H.R.Muslim)

Terhadap sesama muslim, seorang muslim memiliki enam kewajiban


yang harus ditunaikan demi menjaga silaturahmi. Adapaun penerepannya
tetap harus memerhatikan batasan-batasan agar tidak terjerumus kedalam
hubungan yang tidak dihalalkan oleh Allah.
Oleh karena itu agama islam mengatur kembali hubungan antar
sesama muslim dengan hukum yang lebih rinci yaitu cara berhubungan
antara laki-laki dan perempuan. Tidak semua hubungan laki-laki dan
perempuan diharamkan, hal ini bergantung pada status laki-laki terhadap
perempuan dan begitu pula sebaliknya.
Dalam agama islam, pada hubungan antara laki-laki dan perempuan
dikenal dengan istilah mahram. Mahram adalah laki-laki atau perempuan
yang haram dinikah karena adanya hubungan persaudaraan, seperti
saudara kandung dan saudara sepersusuan.
Menjaga silaturahmi hendaknya selalu dilakukan agar terbentuk
ukhuwwah islamiyyah yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai salah
satu dari tiga kekuatan pokok umat muslim. Diantara cara menjalin
silaturahmi antar sesame muslim adalah dengan menunaikan hak-haknya
dan memperlakukan sesama muslim layaknya saudaranya sendiri
sebagaimana Rasulullah mengibaratkan seorang muslim dengan muslim
lainnya itu ibarat satu tubuh, jika salah satu sakit, maka akan sakitlah
bagian tubuh yang lain.

Saudara seiman laksana satu jiwa, apabila mencela muslim yang


lainnya atau muslim sedunia maka berarti sudah mencela diri sendiri.
Sebagaimana firman Allah ta’ala:

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu


damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-
Hujurat 49:10)

Persaudaraan yang hakiki adalah persaudaraan atas dasar kesamaan


keimanan. Tidak ada persaudaraan yang benar tanpa didasari iman dan
tidak ada iman yang benar tanpa dibarengi dengan rasa persaudaraan antar
sesama orang-orang beriman dan tanpa disertai dengan melaksanakan hak-
hak mereka. Sehingga persaudaraan dan keimanan adalah dua hal yang
tidak terpisahkan.

“Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian hingga dia


mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.[HR
Bukhari dan Muslim]

berikutnya“…..Jangan pula kalian saling memanggil dengan gelar-


gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang
buruk sesudah iman……”

Penjelasan dari ayat diatas dilarang saling memanggil dengan gelar /


julukan yang jelek atau yang tidak disukai oleh orang yang dipanggil atau
merupakan celaan. Panggilan yang paling buruk adalah menyebut
saudaranya seaqidah dengan sebutan fasik, padahal dia sudah bertobat;
juga sebutan atau panggilan lain yang senada, seperti, “Hai Munafik”,
“Hai Musyrik,” “Hai Kafir,” “Hai Yahudi”, “Hai Nasrani,” dan
semacamnya. Padahal mereka sudah beriman. Rasulullah saw. juga
menggelari Abu Bakar ra. dengan ash-shiddiq, Umar bin al-
Khaththab dengan al-fâruq, Khalid bin al-Walid diberi gelar sayful-
Llâh, Utsman bin Affan dengan dzû an-nûrayni (pemilik dua cahaya).

2. Pergaulan dengan non-muslim


Rasulullah SAW sebagasuri tauladan yang baik telah mencontohkan
bagaimana hablun min an-naas bahkan pada selain pemeluk agama islam.
Realitas keberagaman manusia dalam agama dan keyakinannya
merupakan sunatullah yang tidak bisa dihilangkan. Andaikan Allah
subhanahu wata’ala mempersatukan manusia dalam satu agama misalnya
tentu Dia kuasa, namun realitasnya tidak demikian. Firman Allah Ta’ala di
dalam Al- Qur’an:

“Dan jika Tuhan-mu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat), kecuali orang yang
diberi rahmat oleh Tuhan-mu. Dan untuk itulah Allah menciptakan
mereka. Kalimat (keputusan) Tuhan-mu telah tetap, "Aku pasti akan
memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka)
semuanya."(QS.Hud:118–119)

