Anda di halaman 1dari 9

MATERI LINGKAR TARJIH PUTM 4 MARET 2023 (PERDANA)

Tajuk Diskusi: “Punya Wirid Khusus Bid’ah atau Sunnah”

Penyusun: Thalabah Semester 2A UMY PUTM

1. Deskripsi

A. Pengertian Wirid

Secara bahasa wirid berasal dari bahasa arab ialah Wirdun berarti datang, sampai, mendatangi,
menyebutkan, menyucikan (tasbih). Wirid memiliki akar kata yang seiras dengan wardah, berarti
bunga mawar. Kata dzikr dan wirid dari segi bahasa memiliki makna yang sama, yaitu menyebut
atau menyucikan. Dalam pengertian populer, zikir lebih banyak berarti penyebutan dan
penyucian nama Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Walaupun demikian, keduanya memiliki
perbedaan. Wirid adalah bacaan zikir yang dilakukan secara rutin dengan ketentuan waktu,
tempat, dan tata cara yang tetap, sebagaimana dituturkan oleh Nasaruddin Umar, Imam Besar
Masjid Istiqlal. Sedangkan zikir menunjukan arti yang lebih luas dan umum. Kalimat singkatnya
adalah bahwa semua wirid adalah zikir, tetapi tidak semua zikir adalah wirid.

Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah, Abdullah bin Alwi Al-Haddad
menjelaskan bahwa sebetulnya wirid tidak terbatas dengan amalan-amalan yang berupa aqwal
(ucapan), tetapi juga mencakup amalan atau af’al (perbuatan) dan afkar (pemikiran/perenungan)
yang dilakukan secara teratur pada waktu-waktu tertentu. Beliau mengkategorikan amalan-
amalan yang termasuk wirid, yaitu 1. shalat sunnah; 2. membaca Al-Qur'an; 3. berupa
mempelajari ilmu yang bermanfaat; 4. membaca kitab-kita tafsir, hadits dan tasawuf;5. zikir
khususs 6; zikir doa setelah shalat; dan 7. tafakur (perenungan);

Diantara tujuan wirid adalah adalah hadirnya hati kepada Tuhan. Dikatakan bahwa setiap wirid
memiliki dampak tersendiri di dalam hati dan mempunyai nur dan keistimewaan tersendiri dari
Allah. Melalui wirid tertentu, seorang penganut sufi dapat menempatkan diri mereka lebih dekat
bersama Allah. Wirid juga dikenal sebagai aktivitas pengamalan bagi penganut sufi yang
tersistem dalam intitusi khusus yang berbentuk tarekat. Pada tarekat tertentu wirid biasanya juga
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu pula, misalnya hajat.

B. Pengertian Sunnah

Secara Bahasa sunnah memiliki arti siroh (sejarah kehidupan),tariqoh (jalan hidup),syariah (jalan
lurus/hukum;hukum).

Menurut para ahli hadist sunnah adalah segala peninggalan rasulullah SAW berupa perkataan
(aqwal), perbuatan (af’al), dan ketetepan Rasulullah SAW berupa perkataan,perbuatan,
ketetapan, sifat-sifat akhlak,dan sifat-sifat jasmaniahnya atas sejarah hidupnya, baik sebelum
maupun sesudah kerasulannya.

Sedangkan Ulama ushul Fiqh, mengatakan bahwa sunnah adalah setiap yang bersumber dari
Nabi SAW selain Al- Quran berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang layak menjadi
dalil bagi hokum syar‘i.

Adapun menurut ahli fikih,sunnah adalah segala ketetapan Nabi SAW yang tidak termasuk
dalam bab fardhu dan tidak pula wajib.

Dalam konteks pembahasan ini, sunnah yang dimaksud lebih sejalan kepada pemahaman ulama
ushul dan fuqaha, sehingga Sunnah Nabi lebih banyak bersinggungan dengan masalah
keagamaan (ubudiyah).

Dalam konteks ubudiyah, yang dimaksud sunnah adalah sesuatu yang masyru’ (disyariatkan,
diperintahkan), sedangkan dalam konteks mu’amalah dan akhlak,yang dimaksud sunnah adalah
segala yang sejalan dengan prinsip dan nilai-nilai kebaikan dan maslahah yang semangatnya
diajarkan oleh Al-Quran dan al-Sunnah.

Sunnah yang dijadikan Muhammadiyah sebagai landasan amalitayah ibadah adalah sunnah yang
berderajat sunnah maqbulah. Sedangkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan
kepercayaan, Muhammadiyah hanya mengambil riwayat mutawatir saja untuk dijadkan sebagai
landasan .

