Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

AKTUALISASI BID’AH HASANAH


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Aswaja
Dosen Pengampuh : Deden Purbaya, M.Pd

Disusun oleh :
1. M. Jaenudin Wafa
2. Abdul Mukhan
3. Rizqul Akbar
4. Anieq Aulawiyah

PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEMESTER : 1 (SATU)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MA’HAD ALI CIREBON 2021 M/1443 H
KATA PENGANTAR

‫ والصالة والسالم على سيد نا محمد سيد األنبيا‬,‫ وبه نستعين على امور الد نيا والدين‬,‫الحمد هلل رب العا لمين‬
‫ أما بعد‬,‫ء وامام المرسلين وعلى اله وصحبه اجمعين‬
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Shalawat dan salam senantiasa
dihaturkan ke pangkuan Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan umat-
Nya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kita semua. Amin.
Syukur Alhamdulillah, makalah berjudul “Aktualisasi Bid’ah Hasanah”
telah selesai.
Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah ASWAJA,
dengan dosen pengampuh Bapak Dedeb Purbaya, M.Pd. Kami berharap semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk para pembaca.
Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Cirebon, 26 Oktober 2021

Kelompok 6
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata bid’ah dalam khazanah islam merupakan lawan kata Sunnah.
Bid’ah oleh Imam Abu Muhammad ‘Izzudin bin Abdussalam sebagai,
“fi’lun ma lam yu’had fi ‘ashri rasulillahi shalla Allah ‘alaihi wa sallam”
(mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa
Rasulullah SAW). Kata Sunnah di definisikan dengan “At-thariqah al-
maslukhah fii ad-din bi an salakaha rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa
sallam aw al-salaf al-shalih min ba’dihi” (jalan yang dijalani dalam
agama karena biasa dijalani Rasulullah dan oleh orang-orang terdahulu
yang shalih, sesudah Rasulullah SAW wafat).
Tema ‘Bid’ah’ selalu hangat dan aktual untuk dibicarakan. Hal ini
disamping karena memang banyak terjadi problem di masyarakat yang
berkaitan dengan bid’ah, juga dari waktu ke waktu selalu hadir kelompok-
kelompok yang menolak aktivitas tradisi keagamaan masyarakat dengan
alasan bid’ah.
Oleh karena itu, tulisan ini bernaksud mengupas bid’ah dalam
presepektif Al-Qur’an, hadits dan aqwal para ulama yang otoritatif,
terutama para ulama yang menjadi rujukan utama kaum salafi atau wahabi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
1. Apa definisi dari bid’ah?
2. Ada berapakah pembagian bid’ah?
3. Bagimana pemahaman kelompok penolak bid’ah hasanah?
4. Apa itu macam-macam bid’ah hasanah sejak masa Rasulullah hingga
tabi’in?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi dari bid’ah
2. Untuk mengetahui pembagian dari bid’ah
3. Untuk mengetahui pemahaman kelompok penolak bid’ah hasanah
4. Untuk lebih mengenal bid’ah hasanah pada masa Rasulullah dan
tabi’in
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bid’ah
Kata bid’ah secara bahasa memiliki dua kata asal, pertama, al-
bad’u diambil dari fi’il madhi/bada’a, dan kedua, al-ibda’ yang diambil
dari fi’il madhi/abda’a. Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama,
yaitu kata/ibarat yang memiliki makna tumbuhnya sesuatu tanpa adanya
contoh sebelumnya, yang diada-adakan, dan merupakan kreasi sebelumnya
tidak ada. Jika dikatakan fulanun bada’a fii hadzal amri berarti orang yang
pertama kali melakukannya dan belum ada orang lain yang melakukannya.
Adapun kata abda’a wa ibtida’a wa tabadda’a berarti mengada-adakan
bid’ah, seperti yang difirmankan Allah Swt (Qs. Al-Hadid [27]:27).
“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak
mewajibkannya kepada mereka (yang Kami wajibkan hanyalah) mencari
keridhaan Allah.
Bid’ah, sebagaimana pendapat syekh Zaruq dalam kitab “Uddatul
Murid”, secara syari’at adalah memperbaharui perkara dalam agama yang
menyerupai ajaran agama itu sendiri, padahal bukan bagian dari agama.
Baik bentuk maupun hakikatnya. Sebagaimana sabda Nabi Saw.
َ ‫َث فِى اَ ْم ِرنَا َه َذا لَ ْي‬
‫س ِم ْنهُ فَ ُه َو َر ٌّد‬ َ ‫َمنْ اَ ْحد‬

