Anda di halaman 1dari 18

BID’AH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tauhid

Dosen Pengampu : H. Hasbullah, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Marhayati (221210170)

Leony Febiola (221210171)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

TAHUN AJARAN 2023/2024

KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kehadirat Allah swt. Yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang
telah ditentukan, tanpa pertolongan-NYA tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tak lupa juga shalawat serta salam semoga
selalu tercurah limpahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Saw.
Yang kita nantikan syafa‟atnya di hari akhir nanti.

Pada kesempatan ini tak lupa juga kami mengucapkan terimakasih yang
sebesar besarnya kepada dosen mata kuliah Ushul Fiqih yang telah memberi tugas
kepada kami serta membimbing kami dalam mengerjakan pembelajaran ini. Kami juga
berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah
ini.

Kami jauh dari kata sempurna karena kami masih dalam proses belajar,
mungkin jika banyak kesalahan dalam makalah ini kami mohon saran dan kritik dari
teman-teman semua serta dosen untuk membuatkami menjadi lebih baik lagi.

Serang, 19 Oktober 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bid‟ah merupakan problematika umat islam dan masih belum ada solusinya
sampai sekarang dikarenakan kepercayaan soal agama antar madzhab yang berbeda-beda.
Perbuatan bid„ah telah menyebar luas didalam penjuru umat Islam, dan bid‟ah banyak
memberi dampak buruk dalam berbagai aspek kehidupan terutama aspek agama.
Memperluas perbuatan bid‟ah menjadi musibah kaum muslimin dan sebabnya
mengakibatkan hilangnya kemuliaan dan kekuatan islam. Kaum muslimin menjadi
bercerai-berai dan bergolong-golongan sehingga tidak lagi disegani dan ditakuti oleh
musuh-musuh Islam karena perbuatan bid'ah ini.
Dalam sebuah golongan islam dengan golongan islam lainnya ada yang melarang
perilaku bid‟ah hingga mengkafir-kafirkan golongan yang lainnya, tetapi alasan golongan
yang melakukan perilaku bid‟ah yaitu mereka ingin menjadikan islam yang lebih kokoh
meskipun ajaran itu tidak dilakukan oleh Nabi tapi mereka tetap melakukannya karena
menginginkan Ridha Allah. Tetapi perlu kita pahami bahwasannya agama yang sempurna
tidak diperlukan penambahan maupun pengurangan itulah yang dinamakan islam. Al-
Quran dan Sunnah adalah solusi untuk menyelesikan perselisihan pendapat yang ada
pada islam, ketika umat muslim tidak dapat menyelesaikan perselisihan pendapat yang
ada maka sebaiknya kembali pada Al-Qur‟an dan Sunnah. Untuk itu agar lebih jelas
makalah ini membahas tentang pengertian, macam-macam dan hukum Bid'ah dalam
Islam serta sebab dan bagaimana sikap kita terhadap perilaku bidah. Agar kita senantiasa
berhati-hati terhadap perilaku yang kita lakukan setiap hari.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, Macam-macam, dan Hukum Bid'ah dalam Islam?
2. Apa sebab-sebab terjadinya Bid'ah
3. Bagaimana sikap terhadap perilaku Bid'ah
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian, macam-macam, dan hukum Bid'ah
2. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya Bid'ah
3. Untuk mengetahui bagaimana sikap terhadap perilaku bidah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, macam-macam dan Hukum Bid'ah dalam Islam


