Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa orang di Indonesia pastilah mengenal sunnah dan juga bid’ah. Adanya
kedua kata diatas juga mengakibatkan beberapa pertentangan dan juga penolakan
terhadap sesuatu, terutama yang baru, yang muncul pada kemajuan dunia yang semakin
pesat. Beberapa orang yang masih hijau, dimungkinkan menelan mentah-mentah
pengertian dua kata diatas, terutama kata bid’ah yang semakin marak seiring
berkembangnya teknologi yang ada di dunia.
Agama Islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yang
bertujuan untuk menyempurnakan agama-agama yang sebelumnya. Al-Qur’an adalah
kitabnya. Di dalam Al-Qur’an terdapat berbagai macam hukum-hukum atau aturan
yang mengatur kehidupan manusia dalam bidang sosial, politik, ibadah, dan lain-lain,
demikian juga dalam urusan manusia dan juga tuhannya. Namun, karena sifat hukum
Al-Qur’an yang sangat umum, maka dalam penjelasannya, Nabi Muhammad Saw.
sendirilah yang mempraktekannya atau adanya suatu permasalahan dari suatu kaum
yang ada yang memunculkan suatu penjelasan dimana umat Islam wajib untuk
mematuhinya setelah Al-Qur’an, yaitu sunnah.
Namun, dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi menjadikan
banyaknya permasalahan baru yang tak ada di dalam Al-Qur’an dan juga sunnah.
Sebagian orang berijtihad untuk menentukan aturan baru, namun ada juga yang
langsung mengatakan bahwa itu adalah sebuah bid’ah. Adanya hal tersebut
mengakibatkan sebuah perdebatan, pertentangan, dan juga penolakan terhadap sesuatu
yang baru. Bahkan beberapa kebudayaan yang merupakan tradisi Indonesia asli pun
juga dinyatakan sebagai bid’ah dan keberadaannya hampir dilarang oleh sebagian
kelo8mpok.
Kita sebagai mahasiswa seharusnya menjaga antara kebudayaan dan juga agama
tetap seimbang atau balance, tidak berat sebelah. Oleh karena itu, penulis mengangkat

1
sebuah judul untuk makalah mata kuliah fiqh, yaitu “Perbedaan antara Sunnah dan
Bid’ah”.
B. Rumusan Masalah

1. Apa saja konsep sunnah dan bid'ah ?


2. Apa saja Pembagian sunnah dan bid'ah ?
3. Bagaimana bid'ah pada masa rasulullah dan sahabat ?
4. Sebutkan golongan anti bid'ah dan dalilnya ?
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep dari sunnah dan bid'ah


2. Untuk mengetahui pembagian sunnah dan bid'ah
3. Untuk mengetahui bid’ah pada masa rasulullah dan sahabat
4. Untuk mengetahui golongan yang anti bid'ah dan dalilnya

D. Manfaat
Untuk menambah pengetahuan bagi pembaca secara lebih mendalam tentang
sunnah dan bid'ah

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Sunnah dan Bid'ah
Untuk mengetahui konsep bid‘ah perlu dikenal lebih dulu makna sunnah, karena
dua term ini merupakan sesuatu yang berlawanan berdasarkan hadis di atas. Dalam
sebuah pernyataan dikatakan “‫ األشياء ْتتينب ْبضدها‬.“Adapun makna sunnah secara bahasa
‫ طريق‬atau ‫ طريقة‬atau ‫ سرية‬yaitu cara atau jalan atau sejarah. Makna tersebut juga sesuai
dengan yang dimaksud di dalam hadis-hadis Nabi Misalnya

َ ‫ب ع َْن ُسنَّتِي فَلَي‬


‫ْس ِمنِّي‬ َ ‫فَ َمن َر ِغ‬ [faman raghiba ‘an sunnati 

“Siapa saja yang tidak suka dengan cara hidupku maka ia tidak termasuk golonganku.”

