Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TRADISI SEPUTAR BAYI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


ASWAJA II

Oleh Kelompok I :

1. Sheli Juwati Anggreni (12422002)


2. Uswatun Khabiba Amalia (12422006)
3. Anis Al Ayubi (12422007)
4. Islamiyatur Rosida (12422009)
5. Ratna Fujianingrum (12422010)
6. Zumrotul Hamidah (12422013)
7. Mamlu’atul Nihayah (12422016)

Dosen Pengampu :

H. Abdul Khobir, M.Pd.I

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SIDOARJO
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. sebagai wujud rasa syukur atas karunia-
karunia-Nya. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan ke hadirat
junjungan kita Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan para sahabatnya. Berkat
pertolongan-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep
Bid’ah” ini dengan baik tanpa halangan suatu apapun.

Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat kesalahan dan kekurangan pada makalah ini kami
mohon maaf.

Sidoarjo, 1 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Konsep Bid'ah...............................................................................................2
B. Argumen Kebenaran Tentang Konsep Bid'ah Hasanah................................8
C. Beberapa Contoh Amaliah dan Tradisi Sunnah yang Dibid'ahkan.............13
BAB III PENUTUP..............................................................................................16
Kesimpulan.........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ingar-bingar perang urat saraf yang menguras energi umat Islam akhir-
akhir ini adalah debat yang tidak diketahui hulu-hilirnya, yaitu terkait sunnah
dan bid’ah. Ilustrasinya, kubu A mengklaim suatu aktivitas sebagai sunnah,
sedangkan kubu B menuduh aktivitas tersebut sebagai bid’ah. Bid‘ah sendiri
secara bahasa berasal dari bahasa Arab akar kata bada‘a yang artinya
mengadakan (membuat) sesuatu yang baru. Secara istilah, bahwa bid’ah
merupakan sesuatu yang baru yang tidak ada di zaman Rasul, atau sesuatu hal
yang tidak dilakukan Rasul.

Kemudian kata ini menjadikan suatu alat pembenaran dan pembelaan


oleh sekelompok yang mengatasnamakan Islam yang murni, atau Islam sesuai
Sunah Nabi yang kemudian justru banyak menimbulkan adu argumen, karena
mengadili kelompok yang tidak sepahaman dengan makna bid’ah dengan kata
kafir, sesat, dan lain-lain. Beberapa ulama mencari jalan keluar atau titik
terang dari polemik tersebut, menggunakan pemahaman makna yang serius
dengan ditinjau dari sudut dalil aqli maupun naqli. Untuk menjawab
persoalan tersebut, maka penulis akan memgulas lebih dalam mengenai
konsep bid’ah di dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep bid'ah dan pembagiannya?
2. Bagaimana argumen kebenaran tentang konsep bid'ah hasanah?
3. Apa saja contoh-contoh amaliah dan tradisi sunnah yang dibid'ahkan?

C. Tujuan
1. Agar dapat memahami konsep bid'ah dan pembagiannya.
2. Agar dapat mengetahui argumen kebenaran tentang konsep bid'ah
hasanah.

1
3. Agar dapat mempelajari beberapa contoh amaliah dan tradisi sunnah
yang dibid'ahkan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Bid'ah
Istilah bid'ah sering kali disandingkan dengan istilah sunnah. Hadlratus
Syeikh Hasyim Asy'ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah
mengutip tulisan Syekh Zarruq dalam kitab Uddatul Murid, bahwa secara
syara’, istilah bid'ah merupakan munculnya perkara baru dalam agama yang
kemudian mirip seprti bagian ajaran agama tersebut, padahal baik secara
formal maupun hakekat dia bukan bagian darinya. Penjelasan tersebut tentu
sesuai dengan hadits Rasulullah Saw. sebagai berikut:

‫َمْن أْح َدَث يف أْم ِر َنا َه َذ ا َم ا َلْيَس ِم ْنُه َفُه َو َر ٌّد‬


Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan (agama) kami,
yang tidak termasuk bagian dari agama itu, maka perkara baru
tersebut tertolak1

Perihal hadits Rasulullah SAW itu, Guru Besar Hadits dan Ulumul
Hadits Fakultas Syariah Universitas Damaskus Syekh Mushtofa Diyeb Al-
Bugha membuat catatan singkat berikut ini.