1. Pengertian Bid'ah
Dalam lisanul arab, Bid‟ah berasal dari akar kata bada’a, yang memiliki
berbagai derivasi (berbagai macam bentuknya). Diantaranya bid’un dengan kata kerja
idtada’a artinya, membuat dan memulai sesuatu. 1 Sedangkan al-bid’atu artinya
sesuatu yang baru (al-Hadats),Dalam pengertian di atas, bahwa yang disebut bid‟ah
adalah segala sesuatu yang tidak didahului contoh-contoh. Artinya dalam pengertian
bahasa ini, bid’ah tidak diberikan batasan-batasan. Segala sesuatu, baik itu berkaitan
dengan perkara agama maupun tidak, maka sesuatu tersebut masuk dalam perkara
bid’ah.
Namun dalam perngertian di atas, pembatasan diberikan pada hal-hal yang
tidak didahului dengan contoh, artinya perkara tersebut dapat dikategorikan bid‟ah
manakala sesuatu tersebut tidak ada yang mendahuluinya atau tidak ada yang
menyerupainya atau dengan kata lain disebut dengan sesuatu yang baru.Sedangkan
secara syari‟at, masyarakat berbeda pendapat dalam mendefinisikan istilah bid‟ah.
Perbedaan pendapat tersebut sebenarnya telah terjadi di kalangan ulama salaf.
Namun, secara umum sekarang ini ditemukan dua pendapat yang saling bertentangan
dalam mendefinisikan istilah bid‟ah menurut syari‟at.
 Pertama adalah kelompok yang mendefinisikan bid‟ah dengan definisi yang
lebih luas. Menurut kelompok ini bid‟ah adalah segala sesuatu yang baru
dalam urusan agama. Agama menjadi semacam garis pembatas, yang
membatasi wilayah operasi konsep bid‟ah. Sebaliknya, jika sesuatu yang baru
terjadi di luar urusan agama, maka konsep bid‟ah tidaklah berlaku. Tetapi
muncul pertanyaan, adakah satu aspek dari kehidupan manusia yang tidak
disentuh oleh agama? Bukankah agama mengurus kehidupan manusiasecara
terperinci? Dengan kata lain seluruh kehidupan manusia secara otomatis tidak
ada satu aspek kehidupanpun yang tidak terlepas dari urusan agama. Jadi
konsep bid‟ah berlaku di seluruh aspek dan lini kehidupan manusia. Oleh

1
Ibnu Manzur, Lisan al Arab (Lebanon: Dar al Kitab al-Ilmiyah, 2009), hlm. 6
karena itu, kelompok ini dalam memberikan definisi bid‟ah secara syari‟at,
membagi bid‟ah menjadi dua yaitu bid‟ah hasanah dan bid‟ah dalalah.2
Selain itu kelompok ini juga mengutip pendapat dari imam Syafi‟i yang
mengatakan bahwa setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi
al-Qur‟an, sunnah Rasulullah, ijma‟, dan atsar adalah bid‟ah yang sesat, dan
setiap perkara yang baik yang diadakan kemudian, tetapi tidak menyalahi
satupun dari ajaran Islam yang ada adalah bid‟ah yang terpuji.3
 Kedua, adalah kelompok yang mendefinisikan bid‟ah dengan definisi yang
lebih sempit. Kelompok ini berpendapat bahwa bid‟ah adalah seluruh hal baru
yang berkaitan dengan ibadah, yang tidak dikenal di zaman Nabi, sahabat,
dan salafus-shalih. Semua hal baru tersebut adalah bid‟ah yang dlalalah.
Sebagaimana yang dikutip dari pendapatnya imam asy-Syathibi yang
mengatakan bahwa bid‟ah adalah suatu metode atau model dalam agama yang
dikreasikan yang menyerupai ibadah yang syar‟i. Tujuan menempuh atau
melakukannya adalah sebagaimana tujuan ibadah yang syar‟i. Dari sini jelas,
perkara-perkara yang berkaitan dengan dunia tidak termasuk bid‟ah secara
syari‟at, seperti adanya mobil, motor, radio, televisi, internet, dan lain-lain. 4
Oleh karena itu kelompok ini menentang adanya pembagian bid‟ah menjadi dua,
yaitu bid‟ah hasanah dan dlalalah. Karena telah jelas bahwa bid‟ah yang semacam itu
adalah dlalalah atau sesat. K.H. Hasyim Asy‟ari juga mendefinisikan bid‟ah dalam
kitabnya, risalah ahlu al-sunnah wa al-jamaah, menurut beliau, Bid‟ah adalah
pembaruan-pembaruan perkara agama seakan-akan (pembaruan tersebut) adalah bagian
dari agama, padahal sebenarnya bukan baik dari sisi bentuk maupun hakikatnya.5
Adapun dalil tentang Bid'ah terdapat dalam hadits dan ayat Alquran diantaranya
didalam QS. Al-Hadid ayat 27