“Kalian akan mengikuti cara (langkah) orang-orang sebelum kalian sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk dalam lubang
biawak pun akan kalian ikuti. Kami (para sahabat) bertanya kepada Nabi: Apakah
Yahudi dan Nasrani yang kau maksud? Nabi bersabda: siapa ?”
Secara umum sunnah berarti cara Nabi dalam berbuat (‫) فعل‬meninggalkan suatu
perbuatan (‫) ت``رك‬,menerimanya (‫) قب``ول‬atau menolaknya (‫) رد‬.Sunnah di sini bukan
sinonim dari hadis sebagaimana istilah para ahli hadis atau lawan dari wajib
sebagaimana istilah para ahli fikih.
Adapun bid’ah berasal dari bahasa Arab yaitu dari akar kata ‫ بدع‬yang berarti
melakukan sesuatu yang belum ada contoh sebelumnya. Jadi kata bid’ah menurut
bahasa mempunyai makna yang umum, yaitu segala sesuatu yang baru. Makna tersebut
berbeda dengan istilah syara’. Menurut hadis Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Irbadh bin
Sâriyah di atas bahwa bid’ah ialah lawan dari sunnah. Dengan demikian, segala sesuatu
yang baru dalam agama Islam jika itu tidak bertentangan dengan sunnah, maka itu tidak
termasuk bid’ah. Oleh karena itu, perlu diketahui lebih dulu bagaimana sunnah Nabi

3
dan sunnah Khulafâ al-Râsyidîn dalam menghadapi segala perkara baru, yang di dalam
hadis di atas umat Islam diperintahkan oleh Nabi untuk mengikutinya, sehingga bisa
diketahui konsep bid’ah yang sesat.

B. Pembagian Sunnah dan Bid'ah

Sunnah atau hadits berdasarkan definisi menurut para ahli di atas, dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu:

1. Sunnah Qauliyah, yaitu khabar berupa perkataan Nabi SAW yang didengar dan
disampaikan oleh seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.

2. Sunnah Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW yang
diketahui dan disampaikan oleh para sahabat kepada orang lain. Seperti tata cara
menunaikan shalat lima waktu yang dipraktekkan Nabi, cara berwudlu’ dan cara
haji.

3. Sunnah Taqririyah, yaitu sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah SAW yang
telah diakui oleh beliau, baik berupa ucapan maupun perbuatan.[2]

Sedangkan As-Sunnah ditinjau dari perawi-perawinya dari Rasulullah SAW


dibagi menjadi tiga macam :

1. Sunnah Mutawatirah, adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh


sekumpulan perawi yang menurut kebiasaannya, individu-individunya itu tidak
mungkin sepakat untuk berbohong.

2. Sunnnah Masyhurah, adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh


seorang, atau dua orang, atau tiga orang sahabat yang tidak mencapai jumlah
tawatur ( perawi hadits mutawatir).

4
3. Sunnah Ahad, adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh perseorangan
yang tidak mencapai jumlah kemutawatiran.

Sebagian ulama berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima sebagai


berikut:

1. Bid’ah Wajibah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-
dalil diwajibkannya sesuatu dalam syariat. Contohnya pembukuan Al Qur’an dan
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dikhawatirkan keduanya akan
tersia-siakan. Berhubung menyampaikan risalah Islam kepada generasi berikutnya
adalah suatu kewajiban menurut ijma’, dan mengabaikan hal ini hukumnya haram
menurut ijma’, karenanya hal-hal seperti ini mestinya tidak perlu diperselisihkan
lagi bahwa hukumnya wajib.
2. Bid’ah Muharramah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan
dalil-dalil diharamkannya sesuatu dalam syariat. Contohnya berbagai bentuk pajak
dan upeti, demikian pula setiap bentuk kezhaliman yang bertentangan dengan
norma-norma agama, seperti penyerahan jabatan secara turun temurun kepada
orang yang bukan ahlinya (nepotisme).
3. Bid’ah Mandubah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-
dalil dianjurkannya sesuatu dalam syari’at. Contohnya shalat tarawih berjama’ah.
4. Bid’ah Makruhah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-
dalil dimakruhkannya sesuatu dalam syari’at. Contohnya mengkhususkan
beberapa hari yang dimuliakan dengan jenis ibadah tertentu, seperti larangan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa hari Jum’at secara
khusus, atau qiyamullail pada malamnya; demikian pula menambah bilangan

5
tertentu dalam wirid dengan sengaja, seperti menjadikan tasbih, tahmid dan takbir
selepas shalat menjadi masing-masing 100 kali, dan semisalnya.
5. Bid’ah Mubahah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-
dalil dibolehkannya sesuatu dalam syari’at. Seperti menggunakan ayakan
(penapis) gandum sebagai usaha memperbaiki taraf hidup, sebagaimana yang
disebutkan dalam sebuah atsar bahwa hal pertama yang diada-adakan setelah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah menggunakan ayakan
gandum. Hal ini dibolehkan karena ia merupakan sarana untuk memperbaiki taraf
hidup yang hukumnya boleh.