‫ (ما ليس فيه) مما‬.‫ (أمرنا هذا) ديننا هذا وهو اإلسالم‬.‫(أحدث) اخرتع‬

‫ال يوجد يف الكتاب أو السنة وال يندرج حتت حكم فيهما أو يتعارض مع‬

.‫ (رد) باطل ومردود ال يعتد به‬.)‫أحكامها ويف بعض النسخ (ما ليس منه‬

Siapa saja yang mengada-ada (membuat hal baru) di dalam urusan


(agama) kami (agama Islam) yang bukan bersumber darinya (tidak
1
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, “Risalah Aswaja Dari Pemikiran, Doktrin, Hingga Model
Ideal Gerakan Keagamaan”, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2015, hlm 38

2
terdapat dalam Al-Quran atau sunah, tidak berlindung di bawah
payung hukum keduanya atau bertolak belakang dengan hukumnya),
maka tertolak (batil, ditolak, tidak diperhitungkan).2

Penjelasan tentang bid’ah juga berkaitan dengan hadits yang


diriwayatkan oleh Imam An-Nasai berikut ini.

‫ َك اَن َرُس وُل الَّل ِه َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم َيُق وُل‬: ‫ َقاَل‬،‫َعْن َج اِبِر ْبِن َعْبِد الَّلِه‬

‫ "َمْن َيْه ِدِه الَّل ُه َفاَل‬: ‫ َّمُث َيُق وُل‬،‫ ْحَيَم ُد الَّلَه َو ُيْثيِن َعَلْي ِه َمِبا ُه َو َأْه ُلُه‬:‫يِف ُخ ْطَبِتِه‬

،‫ ِإَّن َأْص َد َق اَحْلِديِث ِكَت اُب الَّل ِه‬،‫ َو َمْن ُيْض ِلْلُه َفاَل َه اِدَي َل ُه‬،‫ُمِض َّل َل ُه‬

‫ َو ُك ُّل ْحُمَد َثٍة ِبْد َعٌة َو ُك ُّل‬،‫ َو َش ُّر اُأْلُموِر ْحُمَد َثاُتَه ا‬، ‫َو َأْح َسَن اَهْلْد ِي َه ْد ُي َحُمَّم ٍد‬

." ‫ َو ُك ُّل َض اَل َلٍة يِف الَّناِر‬،‫ِبْد َعٍة َض اَل َلٌة‬

Dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW dalam


khothbahnya bertahmid dan memuji Allah SWT. Lalu Rasulullah SAW
berkata, ‘Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat
menyesatkannya. Siapa yang Allah sesatkan jalan hidupnya, maka
tiada yang bisa menunjuki orang tersebut ke jalan yang benar.
Sungguh, kalimat yang paling benar adalah kitab suci. Petunjuk
terbaik adalah petunjuk Nabi Muhammad Saw. Seburuk-buruknya
perkara itu adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara baru
yang dibuat-buat (dalam agama) adalah bid‘ah. Setiap bid‘ah itu sesat.
Setiap kesesatan membimbing orang ke neraka’.3

Para ulama mengungkapkan, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua
perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah. Hal ini disebabkan

2
Alhafiz Kurniawan, “Inilah Kriteria Bid‘ah Dhalalah dan Bid‘ah Hasanah”, NU Online
(https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/inilah-kriteria-bidah-dhalalah-dan-bidah-hasanah-2dwZw)
diakses pada 1 Oktober 2023
3
Ibid

3
dari kemungkinan ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai
dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).

Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada
sebelumnya, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Baqarah 2: 117

‫َبِد ْيُع الَّسٰم ٰو ِت َو اَاْلْر ِۗض َو ِاَذ ا َقٰٓض ى َاْم ًرا َفِاَّنَم ا َيُقْو ُل َلٗه ُك ْن َفَيُك ْو ُن‬

(Allah) Pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan


sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka, jadilah
sesuatu itu.

Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-
adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi Saw. Timbul suatu
pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak
ada pada zaman Nabi Saw. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu!
Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu
baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;

‫ِب ِب ِن‬
‫ َفَم اَو اَفَق الُّس َّنَة ْحَمُم ْو َدٌة َو َم اَخ اَلَف َه ا َفُه َو‬،‫ ْحَمُم ْو َدٌة َو َم ْذ ُمْو َم ٌة‬: ‫اْل ْد َع ُة ْد َعَتا‬
.‫َم ْذ ُمْو َم ٌة‬
Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai
dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan
dengan sunnah itulah yang tercela4

Imam Syafi’i dalam keterangan di atas jelas membuat polarisasi antara


bid‘ah yang tercela menurut syara’ dan bid‘ah yang tidak masuk kategori
sesat. Pandangan Imam Syafi’i kemudian dipertegas oleh ulama Madzhab
Hanbali, Ibnu Rajab Al-Hanbali sebagai berikut.