Artinya : Barang siapa yang membuat-buat dalam agama kami ini


(yang) bukan bagian daripadanya, maka hal tersebut ditolak. (HR.
Bukhari, Muslim)
Dan juga sabda Nabi Saw :
ُ‫َو ُك ُّل ُم ْح َدثَ ٍة بِ ْد َعة‬

Artinya : Dan setiap hal yang dibuat-buat (dalam Agama) adalah


bid’ah. (HR. Nisa’i, Ibnu Majah).
Para ulama telah menjelaskan bahwa pengertian kedua hadits
diatas adalah dikembalikan pada masalah hukum meyakini sesuatu
(amalan) yang tidak bisa mendekatkan diri kepada Allah, sebagai bisa
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Bukan mutlak semua pembaharuan
(dalam agama). Karena mungkin saja pembaharuan tersebut terdapat
landasan ushulnya dalam agama, atau terdapat contoh furu’iyah-nya, maka
diqiyaskanlah terhadapnya.
B. Pembagian Bid’ah
Secara garis besar, para ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu :
1. Bid’ah Hasanah (Bid’ah yang baik)
2. Bid’ah Madzmumah (Bid’ah yang tercela)
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata, yang diriwayatkan Hamalah
bin Yahya, “Bid’ah itu ada dua macam, yaitu bid’ah mahmudah / bid’ah
yang baik, dan bid’ah madzmumah / bid’ah yang tercela.
Bid’ah yang selaras dengan Sunnah disebut bid’ah mahmudah dan
bid’ah yang bertentangan dengan Sunnah disebut bid’ah madzmumah.
Di sisi lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Baihaqi dalam
Manaqib Al-Syafi’i bahwa Imam Syafi’i menyatakan:
“Perkara-perkara yang baru itu ada dua macam: Pertama, sesuatu
yang baru, yang tidak selaras dengan kitab (Al-Qur’an), Sunnah, atsar, dan
ijma’ disebut bid’ah dholalah (sesat). Kedua, sesuatu yang baru, yang
selaras dengan kitab (Al-Qur’an), Sunnah, atsar, dan ijma’ disebut bid’ah
mahmudah.”
Syekh Ibnu Abdussalam membagi bid’ah menjadi lima bagian
sesuai dengan al-ahkam al-syar’iyyah al-khamsah.
1. Bid’ah wajibah, yaitu bid’ah yang dilakukan untuk
mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’, misalnya
sibuk mempelajari ilmu nahwu, shorof, ushul fiqih untuk
memahami kalam Allah sebab menjaga syari’ah itu wajib, dan
upaya penjagaan itu tidak akan bisa terwujud, kecuali dengan
menguasai ilmu alat (nahwu, shorof, ushul fiqih, dll), karena itu
belajar ilmu tersebut juga wajib.
2. Bid’ah muharramah, yaitu bid’ah yang bertentangan dengan
syara’, seperti madzhab jabbariyah dan murji’ah.
3. Bid’ah mandubah, yaitu suatu kebaikan yang belum pernah
dilakukan pada masa Nabi Saw, misalnya melakukan shoalat
tarawih dengan berjama’ah, mendirikan madrasah dll.
4. Bid’ah mubahah, misalnya mushafahah (berjabatan tangan)
sesudah sholat shubuh dan ashar, makan-makanan yang lezat.
5. Bid’ah makruhah, yaitu sesuatu yang kurang pantas dilakukan,
misalnya, menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.
Dari pendapat Syekh Ibnu Abdissalam di atas jika diserasikan
dengan pendapat Imam Syafi’i, maka dapat dipahami bahwa yang masuk
kategori bid’ah hasanah adalah bid’ah wajibah, bid’ah mandubah, dan
bid’ah mubahah. Sedang bid’ah muharramah dan makruhah masuk
kategori bid’ah madzmumah.
Menurut KH. Muhyiddin Abdushshomad dalam buku Fiqih
Tradisional, contoh bid’ah hasanah antara lain khutbah yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuka suatu acara dimulai
dengan membaca Basmallah di bawah seorang komando, memberi nama
pengajian dengan istilah kuliah shubuh, pengajian ahad pagi atau titian
senja, menambah bacaan subhanahu wa ta’ala (yang disingkat Swt).
Setiap ada kalimat Allah, dan shollahu ‘alaihi wa sallama (yang disingkat
Saw) setiap ada kata Muhammad, serta perbuatan lainnya yang belum
pernah ada pada masa Rasulullah Saw, namun tidak bertentangan dengan
inti ajaran Islam.