Perbedaan agama tidak bisa dijadikan alasan untuk berperilaku buruk,


memusuhi dan memerangi pemeluk agama lain. Dengan demikian asas
hubungan antara umat Islam dengan non-Muslim bukanlah peperangan
dan konflik, melainkan hubungan tersebut didasari dengan perdamaian dan
hidup berdampingan secara harmonis. Islam memandang seluruh manusia,
apa pun agama dan latar belakangnya, terikat dalam persaudaraan
kemanusian (ukhuwwah insaniyyah) yang mengharuskan mereka saling
menjaga hak-hak masing, mengasihi, tolong-menolong, berbuat adil dan
tidak menzalimi yang lain.

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak
mengusir kamu dari kampong halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah: 8)

Sikap-sikap yang hendaknya kita tunjukan kepada pemeluk agama lain,


diantaranya adalah:
a. Mengedepankan budi pekerti yang baik
Di manapun berada, terlebih di lingkungan yang plural, seorang
Muslim tidak dapat melepaskan dirinya dari hubungan sosial dengan
pemeluk agama lain. Islam mengajarkan, dalam setiap menjalin
hubungan dan interaksi sosial dengan siapa pun baik Muslim maupun
non-Muslim, setiap Muslim harus tampil dengan budi pekerti yang
baik (Akhlaq al-Karīmah), tutur kata yang  lembut, dan sikap yang
penuh kesantunan dan kasih sayang (rahmah). Sebagaimana perintah
Allah subhanahu wata’ala. kepada Nabi Musa As. dan nabi Harun As.
untuk bertutur kata lembut kepada Fir’aun:

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang


lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. juga bersabda:

"Allah menyampaikan wahyu kepada Nabi Ibrahim As: 'Perbaikilah


budi pekertimu meskipun terhadap orang-orang non-Muslim, maka
engkau akan masuk (surga) tempat tinggal orang-orang yang baik'."
(HR. Al Hakim at Tirmidzi)

Sikap seperti ini merupakan refleksi kebeningan spiritual pada diri


seorang Muslim.

b. Internalisasi semangat persaudaraan nasional (ukhuwwah


wathaniyyah)
Kerukunan antarumat beragama tidak dapat terjalin sempurna
hanya dengan sikap saling toleransi saja, namun diperlukan adanya
keterbukaan diri untuk terlibat dalam kerjasama demi meraih kebaikan
bersama. Bangsa Indonesia disatukan oleh kehendak, cita-cita, atau
tekad yang kuat untuk membangun masa depan dan hidup bersama
sebagai warga negara di bawah naungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Seluruh elemen bangsa Indonesia disatukan dan meleburkan
diri dalam satu ikatan kebangsaan atau persaudaraan sebangsa setanah
air (Ukhuwwah Wathaniyyah), terlepas dari perbedaan agama dan latar
belakang primordial lainnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Menyatukan seluruh penduduk madinah dalam satu ikatan
kebangsaan:

“Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan mukminin.
Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama
mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri
mereka sendiri. Kecuali bagi yang zalim dan jahat, maka hal demikian
akan merusak diri dan keluarganya.”

“Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, bukan dari komunitas


yang lain.”

Ikatan persaudaran ini meniscayakan kewajiban bersama untuk


saling bahu-membahu bekerjasama dalam membela, memajukan dan
memakmurkan negaranya, mengesampingkan segala bentuk perbedaan
primordial. Sebagaimana tercantum dalam salah satu butir piagam
Madinah:

“Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi umat Islam ada
kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimīn) bantu-membantu
dalam  menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran,
nasehat dan berbuat baik tidak boleh berbuat jahat. Seseorang tidak
menanggung hukuman akibat kesalahan sekutunya. Pembelaan
diberikan pada pihak yang teraniaya.”

c. Kebebasan beragama, beribadah dan mendirikan rumah ibadah


Agama Islam menjamin kebebasan beragama bagi setiap pemeluk
agama lain, dalam arti memaksakan non-Muslim untuk memeluk
agama Islam merupakan sebuah larangan.