4
KH. A.N. Nuril Huda, “Penjelasan Tentang Bid'ah Hasanah dan Bid'ah Sayyiah”. NU Online
(https://jabar.nu.or.id/ngalogat/penjelasan-tentang-bid-ah-hasanah-dan-bid-ah-sayyiah-Np39G)
diakses pada 1 Oktober 2023

4
‫ ما أحدث مما ال أصل له‬:‫ واملراُد بالبدعة‬:‫وقال احلافظ ابن رجب احلنبلي‬

‫ فليس‬،‫ أما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه‬،‫يف الشريعة َي ُد ل عليه‬

.‫ وإن كان بدعة لغة‬،‫ببدعة شرعًا‬

Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, ‘Yang dimaksud bid’ah sesat itu


adalah perkara baru yang tidak ada sumber syariah sebagai dalilnya.
Sedangkan perkara baru yang bersumber dari syariah sebagai
dalilnya, tidak termasuk kategori bid’ah menurut syara’/agama
meskipun masuk kategori bid‘ah menurut bahasa’.

Bolehkah kita mengadakan bid’ah? Dan untuk menjawab pertanyaan


ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi Saw. yang menjelaskan adanya
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.

‫َمْن َس َّن ىِف ْاِال ْس َالِم ُس َّنًة َح َس َنًة َفَل ُه َأْج ُر َه ا َو َأْج ُر َمْن َعِم َل َهِبا ِم ْن َغِرْي َاْن‬
‫ِه‬ ‫ِي‬ ‫ىِف ِال ِم‬ ‫ِر ِه‬ ‫ِم‬
‫َيْنُقَص ْن ُأُجْو ْم َش ْيًئا َو َمْن َس َّن ْا ْس َال ُس َّنًة َس َئًة َفَعَلْي ِو ْز ُر َه اَو ِو ْز ُر‬
.‫َمْن َعِم َل َهِبا ِم ْن َغِرْي َاْن َيْنُقَص ِم ْن َأْو َز اِر ِه ْم َش ْيًئا‬

Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam
maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya
dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang
siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan
mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan
tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.5

Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam, ulama madzhab Syafi’i abad 7 H


kemudian membuat rincian lebih detail perihal bid‘ah beserta contohnya
seperti keterangan sebagai berikut.

5
Ibid

5
.- ‫ َص َّلى الَّل ُه َعَلْي ِه َو َس َّلَم‬- ‫اْلِبْد َع ُة ِفْع ُل َم ا ْمَل ُيْع َه ْد يِف َعْص ِر َرُس وِل الَّل ِه‬
‫ ِبْد ٍة‬،‫ ِبْد ٍة ْنُد و ٍة‬،‫ ِبْد ٍة َّر ٍة‬،‫ ِبْد ٍة اِج ٍة‬: ‫ِه َق ِس ٌة إىَل‬
‫َع َو َب َو َع َحُم َم َو َع َم َب َو َع‬ ‫َو َي ُمْن َم‬
‫ َو الَّطِر ي ُق يِف َم ْع ِر َف ِة َذِل َك َأْن ُتْع َر َض اْلِبْد َع ُة َعَلى‬،‫ َو ِبْد َع ٍة ُمَباَح ٍة‬،‫َم ْك ُر وَه ٍة‬

‫ َو ِإْن َدَخ َلْت يِف‬،‫ َف ِإْن َدَخ َلْت يِف َق اِعِد اِإْل َجياِب َفِه َو اِج َب ٌة‬:‫َق اِعِد الَّش ِر يَعِة‬
‫َي‬ ‫َو‬ ‫َو‬
،‫ َو ِإْن َدَخ َلْت يِف َقَو اِع ِد اْلَم ْن ُد وِب َفِه َي َم ْنُد وَب ٌة‬،‫َقَو اِع ِد الَّتْح ِرِمي َفِه َي َحُمَّر َم ٌة‬

‫ َو ِإْن َدَخ َلْت يِف َقَو اِعِد اْلُم َباِح‬،‫َو ِإْن َدَخ َلْت يِف َقَو اِعِد اْلَم ْك ُر وِه َفِه َي َم ْك ُر وَه ٌة‬

.‫ َو ِلْلِبَد ِع اْلَو اِج َبِة َأْم ِثَلٌة‬،‫َفِه َي ُمَباَح ٌة‬

Bid‘ah adalah suatu perbuatan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah


SAW. Bid‘ah itu sendiri terbagi atas bid‘ah wajib, bid‘ah haram,
bid‘ah sunah, bid‘ah makruh, dan bid‘ah mubah. Metode untuk
mengategorisasinya adalah dengan cara menghadapkan perbuatan
bid‘ah yang hendak diidentifikasi pada kaidah hukum syariah. Kalau
masuk dalam kaidah yang menuntut kewajiban, maka bid‘ah itu masuk
kategori bid‘ah wajib. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut
keharaman, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah haram. Kalau
masuk dalam kaidah yang menuntut kesunahan, maka bid‘ah itu masuk
kategori bid‘ah sunah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut
kemakruhan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah makruh. Kalau
masuk dalam kaidah yang menuntut kebolehan, maka bid‘ah itu masuk
kategori bid‘ah mubah. Bid‘ah wajib memiliki sejumlah contoh.6