C. Pemahaman Kelompok Penolak Adanya Bid’ah Hasanah


Kelompok yang menolak adanya bid’ah hasanah berpendapat
bahwa agama islam telah sempurna sebelum wafat Rasulullah Saw, tidak
perlu adanya penambahan atau pengurangan. Mereka berdalil dengan
beberapa dalil.
1. Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 3;
Pada hari ini [masa haji wada’] orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Di atas telah disampaikan bahwa terkait dengan surat Al-Maidah
ayat 3 ini, Imam Malik RA mengatakan, “Barangsiapa membuat bid’ah
dalam islam, dan dia menyangka bid’ahnya itu baik, maka berarti dia
menuduh Muhammad mengkhianati (tidak menyampaikan) risalah karena
Allah telah berfirman, “Pada hari ini telah aku sempurnakan bagimu
agamamu.”
Oleh karena itu, Imam Asy-Syathibi, pengikut Imam Malik,
mengatakan bahwa apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu,
maka ia bukan termasuk agama pula pada hari ini.
2. Hadits dari Jabir bin Abdillah maupun Hadits lain dari ‘Irbadh
bin Sariyah yang di dalamnya terdapat kalimat “Kullu bid’atin
dholalah”, dipahami bahwa Hadits ini berlaku secara mutlak
untuk makna umum.
Ibnu Rajab berkata:
Perkataan Nabi Saw “Kullu bid’atin dholalah” setiap
bid’ah itu kesesatan, merupakan “jawami’ul kalam” yang meliputi
segala sesuatu, kalimat itu merupakan salah satu dari pokok-pokok
ajaran agama yang agung.
Ibnu Hajar berkata, “Perkataan Nabi Saw” setiap bid’ah adalah sesat”,
merupakan suatu kaidah agama yang menyeluruh, baik itu secara tersurat maupun
tersirat. Adapun secara tersurat, maka beliau bersabda, “Hal ini bid’ah hukumnya
dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, sehingga ia tidak termasuk bagian dari
agama ini, sebab agama ini seluruhnya merupakan petunjuk. Oleh karena itu,
apabila telah terbukti bahwa suatu hal tertentu hukumnya bid’ah, maka berlakulah
dua dasar hukum itu (setiap bid’ah sesat dan setiap kesesatan bukan dari agama),
sehingga kesimpulannya adalah tertolak.”
Sebagaimana dikutip Abdul Qayyum Muhammad As-Sahibani,
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya perkataan beliau,
Nabi Saw, “kullu bid’atin dholalah”, “setiap bid’ah sesat” merupakan ungkapan
yang bersifat umum dan menyeluruh karena diperkokoh dengan kata yang
menunjukkan makna menyeluruh dan umum yang paling kuat, yakni kata “kullu”
yang berarti semua. Oleh karena itu, apa saja yang diklaim sebagai bid’ah
hasanah, maka hendaklah dijawab dengan dalil itu. Atas dasar itulah, maka tidak
ada sedikit pun peluang bagi ahli bid’ah untuk menjadikan bid’ah mereka sebagai
bid’ah hasanah. Oleh karena itu, di tangan kita terhunus pedang pamungkas yang
berasal dari Rasulullah Saw yakni kalimat “kullu bid’atin dholalah”.
Disamping itu, penolak adanya bid’ah hasanah juga mendasarkan
pendapatnya pada Hadits berikut ini.
Perkataan Nabi Saw, “Barangsiapa mengada-adakan dalam agama
kami ini, sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka yang diada-adakan itu
tertolak.” Dalam riwayat lain Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa
mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak ada dalam agama kami, maka
yang dikerjakan itu tertolak”.
Dari beberapa pendapat ulama penolak bid’ah hasanah terlihat bahwa
mereka memahami kalimat “kullu bid’atin dholalah” dalam Hadits sebagai
berikut.
Semua dalil yang menjelaskan tercelanya bid’ah sebagaimana Hadits;
“Kullu bid’atin dholalah” adalah dalil umum yang berlaku tetap/mutlak. Oleh
karena itu, tidak ada bid’ah kecuali bid’ah dholalah, sekalipun shohibul bid’ah
mengaku hasanah/baik.
D. Sekilas Bid’ah Hasanah Sejak Masa Rasulullah Hingga Tabi’in
Pada tahun 1330 H, muncul berbagai aliran dan pendapat yang saling
bertentangan. Sebagian dari mereka terdapat kaum salaf yang berpegang pada
para ulama salaf dan menganut madzhab yang jelas, memegangi kitab-kitab
mu’tabar, mencintai keluarga Nabi, para wali, dan orang-orang sholeh dan
meminta berkah kepada mereka baik ketika masih hidup ataupun setelah
meninggal, mengamalkan ziarah kubur, talqin mayit, shodaqoh kepada mayit,
meyakini syafa’at Nabi, manfaat do’a dan tawassul, dan lain-lain.
Ada juga yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla
dan mengambil pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, Ahmad
bin Taimiyah, Ibnu Qoyim al-Jauzi, dan Ibnu Abdul Hadi. Mereka
mengharamkan yang disunnahkan kaum muslimin, yaitu perjalanan ziarah ke
makam Nabi Saw dan selalu menyalahkan pendapat kelompok lainnya.
Berkata Ibnu Taimiyah dalam “fatawi” bahwa orang yang ziarah ke
makam Nabi dengan meyakininnya sebagai suatu ketaatan maka hal itu adalah
haram secara pasti.
Berkata Syekh Muhammad Bahith al-Hanafi al-Muthi’i dalam kitab
“Thathhir al-Fu’ad min danas al-I’tiqad”, bahwa kelompok ini telah banyak
menguji kaum muslimin baik shalaf maupun khalaf dengan banyak fitnah,
mereka sebenarnya aib dalam islam, dan sebagai organ islam yang rusak dan
harus diamputasi, mereka bagaikan orang yang terjangkit penyakit lepra yang
harus dijauhi, mereka adalah kaum yang mempermainkan agama. Mereka
menghina para ulama shalaf dan khalaf, bahwa menurut mereka para ulama
tersebut bukanlah orang yang maksum sehingga tidak patut diikuti. Baik yang
hidup maupun yang mati.
Mereka mencederai kehormatan para ulama dan menyebarkan faham yang
membingungkan di hadapan orang-orang bodoh dengan tujuan
membutakannya dan agar menimbulkan kerusakan di muka bumi. Mereka
berkata berdusta kepada Allah dan mengira telah melakukan amar ma’ruf nahi
munkar. Padahal Allah menyaksikan mereka sebagai pembohong. Dan
menurut saya mereka adalah ahli bid’ah dan mengikuti hawa nafsu.
BAB III
KESIMPULAN