2
Mansur Ahmad MZ, Islam Hijau Merangkul Budaya Menyambut Kearifan Lokal (Yogyakarta: alQadir Press, 2014), hlm. 94.

3
Ibid

4
Firanda Andirja Abidin, Bid’ah Hasanah: Mengenal Bid’ah dan Sunnah (Jakarta: Naasirussunah, 2013), hlm.16.

5
8Hasyim Asy‟ari, Risalah Ahlu al-Sunnah Wa Al-jama’ah (Yogyakarta: LKPSM, 1999),hlm. 6.
‫َم ْر َيَم َو َء اَتْيَنٰـُه ٱِإْل نِج يَل َو َج َعْلَنا ِفى ُقُلوِب ٱَّلِذ يَن ٱَّتَبُعوُه َر ْأَفًۭة‬ ‫ُثَّم َقَّفْيَنا َع َلٰٓى َء اَثٰـ ِر ِهم ِبُرُسِلَنا َو َقَّفْيَنا ِبِع يَس ى ٱْبِن‬
‫ٱْبِتغَٓاَء ِر ْض َٰو ِن ٱِهَّلل َفَم ا َر َع ْو َها َح َّق ِر َعاَيِتَهاۖ َفَٔـاَتْيَنا ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا‬ ‫َو َر ْح َم ًۭة َو َر ْه َباِنَّيًة ٱْبَتَدُعوَها َم ا َكَتْبَنٰـَها َع َلْيِهْم ِإاَّل‬
٢٧ ‫ِم ْنُهْم َأْج َر ُهْم ۖ َو َك ِثيٌۭر ِّم ْنُهْم َفٰـِس ُقوَن‬
Artinya: Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan
Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan
Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih
sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak
mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya)
untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang
beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang
fasik.
‫ من أحدث في‬: ‫ َقاَل َر ُس وُل هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫َعْن أِّم اْلُم ْؤ ِمِنيَن َأْم َع ْبِد ِهللا َعاِئَش َة َر ِض َي ُهَّللا َع ْنَها َقاَلْت‬
‫ ارواه البخاري ومسلم‬.‫ َفُهَو رد‬. ‫أمرنا هذا ما َلْيَس ِم ْنُه‬
Dari Ummul Mu'minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata:
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang mengada-ada dalam
urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya", maka dia tertolak. (Riwayat
Bukhari dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: siapa yang melakukan
suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak). (HR.
Bukhari dan Muslim)
2. Macam-macam Bid'ah
Bid’ah di dalam agama terbagi menjadi dua:6
a) Bid’ah qauliyyah itiqadiyyah (perkataan dan keyakinan), seperti pernyataan dan
keyakinan kelompok Jahmiyyah, Mu’tazilah, Syi’ah dan kelompok-kelompok
sesat lain.
b) Bid’ah di dalam Ibadah, seperti beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang
belum pernah disyari’atkanNya. Bid’ah bentuk inipun terbagi menjadi beberapa
macam:
1) Bid’ah yang terjadi pada inti ibadah, yaitu dengan mengada-adakan suatu
bentuk ibadah yang tidak memiliki tuntunan dalam Islam, seperti
6
Shaleh Al Fauzan, BID’AH pengertian, macam dan hukumnya. ( Kendari : Islamic Center MUADZ BIN JABAL KENDARI, 2005)
hlm. 5
melaksanakan shalat, shaum atau merayakan hari tertentu yang tidak pernah
disyari’atkan, seperti bid’ah merayakan upacara maulid nabi.
2) Bid’ah yang terjadi karena penambahan pada ibadah yang disyari’atkan,
seperti orang yang menambah roka’at kelima pada shalat dhuhur atau ashar.
3) Bid’ah yang terjadi pada tata cara ibadah, yaitu dengan mengerjakan satu cara
tertentu yang tidak pernah disyari’atkan dalam syari’at, seperti membaca
dzikir-dzikir yang disyari’atkan namun dibaca dengan cara berjama’ah dan
diiringi dengan gendang atau rebana, seperti orang-orang yang berlebihan dan
menyiksa diri ketika beribadah, melampaui batas yang telah ditetapkan oleh
Sunnah rosul.
4) Bid’ah yang terjadi dengan mengkhususkan waktu tertentu bagi ibadah yang
telah disyari’atkan secara mutlak. Seperti orang yang mengkhususkan tanggal
nishfu sya’ban dan malamnya dengan shaum dan tahajjud. Karena hukum asal
shaum dan tahajjud adalah disyari’atkan, akan tetap mengkhususkannya
dengan waktu tertentu membutuhkan dalil.
3. Hukum Hukum Bid’ah dalam islam
Hukum bid’ah dalam agama dengan segala bentuknya: Setiap bid’ah yang terjadi di
dalam agama, hukumnya adalah haram dan sesat, karena Rosulullah Shallallahu alaihi
wa sallam telah bersabda:
‫واياكم ومحدثات االمور فان كل محدثة بدعة وكل بدعة ضاللة‬
“Dan sekali-kali janganlah mengada-ada hal-hal baru (dalam agama), karena
setiap pengada-adaan”
Hal yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”5 dan sabdanya:
‫من احدث في امرنا هذا ليس منه فهو رد‬
“Barang siapa yang mengada-ngadakan dalam urusan kami yang bukan dari
ajarannya maka amalannya tertolak.”7