Para ulama dan warga Nahdliyin yang mayoritas bermazhab Syafi'i


memahami masalah bid'ah dengan menggunakan pendekatan tafshil dan
taqsim, artinya ada pembedaan dan pembagian. Ada bid'ah hasanah dan ada
6
Alhafiz Kurniawan, “Inilah Kriteria Bid‘ah Dhalalah dan Bid‘ah Hasanah”, NU Online
(https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/inilah-kriteria-bidah-dhalalah-dan-bidah-hasanah-2dwZw)
diakses pada 1 Oktober 2023

6
bid'ah sayyi'ah, bahkan dibagi dalam macam-macam kategori seperti yang
dikemukakan oleh 'Izzuddin bin 'Abdissalam dan lainnya pada bahasan
berikut.7

1. Bid'ah wajib (bid'ah wajibah), yaitu semua kreativitas baru yang


bertujuan menyelamatkan agama dan umat, yang tidak mungkin semua
itu dilakukan tanpa melalui cara-cara atau upaya tersebut. Seperti
pengembangan keilmuan agama (standardisasi mushaf Al-Quran,
penulisan hadis, penulisan teori-teori keilmuan Islam lain, seperti fiqih,
ushul fiqih, tafsir, ulumul Quran. dan lain-lain) yang pada zaman Nabi
Saw. dan Khulafaur Rasyidin belum ada.
2. Bid'ah haram (bid'ah muharramah). Seperti bid’ah-bid'ah dalam bidang
akidah (Qadariyah, Murji'ah, Jabariyah, Mujassimah, dan lain-lain)
yang jelas-jelas bertentangan dengan Sunnah yang ada. Atau,
menghalalkan hal-hal yang jelas ada hukum keharamannya dari Al-
Quran, al-Sunnah atau Ijma', tanpa ada dasar-dasar yang dibenarkan
menurut aturan syara' (seperti menghalalkan zina atau judi).
3. Bid'ah sunnah (bid'ah mandübah). Hal ini sangat banyak bentuknya,
seperti melakukan shalat tarawih dengan berjamaah, mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan dan keilmuan, penulisan ajaran-ajaran
tasawuf yang benar, atau penelitian-penelitian ilmiah yang membawa
manfaat dengan pengadaan laboratorium, teknologi persenjataan,
pembagunan jembatan, dan rumah sakit.
4. Bid'ah makruh (bid'ah makrúhah). Seperti menghiasi bangunan masjid
yang berlebihan (sehingga dapat mengganggu konsentrasi ibadah),
melagukan Al- Quran yang menyimpang dari tajwid dan tartilnya,
bentuk bentuk makanan dan minuman yang bercitra kemewahan,
meskipun barangnya halal.
5. Bid'ah mubah (bid'ah mubahah). Seperti alat-alat transportasi (mobil,
kereta api, pesawat terbang), perlengkapan elektronik (alat-alat
memasak, pesawat telekomunikasi, komputer, dan lain-lain). Atau,

7
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, “Risalah Aswaja Dari Pemikiran, Doktrin, Hingga Model
Ideal Gerakan Keagamaan”, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2015, hlm 52-54

7
budaya yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah atau akidah
Islamiyah yang sudah jelas (bukan yang masih diperselisihkan).

Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Imam Syihabuddin bin


Idris Al-Qarafi, seorang ulama besar mazhab Maliki dalam kitabnya al-
Furuq. Dalam kenyataannya, klasifikasi bid'ah-bid'ah tersebut tidak berlaku
secara statis dan baku, tetapi dapat berubah secara dinamis dan berkembang
sesuai dengan 'illat yang terjadi. Sebagai contoh, ulama-ulama (yang juga
dari NU) pada zaman kolonial pernah memfatwakan "keharaman memakai
dasi" dengan alasan karena hal itu "menyerupai busana kaum penjajah yang

kafir" dan hal itu dilarang oleh agama ( ‫ِم ْنُه ْم‬ ‫ِب ٍم‬
‫)َمْن َتَش َّبَه َق ْو َفُه َو‬. Tetapi,

sekarang justru para pemimpin Islam, termasuk dari Nahdlatul Ulama (NU),
juga biasa memakai dasi.8