Tetapi para ulama juga membagi bid'ah menjadi dua bagian besar Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Imam Syafi’I RA yang dikutip dalam kitab Fath al-Bari:
“Sesuatu yang diada – adakan itu ada dua macam. (Pertama), sesuatu yang baru itu
menyalahi al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar sahabat atau Ijma’ulama. Ini disebut
dengan bid’ah dhalal (sesat). Dan (kedua, jika) sesuatu yang baru tersebut termasuk
kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Qur’an, al-Sunnah dan
Ijma’). Maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela”. (Fath al-
Bari, juz XVII,hal10)

Syaikh nabil husaini menjelaskan bahwa : “Para ahli ilmu telah membahas
persoalan ini kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni bid’ah hasanah dan
bid’ah dhalalah. Yang dimaksud dengan bid’ah hasanah adalah perbuatan yang sesuai
kepada kitab Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Keberadaan bid’ah hasanah ini
masuk dalam bingkai sabda nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Siapa
saja yang membuat sunnah yang baik (Sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka ia
akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang
mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang
siapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyiah), maka ia akan mendapatkan dosa

6
dari perbuatan itu dan dosa-dosa yang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa
sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”.

Dan juga berdasarkan Hadist Shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin
Mas’ud RA ”Setiap sesuatu yang dianggap baik oleh semua muslim, maka perbuatan
tersebut baik menurut Allah SWT, dan semua perkara yang dianggap buruk orang-
orang Islam, maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk”. Hadist ini
dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Amah” (al-Bid’ah al-Hasanah, wa
Ashluha min al-Kitab wa al-Sunnah, 28)

1. Bid'ah Hasanah
yakni bid’ah yang tidak dilarang dalam agama karena mengandung unsur
yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam kategori ini
adalah bid’ah wajibah, mandubah, dan mubahah. Dalam konteks inilah perkataan
sayyidina Umar bin Khattab RA tentang jama’ah shalat tarawih yang beliau
laksanakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan
berjama’ah)”. (Al-Muaththa’ [231] )
 Contoh Bid’ah Hasanah
adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuka
suatu acara dengan membaca basmalah di bawah seorang komando, memberi nama
pengajian dengan istilah kuah(dhliah shubuh, pengajian ahad atau titian senja,
menambah bacaan subhanahu wa ta’ala (yang diringkas menjadi SWT) setiap ada
kalimat Allah, dan subhanahu alaihi wasallam (yang diringkas SAW) setiap ada
kata Muhammad. Serta perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa
Rasulullah SAW, namun tidak bertentangan dengan inti ajaran agama Islam
 Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari
al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan

7
bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai
berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
a) Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:

ِ ‫ب الَّ ِذينَ اتَّبَعُوهُ َر ْأفَةً َو َرحْ َمةً َو َر ْهبَانِيَّةً ا ْبتَ َدعُوهَا َما َكتَ ْبنَاهَا َعلَ ْي ِه ْم إِاَّل ا ْبتِغَا َء ِرضْ َوا ِن هَّللا‬
ِ ‫َو َج َع ْلنَا فِي قُلُو‬

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi
‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah,
padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah
yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)

Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini
Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim
dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa
berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka
karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka
merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat
duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam
beribadah kepada Allah.

Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”,


artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka,
melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk
tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka,
karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga
tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi
‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya
semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk
beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah,
menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan

8
sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari
orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.

b) Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat


Rifa'ah ibn Rafi’
bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di
belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau
membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum
berkata:
‫ك ْال َح ْم ُد َح ْمدًا َكثِ ْيرًا طَيِّبًا ُمبَا َر ًكا فِ ْي ِه‬
َ َ‫َربَّنَا َول‬
Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan
kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai
Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:

‫ْت بِضْ َعةً َوثَالَثِ ْينَ َملَ ًكا يَ ْبتَ ِدرُوْ نَهَا أَيُّهُ ْم يَ ْكتُبُهَا أَ َّو َل‬
ُ ‫َرأَي‬

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang
pertama mencatatnya”.

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil
yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat
yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath
al-Bari, j. 2, h. 287).
c) al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin,
tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:

َ `‫ " َوالَ يَ ِع` ُّز َم ْن َع``ا َديْتَ " قَ ْب‬:‫صلّى هللاُ عَلي` ِه َو َس`لّ َم َو َزا َد ْال ُعلَ َم``ا ُء فِ ْي` ِه‬
َ‫`ل "تَبَ``ا َر ْكت‬ َ ‫ه َذا هُ َو ْال َمرْ ِويُّ َع ِن النَّبِ ِّي‬
‫س بِه` ِذ ِه‬ َ ْ‫ الَ بَ`أ‬:‫ص` َحابُنَا‬ ْ َ‫ قَ`ا َل أ‬:‫ت‬ ُ ‫ قُ ْل‬."َ‫ك َوأَتُ`وْ بُ إِلَيْ`ك‬ َ ‫ أَ ْستَ ْغفِ ُر‬، َ‫ضيْت‬َ َ‫ك ْال َح ْم ُد َعلَى َما ق‬
َ َ‫ "فَل‬:ُ‫َوتَ َعالَيْتَ " َوبَ ْع َده‬
ٌ‫ ُم ْستَ َحبَّة‬: َ‫ال أَبُوْ َحا ِم ٍد َو ْالبَ ْن َدنِي ِْج ُّي َو َءا َخرُوْ ن‬
َ َ‫ َوق‬.‫ال ِّزيَا َد ِة‬.

9
“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama
menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa
Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu
‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan:
Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya
tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab
yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-
Thalibin, j. 1, h. 253-254).

2. Bid'ah Dhalala
yakni bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan
norma agama Islam. Bid’ah muharramah dan makruhah dapat digolongkan pada
bagian yang kedua ini. Inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi Muhammad SAW:
“Dari ‘A’isyah RA, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barang
siapa yang melakukan suatu yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu
ditolak”. (Shahid Muslim, [243])

 Contoh Bid'ah Syyaiah


a) Bid'ah pengingkaran terhadap Qadarullah
Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan
dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba.
Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan
penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah
tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan
kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba
sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang

10
mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di
antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. 
b) Bid’ah Jahmiyyah
Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah
pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu
majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali
ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan
sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah
kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki
ikhtiar dan kehendak.

C. Bid'ah Pada Masa Rasulullah dan Sahabatnya

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau
populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak
bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW tidak pernah
melakukan, tapi bukan berarti tidak boleh dilakukan. Sementara bid’ah tercela
adalah setiap perbuatan baru yang bertentangan dengan syariat Islam. Sebagian
orang menolak pembagian bid’ah ini karena mereka memahami bahwa setiap bid’ah
adalah sesat. Dengan logika demikian, setiap hal yang tidak dilakukan Rasulullah
terutama yang berkaitan dengan urusan ibadah, dianggap salah dan bid’ah.

Namun, kalau melihat sejarah Rasulullah dan sahabatnya, ada beberapa


fakta yang menunjukkan bahwa Rasulullah pun dalam beberapa hal mengamini
“bid’ah” yang dilakukan oleh sahabat, termasuk dalam ibadah sekali pun. Misalnya,
Shahih Al-Bukhari menyebutkan :

Artinya, “Rifa’ah bin Rafi’ berkata, ‘Kami pernah shalat bersama


Rasulullah, saat bangun dari ruku’ ia membaca, ‘Sami’allahu liman hamidah.” Tiba-

11
tiba ada seorang sahabat yang membaca, ‘Rabbana wa lalakal hamd hamdan
katsiran tayyiban mubarakan fihi (wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku
memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah).
Setelah selesai shalat, Rasul bertanya, ‘Siapa yang mengucapkan kalimat itu?’
Sahabat itu berkata, ‘Saya Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah berkata, ‘Saya melihat
sekitar tiga puluhan malaikat berloma-lomba untuk siapa pertama kali yang
mencatat (pahalanya),’” (HR Al-Bukhari).