Dan di dalam riwayat yang lain beliau bersabda:


‫من عمل عمال ليس عليه امرونا فهو رد‬

7
HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan beliau berkata: hadits hasan shahih.
“Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari
kami, maka dia tertolak.”
Maka semua hadits tersebut di atas menunjukan bahwa setiap yang diada-
adakan di dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat tidak
diterima (tertolak). Artinya adalah, bahwa seluruh bid’ah, baik di dalam bidang
ibadah atau keyakinan, hukumnya adalah haram, akan tetapi pengharaman ini
tentu bertingkat sesuai dengan tingkatan amalan bid’ah itu sendiri.
Sebagian bid’ah berarti kufur sharih (jelas): seperti thawaf di kuburan
untuk melakukan taqarrub bagi para penghuninya, demikian pula dengan orang
yang memberikan sembelihan kepadanya, bernadzar untuknya serta berdo’a dan
beristighatsah kepada para penghuninya, begitu juga pernyataan orang-orang
ortodoks Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Sebagian bid’ah merupakan sarana bagi
kemusyrikan, seperti membangun di atas kuburan, melakukan shalat dan berdo’a
di atasnya. Sebagian bid’ah yang lain merupakan fasiq i’tiqadi (keyakinan rusak),
seperti bid’ahnya pernyataan dan keyakian kelompok khawarij, Qodariyyah dan
Murji’ah, karena mereka telah menyelisihi dalil-dalil syar’i. Sementara sebagian
bid’ah lainnya hukumnya adalah maksiat, seperti bid’ahnya melaksanakan shaum
dengan sambil berdiri di tengah terik matahari, dan melakukan fasektomi atau
tubektomi dengan tujuan menghilangkan nafsu birahi8:
Orang yang membagi bid’ah menjadi: bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah
sayyi’ah (jelek), maka sungguh ia telah salah dan keliru, karena menyelisihi sabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam: ”setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim).
Karena Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memvonis bagi setiap bid’ah
dengan kesesatan, sementara orang tadi mengatakan bukan setiap bid’ah sesat,
akan tetapi ada bid’ah yang baik (hasanah). Al hafidz Ibnu Rojab di dalam Syarh
Arba’in An Nawawiyah berkata: Maka sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam: ”Setiap bid’ah itu sesat.” Termasuk ke dalam jawami’ul kalim-nya
(Perkataan yang singkat namun memiliki makna yang luas-Pent) Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, sehingga tidak ada satu amalan bid’ahpun yang
keluar darinya. Dan hadits ini termasuk asas yang agung dalam syari’at Islam, dan