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS Al-


Baqarah: 256)
Di sisi lain, problematika pendirian rumah ibadah di tengah-
tengah masyarakat yang plural merupakan persoalan yang sensitif.
Setiap peristiwa pengerusakan, atau gangguan terhadap rumah ibadah
ataupun aktivitas peribadatan selalu menimbulkan dampak
kerenggangan antar pemeluk agama yang dapat merusak kerukunan di
antara mereka, bahkan rawan menyulut konflik. Islam memberikan
toleransi dan menjamin kebebasan terhadap pemeluk agama lain untuk
melakukan kegiatan keagamaan dan beribadah sesuai keyakinannya.
Begitu pula terhadap pendirian tempat ibadah, namun kebebasan
tersebut tetap harus mempertimbangkan kebutuhan terhadap rumah
ibadah serta harus sesuai perundang-undang dan peraturan pemerintah
yang berlaku.

d. Tidak mengganggu, merendahkan, menistakan atau menghina


simbol-simbol agama lain
Allah subhanahu wata’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah


selain Alloh, karena mereka nanti akan memaki Alloh dengan
melampaui batas dasar pengetahuan.Demikianlah kami jadikan setiap
ummat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan
tempat kembali mereka, lalu dia akan memberitahukan kepada mereka
apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-An’am: 108)

H. Tujuan Sistem Pergaulan dalam Islam


Tujuan adanya sistem pergaulan tidak lain adalah untuk menjaga
ukhuwwah islamiyyah dan ukhuwwah wathaniyyah sebagaimana dicontohkan
oleh Rasulullah SAW. Hadirnya Islam di tengah masyarakat tidak lain adalah
sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin, yaitu rahmat bagi semesta alam sehingga syariat-
syariat yang diterapkannya pun tidak lain ditujukan untuk kebaikan dan
kemaslahatan umat manusia.

I. Adab Pergaulan dalam Islam


Adab pergaulan dalam islam terbagi menjadi 4 hal, yaitu adab pergaulan
dengan teman sebaya, pergaulan dengan orang yang lebih tua, pergaulan
dengan orang yang lebih muda, serta pergaulan dengan lawan jenis.
1. Adab Bergaul dengan Teman Sebaya
Bergaul dengan teman sebaya Dalam bahasa Arab bergaul diartikan
dengan Shuhbah yang diambil dari kata shahiba yang berarti pertemanan.
Dalam bahasa Indonesia bergaul berarti campur. Sementara teman sebaya
dalam kamus besar bahasa Indonesia teman sebaya diartikan sebagai
kawan, sahabat atau orang yang usia hampir sama. Dengan demikian
yang dimaksud dengan bergaul sesama teman sebaya adalah pertemanan
seorang individu dengan individu lainnya (anak-anak, usia remaja atau
dewasa) yang tingkat usianya hampir sejajar. Cara mencari teman sebaya
yang baik menurut Islam, Dalam hadits dari Abu Hurairah Rasulullah
Saw bersabda
“Seseorang bergantung pada agama temannya, perhatikan siapa yang
dijadikan teman”.(HR. Ahmad)
Berdasarkan hadits di atas menjadi jelas bahwa seseorang perlu mencari
teman sebaya yang baik yang akan bergaul dengannya. Secara umum
seseorang hendaklah mencari teman yang cerdas, memiliki akhlak yang
baik, bukan orang fasik dan tidak semata-mata rakus terhadap kehidupan
duniawi.
 Cerdas
Kecerdasan bagi seseorang adalah modal awal. Oleh karena itu di
dalam Islam dianjurkan untuk mencari teman yang cerdas bukan yang
bodoh atau dungu. Bergaul dengan orang bodoh atau dungu pada
akhirnya akan menimbulkan keburukan dan putusnya hubungan
silaturahmi sekalipun dalam waktu yang relative lama. Oleh karena
menurut al Ghazali orang yang memutuskan persahabatan dengan
orang yang bodoh merupakan ibadah.
 Memiliki akhlak yang baik
Carilah teman yang memiliki akhlak baik. Seorang teman yang telah
diliputi oleh emosi, kikir, penakut dan cenderung mengikuti hawa
nafsunya tidak akan menghasilkan pergaulan atau pertemanan yang
baik. Oleh karena itu Allah Swt berfirman mengingatkan hal ini