B. Argumen Kebenaran Tentang Konsep Bid'ah Hasanah


KH. Muhammad Tholhah Hasan menyebutkan bahwa terdapat
kontroversi di antara para ulama sejak dulu hingga kini dalam memahami
masalah bid'ah. Kontroversi ini tidak saja berimbas pada perbedaan sikap dan
perilaku di kalangan umat Islam, tetapi juga dalam penerimaan dan penolakan
terhadap tradisi-tradisi lokal dan penyerapan budaya-budaya luar. Ada di
antara mereka yang sangat ketat, ada yang longgar, dan ada yang lebih liberal.
Semua pendapat tersebut tidak lepas dari pemahaman terhadap hadis ini:

‫ َو ُك ُّل ِبْد َعٍة َض َالَلٌة‬،‫َفِإَّن ُك َّل ْحُمَد َثٍة ِبْد َعٌة‬


Sungguh, semua yang baru diadakan adalah bid'ah; dan setiap bid'ah
adalah sesat.9

Titik fokus perbedaan dalam memahami hadis di atas terletak pada kata

"‫"ُك ٌّل‬. Satu pihak memahami kata “ ‫ ”ُك ٌّل‬bermakna "seluruh" sehingga seluruh

bentuk bid'ah adalah sesat. Pihak yang lain memahami kata " ‫ "ُك ٌّل‬bermakna

"sebagian besar".
8
Ibid, hlm 54
9
Ibid, hlm 46

8
Berikut beberapa argumen dari para ulama :

1. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, seorang dedengkot Wahhabi, secara

tegas menyatakan bahwa redaksi tersebut (‫َض َالَلٌة‬ ‫) ُك ُّل ِبْد ٍة‬
‫َع‬ ‫َو‬ berbentuk

kulliyah ‘ammah (umum dan mencakup) yang dibatasi oleh kata alat

yang menunjukkan komprehensivitas dan keumuman, yaitu kata " ‫"ُك ٌّل‬.

Mengingat redaksi tersebut berasal dari Nabi Saw. yang -dalam konteks
ini- memiliki tiga kesempurnaan: nasihat dan kemauan yang sempurna;
penjelasan dan kefasihan yang sempurna; dan ilmu pengetahuan yang
sempurna, maka redaksi di atas tiada lain menunjukkan kepada apa yang
dimaksud oleh makna-makna hadis itu sendiri. Lantas, apakah bid'ah
terbagi menjadi tiga bagian atau lima bagian selamanya tidak benar,
demikian pula apakah semua yang diklaim oleh sebagian ulama bahwa di
sana ada bid'ah hasanah (bid'ah yang baik). Maka, jawabannya tidak
lepas dari dua hal. Pertama, bukan bid'ah, tetapi disangka bid'ah. Kedua,
bid'ah yang buruk, tetapi diketahui keburukannya. 10
2. Al-Habib Zainal ‘Abidin Al-'Alawy menolak keras pandangan di atas.
"Para ulama memberikan penjelasan bahwa hadis ini termasuk hadis
umum yang di-takhshish. Yang dimaksud hal-hal yang diadakan
(muhdatsât) dalam hadis di atas adalah hal-hal baru yang dibuat-buat
yang batil dan bid'ah-bid'ah yang yang tercela yang tidak memiliki dasar
dalam hukum syara'. Bid'ah inilah yang dilarang. Berbeda dengan bid'ah
yang memiliki dasar dalam hukum syara'. Bid'ah ini adalah bid'ah
terpuji, karena ia adalah bid'ah hasanah dan termasuk sunnah Khulafaur
Rasyidin serta sunnah imam-imam yang mendapatkan petunjuk.

Ungkapan setiap bid'ah ( ‫ِبْد َع ٍة‬ ‫)ُك ُّل‬ tidak menghalangi bahwa hadis itu

adalah hadis 'amm yang di-takhshish. Bahkan, kata kullu ini termasuk
takhshish, seperti firman Allah Swt.:

‫ُتَد ِّم ُر ُك َّل َش ْي ٍء ِبَأْم ِر َر ِّبَه ا‬

10
Ibid, hlm 47

9
‘Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya’ (QS
Al-Ahqaf [46]: 25), maksud potongan ayat ini adalah segala sesuatu yang
dapat dirusak. Adapun yang tidak dapat dirusak, berarti tidak termasuk
pada ungkapan ini”.11
3. Argumentasi yang lugas juga dikemukakan oleh tokoh NU dari Jember,
KH Muhyiddin 'Abdush-shamad sebagai berikut. Nabi Saw.