8
Al I’tisham, Imam Asy Syathibi 2/37
ini serupa dengan sabdanya: ”Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan
yang tidak ada perintahnya dari kami, maka dia tertolak.” (HR. Bukhari dan
Muslim), maka setiap orang yang mengada-adakan sesuatu kemudian ia sandarkan
ke dalam agama, padahal hal itu tidak ada tuntunannya di dalam islam, maka ia
tertolak dan sesat, Islam berlepas diri darinya, baik itu terjadi dalam keyakinan,
perkataan atau di dalam amalan, baik secara lahir maupun batin.9
Mereka tidak memiliki argument ketika mengatakan hal itu kecuali
pernyataan Umar ra ketika mengomentari masalah shalat tarawih berjama’ah:
Ni’matil bid’ah hiy’ (ini adalah sebaik- baik bid’ah) dan mereka pun berkata:
Telah terjadi beberapa amalan baru dalam Islam dan tidak diingkari oleh para
salaf, seperti mengumpulkan Al qur’an dalam satu mushaf serta penulisan hadits.
Jawaban dari syubhat ini adalah: bahwa semua amalan ini memiliki dasar dalam
Islam, dan dengan demikian bukan merupakan bid’ah, maksud perkataan Umar ra
yang tersebut di atas, adalah bid’ah dari segi bahasa, bukan bid’ah dari segi
istilah, karena setiap amalan yang memiliki landasan hukum di dalam islam
apabila dikatakan bid’ah, maka tidak ada maksud lain kecuali dari sisi bahasa
bukan dari sisi istilah, karena bid’ah dari segi istilah artinya: tidak memiliki dasar
yang bisa dijadikan landasan hukum, bukankah Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam pernah melaksanakan shalat taraweh secara berjama’ah beberapa malam,
kemudian pada akhirnya beliau meninggalkannya karena takut diwajibkan atas
ummatnya, kemudian para sahabat terus melaksanakannya secara perorangan
semasa hidup Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sampai wafatnya beliau,
kemudian dikumpulkan oleh Umar bin khattab ra dengan satu imam pada
masanya sebagaimana telah dilakukan di zaman Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam, maka dengan demikian amalan ini bukanlah bid’ah. Demikian pula
dengan pengumpulan Al qur’an dalam satu mushaf, ia memiliki dasar hukum
dalam syari’at, karena Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah
memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, akan tetapi saat itu masih terpisah-
pisah, kemudian disatukanlah oleh para sahabat dalam satu mushaf untuk
menjaganya. Demikian pula dengan penulisan hadits, karena Rosulullah