Hadits ini menjelaskan bahwa lafal yang dibaca sahabat dalam shalat
tersebut tampaknya belum pernah dijelaskan Nabi Muhammad SAW. Ketika ada
sahabat yang membaca doa tersebut Rasulullah tidak marah dan malah memuji
sehingga kita pun boleh mengamalkannya. Sebab itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
mengatakan:

Artinya, “Hadits di atas dijadikan dalil sebagai kebolehan membuat dzikir


baru dalam shalat yang tidak ma’tsur selama tidak bertentangan dengan ma’tsur.”

Dengan demikian, melakukan bid’ah dalam ibadah juga dibolehkan selama


tidak bertentangan dengan syariat. Tentu maksud bid’ah di sini adalah bid’ah
hasanah, bukan bid’ah sayyi’ah atau dhalalah. Hal ini sudah dilakukan pula oleh
sahabat rasulullah di hadapan beliau.

Acara keagamaan seperti maulid nabi, istigasah, tawasul, ziarah kubur, dan
lain sebagainya menjadi sasaran empuk mereka. Padahal, beberapa sahabat Nabi
pernah melakukan apa yang mereka anggap bidah tersebut. Jangan-jangan, apa yang
dikatakan Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, benar. Bidah
menurut mereka adalah ma lam ta’rifhu huwa (setiap ibadah yang mereka tidak
ketahui dalilnya). Jadi, ibadah yang tidak mereka ketahui dalilnya itulah bidah.

Pemahaman terhadap Alquran dan hadis harus dilakukan secara


komprehenshif. Artinya, kita tidak dibolehkan menghalalkan atau mengharamkan
permasalahan tertentu dengan satu atau dua ayat. Belum lagi, kita harus mengetahui

12
konsep ijmak ulama dan qiyas. Oleh karena itu, perlu mengikuti ulama-ulama kita
yang biasa mentradisikan maulid, ziarah kubur, dan lain sebagainya. Bisa jadi,
perilaku membidahkan ini karena pemahaman terhadap agama yang tidak
menyeluruh.

Berikut 5 hal yang dianggap bidah, tapi sahabat pernah melakukannya.


Penjelasan ini dikutip dari Silsilah Mafahim Yajib an Tushahhah, kumpulan
ceramah Sayid Alawi al-Maliki, yang ditulis Dr. Umar Abdullah Kamil:

1. Aisyah Diajari Doa Ketika Hendak Ziarah Kubur

Nabi pernah mengajarkan pada Aisyah etika ziarah kubur. Di antaranya


menyapa mereka dengan kalimat tertentu. Ketika ziarah ke makam Baqi’, Nabi
mengajarkan doa ini, assalamu ‘ala ahlid diyar minal mu’minin wal muslimin,
wa yarhamullahul mustaqdimin minna wal musta’khirin. Wa in sya’ Allah
bikum lahiqun (H.R. Muslim dan Ahmad). Seandainya ziarah kubur terlarang
secara mutlak, untuk apa Nabi ajarkan ini pada Aisyah

2. Sahabat Minta Hujan pada Nabi

Pada masa kepemimpinan sahabat Umar, terjadi paceklik luar biasa. Salah satu
sahabat datang ke makam Nabi. “Nabi, kami butuh bantuanmu. Mintkanlah
pada Allah agar hujan turun untuk umatmu,” pinta sahabat tersebut. Setelah
permohonan itu, dia mimpi bertemu Nabi. “Datanglah ke Umar. Sampaikan
salamku untuknya. Dalam waktu dekat, hujan akan turun,” sapa Nabi dalam
mimpi sahabat ini. Umar pun menangis ketika disampaikan salam dari Nabi
(H.R. Baihaqi dan Ibnu Syaibah).

Cerita ini merupakan bagian dari tawasul yang pernah dilakukan salah satu
sahabat Nabi. Nama sahabat dalam matan hadis ini memang tidak disebutkan

13
secara jelas. Namun, hal tersebut tidak berpengaruh terhadap kesahihan hadis.
Artinya, hadis ini tetap sahih.