menggunakan redaksi "‫ٌّل‬ ‫"ُك‬ dalam hadis ini yang secara harfiah

‫"ِمَج‬ (seluruh). Faktanya, tidak setiap redaksi "‫ٌّل‬ ‫"ُك‬


bermakna " ‫ٌع‬ ‫ْي‬
selamanya bermakna " ‫( "ِمَج ْيٌع‬seluruh), karena terkadang bermakna “ ‫”َبْعٌض‬

(sebagian). Dengan kata lain, redaksi "‫ "ُك ٌّل‬pada satu kesempatan

bermakna kulliyyah (komprehensif), namun pada kesempatan lain


bermakna juz'iyyah (partikular). Hal ini senada dengan Surat Al-Anbiyâ’
(21): 3012
4. Menurut Al-Ghazali, "Tidak semua bid'ah itu dilarang Yang dilarang
adalah yang bertentangan secara pasti dengan al-Sunnah yang jelas (al-
Sunnah al-Tsabitah) atau menghilangkan ketentuan syara' yang masih
tetap ada ‘illat (dasar alasan)-nya. Bahkan, bid'ah itu kadang- kadang
menjadi wajib dalam suatu keadaan, apabila terjadi perubahan berbagai
macam sebab yang mendorongnya".13
5. Menurut Abdulhaq Al-Dahlawi, "Bahwa semua yang muncul sesudah
Rasulullah Saw. adalah bid'ah, dan semua hal yang sesuai dengan
prinsip-prinsip al-Sunnah, yang sejalan dengan kaidah-kaidahnya, atau
yang dapat dikiaskan padanya adalah Bid'ah Hasanah; sedangkan semua
hal yang bertentangan dengan al-Sunnah adalah Bid'ah
Sayyi'ah/Dhalalah". Pandangan ini didukung oleh Imam Al-Nawawi.
Izzuddin bin 'Abdissalam, Ibnu Hajar Al-Asqalany, Abu Syamah, dan
lain-lain.14

11
Ibid, hlm 47-48
12
Ibid, hlm 48
13
Ibid, hlm 52
14
Ibid, hlm 52

10
6. Menurut Al-Syathibi, bid'ah adalah suatu cara dalam agama yang
diciptakan untuk menyamai aturan syara' dengan tujuan untuk
dilakukan sebagaimana melakukan perintah-perintah syara. Misalnya,
menetapkan cara-cara tertentu seperti berdzikir bersama dengan satu
macam suara; menjadikan hari lahir Nabi Saw. sebagai hari besar:
menetapkan ibadah-ibadah tertentu pada waktu-waktu tertentu yang
tidak ditetapkan oleh syariah, seperti puasa nishfu Sya'ban dan shalat
pada malam nishfu Sya'ban. Lebih dari itu, Al-Syathibi menyebut
bahwa yang dimaksud dengan redaksi Hadis "semua bid'ah adalah
sesat" terbatas pada masalah ibadah; sedangkan di luar ibadah, ada
bid'ah- bid'ah lain yang dinilai baik. Pendapat seperti ini juga
dikemukakan oleh ulama lain seperti Ibnu Taymiyah, Ibnu Rajab Al-
Hanbali, dan lain-lain.15
7. Sementara itu, 'Izzat 'Ali 'Id Athiyyah dalam disertasinya mengatakan,
"Senyatanya bahwa di antara sesuatu yang baru itu ada yang
bertentangan dengan agama, atau menyalahi hukum-hukum agama, atau
sama sekali tidak ada unsur agamanya (tapi dianggap masalah agama),
maka hal-hal semacam itulah yang tidak dapat diterima dan disebut
sesat (dhalalah). Namun, ada juga sesuatu yang baru yang tidak
bertentangan dengan agama. dan tidak keluar dari bingkai agama, dan
masih berada pada batas prinsip-prinsip yang ditunjukkan oleh aturan
dasar atau nash-nash yang ada, maka hal-hal tersebut dapat diterima.
Adanya hadis yang menyatakan "semua bid'ah adalah sesat" itu tidak
berdiri sendiri, tetapi dalam konteks perintah untuk menjaga Sunnah
Rasulillah dan Khulafaur Rasyidin, Jadi, bid’ah yang dimaksud (hadis
tersebut) adalah bid’ah yang jelas-jelas bertentangan dengan al-Sunnah,
yang menyimpang dari kepatuhan pada al-Sunnah. Hal itu tidak berarti
menafikan adanya sebagian bid'ah yang tidak berlawanan dengan al-
Sunnah dan tidak keluar dari batas kepatuhan terhadap syariah. Dalam
hal seperti itu, bid'ah tersebut termasuk bid'ah hasanah".16