“Tidakkah kamu perhatikan orangorang yang menjadikan suatu kaum


yang dimurkai Allah sebagai teman? orangorang itu bukan dari
golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. dan mereka
bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka
mengetahui..Allah telah menyediakan bagi mereka azab yang sangat
keras, Sesungguhnya Amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan”.
(QS. Al Mujadilah (58):1415)
 Bukan orang yang fasik
Orang yang fasik adalah orang yang senantiasa berbuat dosa walaupun
perbuatan dosanya merupakan dosa kecil. Tidak ada kebaikan sama
sekali bergaul denagn orang fasik karena biasanya orang fasik akan
meremehkan perbuatan maksiat kepada Allah Swt dan menjadikan
hati semakin dekat terhadap perbuatan maksiat itu sendiri. Selain itu
orang yang fasik adalah orang yang jarang berbuat baik karena ia
tidak takut kepada Allah Swt di samping merupakan sosok yang tidak
bisa dipercaya pertemanannya. Allah Swt berfirman:

“Dan bersabarlah kamu bersamasama dengan orangorang yang


menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaanNya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas” (QS. Al-Kahfi(18):28)

 Bukan orang yang rakus


Menurut al-Ghazali bergaul dengan orang yang rakus terhadap hal-hal
dunia merupakan racun pembunuh. Oleh karena itu bergaulah dengan
orang yang tidak rakus terhadap hal duniawi. Hal-hal yang bersifat
duniawi perlu dicari tetapi rakus terhadap duniawi tidak baik. Oleh
karena itu Abu Sulaiman al-Darani mengingatkan:
”Janganlah bergaul kecuali kepada salah satu dari dua orang ini: orang
yang menyertaimu(menasehati) di dalam halhal duniawi atau kepada
seseorang yang senantiasa bertambah setiap saat amalamal
akhiratnya.”
Berikut ini merupakan adab bergaul dengan teman sebaya:
a) Saling menghormati
Sikap saling menghormati berarti menempatkan hak dan kewajiban
secara seimbang. Menempatkan prsamaan hak dan kewajiban secara
seimbang sangat dianjurkan oleh Islam. Hal tersebut dilakukan
sebagai perwujudan ukhuwah insaniah. Oleh karena itu Allah
menempatkan manusia sebagai mahluk yang paling mulia.
b) Tolong menolong
ketika seorang teman memiliki hajat ataupun kegiatan yang
membutuhkan pertolongan, maka diusahakan untuk menolongnya.
Dari sini kelak akan timbul keharmonisan dalam berteman.Rasulullah
Saw bersabda:
“Dari Abu Hurairah r.a Rasulullah SAW bersabda, ”Allah akan slalu
menolong hamba Nya selama hamba itu mau menolong saudaranya”.
(H.R Muslim)
c) Saling menasihati
Ketika ada teman yang berselisih atau bertengkar ataupun melakukan
perbuatan yang tidak baik terhadap teman-teman yang lain maka kita
wajib menasehatinya.
2. Adab Bergaul dengan Orang yang Lebih Tua
Islam telah menganjurkan pemeluknya untuk menghormati orang yang
lebih tua dan menyayangi sosok yang lebih muda. Orang tua memiliki
kedudukan yang sangat mulia sehingga Allah memerintahkan kita untuk
berbakti kepada keduanya Allah Swt berfirman:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah
kembalimu”. (QS. Luqman(31): 14
Adab bergaul dengan orang yang lebih tua yaitu:
a) Berlaku sopan
Orang beriman akan menunjukkan perhatian kepada orang yang lebih
tua khususnya kepada kepada orang tua yang telah melahirkannya
dan memperlakukan mereka dengan rasa hormat, menanamkan kasih
sayang bagi mereka, memperlakukan mereka dengan baik, dan
berusaha menyenangkan hati mereka dengan perilaku baik dan bijak.
b) Berkata santun
Salah satu bentuk sikap santun kepada orangtua atau orang yang lebih
tua adalah jangan bersuara lebih keras dari suara mereka, memutus
pembicaraan, berhohong, mengejutkan mereka saat sedang tidur atau
meremehkan.
c) Menolak dengan halus perintah buruk
Dalam hal tertentu mungkin orang tua atau orang yang lebih tua
melakukan hal-hal yang kurang sesuai dengan ajaran agama. Orang
yang lebih tua yang berprilaku buruk adalah orang tidak menanamkan
nilai-nilai yang baik sehingga anak atau orang yang lebih muda tidak
memberikan apresiasi kepadanya. Meskipun demikian siapa saja
yang mendapati hal seperti ini, maka hendaknya ia menolak dengan
cara bersikap sopan dan berkata santun sehingga mereka merasa tidak
dilecehkan dan pada saat bersamaan hendaknya mendoakan para
orang tua tersebut untuk tidak melakukan kegiatan buruk tersebut.
3. Adab bergaul dengan orang yang lebih muda
a) Memberi nasehat dengan bijak
Nasehat yang diberikan oleh orang yang lebih tua tentunya harus
bijak. Sebenarnya yang diinginkan oleh para pemuda khususnya
remaja adalah kebebasan. Maksudnya mereka sesungguhnya tidak