3. Fatimah Tabaruk di Kubur Hamzah Setiap Jumat

Tabaruk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring berarti keberkatan,


keselamatan, kesentosaan. Namun, istilah tabaruk dalam hal ini lebih spesifik
menyatakan suatu perbuatan mengharapkan keberkahan melalui ziarah,
silaturahmi, dan mohon doa dari orang saleh, baik masih hidup maupun sudah
wafat.

Perbuatan demikian pernah dilakukan oleh Fatimah, putri Nabi. Wanita yang
mendapat julukan Az-Zahra (wanita suci) ini membiasakan diri ziarah ke
makam Hamzah, paman nabi, setiap hari Jumat. Selain ziarah, dia juga salat dan
menangis dekat makam kakeknya itu. Menurut Imam Hakim, hadis ini sahih.

4. Bilal Melakukan Salat Sunah Setiap Usai Bersuci

Bilal mencoba membiasakan salat setelah usai melakukan wudu. Fenomena ini
terjadi memang pada saat Nabi masih hidup. Namun, secara pribadi Nabi tidak
pernah menganjurkan salat tersebut. Akan tetapi, Nabi menghargai dan
membenarkan kreatifitas sahabat yang terkenal dengan suara merdunya itu.
Bahkan, gara-gara kreatifitasnya tersebut, Bilal dijanjikan masuk surga.
Penjelasan ini dijelaskan dalam Shahih Bukhari (Bab Fadhl Thuhur bil Lail wan
Nahar) dan Shahih Muslim (Bab Min Fadhail Bilal)

5. Abu Thalhah ‘Mengeramatkan’ Rambut Nabi

14
Cinta terhadap seseorang dapat diekspresikan dengan berbagai macam cara.
Termasuk cinta para sahabat terhadap nabi. Sampai-sampai rambutnya pun
menjadi pujaan dan idola.

Inilah yang dilakukan Abu Thalhah. Nabi memerintahkan tukang cukur


memotong rambut beliau. Setelah dipotong rambut bagian kanan, Nabi berikan
untuk Abu Thalhah dan rambut bagian kiri dibagi-bagikan ke orang lain.
Mengeramatkan sesuatu bukan berarti menduakan Allah. Selagi tidak
meyakinkan bahwa benda yang dikeramatkan memiliki kekuatan, itu masih
dibenarkan dalam agama.

E. Kelompok anti bid'ah dan dalilnya

Meskipun sebenarnya membahas kembali hal-hal terkait bidah dan


sejenisnya adalah langkah mundur bagi kemajuan islam, namun tetap perlu kembali
diulas ulang. Karena kelompok-kelompok antibidah pun tak lelah menyuarakannya.
Sehingga hak jawab harus digunakan untuk mengukuhkan keyakinan diri dan
generasi Muslim mayoritas di Nusantara.

Argumen kelompok intoleran terhadap sesama muslim selalu tidak jauh dari
kelima hujjah berikut ini. Dalam memvonis bidah, syirik, atau meniru
(tasyabbuh) kaum kafir terhadap berbagai amalan dan tradisi umat islam, meskipun
mengajukan berbagai dalil dan argumen panjang lebar, pokok pemikiran hujah
mereka tidak lepas dari kelima tuduhan ini. Tuduhan tersebut juga dibumbui dengan
dalil yang diambil serampangan dan terkesan dipaksakan. Mari kita telaah satu per
satu.

1. Menambah-nambahi Agama

15
“ …Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu …,” (QS Al-Maidah, 3)

Ayat tersebut merupakan dalil dari argumen “menambah-nambahi


syariat atau agama” yang dilontarkan kepada para pelaku maulid, tahlilan,
yasinan, zikir berjamaah dan sejenisnya. Menurut Wahabi, umat Islam yang
mengadakan acara tersebut telah “menganggap agama Islam ini masih kurang”
alias belum sempurna sehingga mereka tega “menambah-nambahi agama“.
Dengan begitu mereka juga telah menganggap Rasulullah Saw. berkhianat
dalam menyampaikan agama karena masih ada yang belum disampaikan.