Dalam hal bid’ah, para ulama terbagi menjadi dua kelompok besar,
pertama, kelompok ulama yang berpegang pada pendapat bahwa semua bid’ah itu
sesat. Kelompok ini adalah pendukung pendapat Imam Maliki pendiri madzhab
Maliki. Kelompok kedua adalah kelompok yang berpegang pada pendapat bahwa
bid’ah itu tidak seluruhnya sesat, ada yang sesat dan tercela/madzmumah, dan ada
yang hasanah dan terpuji/mahmudah. Kelompok kedua ini adalah pendukung
pendapat Imam Syafi’i (pendiri madzhab Syafi’i).
Pengelompokan ini terjadi karena adanya sebab yang melatar belakangi,
yaitu adanya perbedaan pemahaman terhadap keberlakuan lafadz “kullu” yang
terdapat pada hadits “kullu bid’atin dholalah”. Kelompok pertama memahami
lafadz “kullu” berlaku ‘am muthlak/berlaku umum secara muthlak, sementara
kelompok kedua memahami lafadz “kullu” sebagai lafadz ‘am makhshus/lafadz
umum yang berlaku khusus, Disamping itu, mereka berbeda dalam pemaknaan
kata “sanna” dalam hadits “man sanna sunnatan hasanatan”. Kelompok pertama
memahami kata “sanna” dengan makna “melakukan sesuatu yang sudah pernah
ada”, sedangkan kelompok kedua memaknai kata “sanna” dengan pengertian
“melakukan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya.”

.
DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, Abu Muhammad ‘Izzudin bin.TT. Qawaid al-Ahkam fi mashalih al-


Anam, Juz1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Abdushshomad, Muhyiddin. 2005. Fiqh Tradisionalis, Jawaban Pelbagai
Persoalan Keagamaan Sehari-har. Malang: Pustaka Bayan .
Al-Asbahani, Al-Hafidz Abu Nu’aim Amad bin Abdullah. 1400 H. Hilyah al-
Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, IX. Beirut: Nasyr Dar al-Kitab al-‘Arabi.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 1986. Fathul Bary, XII. Kairo: Dar al-Dayyan li al-
Turats.
Al-Atsir, Mujiddu al-Din Abu al-Sa’adat bin Muhammad Al-Jazairi Ibnu. 1367 H.
al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, Juz1. Muassasah Isma’iliyan.
Risalah Ahlussunah wal Jama’ah: fi hadits al-mauta wa asyrath al-sa’at wa
bayan mafhum al-sunnah wa al-bid’ah. Hadzrat al-Syeikh KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari.

Anda mungkin juga menyukai