mau mengikuti peraturan yang mengikat yang berasal dari orang tua
mereka. Di sinilah diperlukan kebijaksanaan dari para orang tua
sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara anak dan orang tua.
Bersikap lemah lembut ditambahkan dengan pengertian terhadap
sikap seorang remaja diperlukan. Al Quran menunjukkan bahwa
sikap keras hati dalam berdakwah akan menyebabkan orang yang
menerima dakwah tersebut akan lari. Sebaliknya yang menjadikan
mereka sadar dan mengikuti kita adalah kelemahlembutan.
b) Memberi perhatian dan kasih sayang
Orang yang lebih muda usianya membutuhkan perhatian orang yang
lebih tua. Oleh karena itu hendaknya orang yang lebih tua
menampakkan perhatian yang lebih besar kepada mereka yang
muda. seorang anak atau pemuda bisa berprilaku nakal, karena mau
mendapat perhatian orang dewasa.
Perhatian dan kasih sayang ini dapat dilakukan dengan komunikasi
yang baik. Karena pada hakekatnya anak-anak, remaja dan pemuda
ingin dihargai, didengar dan diperhatikan keluhan-keluhan mereka.
Dalam hal ini tentunya diperlukan sosok yang tua yang dapat
bersikap tegas, tetapi dapat akrab dengan mereka. Di sini orang yang
lebih tua harus bisa bersikap sebagai orang tua, guru sekaligus
kawan bagi mereka. Dalam mendidik anak harus dilakukan dengan
cara yang masuk akal, dapat menjelaskan mana yang baik dan mana
yang buruk, melakukan pendekatan persuasif dan memberikan
perhatian yang cukup.
c) Memberi teladan yang baik
Menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku
kepada siapa saja yang berusia lebih muda adalah metode pendidikan
yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa
pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang
langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan.
Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan
dari contoh yang terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih
semangat dalam beramal seperti yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad Saw yang menjadikan tantangan sebagai peluang hingga
ia menjadi pemuda yang bergelar alamin (tepercaya) dari
masyarakatnya.
4. Adab Bergaul dengan Lawan J enis
Islam adalah agama yang mengatur tata kehidupan manusia. Islam
sesungguhnya tidak melarang bergaul dengan siapapun termasuk
pergaulan dengan lawan jenis. Lawan jenis berarti lawan dari jenis
kelamin. Apabila laki-laki, maka lawannya perempuan dan begitu pula
sebaliknya. Dalam hal ini Allah Swt berfirman:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan
bersukusuku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”.(QS. AlHujurat(49): 13)
Pergaulan yang baik dengan lawan jenis. hendaklah tidak didasarkan pada
nafsu (syahwat) yang dapat menjerumuskan pada pergaulan bebas yang
dilarang agama. Inilah yang tidak dikehendaki dalam Islam. Islam sangat
memperhatikan batasan-batasan yang sangat jelas dalam pergaulan antara
laki-laki dengan perempuan. Islam mengajarkan agar dalam pergaulan
dengan lawan jenis untuk senantiasa saling menjaga diri, menghormati dan
menghargai atas dasar kasih sayang yang tulus karena Allah.
Adab bergaul dengan lawan jenis:
a) Menutup aurat
Dalam pergaulan dengan lawan jenis diwajibkan bagi lelaki dan
perempuan untuk menutup aurat. Batas aurat lelaki adalah dari pusar
sampai lutut. Sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuh,
kecuali muka dan telapak tangan. Tidak diperbolehkan bagi laki-laki
melihat aurat wanita yang bukan mahramnya walaupun tidak dengan
syahwat ataupun tidak untuk tujuan kesenangan. Adapun melihat
bagian yang tidak termasuk kepada aurat seperti wajah dan telapak
tangan diperbolehkan dengan syarat hal tersebut tidak menimbulkan
fitnah dan bukan untuk memuaskan kesenangan. Bila hal tersebut
menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat, maka melihatnya
juga dilarang.
b) Menundukkan pandangan
Islam Memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menundukkan
pandangan. Islam juga mengajarkan agar selalu menjaga mata
sehingga tidak melakukanperbuatan maksiat. Memandang wanita
(bukan mahram) denagn hawa nafsu sudah dianggap perbuatan
maksiat.
c) Saling bertanggung jawab
Jika ada masalah yang dihadapi, maka diupayakan untuk dipikul atau
dipertanggung jawabkan bersama-sama, dan tidak membiarkan salah
satu pihak menderita. Dalam peribahasa diungkapkan: ‘Berat sama
dipikul ringan sama dijinjing” Rasulullah SAW bersabda:
“Seseorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya adalah bagaikan
suatu bangunan, yang bagianbagian saling menguatkan satu sama
lain”. (HR. Bukhari)