15
Ibid, hlm 54-55
16
Ibid, hlm 55-56

11
8. Telaah linguistik yang sama juga diterapkan dalam memahami redaksi

hadis ( ‫ِبْد َع ٍة‬ ‫)َو ُك ُّل‬. Meskipun memakai redaksi " ‫"ُك ُّل‬, bukan berarti

seluruh bid'ah adalah haram. Hanya sebagian saja yang haram dan
sebagian lagi tidak haram. Dalam ilmu manthiq, teori ini disebut
dengan

"‫"شکل اول ضرب ثالث‬


Berikut ini contohnya mulai dari premis, hingga konklusinya:17

Sebagian prasangka itu dosa ‫َبْعُض الَّظِّن إٌمْث‬


Seluruh dosa itu wajib dijauhi ‫ُك ُّل إٍمْث ِجَي ُب الَّتَباُعُد َعْنُه‬
Sebagian prasangka wajib dijauhi ‫َبْعَض الَّظِّن ِجَي ُب الَّتَباُعُد َعْنُه‬

‫ُك ُّل (اي َبْعُض ) ِبْد َعٍة َض اَل َلٌة‬


Sebagian bid’ah itu sesat

Seluruh kesesatan itu di neraka ‫ُك ُّل َض اَل َلٍة يف الَّناِر‬


Sebagian bid’ah itu di neraka ‫َبْعُض ِبْد َعٍة يِف الَّناِر‬

Mengacu pada tokoh-tokoh yang di atas, tentu pendapat mereka itu


valid dan argumentatif untuk dijadikan sebagai referensi dalam perilaku

keseharian umat Islam. Apalagi ada kaidah fiqih " ‫ِباإلْج ِتَه اِد‬ ‫ِت‬
‫"اإلْج َه اُد اَل ُيْنَق ُض‬,
dalam konteks ini dapat dimaknai bahwa hasil ijtihad para ulama di atas tidak
dapat dikalahkan' atau dibatalkan oleh hasil ijtihad para ulama lain yang tidak
sependapat dalam pembagian bid'ah. Oleh karena itu, tidak perlu khawatir
dalam melakukan amaliah-amaliah yang sudah disajikan dalil-dalilnya secara
lengkap oleh para ulama dalam berbagai karya tulis mereka, seperti ziarah

17
Ibid, hlm 50

12
kubur, tawasul, tahlilan, istighatsah, mentalqin mayat, peringatan mauld Nabi
Saw., mengadakan walimah haji, hingga berjabat-tangan setelah shalat.18

C. Contoh Amaliah dan Tradisi Sunnah yang Dibid'ahkan


1. Tahlilan
Tahlilan merupakan kegiatan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an
dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir), di mana pahala
bacaan tersebut dihadiahkan untuk para arwah (mayit) yang disebutkan
oleh pembaca atau oleh pemilik hajat. Tahlilan biasanya dilaksanakan
pada hari-hari tertentu, seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian
seseorang, hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya. Tahlilan juga sering
dilaksanakan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam tertentu
lainnya. Setelah tahlilan, biasanya pemilik hajat akan memberikan
hidangan makanan untuk dimakan di tempat atau dibawa pulang. Dengan
demikian, inti tahlilan adalah: 19
a) Pertama, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat
thayyibah kepada mayit.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan
pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit.
Pertama, ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki,
ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan,
menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah
kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang
mayit. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan:
‫ ِعْن َد َأ ِل الُّس َّنِة‬،‫ِل ِه ِلَغِرْي ِه‬
‫ْه‬ ‫َأَّن اِإْل ْنَس اَن َل ُه َأْن ْجَيَع َل َثَو اَب َعَم‬
‫ٍن‬ ‫ِق‬ ‫ِة‬
‫ َص اَل ًة َك اَن َأْو َص ْو ًم ا َأْو َح ًّج ا َأْو َص َدَقًة َأْو َر اَءَة ُقْر آ َأْو‬، ‫َو اَجْلَم اَع‬

18
Ibid hlm, 56
19
Husnul Haq, “Hukum Tahlilan Menurut Mazhab Empat”, NU Online
(https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-tahlilan-menurut-mazhab-empat-bpZVe) diakses pada 1
Oktober 2023

13
‫ ِص َذِل َك إىَل اْل ِّيِت‬،‫اَأْلْذَك ا إىَل َغِرْي َذِل َك ِم ِمَج يِع َأ اِع اْلِّرِب‬
‫َم‬ ‫َو َي ُل‬ ‫ْنَو‬ ‫ْن‬ ‫َر‬