Sebenarnya, kebajikan yang digagas oleh para ulama dan diformat sedemikian
rupa dalam bentuk acara-acara keagamaan, tradisi tertentu, tidak pernah diklaim
sebagai “tambahan atas kekurangan agama.” Itu hanyalah tuduhan tanpa bukti.

Sangat aneh jikalau zikir, baca Alquran, salawat, doa yag pada dasarnya
dianjurkan dan diajarkan, ketika dibentuk dalam format sedemikan rupa agar
orang tertarik dan senang melakukannya justru dianggap menambahi syariat.
Bukankah baca hal-hal itu sudah ada dasarnya

2. Membuat-buat Syariat

Selaras dengan tuduhan menambahi agama karena dianggap kurang sempuna,


tuduhan membuat-buat syariat juga dilontarkan kepada para pelaku tahlilan dan
sejenisnya. Dalilnya:

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang


mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? ” (QS Asy-
Syuuraa, 21).

16
Padahal para ulama dan umat Islam tidak pernah menganggap acara tahlilan,
maulidan dan sejenisnya sebagai bagian syariat islam dan ibadah murni. Acara
tersebut hanyalah tradisi baik yang diisi amaliyah ajaran Islam.

Selain itu, ayat di atas terang sekali menyebut “sembahan-sembahan selain


Allah” yang menunjukkan adanya indikasi kelakuan “syirik”. Sebenarnya
memang ayat ini ditujukan kepada orang-orang musyrik penyembah berhala
yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah.

3. Beragama Tradisi” atau “Fanatik terhadap Tokoh Bidah”

Ketika ada orang yang tidak mengikuti ajakan Wahabi untuk meninggalkan
amalan yang menurut mereka bertentangan dengan Alquran dan sunnah versi
pemahaman mereka, maka orang tersebut dicap sebagai orang yang beragama
mengikuti nenek moyang yang sesat. Menolak ajaran Alquran dan sunnah. Ayat
yang dijadikan dalil adalah:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan


Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah
kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. (Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al-Baqarah, 170).

Padahal, ayat tersebut ditujukan kepada musyrikin penyembah berhala yang


menolak diajak untuk menyembah Allah. Penjelasan seperti ini ada dalam
semua tafsir. Hanya Wahabi yang menghantamkan ayat ini kepada orang islam
yang tak pada ajaran Wahabi. Kalaulah pengamal tahlilan mengatakan bahwa
mereka hanya megnikuti guru-guru dan para pendahulu, bukankah para
pendahulu dan guru-guru mereka adalah para ulama?

17
Bahkan, demi memuluskan tuduhannya, tak jarang amalan umat islam difitnah
sebagai tradisi warisan Yahudi. Tahlilan kematian warisan Hindu. Baca Alquran
dikuburan adalah tradisi yahudi. Kadang satu fitnah dan lainnya bisa bertolak
belakang.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hal yang telah terurai dai dalam makalah ini  dapat di simpulkan bahwa seluruh
bidah tidaklah sesat karena bidah adalah hal hal baru yang ada setelah nabi  wafat
seperti munculnya Hanphone yang pada saat moderen merupakan hal yang bidah

18
karena hal tersebut tidak ada pada zamaan rasullulah tapi hal tersbut merupakan hal
yang baru atau dapat di simupulkan adalah bidah hasanah jadi kesimpulannya
semua bidah tidaklah sesat selagi memberi kemaslahatan umat.

B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya dalam makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat menjadi
bekal dikemudian hari apabila kami mempunyai kesempatan membuat makalah
lain. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah
pengetahuan/wawasan bagi kami pada khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
https://media.alkhairaat.id/konsep-bidah-menurut-al-quran-as-sunnah-dan-ulama-ahlu-
sunnah/ ( Selasa , 25 Februari 2020)
https://islam.nu.or.id/post/read/67714/inilah-kriteria-bidah-dhalalah-dan-bidah-hasanah
( Selasa , 25 Februari 2020)

19
https://islam.nu.or.id/post/read/94518/nabi-muhammad-saw-dan-bidah-sahabatnya-dalam-
shahih-bukhari ( Selasa , 25 Februari 2020)
http://www.datdut.com/dalil-bidah-wahabi/ ( Selasa , 25 Februari 2020)

20

Anda mungkin juga menyukai