STUDI KASUS
Pada berita-berita yang ditampilkan, mayoritas kejadian HIV/AIDS pada beberapa
kota masih dalam jumlah yang cukup tinggi. rata-rata penyebab dari kejadian
HIV/AIDS ini disebabkan oleh pergaulan bebas seperti seks bebas dan
penyalahgunaan narkoba yang banyak terjadi pada kelompok usia remaja hingga
dewasa. Pergaulan bebas ini sangat menyimpang jika dilihat dari prinsip serta
sistem pergaulan yang ada dalam islam. Hubungan pergaulan bebas dengan gizi
dapat dilihat dari akibat dari pegaulan bebas itu sendiri yaitu timbulnya masalah
gizi.

Para pengguna narkoba pada umumnya rawan terhadap masalah gizi. Menurut
Damayanti (2002) dalam penelitian Ekawati (2009), tingkat keparahan
ketergantungan narkoba berhubungan erat dengan tingkat keparahan malnutrisi.
Energi dan protein dibutuhkan untuk meningkatkan ataupun mempertahankan
status gizi pasien rehabilitasi narkoba. Status gizi yang optimal sangat dibutuhkan
untuk mempercepat proses rehabilitasi dan untuk meningkatkan sistem kekebalan
tubuh. Masalah gizi yang dialami pasien ketergantungan narkoba disebabkan oleh
penurunan nafsu makan selama masa pengaruh obat dan ketika pecandu
mengalami gejala putus obat (withdrawal symptoms) yang berupa kecemasan,
kegelisahan, depresi, dan gejala psikis lainnya (Tjay, 2007;Hawari, 2001).
Selain dari penyalahgunaan narkoba, infeksi HIV juga dapat mengakibatkan
ketidakmampuan mengabsorbsi zat gizi dari makanan, perubahan metabolisme,
serta berkurangnya asupan makanan akibat ge1ala-gejala yang terkait HIV,
sehingga menyebabkan penurunan berat badan dan infeksi oportunistik. Infeksi
oportunistik merupakan infeksi yang. terjadi pada ODHA ketika kekebalan
tubuhnya sudah sangat rendah. sehingga berbagai penyakit yang tadinya dapat
diatasi dengan tnudah oleh sistem imun tubuh. malah meniadi sangat berbahaya.
Asupan zat gizi yang tidak memenuhi kebutuhan akibat infeksi HIV akan
menyebabkan kekurangan gizi yang bersifat kronis. Sebagian besar pasien
HIV/AIDS di Indonesia mengalami malnutrisi. Bahkan sebagian sudah masuk
dalam kategori wasting syndrome, yaitu suatu keadaan dimana pasien mengalami
kehilangan berat badan lebih dari 10% atau yang mempunyai indeks massa tubuh
kurang dari 20 kg/m2 sejak kunjungan terakhir atau kehilangan berat badan lebih
dari 5% dalam waktu 6 bulan, yang bertahan selama 1 tahun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tujuan adanya sistem pergaulan tidak lain adalah untuk menjaga