‫َو َيْنَف ُعُه‬


Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk
orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik
berupa shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau
sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai
kepada mayit dan bermanfaat baginya.
Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan,
pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada
mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari
mazhab Maliki menulis:
‫ِص‬ ‫ِق‬ ‫يِف ِض يِف ِب‬
‫ اْلَم ْذ َه ُب َأَّن اْل َر اَءَة اَل َت ُل‬: ‫َق اَل الَّتْو يِح َب ا اَحْلِّج‬
‫ِلْلَم ِّيِت َح َك اُه اْلَق َر اُّيِف يِف َقَو اِعِدِه َو الَّش ْيُخ اْبُن َأيِب ْمَجَر َة‬
Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab
Haji: Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa
pahala bacaan tidak sampai kepada mayit. Pendapat ini
diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh
Ibnu Abi Jamrah.
b) Kedua, mengkhususkan bacaan itu pada waktu-waktu tertentu, yaitu
tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100,
dan sebagainya.
Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu tertentu
untuk beribadah atau membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah,
seperti malam Jumat atau setelah melaksanakan shalat lima waktu.
Mereka berpegangan kepada hadis riwayat Ibnu Umar:
‫ َك اَن الَّن َّلى ا َل ِه‬: ‫ا َق اَل‬ ‫ِض‬
‫ُّىِب َص ُهلل َع ْي‬ ‫َعِن اْبِن ُعَم َر َر َي اُهلل َعْنُه َم‬
‫َّل‬
‫َو َس َم‬

14
‫َّل ِه ِض‬ ‫ِك‬ ‫ٍت ِش‬ ‫ِج ٍء‬ ‫ْأ‬
‫ َو َك اَن َعْب ُد ال َر َي‬.‫َي ْيِت َمْس َد ُقَب ا ُك َّل َس ْب َم ا ًيا َو َر ا ًب ا‬
.‫اُهلل َعْنُه َم ا َيْف َعُلُه‬
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi
shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba’
setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara.
Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma juga selalu
melakukannya.
c) Ketiga, bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan untuk
peserta tahlilan.
Para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh,
dan pahala sedekah sampai kepadanya. Mereka berpedoman pada
hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha:

‫ َي ا َرُس وَل الَّل ِه ِإَّن‬: ‫َأَّن َرُج ًال َأَتى الَّنَّيِب َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم َفَق اَل‬
‫ُأِّم َي‬
‫ َأَفَلَه ا َأْج ٌر ِإْن‬. ‫ َو ْمَل ُت وِص َو َأُظُّنَه ا َل ْو َتَك َّلَم ْت َتَص َّد َقْت‬،‫اْفُتِلَتْت َنْف َس َه ا‬

‫ َقاَل َنَعْم‬.‫َتَص َّد ْقُت َعْنَه ا‬


Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu
berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam
keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya
sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah.
Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?”
Rasul bersabda: “Ya.”

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh
ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi Saw. Bid‘ah adalah suatu
perbuatan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah SAW. Bid‘ah itu
sendiri terbagi atas bid‘ah wajib, bid‘ah haram, bid‘ah sunah, bid‘ah
makruh, dan bid‘ah mubah.
2. Bid’ah dibagi menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Semua hal
yang sesuai dengan prinsip-prinsip al-Sunnah, yang sejalan dengan
kaidah-kaidahnya, atau yang dapat dikiaskan padanya adalah Bid'ah
Hasanah; sedangkan semua hal yang bertentangan dengan al-Sunnah
adalah Bid'ah Sayyi'ah/Dhalalah.
3. Salah satu contoh dari bid’ah hasanah adalah tahlilan, yang merupakan
kegiatan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah
(tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir), di mana pahala bacaan tersebut
dihadiahkan untuk para mayit yang disebutkan oleh pembaca atau oleh
pemilik hajat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Asy’ari, Muhammad Hasyim. 2015. Risalah Aswaja Dari Pemikiran, Doktrin,


Hingga Model Ideal Gerakan Keagamaan. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media.
Haq, Husnul. Hukum Tahlilan Menurut Mazhab Empat. NU Online
(https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-tahlilan-menurut-mazhab-empat-
bpZVe) diakses pada 1 Oktober 2023
Huda, A.N. Nuril. Penjelasan Tentang Bid'ah Hasanah dan Bid'ah Sayyiah. NU
Online (https://jabar.nu.or.id/ngalogat/penjelasan-tentang-bid-ah-hasanah-
dan-bid-ah-sayyiah-Np39G) diakses pada 1 Oktober 2023
Kurniawan, Alhafiz. Inilah Kriteria Bid‘ah Dhalalah dan Bid‘ah Hasanah. NU
Online (https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/inilah-kriteria-bidah-dhalalah-
dan-bidah-hasanah-2dwZw) diakses pada 1 Oktober 2023

17

Anda mungkin juga menyukai