9
Jami’ul Ulum Wal Hikam, hal: 223.
Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada beberapa orang sahabat
untuk menulisnya, hanya saja hal itu tidak dilakukan pada masa hidup beliau
karena dikhawatirkan akan tercampurnya sunnah dengan Al Qur’an. Maka ketika
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam wafat, kekhawatiran ini menjadi punah,
karena Al Qur’an telah sempurna sebelum wafat beliau Shallallahu alaihi wa
sallam. Saat itulah kaum muslimin mengumpulkan sunnah untuk menjaganya.
Maka semoga Allah Azza wa Jalla membalas kebaikan
B. Sebab-sebab terjadinya Bid'ah
Bermula dari hadis-hadis yang menyebutkan tentang bid‟ah serta hadishadis yang
bertentangan tentang dengan bid'ah maka dalam masyarakat islam muncullah istilah
tentang bid'ah dan para ulama' serta golongan-golongan dalam islam menggunakannya
sebagai istilah untuk menghukumi perkara baru yang berkembang dalam umat Islam.
Masyarakat Islam pun mulai merespon keberadaan bid'ah di tengah-tengah mereka
dengan respon yang berbeda-beda. Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan
al-Kitab dan as-Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada perbuatan
bid‟ah yang sesat. Adapun yang melatar belakangi penyebab munculnya perbuatan
bid‟ah adalah bodoh terhadap hukum-hukum ad-din (islam), mengikuti hawa nafsu,
ashabiyah terhadap pendapat orangorang tertentu, menyerupai dan taqlid (Mengikuti
suatu paham yang tidak tahu dasarnya) terhadap orang-orang kafir. Maka yang melatar
belakangi penyebab munculnya bid‟ah antara lain:
1. Ketidak tahuan mengenai hukum-hukum ad-din(agama)
Semakin bertambahnya zaman dan manusia berjalan menjelajahi atsar-atsar risalah
islam, semakin sedikit pula ilmu dan tersebarlah kebodohan didalamnya, Tidak ada
seorangpun yang bisa meluruskan bid‟ah, kecuali ilmu dan para ulama‟. Jadi, apabila
ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi
para penganut dan yang menyebarkan.10
2. Mengikuti Hawa Nafsu11
3. Fanatisme Terhadap Pendapat Orang-orang Tertentu
4. Menyerupai orang-orang kafir

10

11
Ibid.
Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada
bid‟ah, sebagaimana disebutkan dalam hadis Abi Waqid Al-Laitsy berkata: 39“ Kami
pernah keluar bersama Rasulullah SAW, menuju Hunain dan kami baru saja masuk
islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara),
sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata, mereka yang
disebut dzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut lalu berkata: “Ya Rasulullah
buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath.
Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Allahu Akbar ! sungguh ini adalah kebiasaan untuk
mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan
Bani Israil kepada Musa AS. Artinya: Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah
(berhala) sebagaimana mereka Mempunyai beberapa illah (berhala).” (al-A’raf:138)
lalu beliau bersabda: ”sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan
sebelum kamu”. (HR. Turmudzi).
Pada hadis ini disebutkan, bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang
menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat Nabi SAW menuntut sesuatu
yang buruk yaitu agar mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan
dimintai berkatnya selain Allah Taala. Hal ini yang menjadi realita saat ini. Sungguh
kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan
bid’ah dan syirik seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa
hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan
dan peringatanperingatan, melukis gambar-gambar dan patung-patung sebagai
pengingat, mengadakan peringatan hari suka dan duka, bid’ah terhadap jenazah,
membuat bangunan di atas kuburan danlain sebagainya.12

C. Sikap terhadap perilaku bidah


Sikap Umat Islam Terhadap Pelaku Bid’ah: Ahlus Sunah wal Jama’ah senantiasa terus
berusaha membantah Ahlus bid’ah dan mengingkari kebid’ahannya serta menahan arus
penyebarannya. Berikut ini beberapa contoh dalam masalah ini:

12
Ibid. hlm. 84
1) dari Ummud Darda, ia berkata: “Abud Darda datang kepadaku dalam keadaan marah,
kemudian aku katakan kepadanya: ada apa denganmu?.” Beliau menjawab: “demi
Allah, saya tidak melihat mereka berada dalam agama Muhammad selain mereka
melaksanakan shalat semuanya.”13
2) Dari Amr bin yahya, ia berkata: “Saya telah mendengarkan Ubay menceritakan
kepadaku dari bapaknya, ia berkata: “Suatu ketika kita duduk di pintu Abdullah bin
Mas’ud sebelum shalat dhuhur, apabila beliau keluar kami berjalan bersamanya ke
mesjid, kemudian datanglah Abu Musa Al Asy’ari, maka ia berkata: Apakah Abu
Abdurrohman sudah keluar? Kami menjawab; belum. Maka ia pun duduk bersama
kami sampai beliau keluar. Maka ketika beliau keluar, kamipun berdiri dan
menghampirinya, kemudian Abu Musa berkata: Wahai Abu Abdurrohman, tadi di
mesjid saya melihat sesuatu yang saya ingkari, dan saya tidak melihat –
alhamdulillah- kecuali yang baik. Maka Abdullah bin Mas’ud menjawab: Apakah itu?
Ia menjawab: jikalau anda masih hidup (sampai ke mesjid nanti, pent) pasti anda akan
melihatnya, ia berkata: saya telah melihat di mesjid tadi ada suatu kaum yang duduk
berkelompok-kelompok menunggu waktu shalat, dan pada setiap kelompok ada
seorang (yang memimpinnya) dan di tangan- tangan mereka batu-batu kecil.
Kemudian orang tadi berkata: bertakbirlah seratus kali. Kemudian merekapun
bertakbir seratus kali, kemudian ia berkata: bertahlillah seratus kali. Maka merekapun
membaca tahlil seratus kali, kemudian ia berkata: bertasbihlah seratus kali, maka
merekapun bertasbih seratus kali. Abdullah bin Mas’ud berkata: Kenapa kamu tidak
menyuruh mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan saya akan
menjamin bagi mereka dengan tidak hilangnya kebaikan mereka. Kemudia beliaupun
pergi dan kamipun pergi bersamanya sehingga sampai ke salah satu kelompok
mereka, kemudian beliau berdiri di hadapan mereka, kemudia berkata: Apakah yang
sedang kalian lakukan? Mereka menjawab; Wahai Abu Abdurrohman, batu- batu
kecil yang kami gunakan untuk bertakbir, tahlil, tasbih dan tahmid. Beliau berkata:
Maka hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, dan saya akan menjamin kebaikan kalian
tidak akan hilang sedikitpun juga, betapa kasihan kalian wahai umat Muhammad,
betapa cepatnya kalian akan binasa!! lihatlah para sahabatnya masih banyak kalian

13
HR. Bukhari.
dapatkan, dan ini bajunya (baju Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, pent) belum
usang, alat perkakasnya belum pecah, Demi iwaku yang ada di tangan-Nya, apakah
kalian saat ini berada di atas satu agama yang lebih baik dari agama Muhammad,
ataukah kalian membuka pintu kesesatan? Mereka menjawab: Wahai Abu
Abdurrohman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan. Beliau berkata: betapa
banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi ia tidak mendapatkannya, sungguh
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami tentang
suatu kaum yang membaca Al Qur’an namun tidak melebihi tenggorokan mereka,
dan demi Allah, saya tidak tahu mungkin saja kebanyakan mereka adalah dari kalian.
Kemudian beliaupun berpaling dari mereka. Maka Amr bin Salamah berkata: Kami
telah melihat, bahwa kebanyakan oleo yang memcaci maki kami pada hari Nahrowan
bersama dengan orang-orang Khawarij.”14
3) Seorang pemuda datang kepada Imam malik bin Anas (Imam Daarul Hijroh) –
radhiyallaahu ‘anhu-, kemudian pemuda itu bertanya: dari manakah saya mesti
melakukan ihrom? Imam Malik menjawab: Dari Miqot yang telah ditetapkan oleh
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka lakukannya ihrom darinya. Pemuda itu
berkata: jikalau saya melakukannya jauh sebelum batasan miqot? Imam Malik
menjawab: Saya tidak memandang akan hal itu. Pemuda itu bertanya kembali: Apa
yang membuat anda membenci akan hal itu? Imam Malik menjawab: Saya khawatir
terjadinya fitnah bagi diri anda? Pemuda itu kembali bertanya: Jikalau saya
menginginkan agar kebaikan saya lebih? Maka Imam Malik menjawab: Allah Azza
wa Jalla telah berfirman:
‫فايحذر الذين يخالفون عن امره ان تصيبهم فتنة او يصيبهم عذاب اليم‬
“Maka hendaklah waspada orang-orang yang menyelisihi perintahnya, bahwa
mereka akan ditimpa oleh fitnah atau mereka akan ditimpa oleh adzab yang pedih.” 15
Lalu fitnah apakah yang lebih besar dari pengkhususan kebaikan yang tidak pernah
dikhususkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.???16
14
HR. Tirmidzi.