ukhuwwah islamiyyah dan ukhuwwah wathaniyyah sebagaimana dicontohkan
oleh Rasulullah SAW. Hadirnya Islam di tengah masyarakat tidak lain adalah
sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin, yaitu rahmat bagi semesta alam sehingga
syariat-syariat yang diterapkannya pun tidak lain ditujukan untuk kebaikan
dan kemaslahatan umat manusia.

B. Saran
Dengan adanya Islam sebagai tatanan hidup yang holistik (menyeluruh)
diharapkan dapat terbinanya muslim yang taat menjalankan perintah
agama, berpikir filosofis, bersikap rasional dan dinamis, serta
berpandangan luas.
DAFTAR PUSTAKA
Munir, Lily Zakiyah.1999. Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan
dalam Prespektif Islam, Bandung :Mizan

Qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur'an  dan Sunnah,
Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,  

Taqiyuddin. 2014. Sistem Pergaulan dalam Islam. Jakarta : Hizbut Tahrir


Indonesia

Zaid, Syaikh Abu Bakar. 2011. Perbedaan yang Wajib Diimani Perempuan
dan Laki-laki. https://almanhaj.or.id/3059-perbedaan-yang-wajib-diimani.html
diakses pada tanggal 21 November 2019.

Al Munawar, Said Aqil Husin. 2004. Al- Quran Membangun Tradisi


Kesalehan Hakiki. Jakarta : Ciputat Press

Makalah Sistem Sosial dan Etnis Dalam Masyarakat. 2017.

https://www.academia.edu/35149804/MAKALAH_SISTEM_SOSIAL_DAN_ET
NIS_ ALAM_MASYARAKAT. Diakses pada tanggal 21 November 2019.
https://dalamislam.com/info-islami/pergaulan-dalam-islam. Diakses pada tanggal
21 November 2019.

https://www.academia.edu/28920749/Tajuk_sistem_sosial_dalam_islam. Diakses
pada tanggal 21 November 2019.

https://radardepok.com/2019/09/ngobrol-pagi-mui-depok-seks-bebas-remaja-
berujung-pada-ims/. . Diakses pada tanggal 21 November 2019.

https://sukabumiupdate.com/detail/life/sehat/61273-6392-Warga-Kabupaten-
Sukabumi-Diperiksa-94-Positif-HIV. . Diakses pada tanggal 21 November 2019.

https://bali.tribunnews.com/2019/10/31/seks-bebas-remaja-di-karangasem-tinggi-
2019-tambah-20-orang-terjangkit-hivaids. . Diakses pada tanggal 21 November
2019.

https://faktualnews.co/2019/11/11/kasus-narkoba-di-jombang-marak-ini-ajakan-
ketua-gann/174851/. . Diakses pada tanggal 21 November 2019.

Jafar, Nurhaedar. 2004. Malnutrisi Pada Penderita HIV/AIDS. Artikel.

Anda mungkin juga menyukai