C. Pengertian Bid’ah

Arti bid’ah secara bahasa adalah sesuatu yang diciptakan baru tanpa ada contoh yang
mendahuluinya. Sedangkan secara istilah bid’ah dapat dijelaskan dengan pengertian sebagai
berikut:

“Bid’ah adalah suatu cara baru dalam agama yang diada-adakan untuk menandingi syari’ah,
yang dimaksudkan dengan mengerjakannya untuk membuat nilai lebih dalam ibadah kepada
Allah”.

Definisi di atas adalah menurut pendapat yang tidak memasukkan adat-istiadat ke dalam makna
bid’ah, hanya mengkhususkan kepada masalah ibadah. Adapun pendapat yang memasukkan adat
kebiasaan dan budaya local ke dalam makna bid‘ah, sebagaimana dalam al-I'tisham i: “bid’ah
adalah cara baru dalam agama, yang menandingi syariat yang memilik tujuan yang sama dengan
pembuatan syariat tersebut”

Imam Syatibi menjelaskan bahwa kata “cara” pada definisinya tersebut perlu dibatasi, yaitu
sesuatu jalan yang telah ditetapkan untuk dijalani, yang pelakunya menyandarkan perkara
tersebut kepada agama. Oleh karena itu, kalau cara baru tersebut berupa masalah keduniaan
maka tidaklah dikategorikan sebagai bid’ah.

Sebagian ulama menghukumi segala hal baru dalam ibadah yang tidak bersumber dari nash
dianggap sebagai bid’ah secara mutlak sehingga dianggap seluruhnya sebagai kesesatan
sebagaimana yang dapat dijumpai lafalnya dari dalam hadis. “Setiap bid’ah adalah sesat?” Asy
Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak
boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang
menunjukkan ada bid’ah hasanah.” Artinya setiap bid’ah itu tercela, tidak ada yang hasanah.
Pandangan ini beranggapan bahwasanya syariat islam adalah sesuatu yang telah sempurna
sehingga tidak memerlukan lagi tambahan. Seperti yang terkandung dalam makna ayat ”pada
hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian”

Ulama lain mengkategorikan bid’ah menjadi beberapa bagian, Imam Asy-Syafii misalnya
mengkategorikan bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan dholalah.

“Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu perkara yang dibuat-buat dan
menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk
bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak
menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela”

Bahkan Izz Abd al-Salam membagi bid'ah itu ke dalam lima bagian, yaitu: 1. Bid'ah Wajibah
(bid'ah wajib), 2. Bid'ah Muharramah (bid'ah yang diharamkan), 3. Bid'ah Mandubah
(bid'ah yang disunatkan), 4. Bid'ah Makruhah (bid'ah makruh) dan 5. Bid'ah Mubahah
(bid'ah yang diharuskan).

Muhammadiyah lebih condong untuk mengkhususkan bid‘ah kepada perkara yang berkaitan
dengan masalah akidah dan ibadah mahdlah saja. Sedangkan dalam masalah muamalah dan adat
istiadat, selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat dan dapat mendatangkan maslahat bagi
kehidupan -walaupun tidak ada pada zaman Rasulullah saw,- maka hal tersebut tidak dianggap
sebagai suatu perbuatan bid‘ah.

Mengenai istilah bid’ah, Muhammadiyah sering memperhalus istilah ini dengan ungkapan
ghairu masyru’ atau sesuatu yang tidak disyaratkan.

2. Pandangan Muhammadiayah Tentang Wiridan

Muhammadiyah khususnya dalam Majelis Tarjihnya, belum memiliki keterangan resmi


mengenai wiridan, baik didalam HPT ataupun TJA. Keterangan mengenai pandangan
Muhammadiyah mengenai wiridan dapat dijumpai melalui tokoh-tokohnya yang otoritatif di
budangnya. Di antara tokoh tersebut, Ketua Divisi Kaderisasi MTT Muhammadiyah, Ghaffar
Ismail memberikan keterangan mengenai hukum zikir yang dikhususkan jumlah, waktu, dan
ketentuannya yang dikenal dengan istilah wirid. Sebelumnya beliau menyatakan bahwa zikir itu
pada dasarnya adalah sesuatu yang harus dilakukan dalam hidup sebagai cri khas seorang
mukmin. Melalui zikir hati seseorang menjadi tentram (Q.S:13:28). Sedangkan dengan
beristidlal dengan Q.S. Al-Ahzab:41, menjadi dasar kebolehan berzikir yang dilakukan secara
terus-memerun , kapanpun, dan dimanapun, pada selain ibadah khusus.