15
QS. An Nur 63.

Disebutkan oleh Abu Syaamah di dalam kitab “Al Baaitsul Hatsits ‘ala inkaaril bida’ wal
16

hawaadits.” Yang beliau kutip dari Abu Bakar Al Khallal, hal: 14.
Dan demikianlah pada setiap tempat dan masa para ulama kita terus exis dalam
mengingkari bid’ah yang terjadi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam lisanul arab, Bid‟ah berasal dari akar kata bada’a, yang memiliki berbagai
derivasi (berbagai macam bentuknya). Diantaranya bid’un dengan kata kerja idtada’a
artinya, membuat dan memulai sesuatu. 17 Sedangkan al-bid’atu artinya sesuatu yang baru

17
Ibnu Manzur, Lisan al Arab (Lebanon: Dar al Kitab al-Ilmiyah, 2009), hlm. 6
(al-Hadats),Dalam pengertian di atas, bahwa yang disebut bid‟ah adalah segala sesuatu
yang tidak didahului contoh-contoh. Artinya dalam pengertian bahasa ini, bid’ah tidak
diberikan batasan-batasan.
Macam-macam Bid'ah di dalam agama terbagi menjadi dua yaitu (1) Bid’ah
qauliyyah itiqadiyyah (perkataan dan keyakinan), seperti pernyataan dan keyakinan
kelompok Jahmiyyah, Mu’tazilah, Syi’ah dan kelompok-kelompok sesat lain. (2) Bid’ah
di dalam Ibadah, seperti beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang belum pernah
disyari’atkanNya. Bid’ah bentuk inipun terbagi menjadi beberapa macam: Bid’ah yang
terjadi pada inti ibadah, Bid’ah yang terjadi karena penambahan pada ibadah yang
disyari’atkan, Bid’ah yang terjadi pada tata cara ibadah, Bid’ah yang terjadi dengan
mengkhususkan waktu tertentu bagi ibadah yang telah disyari’atkan secara mutlak.
B. Saran
Demikianlah makalah yang telah kami susun ini, kami sebagai pemakalah
menyadari bahwa banyaknya kekurangan pada karya tulis ini, oleh karena itu kami
berharap adanya kritik atau saran yang bersifat membangan dan memperbaiki untuk
kedepannya, mohon maaf jika dalam makalah ini terdapat kekurangan dan kekeliruan
didalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Manzur, Lisan al Arab (Lebanon: Dar al Kitab al-Ilmiyah, 2009)

,Firanda Andirja Abidin, Bid’ah Hasanah: Mengenal Bid’ah dan Sunnah (Jakarta:
Naasirussunah, 2013),

Hasyim Asy‟ari, Risalah Ahlu al-Sunnah Wa Al-jama’ah (Yogyakarta: LKPSM, 1999

Mansur Ahmad MZ, Islam Hijau Merangkul Budaya Menyambut Kearifan Lokal (Yogyakarta:
alQadir Press, 2014),
Shaleh Al Fauzan, BID’AH pengertian, macam dan hukumnya. ( Kendari : Islamic Center
MUADZ BIN JABAL KENDARI, 2005)

Anda mungkin juga menyukai