Mengenai wirid yang biasa diajarkan oleh seorang mursyid kepada muridnya pada aliran sufisme
atau tarikat tertentu, itu jelas beliau adalah akibat dari pengalaman spiritual tertentu. Mengenai
hukumnya pada dasarnya adalah boleh dengan alasan pengalaman spiritual seseorang adalah
berbeda-beda. Namun ketika menjadi sebuah tuntutan yang diwajibkan kepada umat, hal tersebut
menjadi suatu diperselisihkan oleh para Ulama. Sedangkan Muhammadiyah sendiri, menghindari
perkara demikian, karena dikhawtirkan munculnya taqdis al-dizkr atau upaya pengkultusan
ibadah yang tidak ada dasarnya dari rasul. Sikap Muhammadiyah dalam perkara ini, merupakan
bentuk saddudz dzarriah. Yaitu memotong perantara-perantara kerusakan dengan melarang
perbuatan yang dibolehkan karena akan menyampaikan kepada yang dilarang. (Tambahan
penyusun, lihat Manhaj Tarjih). Ketika membahas mengenai adab-adab berdoa, khususnya adab
yang teraakhir, beliau menyatakan tentang afdhalnya pengkhususan doa untuk hajat tertentu.
Disini kita mendapati keserupaan dengan khasiat khusus daripada wiridan pada thariqah-thariqah
sufistik. Dengan adanya doa khusus untuk hajat tertentu yang pula disertai dengan usaha, maka
akan memberikan penguatan amaliyah yang membuat diri seseorang terarah terhadap keinginan
yang hendak dicapai.

3. Pandangan Selain Muhammadiyah tentang Wiridan

A. Kontra Wiridan

Mengenai amalan atau wirid tertentu dengan jumlah bilangan tertentu ada beberapa ulama yang
mengangapnya bid’ah. Syeikh Bakr Abu Zaid dari kalangan Wahabi mengatakan bahwa salah
satu bentuk bid’ah adalah mengkhususkan amalan tertentu tanpa didasari dalil, seperti
mengkhususkan bacaan al-Qur’an tertentu, di waktu dan tempat tertentu dengan maksud agar
terpenuhinya suatu keinginan atau kebutuhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa zikir dan doa
merupakan ibadah yang paling utama. Dan ibadah landasannya adalah wahyu dan mengikuti
petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Bukan berdasarkan hawa nafsu dan dikarang-
karang. Doa dan zikir yang bersumber dari Nabi hendaknya yang paling diperhatikan dan
diupayakan oleh orang yang berzikir dan berdoa. Mereka yang menempuhnya akan mendapatkan
keamanan dan keselamatan serta hasil yang tidak dapat terungkap oleh lisan dan tidak dapat
ditangkap manusia. Zikir yang bersumber dari selain itu, boleh jadi dia diharamkan, boleh jadi
makruh bahkan boleh jadi di dalamnya terdapat syirik yang banyak tidak disadari kebanyakan
orang. Ini adalah perkara yang pajang perinciannya.

Tidak boleh bagi seorang pun mengajarkan zikir dan doa yang tidak disunahkan, apalagi dengan
menjadikannya sebagai wirid yang rutin dibaca masyarakat sebagaimana mereka merutinkan
melakukan shalat lima waktu. Ini merupakan bid’ah dalam agama yang tidak Allah syariatkan.
Adapun mengambil wirid yang tidak syar’I dan merutinkan wirid yang tidak syar’I, ini adalah
perkara yang terlarang. Padahal pada zikir-zikir yang syar’i dan shahih padanya terdpat tujuan
yang agung, tidak sepantasnya berpaling kepada zikir-zikir yang dibuat-buat dan bid’ah kecuali
mereka yang bodoh, lalai serta melampaui batas.” (Majmu Fatawa, 22/510-5110)

B. Pro Wiridan

NU adalah organisasi masyarakat yang kental dengan mistik Islam berhaluan Ghazalian.
Kelompok NU menganggap wirid sebagi sesuatu yang disyariatkan, disebabkan karna NU sangat
kental dengan initusi-intitusi tarekat yang dinaunginya. Maka dari itu, Nahdlatul Ulama
membentuk badan yang dinamakan Jam’iyyah Thariqah Mu’tabarah (Perkumpulan Tarekat
Mu’tabarah) yang memiliki legalitas di tubuh Ormas. Nu adalah organisasi masyarakat yang
kental dengan mistik Islam berhaluan Ghazalian. Muktamar NU di Situbondo 1984 menetapkan
bahwa salah satu ketentuan tentang paham Ahlu al-Sunah wal Jama’ah adalah, dalam bidang
tasawuf, mengikuti tarekat mu’tabarah dengan berpedoman kepada ajaran imam al-Ghazali, di
samping kepada ajaran para tokoh kesufian Sunni yang lain”. Amalan-amalan khusus berupa
zikir dan kalimat-kalimat shalawat tertentu sangatmudah dijumpai di kalangan NU. Biasanya,
amalan-amalan didapati dari para kyai. Kemudian amalan tersebut secara rutin dipraktikan oleh
murid kyai tertentu terutma para sntrinya pada pesantren tradisional. Tak jarang terdapat para
mursyid (pimpinan tarekat) yang beraflisiasi dengan ormas ini, sedangkan pengikutnya disebut
murid (orang yang berkehendak). Terkadang pengajaran wirid ini dilakukan memalui pemberian
syahadah oleh seorang mursyid kepada muridnya sehingga diharapkan dapat menularkan
kyberkahan kepadanya.

Pada zaman kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang, bacaan-bacaan
wirid dan sholawat semakin mudah untuk diperluaskan melalui pers dan internet. Banyak
tersebar berbentuk soft file dan artikel yang berserakan di internet. Bahkan kanal wirid dan
sholawat yang berisi tuntunan, panduan dan faedah amalan-amalan khusus tertentu telah menjadi
kanal khusus pada website resmi milik organisasi ini. Dengan demikian ciri khas wirid yang
menjadi kearifan dalam gerakan sufisme NU yang bercorak murni keagamaan, tidak lagi menjadi
monopoli ritual kaum pesantren saja, para awam dari kalangan NU pun dapat sewaktu-waktu
mengakses dan mempelajari amalan-amalan wirid tersebut secara daring beserta praktikanya
secara autodidak.

Abdul Wahhab Ahmad (pengurus MUI Jatim, peneliti Aswaja NU Center Jatim, dosen IAIN
Jember) memberikan beberapa argumentasi mengenai kebolehan melakukan wirid.

1. Hadis panjang riwayat Imama al-Bukhari: ….Beliau berkata: ‘Kamu tahu dari mana
kalau al-Fatihah itu bisa sebagai ruqyah (obat)?’ Kemudian beliau melanjutkan: ‘Kalian
telah melakukan perbuatan yang benar, maka bagilah upah kambing-kambing tersebut
dan masukkanlah aku dalam sebagai orang yang menerima upah tersebut’. Maka
Rasulullah saw tertawa.”

2. Riwayat yang dibuat dalil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya dalam Jila’ al-
Afham : “Dari Zain bin Wahb, Sahabat Ibnu Mas’ud berkata padaku: ‘Wahai Zaid, bila
hari Jumat jangan engkau tinggalkan membaca shalawat atas Nabi 1000 kali, katakan
Allahumma shalli ‘ala Muhammad an-Nabiyyi al-Ummiyyi shallallahu alaihi wasallam
3. Perkataan Ibnu al-Qayyim dalam Madariju as-Salikin: “Sebagian percobaan para ahli
ibadah yang telah mereka uji coba lalu menemukannya sebagai hal yang benar terjadi
(mujarab) adalah bahwa siapapun yang terus menerus membaca ‘Ya Hayyu Ya Qayyum
lailaha illa Anta’ , maka hal itu akan menimbulkan hidupnya hati dan akal (lapang dada
dan cerdas). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, semoga Allah menyucikan ruhnya, saya
gemar sekali dengan hal ini. Ia berkata padaku pada suatu hari: Dua nama ini, yaitu Al-
Hayyu Al-Qayyum, punya pengaruh yang besar dalam hidupnya hati. Dan, beliau
mengisyaratkan bahwa keduanya adalah Ismul A’zham dan aku mendengarnya berkata:
Siapa yang terus-menerus membaca sebanyak 40 kali setiap hari di antara salat sunnah
Subuh dan salat Subuh bacaan ‘Ya Hayyu Ya Qayyum lailaha illa Anta birahmatika
astaghitsu’, maka akan dia dapati hatinya hidup dan tak mati”.

Dalil pertama dijadikan sandaran untuk mengklaim kebolehan penentuan khasiat dari suatu
amalan tanpa melalui tuntunan wahyu atau hadits. Didukung dengan pandamgan Imam
Daruquthni sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fathul Bari: Wahai Rasul, itu adalah
sesuatu yang disampaikan ke dalam hatiku’. Hal ini jelas sekali bahwa sahabat itu tidak
punya pengetahuan sebelumnya tentang disyariatkannya ruqyah dengan Fatihah”.

Dalil kedua dijadikan sandaran penentuan jumlah bilangan bacaan wirid atau zikir. Apabila
bacaan dan jumlah wirid tersebut telah ditentukan secara khusu dalam hadis, maka tidak ada
ruang untuk memodifikasi jumlah dan ketentuannya. Sebaliknya apabila jumlahnya
dimutlakan oleh rasul tanpa ada batasan khusus. Maka dibolehkan untuk modifikasi secara
bebas jumlahnya.

Dalil ketiga dijadikan bantahan kepada orang yang berlebihan dalam membid’ahkan.
Terutama kepada para orang yang mendaku sebagai pengikut manhaj salafiyahnya Ibnu
Taimiyah. Riwayat tersebut menunjukan adanya pemberian ijazah wirid tertentu kepada
murid kesayangannya, yaitu Ibnul Qayyim.

Anda mungkin juga menyukai